“Itu piyama punya saya, Pak!” Dia menunjuk tumpukan piyama lain yang sudah disiapkan. “Kenapa Anda tidak tanya dulu?”“Saya kira sama saja,” kilah Ezra sambil melepas piyama milik Kavita yang bahkan tidak bisa dikancingkan sama sekali.Sambil memaksa tawanya agar berhenti, Kavita mengulurkan piyama Ezra yang sesungguhnya.“Kenapa kamu tidak beli gaun tidur saja?”“Emmm ... saya lebih nyaman pakai piyama seperti Anda, Pak. Apalagi yang ini bahannya adem, tidak bikin gerah.”Ezra menerima piyama miliknya dan tanpa sungkan mengganti pakaiannya di depan Kavita, membuat sang istri kontrak refleks membalikkan badan.Beberapa hari kemudian, seolah menjawab kegelisahan Kavita, Karin tiba-tiba meneleponnya.“Ada apa ya?” gumam Kavita seraya memandang layar ponselnya dengan ragu-ragu. “Halo? Karin?”“Kak Vitaaaa!” “Ada apa, Rin? Kok teriak-teriak?”“Nggak apa-apa kok, kak! Kangen saja, gimana kabar Kakak?”“Oh, aku baik! Ada apa kamu telepon aku?” tanya Kavita, tidak ingin memperpan
“Pak, saya tidur di sebelah ya?”“Sebelah mana?”“Maksud saya kamar sebelah,” ucap Kavita dengan bibir pecah-pecah dan mata sayu. “Saya tidak enak badan, takut mengganggu tidur anda.”Ezra mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa, tapi Kavita sangat berterima kasih atas pengertiannya.Ketika malam semakin larut, Ezra membuka pintu kamar Kavita yang ternyata tidak dikunci dan melangkah masuk.Wajah lelah Kavita terpejam lelap sehingga tidak menyadari jika sang bos sudah berada di kamar yang sama dengannya.Sepertinya dia betul-betul sakit, pikir Ezra yang tadinya berpikir bahwa Kavita kurang nyaman jika mereka tidur bersama.Setelah istri kontraknya itu benar-benar resmi bercerai dari suami sahnya, Ezra merasa lebih leluasa untuk bertindak.Keesokan paginya ....Kavita terbangun membuka matanya dengan perlahan, kenyamanan yang dia rasakan begitu lekat menyelimutinya sehingga membuat dia betah berlama-lama di tempat tidur.Merem sebentar lagi saja sepertinya tidak masalah, pik
Di saat sudah terjepit seperti ini, pikiran Deryl hanya tertuju kepada satu orang saja. Kavita! “Cuma dia yang bisa menolongku, aku harus menemuinya!” Tangan Deryl mengepal erat. Di tengah rasa keputusasaannya, dia ingat bahwa Kavita-lah sang dewi penolong yang harus bisa dia manfaatkan. Entah bagaimana pun caranya. “Kontrak kita akan selesai lebih cepat sepertinya, Pak.” Kavita menyerahkan jas Ezra sembari berbasa-basi dengannya. “Oh ya? Kamu terlihat yakin sekali.” “Karena sesuai ketentuan, Deryl harus memenuhi tuntutan saya dalam waktu tiga bulan. Sekarang tinggal tersisa kurang dari dua bulan dan ....” “Mantan suami kamu belum memberikan hak kamu sedikit pun kan?” tanggap Ezra sembari mengenakan jasnya. “Bagaimana kalau sampai lebih dari tiga bulan, dia tidak mampu memenuhi kewajibannya?” Kavita yang sedang membantu merapikan jas Ezra, mendadak terdiam. “Tentu saja ... saya masih harus memperjuangkan hal itu, dan karenanya saya masih butuh kontrak ini—untuk membayar jasa
Kavita terkejut ketika Karin tiba-tiba muncul dan memeluknya.“Eh, Karin ...!”“Biarpun Kakak sudah pisah sama Kak Deryl, aku mau kita tetap berhubungan baik ....”Kavita saling lirik dengan Siska yang mengedikkan bahu tidak mengerti. Sorot matanya menyiratkan kebingungan yang besar.“Mau ngobrol apa memangnya, Rin?” tanya Kavita, jujur dia mulai risi karena terus dipeluk seperti ini.“Ngobrol banyak hal, Kak ... tapi nggak enak sama temannya Kakak.” Karin meringis, dan Siska langsung paham apa maksudnya.“Ya sudah, ngobrol saja dulu!” Kavita balas menatap Siska dengan mengangkat dagunya.Sebetulnya dia tidak ingin terikat hubungan terlalu dekat dengan keluarga mantan suaminya, apalagi Karin juga sebelas dua belas dengan Deryl kalau soal uang. Dulu-dulu Kavita dengan senang hati membiayai sekolah Karin atas nama pengabdian terhadap suami tercinta, tapi keputusan Deryl untuk menikah lagi diam-diam seketika membakar habis rasa cinta dalam dirinya.Dan kini Kavita khawatir, b
‘Setiap kali melihat piyama, kamu akan merasakan rindu yang sangat hebat. Rasa cinta yang selama ini kamu pendam, akan kamu berikan kepada pemilik piyama.’Deryl tersenyum samar setiap mengingat ucapannya kepada Kavita tadi sore. Begitu melihat sikap mantan istrinya yang mendadak begitu penurut, dia jadi tidak tahan ingin menerkamnya kalau saja tidak ingat bahwa Kavita membawa teman.Yang berikutnya aku pasti menyambut kamu dengan lebih mesra, pikir Deryl sembari menyeringai mesum membayangkan setiap inci lekuk mantan istrinya.“Ryl, bagaimana rencana kamu soal rumah baru?” Yura muncul dan langsung merebahkan diri di samping suaminya.Harum aroma pelembab kulit yang digunakan Yura membuat hidung Deryl tergelitik, segera saja jemari nakalnya berselancar di leher jenjang sang istri.“Belum ada, Sayang ....”“Kok belum sih, harus gerak cepat kamu!”Deryl yang telanjur bergairah membayangkan kemesraan fiktif dengan Kavita, akhirnya menetapkan pilihan untuk bercumbu dengan Yura yang
Atau memang Ezra terlalu ganas semalam?“Apa sih yang aku pikirkan ....”“Maaf, Anda bicara apa ya?” Suara Kavita menyela. “Saya tidak dengar, Pak. Suara Anda terlalu pelan.”“Tidak, bukan apa-apa. Hari ini kamu boleh tidak masuk kerja kalau memang tidak enak badan,” kata Ezra cepat-cepat. “Istirahat saja, tidak perlu pergi ke mana-mana.”“Baik, Pak ....”Ezra langsung menutup ponselnya, dan berpikir keras tentang sikap Kavita yang berbeda seratus delapan puluh derajat hanya dalam hitungan menit saja.Dia enggan percaya jika Kavita pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, apalagi Ezra tidak merasakan jejak-jejak anggur atau semacamnya ketika dia mengecup bibir sang istri.Bukankah Kavita mengaku hanya pergi bersama Siska?“Halo, Pak?” Suara sekretaris Ezra menyahut ketika bos muda itu menghubunginya melalui telepon interkom.“Panggil Siska dan suruh dia ke ruangan saya sekarang juga,” perintah Ezra tegas.“Baik, Pak.”Ezra hanya perlu menunggu sebentar sampai Siska muncul untuk
“Jadi bagaimana menurutmu?” Ezra menanyai Tricya, saat mereka berdua sedang minum kopi di kafe sesuai janji temu sebelumnya. “Aku memang bukan orang yang terlalu skeptis, tapi ... tanpa bukti yang valid—aku rasa akan sulit untuk melaporkan Deryl dengan tuduhan niat jahat terhadap mantan istri.” Tricya menjelaskan. “Apalagi kalau dugaan itu merembet ke hal-hal mistis seperti teluh, aku ragu laporan kita akan ditindaklanjuti.” “Apa kesaksian dari pegawaiku belum cukup kuat untuk melaporkan mantan suami Kavita?” “Aku tidak yakin, apalagi karena katamu Kavita tidak bisa mengingat dengan pasti—sedangkan dalam hal ini dia merupakan korban, kan?” Ezra mengangguk samar. Tidak ada cara lain untuk mencegah Deryl melakukan hal yang tidak-tidak terhadap Kavita, kecuali dengan melarangnya bepergian tanpa izin. “Untuk selanjutnya apa yang akan kamu lakukan? Terutama soal kewajiban yang harus Deryl penuhi.” Ezra melanjutkan pembicaraan, membuat Tricya mengerutkan keningnya. “Kavita itu klien-ku
“Itu fakta, bahkan Kakak juga kan yang selama ini mengambil uang toko diam-diam?” Deryl dan ibunya terbelalak menatap Yura. “Apa maksudnya ini, Rin?” “Dia itu diam-diam mencuri, Kak!” “Apa buktinya, jangan ngomong sembarangan kamu! Kamu pikir aku juga tidak tahu kalau kamu juga sering mengambil uang toko?” Karin terkesiap ketika Yura menyerangnya balik dengan sangat telak. “Karin, apa ini? Kamu juga!” Deryl menatap adik dan istrinya bergantian. “Kalian berdua ini mata duitan sekali ya, tidak lihat kalau aku sampai berdarah-darah cari uang untuk bayar utang dan pengeluaran lainnya?” Yura menarik napas. “Aku kan cuma ini ... bersikap seperti yang kamu janjikan, kamu bilang aku tidak perlu kerja keras, hidup susah, tapi buktinya apa? Begitu ditinggal Vita, aku merasa finansial kamu runtuh begitu saja. Jangan-jangan benar kalau selama ini kamu menggantungkan hidup kamu ke Vita?” “Jangan mengalihkan pembicaraan!” “Aku bicara fakta, kamu begitu panik saat Vita minta cerai kan? Dita
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay