Share

Dilema

Author: Danea
last update Last Updated: 2024-01-29 14:54:34

“Waktu kamu habis! Sekarang pergi!” usirku kemudian berlalu meninggalkan Sean.

“Kamu mau kemana? Aku temenin, ya,” ujarnya seraya mencekal pergelangan tanganku.

“Aku gak mau lihat muka kamu, Sean!”

Sean menyugar rambut sembari melayangkan tatapan tak percaya. Mungkin dia berpikir, setelah mendengar informasi tersebut aku akan memaafkan, atau paling tidak berterima kasih. Oh tunggu dulu! Tentu saja tak semudah itu. Lagipula, aku akan tetap datang ke pengadilan agama dengan atau tanpa informasi darinya.

“Baiklah, semoga setelah ini mata dan hati kamu bisa lebih terbuka dan menerima kenyataan!”

Usai berucap demikian, dia benar-benar pergi. Seiring punggungnya yang menjauh, tubuhku limbung. Mataku berair seketika, kalimat demi kalimat yang ia lontarkan terngiang-ngiang di kepala, kemudian berganti dengan suara tegas Daffa saat mengucap ijab qabul tiga tahun silam.

Sisi lain hatiku ingin menyangkal segala hal yang dikatakan Sean. Tapi, hampir tak ada alasan untuk melakukan itu. Sebab, selain ia dan Daffa berteman, kejadian demi kejadian memang mengarah ke sana.

Kutegapkan tubuh sambil mengusap kasar bulir-bulir bening yang terjun bebas membasahi pipi. Ya, ini saat yang tepat untuk membebaskan diri dari belenggu pernikahan yang menjerat. Aku harus bahagia dengan atau tanpa dia.

Tangaku mendekap erat amplop coklat dan map di dada, kemudian melangkah yakin. Saat tengah menyusuri gang sempit yang menghubungkan kontrakan dengan tempat pemberhentian angkot, dari arah berlawanan Buk RT datang bersama seseorang.

“Nah, itu Mbak Kelana,” ucapnya.

Mataku melebar sempurna ketika menyadari lelaki yang berada di samping Buk RT adalah Daffa. Mau apa dia kemari?

Tap tap tap!

Suara pantulan sepatu yang bersentuhan dengan tanah kian dekat, hingga berhenti tepat di hadapanku.

“Terima kasih sudah diantar, Buk.”

“Sama-sama, mari.”

Tampak Buk RT melenggang pergi, menyisakan aku dan dia di gang sempit ini. Kami saling bertatapan, namun aku lebih dulu mengedarkan pandangan.

Sadar ada banyak mata yang tengah memandang kami, Daffa menarik lenganku menjauh. Kami berjalan dalam keheningan dengan aku yang memilih pasrah dan menurut, mengingat situasi dan kondisi yang sangat tidak ideal untuk memberontak.

Sampai akhirnya, kami tiba di kontrakanku. Aku terkejut saat dia memasukkan kunci ke lobangnya dan membuka pintu dengan mudah, seakan kontrakan tiga petak tersebut miliknya.

“Kita ngobrol di dalem, ya.”

“Di luar saja. Ada apa?” Aku sengaja bersikap formal dan membuat jarak. Pasalnya, keadaan sekarang dan dulu sudah berbeda.

“Maaf,” lirihnya. “Saya cuma mau kasih ini.” Daffa memberikan map yang membuat mataku membola sempurna.

Beberapa lembar kertas bertuliskan sertifikat di bagian depan, menjadi fokusku saat ini. Aku membolak-balik lembaran tersebut, kemudian menatap Daffa, meminta penjelasan.

“Apa maksud semua ini?”

“Saya tahu semua hal tentang kamu, termasuk rumah peninggalan nenek yang kamu gadai untuk biaya operasi lengan Lintang. Rumah itu udah saya tebus. Sertifikat aslinya ada sama saya.”

Sejenak aku mengerutkan kening, mengapa Daffa bisa tahu? Dan, untuk apa juga dia melakukan sesuatu yang tidak ada  hubungan dengannya?

“Kembali sama saya. Maka, sertifikat itu akan jadi milik kamu!”

Duar!

Bak disambar petir di siang bolong, aku terpaku di tempat seraya menunggu, barangkali ada maksud lain dari ucapannya. Namun, sampai lima menit berlalu, dia hanya diam.

“Jangan gila, kamu!” makiku.

“Saya serius. Sampai hari ini, perasaan saya ke kamu gak berubah, dan gak akan pernah berubah!” tegasnya

Aku yang masih diliputi rasa terkejut, membelalakkan mata. Tak habis pikir dengan tingkah gilanya.

“Kamu pikir saya percaya?!”

“Bisa iya, bisa enggak, yang jelas, seorang Daffa gak pernah main-main dengan ucapannya.”

Kontan, aku melempar salinan sertifikat itu ke wajahnya. Bisa-bisanya dia memanfaatkan kesulitan orang lain untuk kepentingan pribadi. Aku tak habis pikir, di mana ia letakkan akal dan hati nurani sebagai sesama manusia?

 “Sampai mati pun saya gak akan sudi kembali sama kamu!” Aku mengepalkan tangan seraya menggeleng keras.

Daffa terkekeh pelan. “Faktanya, sampai hari ini status kita masih suami istri, Kelana. Jadi, suka gak suka, setuju gak setuju, kamu harus terima,” ujarnya santai.

Cara dia bicara dan ekspresi wajahnya sangat menjengkelkan. Persisi ODGJ yang kabur dari rumah sakit jiwa, tidak tahu malu! “Oh tenang, sebentar lagi kamu bakal nerima surat panggilan dari pengadilan agama, tunggu aja,” sahutku tegas.

“Kamu yakin? Gimana kalau rumah peninggalan nenekmu saya jual?”

Deg!

Tanganku terkepal kuat sembari melayangkan tatapan sarat kebencian! Cara yang dia lakukan untuk menekanku sangat-sangat norak! Terlebih, tak ada yang memintanya menebus sertifikat tersebut. Tampaknya ia memang sengaja, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Dasar licik!

 “Jangan pernah lakukan itu!” hardikku. “Kasih saya waktu satu bulan. Saya akan bayar dua kali lipat. Setelah itu, urusan kita selesai!”

Meskipun tak punya cukup uang, aku sangat percaya diri mengatakan hal tersebut. Bagiku, yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan rumah peninggalan nenek. Sudah cukup aku menjualnya waktu itu, sekarang tidak lagi. 

“Sayangnya, saya gak butuh uang kamu!” ungkapnya. “Kasih saya kesempatan, Kelana.”

Seperti tengah menyaksikan drama komedi, aku merasa Daffa sangat lucu. Dia bicara soal kesempatan, padahal dirinya lah yang menyia-nyiakan kesempatan. Pergi tanpa penjelasan dan menikah tanpa bilang. Pantaskah yang seperti itu dimaafkan?

“Gak tahu malu!” hardikku. “Daripada bicara soal kesempatan, lebih baik urus Mona dan calon bayi kalian!”

“Calon bayi? Mona? Kamu ini bicara apa? Saya sama dia gak sedeket itu!”

“Stop menganggap saya bodoh dan gak tahu apa-apa, Daffa!”

“Kamu memang bodoh, selalu mudah percaya tanpa cari tahu kebenarannya seperti apa,” balas Daffa. “Mona mengandung anak kedua om saya, mereka sudah menikah. Tapi, beliau meninggal beberapa bulan lalu,” sambungnya.

Ingatanku tentang om Daffa seketika muncul ke permukaan. Tapi, benarkah demikan? Bagaimana kalau hanya alibi? Jujur saja, aku sulit percaya pada apapun yang keluar dari bibirnya, sekalipun itu kebenaran.

“Lebih baik kamu pergi!” usirku tanpa pikir panjang.

“Kasih saya waktu seratus dua puluh hari. Saya akan buktikan sama kamu dan Lintang, bahwa saya masih pantas menjadi imam dan ayah di keluarga ini.” Suaranya terdengar begitu yakin, membuatku ingin segera membangunkan lelaki tersebut dari mimpi dan tidur panjang.

“Jangan mimpi!”

“Saya akan buktikan.”

“Saya gak butuh pembuktian apa pun, semuanya udah jelas! Saya gak buta, saya gak tuli, Daff!”

“Tapi kamu naif!”

Aku tak terima dicap demikian. Atas dasar apa dia memberi penilian seperti itu? Saat hendak menanggapi, suaranya menginterupsi. “Kalau kamu mau menekan ego sekali lagi, saya janji akan perbaiki apa yang rusak.”

“Sejak kapan sesuatu yang rusak bisa diperbaiki?”

“Saya ke sini bukan untuk berdebat.” Daffa mengalihkan pembicaraan.

“Kalau gitu, silakan pergi!”

“Baiklah! Tapi, jangan salahkan saya kalau rumah itu jatuh ke tangan orang lain!”

Aku dilema, apa yang harus kulakukan? Mengikuti permainan Daffa? Atau kehilangan satu-satunya tempat yang membuatku merasa dekat dengan almarhum nenek, sosok yang membesarkan dan membuatku tak merasa sendirian?

Related chapters

  • Gairah Suami Kedua   Penolakan

    “Semua keputusan ada di tangan kamu. Saya cuma minta waktu dua bulan, pikirkan baik-baik atau kamu akan kehilangan!Dari nada bicaranya, Daffa kelihatan sangat menikmati peran. Sungguh, andai bukan dia, aku tidak akan sebimbang ini.“Jangankan dua bulan, satu hari pun terlalu lama jika dihabiskan dengan laki-laki bajingan seperti kamu!”“Saya minta maaf atas kekacauan yang pernah saya sebabkan. Tapi, kamu harus percaya, ada alasan dibalik semua peristiwa dan keputusan yang saya ambil selama ini.”Cih! Lagu lama keset kusut! Begitulah yang aku pikirkan tentang penjelasan singkatnya. Kalau benar apa yang dia lakukan itu ada dasarnya, mengapa tidak memberitahuku sejak awal? Bukankah yang terpenting dari hubungan adalah komunikasi?“Simpan saja semua narasi itu!”Ya, aku merasa lebih baik tak mendengar apa pun. Sebab, sekarang bukan lagi waktunya. Jika dia memang punya niat kembali, seharusnya ia lakukan itu sejak lama. Bukan tiba-tiba datang, apalagi menggunakan sertifikat rumah untuk me

    Last Updated : 2024-01-29
  • Gairah Suami Kedua   Siapa Dia?

    Pagi harinya, saat aku tengah mengepel lantai, terdengar suara ketukan dari luar. Bergegas aku menarik handel tanpa memeriksa sosok di baliknya lebih dulu. Detik itu juga, aku menyesal melakukan hal tersebut. Ketika hendak menutup pintu, sosok tersebut menahan sembari tersenyum lebar. “Selamat pagi, istri.” “Saya bukan istri kamu!” tekanku. “Kamu masih istri saya,” balas tamu tak diundang yang tak lain adalah Daffa. Aku mengedarkan pandangan, sembari berusaha menahan diri untuk tak memukul kepala lelaki tersebut. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap dua koper besar yang berada di sisinya. Aku memicingkan mata, untuk apa lelaki itu membawa koper? Jangan-jangan… “Mulai sekarang saya akan tinggal di sini, lebih tepatnya di rumah lama kamu. Siap-siap, gih, kita berangkat sebentar lagi,” ujarnya dengan senyum mengembang. Enteng sekali dia bicara demikian. Ingin rasanya kubenturkan kepala lelaki itu ke dinding, agar ia tak menolak lupa pada sikap dan tindakannya menelantarkan aku ju

    Last Updated : 2024-01-29
  • Gairah Suami Kedua   Kejanggalan

    “Lintang tunggu sebentar, ya,” ucapku seraya menggeser kursi dan bangkit. “Bunda mau ke mana?” tanya Lintang ikut berdiri. Pandanganku yang semula mengarah pada titik di mana sosok misterius itu berada, kini beralih menatap Lintang. “Ke sana sebentar,” jawabku sambil menunjuk bangunan kosong yang berada tak jauh dari posisi kami. “Ngapain, itukan rumah kosong?” Lintang bertanya-tanya. Sesaat setelah pertanyaan itu terlontar, netraku tak lagi menangkap sosok tersebut. Aku memindai segala arah untuk mencari keberadaannya, namun nihil, tak kutemui siapa pun di sana. “Bunda cari siapa?” tanya Lintang lagi. “Bukan siapa-siapa. Ayo kita pulang,” ajakku sembari menarik pergelangannya. Kami berjalan perlahan dalam keheningan, disertai isi kepala yang tak bisa tenang. Hanya suara derap langkah dari sepasang sepatu dan sandal jepit yang terdengar, hingga kontrakan bercat pudar terlihat di depan mata. Belum reda keresahan dalam hati akibat kejadian tadi, netraku membola sempurna kala melih

    Last Updated : 2024-03-20
  • Gairah Suami Kedua   Rumit

    Setelah punggung Daffa menjauh, aku menghentikan aktivitas dan duduk sejenak di tempat yang tadi dia duduki sembari menghela napas pelan. Kulihat sekeliling, tak kutemui apa pun selain kekosongan, sama seperti sudut hatiku yang mendadak tak nyaman saat ia pergi. Bertepatan dengan itu, ponsel yang kuletakkan di atas nakas berdering keras hingga membuyarkan lamunan. “Sean, mau apa lagi dia?” gumamku sembari menggeser layar, mereject panggilan tersebut. Akan tetapi, dering yang sama kembali terdengar. Kuputuskan menjawab panggilan tersebut, barangkali ada hal penting yang ingin dia sampaikan. “Ada apa?” tanyaku to the point.“Kata Lintang kalian pindah. Kenapa gak bilang?”Dengan kening berkerut, kujauhkan ponsel dari telinga. Kenapa gak bilang? Untuk apa juga bilang, memangnya dia siapa? Suara hatiku meronta-ronta. “Halo, Lan, kamu masih di sana?”“Hmm,” balasku singkat. “Sharelock, aku ke sana sekarang.”“Gak usah!” sahutku cepat.Tentu saja aku menolak. Selain karena ta

    Last Updated : 2024-03-22
  • Gairah Suami Kedua   Maaf

    “Bunda nyium wangi parfum perempuan?”Pertanyaan Lintang menari-nari di kepala, membuatku sulit memejamkan mata dan berakhir gulang-guling ke sana ke mari karena gelisah.“Kamu belum tidur?”Aku melirik sekilas, kemudian membalik badan, memunggungi lelaki tersebut. “Kenapa belum tidur?” tanyanya lagi. “Bukan urusan kamu!” ketusku. Tak berselang lama, tempat tidur bergoyang, pertanda seseorang naik ke atasnya. Dan benar saja, Daffa sudah berada di sampingku.“Pergi!” usirku tanpa melihat wajahnya. Bukannya menuruti ucapan tersebut, tangan besarnya malah melingkari pinggangku. Darahku berdesir, disertai degup jantung yang bertalu-talu di dalam sana. Tuhan, perasaan apa ini?Tidak-tidak, aku tidak boleh menikmati sentuhannya. Sontak, segera kulepas kasar tangan tersebut. “Jangan sentuh saya!” “Kenapa? Bukannya menyentuh istri dan melayani suami merupakan pahala?” Daffa men

    Last Updated : 2024-03-24
  • Gairah Suami Kedua   Good Job

    Punggung itu kian menjauh kemudian hilang, bersamaan dengan roda mobil sedan hitam yang berputar membelah jalanan. Aku termangu di tempat, masih tak percaya dengan yang terjadi barusan. Dia berkata ingin memperbaiki hubungan, sementara antara ucapan dan tindakannya tidak sejalan. Lantas, bagian mana yang harus kupercaya? Sepertinya tidak ada, dia benar-benar pembual! Berbagai asumsi memenuhi kepala tanpa bisa dicegah. Mataku menatap ke arah taman, namun pikiranku tidak di sana, melanglangbuana entah ke mana. Sampai akhirnya, tepukan pelan di pundak mengembalikanku pada realita. Aku berbalik dan mendapati Mas Heru—mantan suami pertamaku berdiri tegap sambil tersenyum lebar. “Pagi-pagi udah ngelamun, mikirin apa, hmm?” “Bukan apa-apa,” balasku. Meskipun sudah berpisah sejak bertahun-tahun silam, hubunganku dengannya terbilang cukup baik, kami masih sering berkomunikasi untuk sekadar membahas soal Lintang. Sesekali dia juga datang berkunjung guna bertemu putri semata wayangnya. “Lint

    Last Updated : 2024-03-25
  • Gairah Suami Kedua   Penjelasan

    PoV DaffaAku berjalan dengan langkah lebar, tak sabar ingin bicara pada Kelana, mumpung di rumah ini hanya ada kami berdua. Harapanku, semoga, setelah mendengar segala hal yang kukatakan, dia bisa bersikap lebih baik. Kalaupun tidak, tak apa, aku masih punya waktu seratus sembilan belas hari. Aku yakin bisa meluluhkan hatinya, sama seperti dulu. Ceklek!Saat pintu terbuka, mataku memintas sekeliling, mencari keberadaan Kelana. Di teras tidak ada, di ruang tamu juga tidak ada. Di mana dia? Apa di kamar? Atau dapur?“Kelana, saya sudah pulang, kamu di mana?” tanyaku setengah berteriak. Akan tetapi, sampai beberapa detik lamanya tak ada sahutan. Kubuka pintu kamar barangkali dia ada di sana. Tapi, nihil, kamar tersebut kosong. Hanya suara detak jarum jam yang memenuhi ruangan. Begitupun di dapur yang suasananya lebih hening dan lengang. “Ke mana dia?” batinku sembari merogoh ponsel, kemudian mengotak-atik benda pipih tersebut. “Angkat, Lan,” guma

    Last Updated : 2024-03-27
  • Gairah Suami Kedua   Orang Baru

    PoV Daffa Tok tok tok!Seketika, pembicaraan seriusku dengan Kelana terhenti. Kami saling pandang dengan aku yang menatapnya penuh tanya. “Permisi, paketttt!”Mendengar suara tersebut, aku menarik kursi dan bergegas membuka pintu. Namun, Kelana lebih dulu menginterupsi. “Biar saya aja,” ungkapnya sembari berlalu. Tak berselang lama, dia kembali sambil membawa sebuah amplop dan memberikannya padaku. “Nih.”Aku mengernyitkan dahi. “Ini apa?”Kelana mengedikkan bahu kemudian mengambil sayuran yang telah selesai dipetik dan memasukkannya ke wadah Tupperware. Sementara aku masih melihat-lihat amplop coklat tersebut, tidak ada nama pengirim, yang tertera hanya nama penerima dan alamat tujuan. Disaat bersamaan, ponsel yang kuletakkan di atas meja berdering, aku menggeser layar dan menyalakan fitur loudspeaker, agar Kelana turut mendengar pembicaraanku dengan sang penelepon. “Halo.”“Iya, Mon, kenapa?”“Kamu udah sampe?”“Uda

    Last Updated : 2024-03-29

Latest chapter

  • Gairah Suami Kedua   Gagal

    Usai kejadian malam itu, Daffa tidak pulang sampai pagi, aku pun tak mencari. Sebab sudah bisa menebak, kemana lelaki tersebut pergi. Rumah ini terasa damai tanpa kehadirannya. Ya, meskipun sudut hatiku menginginkan dia berada di tengah-tengah kami. Namun lagi-lagi, bagian terpentingnya bukan itu, ada hal lain yang harus kuperjuangkan lebih dari sekadar urusan perasaan. “Bunda lagi apa?” Lintang yang baru tiba duduk di sampingku. “Lagi take video, Sayang,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan. Aku yang sedang giat-giatnya membuat konten promosi produk, tanpa sadar mengabaikan kehadiran Lintang. Dia mengamati aktivitas bundanya yang berpindah dari satu posisi ke posisi lain demi mendapat tangkapan layar terbaik. “Biar Lintang bantu pegangin HPnya, Bun.”“Gak usah, Sayang, Lintang ganti baju, makan, terus istirahat aja. Pasti capek kan seharian di sekolah?” tolakku sambil tersenyum dan mengusap surainya lembut. “Lintang mau bantuin Bunda,” pintanya.

  • Gairah Suami Kedua   Membela Mona

    “Darimana kamu?” cecar Daffa dengan mata menyorot tajam pada Mas Heru. Aku yang berada di tengah-tengah mereka, memandang keduanya bergantian. “Mas, kamu pulang aja,” ujarku lirih. Ya, dia memang harus segera pulang, pasalnya hal buruk bisa saja terjadi jika dia tetap di sini.“Oke. Mas pulang, ya,” pamitnya yang segera kubalas dengan anggukan singkat.Sepeninggal Mas Heru, Daffa menarikku memasuki rumah kemudian menutup pintu hingga menimbulkan suara keras. Wajahnya tampak mengencang dengan kedua tangan mengepal sempurna.“Kamu ketemu dia? Kenapa gak izin dulu? Saya ini suami kamu, Kelana,” cerocos Daffa.Untuk beberapa detik, aku tak menanggapi ucapannya, membiarkan dia mengatakan apa yang ingin dikatakan. “Bahkan selangkah pun kamu keluar dari rumah ini, itu harus seizin saya.” Nada bicaranya semakin tidak santai. Aku masih diam, menunggu waktu yang tepat untuk menghentikan lelaki tersebut. “Saya gak suka kamu pergi dengan lelaki lain!” “Play

  • Gairah Suami Kedua   Saling Kenal?

    Aku mematung di tempat dan menyaksikan secara langsung bagaimana suamiku memapah Mona, membantunya berjalan. Kuhembuskan napas dalam dan membuangnya perlahan seraya menyugesti diri, tidak, aku tak boleh cemburu apalagi merasa terganggu. Sejak awal, Daffa memang tidak pernah serius memperbaiki hubungan. Segala ucapannya hanya omong kosong belaka. Hampir saja aku terbuai dan menikmati segala perlakuan manisnya. “Saya permisi dulu,” pamitku sambil tersenyum tipis kemudian melenggang pergi. Saat itulah Daffa menghampiri, dia mengambil punggung tanganku dan menggenggamnya erat sekali. “Sayang, maaf, saya gak punya pilihan selain bawa dia ke sini.”Decak sebal lolos begitu saja. Menurutku, bukan tak punya pilihan, melainkan sengaja atau memang itu tujuannya sedari dulu.“Saya gak peduli,” jawabku dingin seraya melepas genggamanya. “Lakuin apa yang kalian mau, karena tujuan saya cuma satu, mengambil apa yang memang menjadi hak saya!” Aku melangkah menjauh

  • Gairah Suami Kedua   Untuk Apa?

    Tok tok tok!Beberapa saat setelah Daffa pergi, suara ketukan pintu terdengar. Kulirik sekilas pintu berbahan kayu jati, kemudian beralih menatap jam yang menggantung di dinding. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Sepertinya itu Lintang. Tanpa pikir panjang, aku menyuruhnya masuk.“Masuk.”Benar saja, tak lama kemudian, wajah anakku menyembul dari baliknya. Ia masih mengenakan seragam sekolah dengan rambut dicepol asal, sederhana namun terlihat cantik. “Bunda sakit?” Itulah pertanyaan pertama yang dia lontarkan saat melihat selimut menutupi hampir sebagian tubuhku. Aku tersenyum tipis seraya menepuk tempat di sampingku dan berusaha bangkit. “Nggak, Sayang, cuma sedikit pusing aja kok, sini.” Lintang mendekat kemudian memijit kakiku. “Bunda rebahan aja,” cegahnya. Aku kembali merebah. Meskipun rasa sakit di kepala sudah berangsur hilang, namun tubuhku masih sedikit lemas. Kutatap wajah ayu putriku yang terlihat memendam sesuatu. “Kenapa, Nak?”

  • Gairah Suami Kedua   Sisi Lain

    PoV LintangHai, namaku Lintang Utami Atmadja, orang-orang memanggilku Lintang, pengguna lengan palsu yang kerap menjadi sasaran bullying. Selain itu, aku adalah korban dari perceraian kedua orang tuaku—Kelana dan Heru. Saat ini, usiaku menginjak tujuh belas tahun.Hidupku ya begini-begini saja, berangkat sekolah, pulang, kemudian menyaksikan drama bunda dengan suami keduanya, orang yang dulu kupanggil Papa. Sejujurnya, dia adalah sosok yang pernah sangat kuidolakan. Namun, seiring berjalannya waktu, semua perasaan itu berubah menjadi rasa benci yang teramat dalam. Singkatnya, dia adalah penyebab aku kehilangan lengan. Ah, andai dulu bunda tak mengenalnya. Setelah meninggalkan aku dan bunda tiga tahun silam, dia kembali dengan membawa segala drama dan problematika kehidupan. Karena tak punya pilihan, bunda menerima kehadirannya, ya meskipun penuh keterpaksaan. Satu sisi aku keberatan, namun sisi lainnya tak punya solusi atas permasalahan yang terjadi. Alhasil, suka t

  • Gairah Suami Kedua   Bahaya

    “Anak sama emak sama aja, sama-sama jalang, murahan!”Pesan yang diakhiri tanda seru itu menjadi fokusku. Apa maksudnya ini? Mengapa si pengirim membawa-bawa anakku? Kuamati dua belas digit angka yang tertera di layar, berusaha mengenali pemiliknya. Namun, sampai beberapa menit berlalu, aku sangat yakin tak mengenal pemilik nomor tersebut. Tidak mau berlama-lama memendam amarah dan kekesalan, aku segera menghubungi nomor itu. Akan tetapi, nomornya tak aktif. “Mungkin cuma orang iseng,” batinku sembari mengalihkan perhatian pada pesan yang berkaitan dengan produk yang kutawarkan, tak ingin membuang-buang waktu untuk meladeni orang-orang kurang kerjaan. Selama berjam-jam lamanya, aku larut dalam aktivitas tersebut, hingga tak sadar sepasang mata tengah memerhatikan. “Sayang, perut Mona keram lagi, saya harus…”Aku yang semula tengah berbalas pesan dengan salah satu calon pembeli, menghentikan aktivitas tersebut kemudian meletakkan ponsel di atas meja, hingg

  • Gairah Suami Kedua   Pesan Misterius

    Pagi harinya, aku bangun saat sang surya telah meninggi. Aku menggeliat sejenak, mataku mengerjap beberapa kali. Selimut tebal masih menutupi hampir sebagain tubuh. Kilas balik akan kejadian semalam membuatku spontan membuka selimut. Untuk beberapa saat aku terlonjak kala mendapati diriku yang tanpa sehelai benang pun. “Ternyata bukan mimpi. Bodoh kamu, Lan!” rutukku sembari memukul-mukul kepala. Mengingat kejadian tersebut membuatku malu sendiri, wajahku memerah seketika, hingga terdengar suara derit pintu yang seketika mengalihkan perhatian. Krek“Pagi, Sayang,” sapa Daffa seraya duduk di sisi ranjang. Ia mencondongkan tubuh dan mendaratkan kecupan singkat di keningku. Aku tak membalas sapaan itu, tidak juga menatap padanya. Sengaja kupalingkan wajah agar dia tak melihat semburat merah yang tercetak jelas di kedua pipiku. “Tadi sebelum Lintang berangkat sekolah, saya ngobrol sebentar sama dia.” Daffa mengawali pembicaraan. “Bukan ngobrol sih, soalnya d

  • Gairah Suami Kedua   I Love You

    “Daffa adalah ayah dari bayi ini, Lan.”Aku membelalakkan mata, sepersekian detik kemudian dia tertawa keras. “Hahahaha kamu lucu ya kalau kaget gitu.”Dia masih tertawa, sementara aku hanya diam, tak menemukan letak humornya. “Aku cuma bercanda, ayah bayi ini Omnya Daffa, kamu inget, kan?”Kubalas pertanyaan tersebut dengan anggukan. Namun, melihat kedekatan keduanya rasa ragu menghampiri. Ditambah, Sean juga pernah bilang mereka sudah menikah. Apa Mona dan Daffa mengelabuiku?“Lan, kamu ngelamun? Astaga, jangan bilang candaanku barusan dianggap serius?” Mona terkekeh kemudian mengambil punggung tanganku. “Daffa gak mungkin mengkhianati kamu,” sambungnya dengan sorot teduh. “Ya, Mbak, semoga.” Beberapa menit kemudian, Mona berpamitan. Sebelum benar-benar pergi, dia memelukku lebih dulu, hal yang sama ia lakukan juga pada Daffa. Hatiku mencelos namun berusaha menampilkan senyum terbaik. Tepat pukul sebelas, aku membaringkan diri dengan berbagai

  • Gairah Suami Kedua   Pertemuan

    Seraya mengotak-atik ponsel, aku berjalan ke sana kemari, entah sudah berapa kali kutatap benda pintar itu, menunggu kabar dari Lintang yang sedari tadi tidak bisa dihubungi. Sungguh, aku sangat khawatir, lebih-lebih di luar sedang hujan. Aku membuka tirai berkali-kali sembari melihat ke arah jalan, namun tak ada tanda-tanda lalu lalang manusia. Hatiku kian gelisah saat hari semakin gelap. “Kamu udah hubungi pihak sekolah?” tanya Daffa yang terlihat sangat tenang. Lelaki itu menyandarkan punggung di kursi sambil memejamkan mata. “Sudah, sepeda Lintang ada di sekolah, itu yang bikin saya makin khawatir,” jawabku seraya menempelkan ponsel ke telinga, berusaha menghubungi teman-teman Lintang untuk menanyakan keberadaan anakku.Bertepatan dengan itu, adzan magrib berkumandang, aku menggigit bibir bawah, mataku berair seketika. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada Lintang, sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. “Sssst, kamu tenang, lebih baik kita beribada

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status