Wulan duduk termenung di depan ruang operasi. Dia memikirkan matang - matang mengenai keputusannya memilih untuk aborsi. Setelah yakin dengan pilihannya, ia berdiri dari tempatnya duduk.
"Oee oee oee." Suara tangisan bayi terdengar kencang hingga keluar ruangan."Bayi wanita itu telah lahir," ucap Wulan lirih.Wulan membalikkan badan menuju ke ruang administrasi, untuk mendaftarkan diri bertemu dengan Dokter kandungan.Hanya beberapa langkah kakinya menapak, samar - samar terdengar suara kepanikan dari dalam ruang bersalin."Rahim di sisi kiri robek setelah dijahit, Dok!""Ambil benang gut, dan jahit sisi kirinya.""Maaf dok, sisi kiri dekat leher rahim mengeluarkan banyak nanah.""Ini artinya terdapat infeksi dengan leher rahim, cepat periksa catatan medisnya. Apakah pasien pernah melakukan aborsi sebelumnya?" ucap Dokter kepada salah seorang asisten perawat."Ya Dok. Pasien sudah pernah melakukan abor"Apa kau tahu, apa itu aborsi? Aborsi tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Aborsi hanya dapat dilakukan jika terdapat alasan medis yang mungkin dapat membahayakan nyawa ibu atau calon bayi Ibu nantinya!" Dokter, menjelaskan."Sekarang katakan kepada saya, apa alasan anda ingin melakukan aborsi? Sebab saya lihat, catatan medis anda baik baik saja!" ucap Sang Dokter, tegas."Saya tidak mau melahirkan bayi ini, itu saja. Saya kan yang mengandung, jadi terserah saya, mau saya lahirkan atau tidak!" jawab Wulan dengan nada kesal.Dokter mengamati nama pasien yang ada pada form pendaftaran. Jelas terpampang disana nama Wulan Wijaya."Kamu adik dari Rayhan Wijaya?" tanya Dokter."Iya dok, betul sekali. Dokter kenal dengan kakak saya?" tanya Wulan, heran.Dokter Vita tidak menjawab pertanyaan Wulan, ia lantas menghubungi Rayhan secara diam-diam menggunakan handphone miliknya. Ia juga mengecilkan nada suara handphone tersebut sehingga
Sandra menahan tangis karena penghinaan suaminya yang diberikan kepadanya. Kedua anak mereka menatap sedih, kepada Ibu mereka yang mengalami kekerasan.Sesampainya di rumah, Sandra hanya diam di dalam kamar. Ia enggan keluar dari dalam kamar. Ia merasa malu dengan dirinya sendiri terlebih dengan kedua anaknya."Aku ini Ibu macam apa? Katanya Ibu yang baik akan bisa menjaga anak anaknya. Tapi aku bahkan tak bisa menjaga diriku sendiri!" Sandra menutupi wajahnya dan menangis."Kerjaanmu hanya menangis saja!" Tiba tiba Rayhan sampai di kamar. Ia mengeluhkan sikap Sandra."Apapun yang aku lakukan selalu salah! Bahkan saat menangis, aku juga salah!" sahut Sandra."BRak!" Rayhan menutup pintu kamar dengan cara membantingnya."Kau bilang apa barusan? Beraninya kau menjawab setiap kata kataku!" pekik Rayhan dengan mata melotot.Sandra kali ini terdiam. Ia menggigil ketakutan. Rayhan kembali menarik ikat pinggangnya dan memukuli istrinya."CetAr!" Suara ikat pinggang terdengar bergetar ketika
Dodi dengan ragu berjalan mendekati Wulan. Wajahnya mulai memerah melihat lembah merah delima yang terpampang jelas di depan matanya."Kau menyukainya kan? Tunggu apa lagi?" tanya Wulan."Aku aku," ucap Dodi gagap.Wulan bangkit berdiri dan memeluk supir pribadi Kakaknya tersebut. Wulan tanpa ragu juga menautkan bibirnya ke bibir Dodi.Menerima serangan sensual dari sang majikan yang begitu panas, membuat Dodi tak kuasa untuk menahan diri. Tangan pria itu mulai bergerak menjelajahi tempat tempat yang tersembunyi.Wulan yang sudah tak mengenakan sehelai benangpun, naik ke atas tubuh Dodi. Ia mencoba merayu Dodi agar mau melepaskan senjata ke dalam tempat kecilnya."Tanggalkan semua yang kau kenakan," bisik Wulan."Aku tidak bisa. Kau sedang hamil. Pantang bagiku berhubungan ranjang dengan wanita hamil," jawab Dodi."Apa? Lalu bagimana sekarang? Kau akan membiarkan lembah merah ini basah sendirian tanpa kehangata
"Anu anu anu apa? Wulan, jangan membuat Mama dan Papa malu lagi! Kau ini anak dari keluarga ningrat. Jaga perilakumu!" seru Ayunda."Semua hal ini nggak seperti yang Mama pikirkan." Wulan membela diri."Lalu siapa laki laki yang ada bersamamu?" "Ya supirlah! Mau siapa lagi! Aku kan keluar dari rumah Mama dengan supir! Kenapa Mama curiga aku keluar dengan laki laki?""Mama nggak percaya dengan semua omongan kamu. Mama ragu!" Ayunda menegaskan."Kalau Mama nggak percaya, Mama bicara saja dengan Dodi."Wulan menyalakan speaker dan meminta Dodi untuk bicara."Ayo bicaralah!""Selamat malam Nyonya.""Dodi! Kamu dan Wulan ada dimana sekarang! Suaminya Wulan nyariin!""Di," ucap Dodi bingung sembari melirik ke arah Wulan.Wulan menggerakkan mulutnya tanpa suara. Ia menginstruksikan Dodi agar bicara sesuai dengan apa yang ia mau."Di taman kota," ucap Dodi."Oh di taman. Lag
Aku Wulan Wijaya, adik dari Rayhan Wijaya. Aku terlahir dari keluarga kaya raya. Sejak kecil, aku selalu mendapatkan apapun yang kuinginkan.Hari itu, awal masuk ke sekolah SMA. Luas sekolahku, mungkin ada sekitar 2 hektar. Murid baru seperti diriku, butuh waktu berhari - hari untuk menghafal tiap tempat yang ada disana.Tujuanku pagi itu adalah pergi ke ruangan laboratorium karena ada pelajaran biologi. Semua teman sekelas sudah berangkat ke sana. Aku tertinggal karena diare dan perutku sakit tidak tertahan.Selesai buang air, aku berjalan ke arah ruang laboratorium. Tapi semakin aku berjalan, ruangan semakin sepi. Ternyata aku tersesat sampai ke gudang sekolah.Aku berbalik badan, perlahan lahan aku berjalan mencari arah yang benar menuju laboratorium. Samar - samar terdengar suara seorang lelaki. Aku mengikuti sumber suara, dan masuk ke dalam ruang ganti putra yang sudah lama tidak digunakan lagi.Di sana ada Kakak kelasku yang sedang
"Rayhan! Lepaskan Wulan!" Ayunda berteriak histeris. Ia ketakutan jika sampai terjadi hal buruk pada diriku.Kakakku melepaskan tangannya dari rambutku. Ia menatapku dengan marah. Semua orang mendiamkan aku selama berhari hari. Hingga akhirnya, untuk menyelamatkan nama baik keluarga, Papa memaksaku menikah dengan anak dari supir pribadinya.Aku membenci keputusan Papa. Dia hanya memikirkan tentang reputasi dan kehormatan keluarga. Dia tak pernah memikirkan perasaan dan apa yang aku inginkan.Saat hari pernikahan ditentukan, aku mencoba bernegosiasi dengan Papa agar pernikahan ini batal."Pa, aku nggak mau menikah. Aku ingin aborsi.""Apa? Aborsi? Apa kamu sudah gila?!" "Pa, aku nggak mencintai dia. Aku nggak mungkin menikah dengannya.""Cinta atau tidak itu bukan urusan papa!""Tapi Pa, Wulan nggak bisa hidup miskin di rumah supir pribadi Papa.""Miskin dan kaya adalah pilihanmu sendiri. Kamu
Sandra memegangi kepalanya yang terasa sakit akibat pukulan suaminya. Tanpa terasa air mata lolos begitu saja membasahi pipi wanita itu."Jika sampai hal buruk terjadi pada Ana, maka aku tak akan memaafkanmu!" teriak Rayhan dengan marah.Tiba tiba Ana membuka matanya. Ia menatap Ayahnya yang sedang memarahi Ibunya dengan kata kata kasar.Dani juga turun dari mobil. Ia geram melihat perilaku Rayhan yang kasar terhadap Sandra."Rayhan kenapa kau memukuli Sandra? Apa apaan kau ini! Seharusnya kau gunakan tanganmu untuk melindungi istrimu! Bukan sebaliknya!" Hartanto menegur sikap Rayhan.Rayhan tak menghiraukan ucapan Hartanto. Ia menoleh menatap wajah putrinya."Ana, kau tidak apa apa kan?""Tidak Pa. Aku tadi hanya bercanda. Aku pura pura pingsan saja. Kenapa Papa memarahi Mama seperti itu?" Si gadis kecil mengajukan protes."Sudahlah lupakan saja. Kita harus pergi sekarang!" Rayhan menggendong Ana masuk ke dalam
"Kenapa diam?" tanya Arya pelan."Tentu saja. Katakan dimana kita akan makan malam?" Sandra menerima ajakan Arya."Apa kau yakin bisa keluar malam nanti?" Arya memastikan."Tentu saja aku pasti datang. Rayhan dan anak anak pergi keluar kota. Siang ini aku makan bersama Pak Tarjo dan Bi Inah." "Baiklah sayang kita bertemu di Resto Viola jam 7 malam ya. See You." Arya mengakhiri pembicaraan.Sandra segera menyelesaikan makan siangnya. Ia memberitahu kepada asisten rumahnya, jika akan pergi malam nanti. Jadi malam nanti, tak perlu menunggunya untuk makan.****Jam yang ditentukan Arya untuk bertemu, hampir tiba. Sandra mengenakan gaun berwarna hitam dengan hiasan payet mutiara warna emas di bagian dadanya.Ia datang ke Resto menggunakan taksi online."Hai sayang. Kau nampak sangat cantik hari ini." Arya mencium tangan Sandra. Sandra tampak tersipu malu. Ia duduk di kursi yang letaknya ada di dep