“Jadi bagaimana menurutmu?” Ezra menanyai Tricya, saat mereka berdua sedang minum kopi di kafe sesuai janji temu sebelumnya. “Aku memang bukan orang yang terlalu skeptis, tapi ... tanpa bukti yang valid—aku rasa akan sulit untuk melaporkan Deryl dengan tuduhan niat jahat terhadap mantan istri.” Tricya menjelaskan. “Apalagi kalau dugaan itu merembet ke hal-hal mistis seperti teluh, aku ragu laporan kita akan ditindaklanjuti.” “Apa kesaksian dari pegawaiku belum cukup kuat untuk melaporkan mantan suami Kavita?” “Aku tidak yakin, apalagi karena katamu Kavita tidak bisa mengingat dengan pasti—sedangkan dalam hal ini dia merupakan korban, kan?” Ezra mengangguk samar. Tidak ada cara lain untuk mencegah Deryl melakukan hal yang tidak-tidak terhadap Kavita, kecuali dengan melarangnya bepergian tanpa izin. “Untuk selanjutnya apa yang akan kamu lakukan? Terutama soal kewajiban yang harus Deryl penuhi.” Ezra melanjutkan pembicaraan, membuat Tricya mengerutkan keningnya. “Kavita itu klien-ku
“Itu fakta, bahkan Kakak juga kan yang selama ini mengambil uang toko diam-diam?” Deryl dan ibunya terbelalak menatap Yura. “Apa maksudnya ini, Rin?” “Dia itu diam-diam mencuri, Kak!” “Apa buktinya, jangan ngomong sembarangan kamu! Kamu pikir aku juga tidak tahu kalau kamu juga sering mengambil uang toko?” Karin terkesiap ketika Yura menyerangnya balik dengan sangat telak. “Karin, apa ini? Kamu juga!” Deryl menatap adik dan istrinya bergantian. “Kalian berdua ini mata duitan sekali ya, tidak lihat kalau aku sampai berdarah-darah cari uang untuk bayar utang dan pengeluaran lainnya?” Yura menarik napas. “Aku kan cuma ini ... bersikap seperti yang kamu janjikan, kamu bilang aku tidak perlu kerja keras, hidup susah, tapi buktinya apa? Begitu ditinggal Vita, aku merasa finansial kamu runtuh begitu saja. Jangan-jangan benar kalau selama ini kamu menggantungkan hidup kamu ke Vita?” “Jangan mengalihkan pembicaraan!” “Aku bicara fakta, kamu begitu panik saat Vita minta cerai kan? Dita
Keesokan paginya ....Ezra berjalan cukup cepat ke arah mobil yang sudah menunggu sementara Kavita susah payah menyusul sembari membawakan tasnya.“Selamat pagi, Pak.” Adya membukakan pintu untuk sang bos.“Pagi.”“Oh ya, Pak. Saya izin mau pergi dengan Kavita ke pasar malam, boleh Pak?” Mata Kavita membulat ketika mendengar Adya bertanya di saat yang kurang tepat.“Kapan?”“Sabtu malam, Pak.”Ezra melirik ke arah Kavita yang menundukkan pandangannya ke tanah.“Oke.”“Terima kasih, Pak!”Kavita mengembuskan napas lega, lalu masuk mobil dan duduk di samping Ezra.Setibanya di kantor, Kavita langsung bergabung dengan Siska di bagian administrasi.“Kamu kenapa, Sis?” Kavita menatap rekan kerjanya yang menjadi pendiam, tidak seperti biasa. “Kamu sakit?”Siska tersenyum paksa.“Tidak kok, Vit. Cuma agak ... tidak enak hati saja.”“Tidak enak hati kenapa? Cerita sama aku.”Siska mendapati jam masuk kerja yang tinggal beberapa menit lagi. Ekspresi wajahnya menyiratkan masal
“Kalau begitu layani saya sekarang.” Kavita membulatkan matanya. “M—maksud Anda, Pak? Bukankah setiap hari saya sudah melayani Anda sesuai kontrak?” Ezra membungkukkan badannya sedikit. “Kamu ini polos sekali ya? Tidak seperti kamu di beberapa malam sebelumnya.” Kavita merasakan kedua pipinya merona. “Memangnya seperti apa saja kemarin-kemarin? Saya melayani Anda seperti biasa kan? Oh, kecuali saat saya sakit malam itu!” Ezra memicingkan matanya, Kavita benar-benar telah membuatnya penasaran sekaligus tergoda di saat yang sama. “Saya mau kamu melayani saya sepenuhnya mulai malam ini.” “Ap—apa?” “Kenapa, keberatan? Saya sudah bayar kamu, ingat?” Kavita menyipitkan mata karena cara bicara Ezra yang mengatakan bahwa dia seakan membeli dirinya. “Bukan seperti itu kontraknya, Pak!” Kavita mengingatkan. “Oh ya? Kamu ini, saya sudah berkali-kali bilang supaya kamu membaca setiap pasal kontrak dengan teliti kan?” “Tapi ....” “Sudah cukup basa-basinya, lakukan sekarang sebagaiman
“Kenapa kamu izinkan istri kamu pergi?”Miranti geleng-geleng kepala melihat Ezra menyibukkan diri di ruang kerja sementara Kavita sudah meninggalkan rumah bersama Adya.“Tidak sulit untuk melarang Kavita, dia itu istri yang penurut—kenapa malah kamu yang terlalu bebas begini?”Ezra menatap layar laptop tanpa berniat untuk melanjutkan pekerjaannya.“Dia cuma nonton pasar malam, Nek.”“Nenek tidak peduli, yang jadi masalah adalah dengan siapa dia pergi. Ezra, kamu ini seorang suami!”“Suami kontrak, Nek.”“Apa pun itu sebutannya, tapi tetap saja kamu itu suami Kavita. Kok bisa-bisanya kamu biarkan dia pergi sama Adya?” tukas Miranti.“Mereka berdua cuma teman, justru akan aneh kalau aku melarang Kavita pergi tanpa alasan yang jelas. Nenek tahu kan kalau status pernikahan aku sama Kavita harus dirahasiakan?”Miranti menarik napas panjang. “Nenek tahu, Ezra. Kamu atur sajalah, takutnya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Bukan salah Adya kalau lama-lama dia suka Kavita, itu k
Tubuh proporsional itu terhuyung hingga membuat Kavita ikut hilang keseimbangan dan jatuh menimpanya.Ezra meringis saat perutnya tertimpa siku Kavita.“Eh, maaf Pak!” Kavita buru-buru menegakkan diri. “Sepertinya Anda tidak kuat pergi ke kamar mandi, kalau begitu biar saya saja yang ambilkan airnya!”“Terserah kamu ....”Kavita kini harus susah payah membantu Ezra berdiri dari posisinya, dia tidak mengira kalau kepergiannya yang hanya sebentar itu bisa membuat bencana segawat ini.Kalau sampai Ezra kenapa-kenapa, Miranti pasti akan menuntut tanggung jawab kepadanya.“Cepat sedikit,” sentak Ezra tidak sabar.“Baik, Pak.”Kavita mengambil baskom dan mengisinya dengan air, setelah itu dia usap wajah Ezra menggunakan handuk kecil yang sudah dicelupkan ke dalam air.Sensasinya tentu berbeda kalau langsung mengguyur wajah dengan air mengalir.“Sekarang Anda makan dulu, saya sudah siapkan.” Kavita mengulurkan piring ke arah Ezra.“Kamu pasti sudah makan kenyang sama Adya.”Kavit
“Satu juta saja, Kak.”Kavita tertegun, dia tidak bisa begitu saja mengabulkan permintaan Karin yang sudah bukan siapa-siapanya lagi.Kebutuhan Karin juga bukan kewajiban yang harus dia penuhi, melainkan kewajiban Deryl.“Maaf ya, Rin? Aku juga punya kebutuhan yang tidak sedikit ....”“Aku pinjam dulu, Kak. Nanti biar Kak Deryl yang akan bayar!”“Memangnya Deryl sudah kerja? Masalahnya dia juga belum membayar kewajiban dia sama aku kan? Jadi lebih baik jangan menambah utang kakakmu.”“Terus sekolah aku gimana, Kak?”“Coba kamu minta Deryl datang ke sekolah untuk minta keringanan atau perpanjangan waktu, supaya urusan kamu ke depannya berjalan lancar.”“Tapi Kak, satu juta saja masa Kakak nggak punya?” kata Karin memohon, nada suaranya terdengar memelas dan putus asa.“Bukan masalah itu, aku juga punya kebutuhan pribadi sendiri.” Kavita menjelaskan.Ada alasan kenapa dia enggan memberi pinjaman kepada mantan adik iparnya itu, apalagi uang sejuta bukanlah masalah sulit baginya
“Cepat Kak, itu kak Vita sudah datang!”Suara Karin serta Merta langsung membuat Deryl dan Yura terbelalak.“Apa kamu bilang? Mau ngapain dia ke sini?”“Suka-suka dong, ini kan rumah Kak Vita!”Deryl buru-buru menarik tangan adiknya.“Kamu serius, kan? Kamu tidak bohong?”“Ngapain juga aku bohong Kak?”“Vita ke sini sama siapa?”“Sendirian kalau aku lihat, nggak bawa teman seperti dulu.”“Bagus!” Deryl meninju udara dengan gembira.“Ryl, jelaskan sama aku. Mau apa Vita datang ke sini? Memangnya ada urusan apa dia sama kamu?”Karin memutar matanya dengan malas.“Yura, kamu tetap di dapur buat beres-beres. Aku mau memperjuangkan kehidupan kita dulu, ya?”“Tapi, Ryl ....”“Jangan membantah apa kata suami, Kalau kamu masih mau hidupmu aku jamin.”Yura terpaksa menurut sementara Karin terkikik geli melihat tingkah kakak iparnya.“Vita niat sekali datang ke sini sendirian,” gumam Deryl bersemangat sambil menyemprotkan sebotol wewangian ke beberapa titik tubuhnya, tidak terke
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay