Sandra memegangi kepalanya yang terasa sakit akibat pukulan suaminya. Tanpa terasa air mata lolos begitu saja membasahi pipi wanita itu.
"Jika sampai hal buruk terjadi pada Ana, maka aku tak akan memaafkanmu!" teriak Rayhan dengan marah.Tiba tiba Ana membuka matanya. Ia menatap Ayahnya yang sedang memarahi Ibunya dengan kata kata kasar.Dani juga turun dari mobil. Ia geram melihat perilaku Rayhan yang kasar terhadap Sandra."Rayhan kenapa kau memukuli Sandra? Apa apaan kau ini! Seharusnya kau gunakan tanganmu untuk melindungi istrimu! Bukan sebaliknya!" Hartanto menegur sikap Rayhan.Rayhan tak menghiraukan ucapan Hartanto. Ia menoleh menatap wajah putrinya."Ana, kau tidak apa apa kan?""Tidak Pa. Aku tadi hanya bercanda. Aku pura pura pingsan saja. Kenapa Papa memarahi Mama seperti itu?" Si gadis kecil mengajukan protes."Sudahlah lupakan saja. Kita harus pergi sekarang!" Rayhan menggendong Ana masuk ke dalam"Kenapa diam?" tanya Arya pelan."Tentu saja. Katakan dimana kita akan makan malam?" Sandra menerima ajakan Arya."Apa kau yakin bisa keluar malam nanti?" Arya memastikan."Tentu saja aku pasti datang. Rayhan dan anak anak pergi keluar kota. Siang ini aku makan bersama Pak Tarjo dan Bi Inah." "Baiklah sayang kita bertemu di Resto Viola jam 7 malam ya. See You." Arya mengakhiri pembicaraan.Sandra segera menyelesaikan makan siangnya. Ia memberitahu kepada asisten rumahnya, jika akan pergi malam nanti. Jadi malam nanti, tak perlu menunggunya untuk makan.****Jam yang ditentukan Arya untuk bertemu, hampir tiba. Sandra mengenakan gaun berwarna hitam dengan hiasan payet mutiara warna emas di bagian dadanya.Ia datang ke Resto menggunakan taksi online."Hai sayang. Kau nampak sangat cantik hari ini." Arya mencium tangan Sandra. Sandra tampak tersipu malu. Ia duduk di kursi yang letaknya ada di dep
Tepat saat Wulan sudah berhasil meraih rambut Sandra, Arya datang dan menarik rambut Wulan ke belakang."Aduh! Sakit! Siapa ini! Lepaskan aku!" Wulan berteriak dengan wajah kesal.Arya melepaskan cengkraman tangannya dari rambut Wulan. Wulan menoleh ke arah Arya. Kesempatan ini, digunakan oleh Sandra untuk bersembunyi."Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Apa yang kau lakukan? Kenapa kau ingin meraih rambut kakakku?" ucap Arya."Kakakmu? Itu kan Sandra!" Wulan membentak Arya."Bukan! Dia kakakku, Agatha! Apa kau rabun sekarang?" Arya masih mencoba menutupi."Kau pasti berbohong kan? Aku tahu wanita yang tadi bersamamu dan sekarang sedang berada di dalam toilet adalah Sandra, Kakak Iparku!" Wulan ngotot.Wulan berjalan ke arah toilet dan membuat keributan di sana. Ia berteriak memanggil nama Sandra dengan sangat kasar."Sandra! Keluar kau! Jangan sembunyi di sana! Wanita jalang!" Wulan meneriaki Sandra.
Dengan terpaksa, Sandra menjawab panggilan telepon dari Rayhan. Namun, panggilan telepon terputus begitu saja saat ia menggeser icon warna hijau ke atas."Ada apa?" Arya masih menunggu dengan panik."Tidak apa apa. Sudahlah, kau lebih baik pulang. Jika dia mendengar suaramu dari telepon, maka akan ada masalah lebih besar." Arya mengangguk, ia lantas berpamitan pulang. "Baiklah! Aku pulang dulu!" Arya melambaikan tangan dan mulai menyetir.Ketika bayangan mobil Arya sudah tak terlihat, Pak Tarjo baru saja bangun dari tidur panjangnya."Pak!" ucap Sandra pelan."Astaga! Sejak kapan Non berdiri di depan pagar?" Si penjaga rumah panik melihat majikannya berdiri di depan pagar saat tengah malam seperti sekarang ini.Pria tua itu segera membuka pintu pagar. Sandra masuk ke dalam rumah. Ia masih penasaran, kenapa Rayhan menelepon tapi mematikan teleponnya juga dengan cepat."Apa dia hanya salah pencet saja?"
"Kak... Kita telepon Daddy saja." Ana memberikan saran."Daddy? Siapa Daddy?" tanya Levin bingung."Itu Daddy yang pernah naik perahu bersama kita di Danau Blue Bell dulu, teman Papa," jawab Adiknya dengan wajah polos."Hah? Om Arya kamu panggil Daddy? Baiklah kakak telepon dia saja. Siapa tahu dia menjawab." Meski agak bingung dengan panggilan Ana terhadap Arya, tapi Levin tetap menelepon Arya."Tut! Tut!""Ya Hallo siapa ini?" tanya Arya dari sebrang telepon."Ini Levin, Om.""Oh iya Levin, ada apa Nak? Kok tumben kamu hubungi om?" "Om, Levin kan ikut Papa ke luar kota dan kita sekarang menginap di hotel. Tapi Papa pergi rapat, Levin dan Ana sendirian di hotel. Ini ada suara aneh di kamar. Levin takut." Suara Levin terdengar gemetar."Nggak usah takut, itu paling suara cicak. Lebih baik Levin berdoa. Allah pasti menjaga kalian karena kalian adalah anak - anak yang baik." Arya mencoba menghibur.
"Masuklah!" Rayhan akhirnya meminta Novi untuk masuk.Tapi buang wine ke tempat sampah!" bisik Rayhan kepada Novi."Tapi kenapa? Kita bisa menikmati malam indah ini bersama Ray," ucap Novi seraya membelai pipi Rayhan dan mendekatkan bibirnya. Rayhan memundurkan langkahnya mencoba menghindari jari jemari Novi yang terasa menggelitik pelan di pipinya."Baiklah... Jika kau tak ingin kusentuh, tidak masalah.""Ada anak anakku di sini. Tolong jaga sikapmu." Rayhan memberitahu.Novi masuk dan melihat ke arah tempat tidur Rayhan. Ia memandang tajam ke arah boneka sapi milik Ana."Hmm! Rupanya kau bersama anakmu menginap di sini."Tiba tiba Ana dan Levin keluar dari kamar mandi dan memeluk Ayah mereka."Papa, siapa dia?" tanya Ana."Dia teman papa, namanya Novi," jawab Rayhan."Hai Tante Novi." Ana yang polos menyapa seraya melambaikan tangannya."Papa kita jadi pergi ke pusat kota m
"Novi, maafkan aku. Aku harus kembali ke hotel." Rayhan memilih untuk mengantarkan anak anaknya pulang ke hotel.Rayhan dan anak anaknya naik ke dalam mobil dan meninggalkan Novi sendirian disana.Novi yang kesal tak dapat berbuat apa apa selain mengumpat dengan kata kata kasar."Sialan anak anak kecil itu! Tunggu saja jika aku berhasil menjadi ibu mereka, pasti ku hajar mereka berdua!" gumam Novi sembari menghentakkan kakinya.Sepanjang perjalanan, Levin dan Ana hanya terdiam. Mereka dengan segera masuk ke kamar kakek mereka, setelah sampai di hotel."Kenapa kalian murung?" tanya Dani kepada kedua cucunya.Levin yang sedari tadi menahan tangis, langsung memeluk Kakeknya sambil terisak."Tadi ada teman Papa yang jahat mencubit Ana, Kek." Levin mengadu."Kenapa bisa seperti itu? Papa kalian ada di sana kan?" tanya Dani, bingung."Tapi Papa nggak percaya dengan kita Kek," ucap Levin lagi sambil menangis.
Novi mulai melepas pengait dan melepaskan celana dari pemiliknya. Ia tanpa diminta berjongkok di lantai. Lalu memasukkan tongkat kebanggaan milik Rayhan ke dalam mulutnya. Gerakannya yang cepat membuat si pemilik tongkat tak mampu lagi menahan diri. Rayhan menarik Novi ke atas tempat tidur.Novi menyeringai puas. Tongkat kebanggaan menembus masuk ke dalam goa hangat. Novi mulai merintih. "Ouh!" Novi mencengkeram bahu Rayhan. Rayhan mempercepat durasi gerakan tongkatnya. Si pemilik goa hanya bisa menceracau sembari menikmati permainan tongkat sakti yang menggelitik sampai bagian terdalam goa."Apa kau benar benar menginginkan hal ini?" bisik Rayhan dengan nafas tersengal sengal."Kau menyukainya kan?" Novi menggoda.Rayhan tak menjawab. Ia sibuk memakan dua gundukan bulat empuk dengan ujung merah muda. Puas bermain dengan gundukan tersebut, tongkat sakti menyemburkan cairan. Mereka mencapai puncak kenikmatan bersama sa
"Apa yang baru saja kau lakukan Ray? Kenapa kamar ini tampak seperti kandang domba dibandingkan dengan kamar manusia?" Dani mengerutkan kening.Dani memicingkan mata ketika melihat pakaian dalam milik Novi tergeletak di pojokan tempat tidur. Dani menoleh ke arah Rayhan dan menatap tajam. Ia merasa geram dengan sikap amoral yang dilakukan oleh putra sulungnya tersebut."Kau dan adik perempuanmu ternyata sama saja. Kalian tidak bisa diandalkan." Dani mengkritik sikap Rayhan."Ini hanya soal kecil. Aku hanya bersenang senang sedikit." Rayhan berusaha menjelaskan. Tapi Dani nampak enggan mendengar penjelasan dari anaknya."Tadinya aku ingin membahas mengenai Wulan denganmu. Tapi aku rasa, kau juga tak bisa menyelesaikan apa apa. Kau juga bermasalah. Ingat Ray, jika sampai terjadi hal buruk pada Sandra, karena ulahmu, Papa tidak akan melepaskanmu!" Dani mengancam. Baginya, Sandra adalah menantu terbaik yang tak bisa ia dapatkan dimana pun.