Andrian Evan Sanders menutup pintu mobil dengan keras. Setengah berlari ia melewati taman luas berisi tanaman wisteria yang merambat di pagar dan kisi-kisi lengkungan yang berfungsi sebagai gerbang masuk menuju jalan setapak dari batu bata yang berakhir di gazebo bergaya victoria. Ada banyak aneka tanaman yang menghiasi jalan setapak ini, dibentuk secara simetris yang akan nampak indah andai saja tidak kontras dengan situasi yang sedang terjadi saat ini.Saat memasuki rumah klasik mewah bergaya eropa milik adiknya, Henry Evan Sanders, Sebastian langsung disambut suara pilu tangisan dari Cynthia, istri Henry. Ruang tamu luas tersebut sudah dipenuhi oleh Walikota, detektif dan petugas kepolisian, juga adik bungsunya, Ferdinand Evan Sanders.Andrian mencibir kesal, Bajingan itu berani menampakkan wajahnya disini!“Andrian, kau datang.” Henry mengangguk singkat, sorot matanya berusaha tegar walau ia tidak bisa menyembunyikan tangannya yang gemetar.“Apa yang terjadi, Henry? Bagaimana mung
Anthony melangkah keluar lewat pintu depan rumah keluarga Henry dan langsung disambut oleh hembusan angin kencang. Badai akan segera datang, batin Anthony kala ia memandang ke jalanan di bawah dimana tiga van media massa sudah terparkir. Para wartawan itu langsung berlarian keluar dari van saat melihat Anthony keluar dari teras.Mereka seperti belalang, pikir Anthony sambil menggerutu di dalam hati.Anthony memberanikan dirinya untuk menghadapi serangan hebat sambil berjalan menuruni bukit melewati Mercedes, dua BMW, sebuah Rolls-Royce, sebuah jaguar dan sebuah mobil lincoln ke tempat dimana ia memarkir mobilnya tadi. Para wartawan itu tengah mewawancarai Ferdinand, tapi mereka langsung mengerubungi Anthony ketika ia lewat.“Agen Winslow, apa komentar anda....” Anthony mengangkat tangannya, membuat mereka semua terdiam.“Kami sudah mengidentifikasi bahwa korban benar sebagai Vionna Sanders.” Cahaya lampu kilat berkelebatan ketika mereka mengambil foto serta merekam semuanya dan Anthon
Ia sudah menunggu-nunggu telepon itu sejak ia meraih koran dari teras depannya tadi pagi. Namun tetap saja, ketika telepon berdering, ia merasa marah. Marah dan gelisah. Ia meraih gagang telepon, tangannya gemetar. Tapi ia menjaga agar intonasi suaranya tetap terdengar normal. Bahkan sedikit bosan. “Ya?”“Kau sudah lihat?” suara di telepon itu sama gemetarannya dengan tangannya, tetapi ia tidak akan mengizinkan orang lain mengetahui ketakutannya. Satu tanda kelemahan darinya akan menjatuhkan yang lainnya bagaikan domino, dimulai dari orang yang mengambil resiko bodoh dengan menelponnya seperti ini.“Sedang kubaca sekarang.” Judul berita itu menarik perhatiannya. Artikel itu seolah meremas perutnya, membuat perutnya mual. “Ini tidak ada hubungannya dengan kita. Diam saja dan semuanya akan berlalu.”“Tapi kalau ada yang bertanya...”“Tetap diam, seperti dulu. Bersikaplah seperti biasa dan semuanya akan baik-baik saja.”“Ta-tapi ini sungguh parah, man! Aku tidak tahu apa aku bisa bersika
Sebastian melangkah pelan, selangkah demi selangkah dengan mantap, matanya terfokus pada wanita itu. “Lihat aku, Angela.”“Aku tidak mencintaimu! Ka-kamu bermimpi jika beranggapan bahwa aku mempunyai perasaan padamu!” perasaan panik menyerang Angela, menghancurleburkan penolakannya.Lari, Angela! Jangan biarkan Sebastian mengetahui perasaanmu yang sesungguhnya!Sebastian mengulurkan tangan untuk menangkup wajahnya. Angela menarik nafas dalam-dalam, terperanjat. Sentuhan laki-laki itu mantap, tapi lembut. Saat tatapan mata mereka bertemu, sudut bibir Sebastian terangkat naik. “Pembohong.”“Jangan bersikap seolah kamu tahu tentang diriku, Sebastian!”Sebastian mendekatkan wajahnya, membuat Angela bisa merasakan hangat hembusan nafas pria itu,“Apa dulu Garvin memperlakukanmu dengan baik, Angela?”“Pertanyaan bodoh!” Angela nyaris tidak dapat mengeluarkan suaranya melewati gumpalan di lehernya. Gumpalan perasaan takut, kegembiraan. Ah, sial, ia juga tidak mengetahui mengapa ia merasa gemb
Theodore mengepalkan tinjunya dan mengacungkannya pada Lavenska, “Apa kamu bilang? Kamu membunuh Garvin?! Garvin calon suami Angela?”“Memang sudah waktunya dia mati. Dia selalu saja sakit-sakitan. Merepotkan saja! Aku hanya membantunya agar tidak menyusahkan Angela.” Kalimat Lavenska terdengar terburu-buru. Ia hampir tidak bernafas saat mengatakan kalimat itu. Dan sejujurnya, ia sedang menutupi ketakutannya.“Dan kalian menyuap Kepala Perawat dan juga petugas malam itu?” Nada suara Theodore terdengar stabil. Sorot matanya tidak lepas menatap tajam pada dua wanita di depannya.“Ya.” Claire menjawab cepat. Ia mengangkat dagunya, melawan intimidasi Theodore lewat tatapan matanya. “Sejujurnya petugas itu tidak tahu apa-apa, ia hanya menjalankan tugasnya seperti biasa.”“Dan kedua orang itu mati dibunuh?”Lavenska berhenti bernapas. “Ya.”“Oh, bagus untuk kalian berdua.”“Daddy!” Lavenska berteriak panik. Ia berlari meraih tangan ayahnya, isak tangis keluar dari dadanya.“Jangan menangis.
Badai salju kembali menyerang Toronto dan sekitarnya semalaman penuh. Beberapa ruas jalan tutup, bahkan gundukan salju tebal masih menyelimuti aspal. Beberapa petugas pembersih jalanan, sudah mulai bekerja sejak pagi hari dengan mantel tebal.Pagi hari ini, pengawas cuaca memperkirakan suhu udaranya adalah minus lima. Pemerintah pun melarang aktivitas di luar ruangan termasuk bekerja. Beberapa kantor menyiarkan pengunguman, termasuk BCB Royal Bank.Sebastian sudah memberikan perintah pada Edward untuk mengungumkan work from home selama tiga hari, berlaku bagi mereka yang belum menyerahkan laporan kerja.Pagi itu selesai menyelesaikan sarapan, Sebastian dengan nada suaranya yang dingin mengajak Angela pergi ke suatu tempat. Tentu saja Angela langsung menolak. Dengan badai salju semalam, ia tidak yakin bisa keluar walau hanya pergi ke teras rumah.“Aku tidak gila, Angela. Aku tidak mungkin mengajakmu pergi naik mobil saat ini.” kata Sebastian. “Cepat mandi dan ganti bajumu. Aku tunggu t
Angela mengikuti Sebastian menaiki tangga. Sebastian menyalakan lampu dan tersingkaplah kamar mandi yang sangat luas. Ada meja rias panjang dengan lapisan marmer hitam bertepi emas di bagian atas, dua wastafel, dan cermin seukuran sprei. Lampunya berwarna almond, dan dindingnya berlapiskan kertas geometris berwarna salem dan coklat, dengan sentuhan perak yang menegaskan kesan mewah, sesuatu yang sangat tidak diharapkan oleh Angela. Dengan cepat, Angela mengalihkan matanya dari meja rias ke bilik shower-terpisah dari bathup-nya dengan dinding kaca opaque.“Kertas dindingnya bisa diganti dengan keinginanmu.” Ujar Sebastian.“Sama sekali tidak perlu. Aku bisa melihat mengapa kamu menyukai rumah ini, semuanya berwarna coklat.”Sebastian mematikan lampu dan Angela mengikuti Sebastian menuju ke kamar kecil yang ada di sisi lorong. Sekali lagi, ruangan itu berwarna coklat dengan geometri kecoklatan, sangat elegan, dan nampaknya di dekorasi sebagai ruang untuk kerja. “Jika mungkin kamu mau me
Lavenska merasakan hantaman keras ke tengkoraknya, rasa sakit yang menusuk dadanya, pusing yang melandanya kala mobilnya mulai berguling. Ia mencium bau darah. Darahnya sendiri. Aku berdarah.Ketika dunia berhenti berputar, Lavenska mendongak, kebingungan. Ia tergantung terbalik, masih terjebak di joknya. Lavenska mendengar langkah-langkah kaki, melihat lutut kala seseorang berjongkok untuk melihat mobilnya yang sudah hancur. Harapannya terasa membumbung tinggi saat melihat seorang pria yang tidak dikenalnya memandanginya melalui kaca mobil yang pecah.Lavenska mengerang lemah. “Tolong aku.”Mata itu berputar.”Seharusnya kau pakai sabuk pengaman, kau bahkan tidak bisa mati dengan benar.”Mata itu menghilang. Langkah-langkah kaki itu mundur kemudian kembali.“Tolong aku. Kumohon. Aku akan memberikan imbalan apapun yang anda mau tapi kumohon keluarkan aku dari sini.”“Kau ini sungguh sampah, Lavenska!” Suara laki-laki itu berubah menjadi suara seseorang yang ia kenal. Kedua manik mata L