Sandra pergi ke luar rumah dan menitipkan Ana kepada suaminya.
"Tolong jaga Ana! Aku harus keluar mencari anak kesayangan Ibumu!" Sandra bicara sembari menatap lekat wajah suaminya.Ia keluar dari rumah besar Lantana dengan berjalan kaki. Sepanjang jalan, Sandra merasa sakit hati sebab penghinaan Ayunda terngiang ngiang di telinganya."Selalu aku yang di salahkan. Apapun yang terjadi di dalam rumah ini, hanya salahku," gumam Sandra.Sementara itu, Ayah dan Ibu mertua Wulan yang sudah masuk ke dalam rumah juga mendengar kalau Wulan tidak ada disana."Wulan kabur ya Pak?" tanya Anik kepada suaminya."Sepertinya begitu Bu," jawab Pak Karso seraya menghela nafas panjang."Kalau bukan karena kebaikan Pak Dani, aku nggak akan pernah setuju dengan pernikahan Aryo dan Wulan," ucap Anik."Iya Bu. Aku paham bagaimana perasaanmu. Tapi kita tidak mungkin membiarkan Pak Dani mengalami musibah ini sendirian," sahut Karso.Jantung Arya berdegup makin kencang. Ia berjongkok tepat di dekat tubuh si wanita yang tak bergerak sedikitpun."Sandra," ucap Arya sembari memegangi tubuh wanita tersebut dan membalikkannya. Arya menyibakkan rambut si wanita.Ia menghela nafas lega ketika melihat wajah wanita itu, bukanlah wajah Sandra, kekasihnya."Ternyata bukan Sandra. Hampir saja aku mati berdiri karena mengira dia adalah Sandra!" batin Arya.Arya kembali ke mobilnya. Setelah mencari selama beberapa waktu, ia akhirnya menemukan Sandra sedang duduk sendirian di bawah pohon Angsana, di sekitar komplek perumahan mertuanya."Sayang, sedang apa di sini?" tanya Arya sembari menepuk lembut bahu kekasihnya."Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin sendirian saja," jawab Sandra singkat."Aku tahu, kau marah karena mertuamu memarahimu," ucap Arya."Iya aku yang salah. Harusnya aku menjaga Wulan. Aku selalu salah. Aku tadi bukan tak ingin menjaganya, tapi
Wulan duduk termenung di depan ruang operasi. Dia memikirkan matang - matang mengenai keputusannya memilih untuk aborsi. Setelah yakin dengan pilihannya, ia berdiri dari tempatnya duduk."Oee oee oee." Suara tangisan bayi terdengar kencang hingga keluar ruangan."Bayi wanita itu telah lahir," ucap Wulan lirih.Wulan membalikkan badan menuju ke ruang administrasi, untuk mendaftarkan diri bertemu dengan Dokter kandungan.Hanya beberapa langkah kakinya menapak, samar - samar terdengar suara kepanikan dari dalam ruang bersalin."Rahim di sisi kiri robek setelah dijahit, Dok!""Ambil benang gut, dan jahit sisi kirinya.""Maaf dok, sisi kiri dekat leher rahim mengeluarkan banyak nanah.""Ini artinya terdapat infeksi dengan leher rahim, cepat periksa catatan medisnya. Apakah pasien pernah melakukan aborsi sebelumnya?" ucap Dokter kepada salah seorang asisten perawat."Ya Dok. Pasien sudah pernah melakukan abor
"Apa kau tahu, apa itu aborsi? Aborsi tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Aborsi hanya dapat dilakukan jika terdapat alasan medis yang mungkin dapat membahayakan nyawa ibu atau calon bayi Ibu nantinya!" Dokter, menjelaskan."Sekarang katakan kepada saya, apa alasan anda ingin melakukan aborsi? Sebab saya lihat, catatan medis anda baik baik saja!" ucap Sang Dokter, tegas."Saya tidak mau melahirkan bayi ini, itu saja. Saya kan yang mengandung, jadi terserah saya, mau saya lahirkan atau tidak!" jawab Wulan dengan nada kesal.Dokter mengamati nama pasien yang ada pada form pendaftaran. Jelas terpampang disana nama Wulan Wijaya."Kamu adik dari Rayhan Wijaya?" tanya Dokter."Iya dok, betul sekali. Dokter kenal dengan kakak saya?" tanya Wulan, heran.Dokter Vita tidak menjawab pertanyaan Wulan, ia lantas menghubungi Rayhan secara diam-diam menggunakan handphone miliknya. Ia juga mengecilkan nada suara handphone tersebut sehingga
Sandra menahan tangis karena penghinaan suaminya yang diberikan kepadanya. Kedua anak mereka menatap sedih, kepada Ibu mereka yang mengalami kekerasan.Sesampainya di rumah, Sandra hanya diam di dalam kamar. Ia enggan keluar dari dalam kamar. Ia merasa malu dengan dirinya sendiri terlebih dengan kedua anaknya."Aku ini Ibu macam apa? Katanya Ibu yang baik akan bisa menjaga anak anaknya. Tapi aku bahkan tak bisa menjaga diriku sendiri!" Sandra menutupi wajahnya dan menangis."Kerjaanmu hanya menangis saja!" Tiba tiba Rayhan sampai di kamar. Ia mengeluhkan sikap Sandra."Apapun yang aku lakukan selalu salah! Bahkan saat menangis, aku juga salah!" sahut Sandra."BRak!" Rayhan menutup pintu kamar dengan cara membantingnya."Kau bilang apa barusan? Beraninya kau menjawab setiap kata kataku!" pekik Rayhan dengan mata melotot.Sandra kali ini terdiam. Ia menggigil ketakutan. Rayhan kembali menarik ikat pinggangnya dan memukuli istrinya."CetAr!" Suara ikat pinggang terdengar bergetar ketika
Dodi dengan ragu berjalan mendekati Wulan. Wajahnya mulai memerah melihat lembah merah delima yang terpampang jelas di depan matanya."Kau menyukainya kan? Tunggu apa lagi?" tanya Wulan."Aku aku," ucap Dodi gagap.Wulan bangkit berdiri dan memeluk supir pribadi Kakaknya tersebut. Wulan tanpa ragu juga menautkan bibirnya ke bibir Dodi.Menerima serangan sensual dari sang majikan yang begitu panas, membuat Dodi tak kuasa untuk menahan diri. Tangan pria itu mulai bergerak menjelajahi tempat tempat yang tersembunyi.Wulan yang sudah tak mengenakan sehelai benangpun, naik ke atas tubuh Dodi. Ia mencoba merayu Dodi agar mau melepaskan senjata ke dalam tempat kecilnya."Tanggalkan semua yang kau kenakan," bisik Wulan."Aku tidak bisa. Kau sedang hamil. Pantang bagiku berhubungan ranjang dengan wanita hamil," jawab Dodi."Apa? Lalu bagimana sekarang? Kau akan membiarkan lembah merah ini basah sendirian tanpa kehangata
"Anu anu anu apa? Wulan, jangan membuat Mama dan Papa malu lagi! Kau ini anak dari keluarga ningrat. Jaga perilakumu!" seru Ayunda."Semua hal ini nggak seperti yang Mama pikirkan." Wulan membela diri."Lalu siapa laki laki yang ada bersamamu?" "Ya supirlah! Mau siapa lagi! Aku kan keluar dari rumah Mama dengan supir! Kenapa Mama curiga aku keluar dengan laki laki?""Mama nggak percaya dengan semua omongan kamu. Mama ragu!" Ayunda menegaskan."Kalau Mama nggak percaya, Mama bicara saja dengan Dodi."Wulan menyalakan speaker dan meminta Dodi untuk bicara."Ayo bicaralah!""Selamat malam Nyonya.""Dodi! Kamu dan Wulan ada dimana sekarang! Suaminya Wulan nyariin!""Di," ucap Dodi bingung sembari melirik ke arah Wulan.Wulan menggerakkan mulutnya tanpa suara. Ia menginstruksikan Dodi agar bicara sesuai dengan apa yang ia mau."Di taman kota," ucap Dodi."Oh di taman. Lag
Aku Wulan Wijaya, adik dari Rayhan Wijaya. Aku terlahir dari keluarga kaya raya. Sejak kecil, aku selalu mendapatkan apapun yang kuinginkan.Hari itu, awal masuk ke sekolah SMA. Luas sekolahku, mungkin ada sekitar 2 hektar. Murid baru seperti diriku, butuh waktu berhari - hari untuk menghafal tiap tempat yang ada disana.Tujuanku pagi itu adalah pergi ke ruangan laboratorium karena ada pelajaran biologi. Semua teman sekelas sudah berangkat ke sana. Aku tertinggal karena diare dan perutku sakit tidak tertahan.Selesai buang air, aku berjalan ke arah ruang laboratorium. Tapi semakin aku berjalan, ruangan semakin sepi. Ternyata aku tersesat sampai ke gudang sekolah.Aku berbalik badan, perlahan lahan aku berjalan mencari arah yang benar menuju laboratorium. Samar - samar terdengar suara seorang lelaki. Aku mengikuti sumber suara, dan masuk ke dalam ruang ganti putra yang sudah lama tidak digunakan lagi.Di sana ada Kakak kelasku yang sedang
"Rayhan! Lepaskan Wulan!" Ayunda berteriak histeris. Ia ketakutan jika sampai terjadi hal buruk pada diriku.Kakakku melepaskan tangannya dari rambutku. Ia menatapku dengan marah. Semua orang mendiamkan aku selama berhari hari. Hingga akhirnya, untuk menyelamatkan nama baik keluarga, Papa memaksaku menikah dengan anak dari supir pribadinya.Aku membenci keputusan Papa. Dia hanya memikirkan tentang reputasi dan kehormatan keluarga. Dia tak pernah memikirkan perasaan dan apa yang aku inginkan.Saat hari pernikahan ditentukan, aku mencoba bernegosiasi dengan Papa agar pernikahan ini batal."Pa, aku nggak mau menikah. Aku ingin aborsi.""Apa? Aborsi? Apa kamu sudah gila?!" "Pa, aku nggak mencintai dia. Aku nggak mungkin menikah dengannya.""Cinta atau tidak itu bukan urusan papa!""Tapi Pa, Wulan nggak bisa hidup miskin di rumah supir pribadi Papa.""Miskin dan kaya adalah pilihanmu sendiri. Kamu
Arya berjalan ke ruang monitoring, seorang karyawan mengantarnya hingga masuk ke dalam ruangan."Tolong perlihatkan rekaman CCTV yang ada di depan ruangan saya!" ucap Arya kepada seorang karyawan."Baik Pak!" "Pak Amri, tolong perlihatkan rekaman sepuluh menit sebelum saya ke sini," titah Arya lagi sembari melihat ID Card yang menempel pada seragam karyawannya tersebut."Siap Pak. Ini Pak," ucap Amri."Mundurkan lima menit lagi." "Siap Pak!" Amri langsung memainkan ketrampilan nya dalam hal monitoring."Cukup Pak Amri!" seru Arya."Ada wanita di depan ruanganku. Sedang membungkuk di depan pintu. Apa yang ia lakukan? Siapa dia?" Arya memicingkan kedua matanya."Ini Pak, wajah wanita itu. Sudah saya perbesar," ucap Amri."Wulan?" Arya kaget. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat."Gani, tolong pergi ke resepsionis tanyakan apa ada tamu untukku bernama Wulan?!" titah Arya kepada sala
Aryo dan Ayahnya saling memandang kemudian masuk bersamaan ke dalam rumah. Ternyata Rayhan sedang marah kepada office boy tersebut."Dasar kau bodoh sekali! Siapa yang kemarin menerimamu bekerja di kantor?!" Rayhan berteriak dengan mata melotot, wajahnya juga tampak menegang."PLaaK!"Rayhan menampar wajah office boy tersebut dengan sangat kencang, hingga yang menyaksikan ikut merasa takut."Ono opo toh?!" tanya Pak Karso, pelan.Rayhan tidak menjawab, dia hanya menatap tajam ke arah office boy."Siapa namamu?" tanya Rayhan."Rudi, Pak. Maaf Pak, saya tidak bermaksud apa - apa." "Cukup! Saya tidak mau mendengar ucapan atau penjelasan apapun darimu! Bereskan itu dan segera pergi dari sini! Atau kamu mau saya pecat mulai besok pagi?!" teriak Rayhan lagi.Suasana menjadi canggung. Rayhan terlihat marah, ia melihat sepintas seluruh rumah Aryo kemudian berpamitan."Pak Karso dan Aryo, saya ke kanto
"Wes lah Pak, sudah jangan di sesali. Saya sudah menikah dengan Wulan. Lagipula Pak Dani sudah banyak membantu keluarga kita," ucap Aryo.Pak Karso membantu Aryo membereskan pakaian dan barang barang pribadi Aryo yang digunakan selama ia dirawat di rumah sakit. Setelah selesai mengemas barang, Aryo dan Pak Karso pergi ke ruang administrasi."Suster, saya Aryo Wasesa yang rawat inap di ruang Anggrek, tolong di chek berapa total yang harus saya bayar ya Sus."Staf administrasi mengangguk singkat. "Maaf Pak, setelah saya chek ternyata semua biaya perawatan sudah terbayar lunas. Jadi bapak, bisa langsung pulang meninggalkan rumah sakit tanpa perlu membayar apapun lagi.""Tapi siapa yang membayar biaya rumah sakit sebanyak itu Sus?""Saya kurang tahu Pak. Sepertinya salah seorang kerabat Bapak." "Pasti Rayhan yang membayar semuanya. Jika nanti Wulan tahu bahwa kakaknya membayar lunas seluruh biaya rumah sakit, aku pasti akan jadi bahan cemoohannya lagi." Aryo bicara dalam hati.Pak Karso
Sandra berhasil melepaskan tangannya dari genggaman security. Sandra memundurkan langkahnya dan berjalan dengan menunduk ke arah pintu keluar. Ia tak melihat ada seorang lelaki yang berdiri di depannya, hingga ia menabrak lelaki tersebut, tanpa disengaja."Maaf," ucap Sandra dengan wajah yang masih menunduk.Lelaki yang ada di hadapannya tidak menjawab permintaan maaf Sandra, ia malah langsung memegang tangan Sandra dan menariknya ke arah lain."Eh siapa kau! Kenapa menarik ku seperti ini? Lepaskan aku! Aku tahu dimana pintu keluarnya!" Sandra berteriak.Semua karyawan yang ada di sana, terlihat menunduk dan memberikan salam kepada lelaki yang menggandeng tangan Sandra.Sandra melepaskan tangannya dari genggaman lelaki tersebut. Lelaki itu membalikkan badannya dan bertanya, " Kenapa sayang? Bukankah kau ingin menemuiku?""Arya!" Sandra melongo."Ayo ke ruanganku.""Tidak. Aku mau pulang," ucap Sandra."Kenapa begitu?" tanya Arya."Kata resepsionismu, penampilanku yang seperti ini tid
Sandra memilih keluar dari kamar dan menghentikan semua perdebatan yang terjadi. Meski sebenarnya, masih banyak hal yang ingin ia lontarkan pada sang suami.Setelah pertengkaran hebat yang terjadi, Sandra dan Rayhan menjadi diam tak saling menyapa. Bahkan saat makan malam, mereka hanya makan lalu pergi tidur.Sandra pun memilih tidur di dalam kamar Ana dibandingkan dengan kamarnya sendiri.Keesokan paginya, Sandra bangun lebih pagi. Untuk mengusir rasa kesalnya terhadap sang suami, Sandra memasak di dapur, membantu Bi Inah."Ddrrrttt!" Suara pesan teks singkat dari ponsel pribadi milik Sandra, berbunyi.Sandra buru buru membuka dan membacanya."I love You. Pagi ini aku mulai memikirkanmu lagi. Apakah ini cinta? Atau rasa rinduku yang sedang menggebu untukmu?" Sebuah pesan teks berisi kalimat romantis dari Arya, seakan menjadi obat mujarab bagi Sandra yang sampai saat ini masih merasa dongkol terhadap Rayhan."Arya! Romantis sekali dia. Aku akan mengantar Ana pagi ini ke sekolah lalu m
Sandra memindahkan lingrie itu ke dalam kotak kecil. Ia kemudian melanjutkan acara mencuci bajunya. Setelah semuanya selesai dicuci, ia datang ke kamar membawa kotak kecil berisi lingrie tersebut."Mas! Bukalah!" ucap Sandra sembari menyodorkan kotak tersebut."Apa ini?" tanya Rayhan bingung."Coba bukalah. Lalu jelaskan, siapa pemilik aslinya," jawab Sandra.Rayhan membuka kotak tersebut dan melihat lingrie yang dikenakan Novi semalam, ada di dalam sana."Aku bingung bagaimana menjelaskan ini. Apakah penjelasanku nanti akan dipercaya olehmu atau tidak?" ucap Rayhan."Jawab saja. Kenapa harus bingung? Dengan siapa kau semalam di hotel? Apa perlu, aku juga bertanya hal ini kepada anak - anak kita?" tanya Sandra, tegas."A...a...aku tidak bisa menjelaskan. Intinya percayalah kepadaku. Aku tidak melakukan seperti apa yang sedang kau pikirkan," jawab Rayhan dengan suara terbata - bata.Sandra menatap dalam ke arah netra Rayhan. Meski ada perasaan curiga ia mencoba menepisnya."Mengenai pe
"Tolong!" Rayhan berteriak histeris karena panik. Kedua anaknya juga tampak cemas melihat kondisi Kakek mereka yang tergeletak tak berdaya di lantai."Kakek! Bangun Kek!" seru Ana dengan mata berkaca."Kalian tunggu di sini, Papa akan meminta bantuan." Rayhan bicara serius kepada kedua anaknya."Cepat Pa! Kasihan Kakek!" seru Levin.Tepat saat Rayhan hendak bangkit berdiri, sang Ayah perlahan lahan membuka matanya."Pa, Kakek bangun." Levin bersuara pelan.Rayhan berjongkok di depan Dani. Ia memegang erat tangan Dani."Bagaimana keadaan Papa. Aku sangat khawatir," ucap Rayhan."Papa baik Ray. Hanya sedikit sakit di bagian dada." Dani bicara sembari menarik nafas dalam dalam. Tarikan nafasnya juga terlihat menyakitkan."Kita ke Dokter terdekat lebih dulu sebelum pulang!" Rayhan menegaskan.Rayhan menelepon petugas hotel menggunakan telepon kamar. Tak perlu waktu lama, petugas hotel datang. Mereka membantu Rayhan untuk menurunkan barang bawaan dan menaruhnya ke dalam mobil.Sementara it
"Apa yang baru saja kau lakukan Ray? Kenapa kamar ini tampak seperti kandang domba dibandingkan dengan kamar manusia?" Dani mengerutkan kening.Dani memicingkan mata ketika melihat pakaian dalam milik Novi tergeletak di pojokan tempat tidur. Dani menoleh ke arah Rayhan dan menatap tajam. Ia merasa geram dengan sikap amoral yang dilakukan oleh putra sulungnya tersebut."Kau dan adik perempuanmu ternyata sama saja. Kalian tidak bisa diandalkan." Dani mengkritik sikap Rayhan."Ini hanya soal kecil. Aku hanya bersenang senang sedikit." Rayhan berusaha menjelaskan. Tapi Dani nampak enggan mendengar penjelasan dari anaknya."Tadinya aku ingin membahas mengenai Wulan denganmu. Tapi aku rasa, kau juga tak bisa menyelesaikan apa apa. Kau juga bermasalah. Ingat Ray, jika sampai terjadi hal buruk pada Sandra, karena ulahmu, Papa tidak akan melepaskanmu!" Dani mengancam. Baginya, Sandra adalah menantu terbaik yang tak bisa ia dapatkan dimana pun.
Novi mulai melepas pengait dan melepaskan celana dari pemiliknya. Ia tanpa diminta berjongkok di lantai. Lalu memasukkan tongkat kebanggaan milik Rayhan ke dalam mulutnya. Gerakannya yang cepat membuat si pemilik tongkat tak mampu lagi menahan diri. Rayhan menarik Novi ke atas tempat tidur.Novi menyeringai puas. Tongkat kebanggaan menembus masuk ke dalam goa hangat. Novi mulai merintih. "Ouh!" Novi mencengkeram bahu Rayhan. Rayhan mempercepat durasi gerakan tongkatnya. Si pemilik goa hanya bisa menceracau sembari menikmati permainan tongkat sakti yang menggelitik sampai bagian terdalam goa."Apa kau benar benar menginginkan hal ini?" bisik Rayhan dengan nafas tersengal sengal."Kau menyukainya kan?" Novi menggoda.Rayhan tak menjawab. Ia sibuk memakan dua gundukan bulat empuk dengan ujung merah muda. Puas bermain dengan gundukan tersebut, tongkat sakti menyemburkan cairan. Mereka mencapai puncak kenikmatan bersama sa