Share

Siapa Dia?

Author: Danea
last update Last Updated: 2024-01-29 14:55:34

Pagi harinya, saat aku tengah mengepel lantai, terdengar suara ketukan dari luar. Bergegas aku menarik handel tanpa memeriksa sosok di baliknya lebih dulu. Detik itu juga, aku menyesal melakukan hal tersebut. Ketika hendak menutup pintu, sosok tersebut menahan sembari tersenyum lebar.

“Selamat pagi, istri.”

“Saya bukan istri kamu!” tekanku.

“Kamu masih istri saya,” balas tamu tak diundang yang tak lain adalah Daffa.

Aku mengedarkan pandangan, sembari berusaha menahan diri untuk tak memukul kepala lelaki tersebut. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap dua koper besar yang berada di sisinya. Aku memicingkan mata, untuk apa lelaki itu membawa koper? Jangan-jangan…

“Mulai sekarang saya akan tinggal di sini, lebih tepatnya di rumah lama kamu. Siap-siap, gih, kita berangkat sebentar lagi,” ujarnya dengan senyum mengembang.

Enteng sekali dia bicara demikian. Ingin rasanya kubenturkan kepala lelaki itu ke dinding, agar ia tak menolak lupa pada sikap dan tindakannya menelantarkan aku juga Lintang tiga tahun belakangan.

“Jangan main-main! Kamu gak denger ucapan Lintang kemarin?!” bentakku.

“Semua yang kamu katakan gak akan mengubah keputusan saya, Kelana.”

Mataku membola sempurna. “Jangankan tinggal satu atap, lihat muka kamu aja saya muak!” sinisku.

Akan tetapi, respons Daffa di luar dugaan. Ia menggapai punggung tanganku, menciumnya beberapa kali. Segera kutepis kasar dan menjauhkan diri. Seketika, ada perasaan nyaman yang menjalar karena perlakuan tiba-tiba tersebut.

“Kasih saya kesempatan buat perbaiki semuanya, seperti perjanjian kita,” pinta Daffa seraya menatapku.

“Saya cuma setuju dengan perjanjian seratus dua puluh hari, bukan yang lainnya.” Aku masih bersikeras menolak kehadirannya, mengabaikan gelenyar aneh yang menghampiri.

“Asal kamu tahu, semua yang saya lakukan atas dasar kepentingan kamu dan Lintang. Saya sangat mencintai kalian,” beber Daffa.

Hatiku sedikit menghangat mendengar pengakuan itu. Meskipun hanya sedikit, aku harus menepis perasaan tersebut.

“Bulshit!”

“Terserah kamu mau percaya atau enggak. Tapi yang jelas, saya gak pernah benar-benar sengaja ninggalin. Saya lakuin itu demi kebaikan kita.”

Aku menggeleng keras sambil tersenyum miring. “Kebaikan yang mana? Yang cuma ada di benak kamu?! Cih!” decak kesal keluar begitu saja.

“Lan, saya mohon.” Daffa mendekat dan berupaya menggenggam jemariku. Jika mengikuti kata hati, aku ingin membiarkan. Namun ternyata, ego lebih dominan. “Pergi! Kamu gak diterima di sini!”

Sejenak dua jenak, kami bertukar pandang. Aku merasa terbius dengan netranya yang jernih, tak kudapati kebohongan di sepasang mata itu, yang ada hanya tatapan penuh rindu. Entah bagaimana ceritanya, Daffa membawaku dalam rengkuhan. “Maaf. Tolong maafin saya, saya kangen kamu,” ucapnya dengan suara bergetar.

Aku berusaha melepaskan diri. Namun, tenagaku tak sebanding dengan kekuatan Daffa. Alhasil, dengan sangat terpaksa aku menerima pelukannya.

Perasaan hangat yang semula kutepis kembali muncul. Dan kali ini, aku tak mampu mendenial perasaan itu. Aku merasa nyaman saat tangan besar Daffa melingkari pinggangku.

Akan tetapi, sebelum perasaan tersebut melayang lebih tinggi, aku tersadar dan kembali pada realita. Kuinjak kaki Daffa hingga lelaki itu merintih kesakitan, dan secara otomatis tangan besar yang melingkari pinggangku terlepas.

“Aw! Sakit, Sayang.”

“Rasa sakit di kaki kamu gak sebanding dengan rasa sakit di hati saya!” balasku tajam.

“Saya paham. Makanya, izinkan saya mengobati luka-luka kalian,” lirihnya.

Aku menggulir bola mata. Sepertinya, sifat keras kepala Daffa sudah mendarah daging, hingga lelaki itu sangat sulit diberi tahu dan cenderung tak mau mendengarkan ucapan orang lain.

“Simpan kata mutiara kamu, saya gak akan percaya sama semua bujuk rayu dan gombalan gak ber…”

Cup!

Daffa membungkam mulutku dengan kecupan singkat. Sialnya, di usia tak lagi muda aku tetap saja salah tingkah diperlakukan demikian. Terbukti dengan semburat merah yang muncul begitu saja tanpa bisa dicegah. Memalukan!

“Ternyata kamu gak berubah. Saya semakin yakin, kalau di sini masih ada nama saya,” ujar Daffa seraya menunjuk dada, dan menempelkan bibirnya kemudian melumat bibirku.

Kakiku terasa lemas, seakan tak mampu menopang tubuh. Ciuman Daffa begitu memabukkan, hingga aku memejamkan mata dan mengalungkan tangan di leher lelaki tersebut. Kenapa denganku? Apa ini artinya aku sudah mulai bisa memaafkan dan menerima Daffa? Lantas, bagaimana dengan Lintang?

***

“Kemarin Bunda sendiri yang bilang, laki-laki itu gak akan muncul lagi di depan kita. Sekarang apa? Bunda ingkar janji! Terus kenapa juga kita harus pindah dari sini? Pasti karena dia, kan?!”

Aku menerima kemarahan Lintang dalam diam. Ya, sejak tadi hanya dia yang bicara, sementara diriku mendengar dan menyimak saja. Aku paham bagaimana perasaannya, bahkan jika di posisi dia, kemarahan dan kekecewaanku pasti lebih besar. Jadi, reaksi Lintang sekarang terbilang masih normal menurutku.

Setelah Lintang selesaikan menyuarakan isi hati, barulah aku angkat bicara.

“Sayang, dengerin Bunda,” ujarku seraya menatap dalam dan menangkup kedua pipinya. “Ini cuma sementara. Bunda janji, setelah urusan Bunda sama dia selesai, dia akan pergi dari kehidupan kita.”

Aku berharap Lintang bisa mengerti, kalau pengambilan keputusan ini dilakukan atas dasar terpaksa.

“Memangnya Bunda punya urusan apa sama dia?!” Suara Lintang masih tinggi dan aku harus memaklumi.

“Bunda belum bisa cerita sekarang.”

“Kenapa?”

Pertanyaan ini lah yang kutakutkan dan akhirnya terlontar juga dari mulutnya. Haruskah kukatakan yang sebenarnya? Tapi, bagaimana jika mengganggu kesehatan Lintang? Sungguh, aku tak mau hal buruk terjadi pada putriku.

“Apa ada hubungannya dengan operasi lengan Lintang dan Om Sean?” Lintang terus mencecar, membuatku tak bisa berkutik.

“Kasih tahu Lintang, Bun, ada apa sebenarnya?” desaknya lagi.

Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Sepertinya, aku memang harus bicara, menjelaskan kondisi ekonomi pasca operasi lengan, juga Sean yang sempat berniat melakukan perbuatan tak senonoh padaku.

“Bunda akan bicara, tapi Lintang harus janji jangan banyak pikiran, hmm?” tanyaku yang dibalas anggukan singkat.

Detik itu juga aku menceritakan semua hal yang terjadi. Dimulai dari lingkungan tempat tinggal yang toxic, perbuatan Sean, kemunculan Daffa dengan segala drama yang dia bawa, sampai sertifikat rumah juga perjanjian seratus dua puluh hari yang telah kami sepakati.

Lintang menanggapi ceritaku dengan berbagai ekspresi. Satu yang paling kentara, dia menggeleng-gelengkan kepala, terlihat heran sekaligus terkejut mendengar kalimat demi kalimat yang lolos dari bibirku.

“Kenapa baru cerita sekarang? Lintang lebih baik gak punya lengan daripada harus nyusahin Bunda!” Lintang memelukku, kemudian menangis terisak.

“Ssssttt, jangan ngomong gitu, Bunda mohon.” Kuusap punggung Lintang naik turun seraya mengecup pucuk kepalanya. “Masa depan Lintang masih panjang.”

“Tapi, itu semua gak penting!” balas Lintang disela-sela tangisnya.

“Semua itu sangat penting bagi Bunda, Nak,” jawabku sambil berusaha menenangkan.

Selama beberapa menit, keheningan mendominasi. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya, suara Lintang terdengar.

“Cuma seratus dua puluh hari, kan?”

“Iya, Sayang.”

“Jujur, Lintang lebih suka Bunda sama Om Sean, daripada harus kembali sama laki-laki gak bertanggungjawab seperti dia!”

Bahkan, setelah aku menceritakan hal buruk yang Sean perbuat, putriku tetap membela lelaki itu. Entah apa yang dia lakukan hingga Lintang sangat mempercayainya.

“Bunda gak pernah kepikiran ke arah sana.”

“Bunda masih mencintai dia?”

“Sama sekali nggak,” jawabku mantap. Ya, aku sangat yakin tidak lagi mencintai Daffa.

“Syukurlah, Lintang lega dengernya.”

Tak berselang lama, Lintang kembali memelukku, pelukan yang menjadi salah satu penguat dalam menjalani hari-hari berat selama ini.

Di saat bersamaan, aku melihat sepasang mata mencuri pandang ke arah kami seraya menyeringai.

“Siapa dia?”

Related chapters

  • Gairah Suami Kedua   Kejanggalan

    “Lintang tunggu sebentar, ya,” ucapku seraya menggeser kursi dan bangkit. “Bunda mau ke mana?” tanya Lintang ikut berdiri. Pandanganku yang semula mengarah pada titik di mana sosok misterius itu berada, kini beralih menatap Lintang. “Ke sana sebentar,” jawabku sambil menunjuk bangunan kosong yang berada tak jauh dari posisi kami. “Ngapain, itukan rumah kosong?” Lintang bertanya-tanya. Sesaat setelah pertanyaan itu terlontar, netraku tak lagi menangkap sosok tersebut. Aku memindai segala arah untuk mencari keberadaannya, namun nihil, tak kutemui siapa pun di sana. “Bunda cari siapa?” tanya Lintang lagi. “Bukan siapa-siapa. Ayo kita pulang,” ajakku sembari menarik pergelangannya. Kami berjalan perlahan dalam keheningan, disertai isi kepala yang tak bisa tenang. Hanya suara derap langkah dari sepasang sepatu dan sandal jepit yang terdengar, hingga kontrakan bercat pudar terlihat di depan mata. Belum reda keresahan dalam hati akibat kejadian tadi, netraku membola sempurna kala melih

    Last Updated : 2024-03-20
  • Gairah Suami Kedua   Rumit

    Setelah punggung Daffa menjauh, aku menghentikan aktivitas dan duduk sejenak di tempat yang tadi dia duduki sembari menghela napas pelan. Kulihat sekeliling, tak kutemui apa pun selain kekosongan, sama seperti sudut hatiku yang mendadak tak nyaman saat ia pergi. Bertepatan dengan itu, ponsel yang kuletakkan di atas nakas berdering keras hingga membuyarkan lamunan. “Sean, mau apa lagi dia?” gumamku sembari menggeser layar, mereject panggilan tersebut. Akan tetapi, dering yang sama kembali terdengar. Kuputuskan menjawab panggilan tersebut, barangkali ada hal penting yang ingin dia sampaikan. “Ada apa?” tanyaku to the point.“Kata Lintang kalian pindah. Kenapa gak bilang?”Dengan kening berkerut, kujauhkan ponsel dari telinga. Kenapa gak bilang? Untuk apa juga bilang, memangnya dia siapa? Suara hatiku meronta-ronta. “Halo, Lan, kamu masih di sana?”“Hmm,” balasku singkat. “Sharelock, aku ke sana sekarang.”“Gak usah!” sahutku cepat.Tentu saja aku menolak. Selain karena ta

    Last Updated : 2024-03-22
  • Gairah Suami Kedua   Maaf

    “Bunda nyium wangi parfum perempuan?”Pertanyaan Lintang menari-nari di kepala, membuatku sulit memejamkan mata dan berakhir gulang-guling ke sana ke mari karena gelisah.“Kamu belum tidur?”Aku melirik sekilas, kemudian membalik badan, memunggungi lelaki tersebut. “Kenapa belum tidur?” tanyanya lagi. “Bukan urusan kamu!” ketusku. Tak berselang lama, tempat tidur bergoyang, pertanda seseorang naik ke atasnya. Dan benar saja, Daffa sudah berada di sampingku.“Pergi!” usirku tanpa melihat wajahnya. Bukannya menuruti ucapan tersebut, tangan besarnya malah melingkari pinggangku. Darahku berdesir, disertai degup jantung yang bertalu-talu di dalam sana. Tuhan, perasaan apa ini?Tidak-tidak, aku tidak boleh menikmati sentuhannya. Sontak, segera kulepas kasar tangan tersebut. “Jangan sentuh saya!” “Kenapa? Bukannya menyentuh istri dan melayani suami merupakan pahala?” Daffa men

    Last Updated : 2024-03-24
  • Gairah Suami Kedua   Good Job

    Punggung itu kian menjauh kemudian hilang, bersamaan dengan roda mobil sedan hitam yang berputar membelah jalanan. Aku termangu di tempat, masih tak percaya dengan yang terjadi barusan. Dia berkata ingin memperbaiki hubungan, sementara antara ucapan dan tindakannya tidak sejalan. Lantas, bagian mana yang harus kupercaya? Sepertinya tidak ada, dia benar-benar pembual! Berbagai asumsi memenuhi kepala tanpa bisa dicegah. Mataku menatap ke arah taman, namun pikiranku tidak di sana, melanglangbuana entah ke mana. Sampai akhirnya, tepukan pelan di pundak mengembalikanku pada realita. Aku berbalik dan mendapati Mas Heru—mantan suami pertamaku berdiri tegap sambil tersenyum lebar. “Pagi-pagi udah ngelamun, mikirin apa, hmm?” “Bukan apa-apa,” balasku. Meskipun sudah berpisah sejak bertahun-tahun silam, hubunganku dengannya terbilang cukup baik, kami masih sering berkomunikasi untuk sekadar membahas soal Lintang. Sesekali dia juga datang berkunjung guna bertemu putri semata wayangnya. “Lint

    Last Updated : 2024-03-25
  • Gairah Suami Kedua   Penjelasan

    PoV DaffaAku berjalan dengan langkah lebar, tak sabar ingin bicara pada Kelana, mumpung di rumah ini hanya ada kami berdua. Harapanku, semoga, setelah mendengar segala hal yang kukatakan, dia bisa bersikap lebih baik. Kalaupun tidak, tak apa, aku masih punya waktu seratus sembilan belas hari. Aku yakin bisa meluluhkan hatinya, sama seperti dulu. Ceklek!Saat pintu terbuka, mataku memintas sekeliling, mencari keberadaan Kelana. Di teras tidak ada, di ruang tamu juga tidak ada. Di mana dia? Apa di kamar? Atau dapur?“Kelana, saya sudah pulang, kamu di mana?” tanyaku setengah berteriak. Akan tetapi, sampai beberapa detik lamanya tak ada sahutan. Kubuka pintu kamar barangkali dia ada di sana. Tapi, nihil, kamar tersebut kosong. Hanya suara detak jarum jam yang memenuhi ruangan. Begitupun di dapur yang suasananya lebih hening dan lengang. “Ke mana dia?” batinku sembari merogoh ponsel, kemudian mengotak-atik benda pipih tersebut. “Angkat, Lan,” guma

    Last Updated : 2024-03-27
  • Gairah Suami Kedua   Orang Baru

    PoV Daffa Tok tok tok!Seketika, pembicaraan seriusku dengan Kelana terhenti. Kami saling pandang dengan aku yang menatapnya penuh tanya. “Permisi, paketttt!”Mendengar suara tersebut, aku menarik kursi dan bergegas membuka pintu. Namun, Kelana lebih dulu menginterupsi. “Biar saya aja,” ungkapnya sembari berlalu. Tak berselang lama, dia kembali sambil membawa sebuah amplop dan memberikannya padaku. “Nih.”Aku mengernyitkan dahi. “Ini apa?”Kelana mengedikkan bahu kemudian mengambil sayuran yang telah selesai dipetik dan memasukkannya ke wadah Tupperware. Sementara aku masih melihat-lihat amplop coklat tersebut, tidak ada nama pengirim, yang tertera hanya nama penerima dan alamat tujuan. Disaat bersamaan, ponsel yang kuletakkan di atas meja berdering, aku menggeser layar dan menyalakan fitur loudspeaker, agar Kelana turut mendengar pembicaraanku dengan sang penelepon. “Halo.”“Iya, Mon, kenapa?”“Kamu udah sampe?”“Uda

    Last Updated : 2024-03-29
  • Gairah Suami Kedua   Pertemuan

    Seraya mengotak-atik ponsel, aku berjalan ke sana kemari, entah sudah berapa kali kutatap benda pintar itu, menunggu kabar dari Lintang yang sedari tadi tidak bisa dihubungi. Sungguh, aku sangat khawatir, lebih-lebih di luar sedang hujan. Aku membuka tirai berkali-kali sembari melihat ke arah jalan, namun tak ada tanda-tanda lalu lalang manusia. Hatiku kian gelisah saat hari semakin gelap. “Kamu udah hubungi pihak sekolah?” tanya Daffa yang terlihat sangat tenang. Lelaki itu menyandarkan punggung di kursi sambil memejamkan mata. “Sudah, sepeda Lintang ada di sekolah, itu yang bikin saya makin khawatir,” jawabku seraya menempelkan ponsel ke telinga, berusaha menghubungi teman-teman Lintang untuk menanyakan keberadaan anakku.Bertepatan dengan itu, adzan magrib berkumandang, aku menggigit bibir bawah, mataku berair seketika. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada Lintang, sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. “Sssst, kamu tenang, lebih baik kita beribada

    Last Updated : 2024-03-30
  • Gairah Suami Kedua   I Love You

    “Daffa adalah ayah dari bayi ini, Lan.”Aku membelalakkan mata, sepersekian detik kemudian dia tertawa keras. “Hahahaha kamu lucu ya kalau kaget gitu.”Dia masih tertawa, sementara aku hanya diam, tak menemukan letak humornya. “Aku cuma bercanda, ayah bayi ini Omnya Daffa, kamu inget, kan?”Kubalas pertanyaan tersebut dengan anggukan. Namun, melihat kedekatan keduanya rasa ragu menghampiri. Ditambah, Sean juga pernah bilang mereka sudah menikah. Apa Mona dan Daffa mengelabuiku?“Lan, kamu ngelamun? Astaga, jangan bilang candaanku barusan dianggap serius?” Mona terkekeh kemudian mengambil punggung tanganku. “Daffa gak mungkin mengkhianati kamu,” sambungnya dengan sorot teduh. “Ya, Mbak, semoga.” Beberapa menit kemudian, Mona berpamitan. Sebelum benar-benar pergi, dia memelukku lebih dulu, hal yang sama ia lakukan juga pada Daffa. Hatiku mencelos namun berusaha menampilkan senyum terbaik. Tepat pukul sebelas, aku membaringkan diri dengan berbagai

    Last Updated : 2024-04-02

Latest chapter

  • Gairah Suami Kedua   Gagal

    Usai kejadian malam itu, Daffa tidak pulang sampai pagi, aku pun tak mencari. Sebab sudah bisa menebak, kemana lelaki tersebut pergi. Rumah ini terasa damai tanpa kehadirannya. Ya, meskipun sudut hatiku menginginkan dia berada di tengah-tengah kami. Namun lagi-lagi, bagian terpentingnya bukan itu, ada hal lain yang harus kuperjuangkan lebih dari sekadar urusan perasaan. “Bunda lagi apa?” Lintang yang baru tiba duduk di sampingku. “Lagi take video, Sayang,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan. Aku yang sedang giat-giatnya membuat konten promosi produk, tanpa sadar mengabaikan kehadiran Lintang. Dia mengamati aktivitas bundanya yang berpindah dari satu posisi ke posisi lain demi mendapat tangkapan layar terbaik. “Biar Lintang bantu pegangin HPnya, Bun.”“Gak usah, Sayang, Lintang ganti baju, makan, terus istirahat aja. Pasti capek kan seharian di sekolah?” tolakku sambil tersenyum dan mengusap surainya lembut. “Lintang mau bantuin Bunda,” pintanya.

  • Gairah Suami Kedua   Membela Mona

    “Darimana kamu?” cecar Daffa dengan mata menyorot tajam pada Mas Heru. Aku yang berada di tengah-tengah mereka, memandang keduanya bergantian. “Mas, kamu pulang aja,” ujarku lirih. Ya, dia memang harus segera pulang, pasalnya hal buruk bisa saja terjadi jika dia tetap di sini.“Oke. Mas pulang, ya,” pamitnya yang segera kubalas dengan anggukan singkat.Sepeninggal Mas Heru, Daffa menarikku memasuki rumah kemudian menutup pintu hingga menimbulkan suara keras. Wajahnya tampak mengencang dengan kedua tangan mengepal sempurna.“Kamu ketemu dia? Kenapa gak izin dulu? Saya ini suami kamu, Kelana,” cerocos Daffa.Untuk beberapa detik, aku tak menanggapi ucapannya, membiarkan dia mengatakan apa yang ingin dikatakan. “Bahkan selangkah pun kamu keluar dari rumah ini, itu harus seizin saya.” Nada bicaranya semakin tidak santai. Aku masih diam, menunggu waktu yang tepat untuk menghentikan lelaki tersebut. “Saya gak suka kamu pergi dengan lelaki lain!” “Play

  • Gairah Suami Kedua   Saling Kenal?

    Aku mematung di tempat dan menyaksikan secara langsung bagaimana suamiku memapah Mona, membantunya berjalan. Kuhembuskan napas dalam dan membuangnya perlahan seraya menyugesti diri, tidak, aku tak boleh cemburu apalagi merasa terganggu. Sejak awal, Daffa memang tidak pernah serius memperbaiki hubungan. Segala ucapannya hanya omong kosong belaka. Hampir saja aku terbuai dan menikmati segala perlakuan manisnya. “Saya permisi dulu,” pamitku sambil tersenyum tipis kemudian melenggang pergi. Saat itulah Daffa menghampiri, dia mengambil punggung tanganku dan menggenggamnya erat sekali. “Sayang, maaf, saya gak punya pilihan selain bawa dia ke sini.”Decak sebal lolos begitu saja. Menurutku, bukan tak punya pilihan, melainkan sengaja atau memang itu tujuannya sedari dulu.“Saya gak peduli,” jawabku dingin seraya melepas genggamanya. “Lakuin apa yang kalian mau, karena tujuan saya cuma satu, mengambil apa yang memang menjadi hak saya!” Aku melangkah menjauh

  • Gairah Suami Kedua   Untuk Apa?

    Tok tok tok!Beberapa saat setelah Daffa pergi, suara ketukan pintu terdengar. Kulirik sekilas pintu berbahan kayu jati, kemudian beralih menatap jam yang menggantung di dinding. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Sepertinya itu Lintang. Tanpa pikir panjang, aku menyuruhnya masuk.“Masuk.”Benar saja, tak lama kemudian, wajah anakku menyembul dari baliknya. Ia masih mengenakan seragam sekolah dengan rambut dicepol asal, sederhana namun terlihat cantik. “Bunda sakit?” Itulah pertanyaan pertama yang dia lontarkan saat melihat selimut menutupi hampir sebagian tubuhku. Aku tersenyum tipis seraya menepuk tempat di sampingku dan berusaha bangkit. “Nggak, Sayang, cuma sedikit pusing aja kok, sini.” Lintang mendekat kemudian memijit kakiku. “Bunda rebahan aja,” cegahnya. Aku kembali merebah. Meskipun rasa sakit di kepala sudah berangsur hilang, namun tubuhku masih sedikit lemas. Kutatap wajah ayu putriku yang terlihat memendam sesuatu. “Kenapa, Nak?”

  • Gairah Suami Kedua   Sisi Lain

    PoV LintangHai, namaku Lintang Utami Atmadja, orang-orang memanggilku Lintang, pengguna lengan palsu yang kerap menjadi sasaran bullying. Selain itu, aku adalah korban dari perceraian kedua orang tuaku—Kelana dan Heru. Saat ini, usiaku menginjak tujuh belas tahun.Hidupku ya begini-begini saja, berangkat sekolah, pulang, kemudian menyaksikan drama bunda dengan suami keduanya, orang yang dulu kupanggil Papa. Sejujurnya, dia adalah sosok yang pernah sangat kuidolakan. Namun, seiring berjalannya waktu, semua perasaan itu berubah menjadi rasa benci yang teramat dalam. Singkatnya, dia adalah penyebab aku kehilangan lengan. Ah, andai dulu bunda tak mengenalnya. Setelah meninggalkan aku dan bunda tiga tahun silam, dia kembali dengan membawa segala drama dan problematika kehidupan. Karena tak punya pilihan, bunda menerima kehadirannya, ya meskipun penuh keterpaksaan. Satu sisi aku keberatan, namun sisi lainnya tak punya solusi atas permasalahan yang terjadi. Alhasil, suka t

  • Gairah Suami Kedua   Bahaya

    “Anak sama emak sama aja, sama-sama jalang, murahan!”Pesan yang diakhiri tanda seru itu menjadi fokusku. Apa maksudnya ini? Mengapa si pengirim membawa-bawa anakku? Kuamati dua belas digit angka yang tertera di layar, berusaha mengenali pemiliknya. Namun, sampai beberapa menit berlalu, aku sangat yakin tak mengenal pemilik nomor tersebut. Tidak mau berlama-lama memendam amarah dan kekesalan, aku segera menghubungi nomor itu. Akan tetapi, nomornya tak aktif. “Mungkin cuma orang iseng,” batinku sembari mengalihkan perhatian pada pesan yang berkaitan dengan produk yang kutawarkan, tak ingin membuang-buang waktu untuk meladeni orang-orang kurang kerjaan. Selama berjam-jam lamanya, aku larut dalam aktivitas tersebut, hingga tak sadar sepasang mata tengah memerhatikan. “Sayang, perut Mona keram lagi, saya harus…”Aku yang semula tengah berbalas pesan dengan salah satu calon pembeli, menghentikan aktivitas tersebut kemudian meletakkan ponsel di atas meja, hingg

  • Gairah Suami Kedua   Pesan Misterius

    Pagi harinya, aku bangun saat sang surya telah meninggi. Aku menggeliat sejenak, mataku mengerjap beberapa kali. Selimut tebal masih menutupi hampir sebagain tubuh. Kilas balik akan kejadian semalam membuatku spontan membuka selimut. Untuk beberapa saat aku terlonjak kala mendapati diriku yang tanpa sehelai benang pun. “Ternyata bukan mimpi. Bodoh kamu, Lan!” rutukku sembari memukul-mukul kepala. Mengingat kejadian tersebut membuatku malu sendiri, wajahku memerah seketika, hingga terdengar suara derit pintu yang seketika mengalihkan perhatian. Krek“Pagi, Sayang,” sapa Daffa seraya duduk di sisi ranjang. Ia mencondongkan tubuh dan mendaratkan kecupan singkat di keningku. Aku tak membalas sapaan itu, tidak juga menatap padanya. Sengaja kupalingkan wajah agar dia tak melihat semburat merah yang tercetak jelas di kedua pipiku. “Tadi sebelum Lintang berangkat sekolah, saya ngobrol sebentar sama dia.” Daffa mengawali pembicaraan. “Bukan ngobrol sih, soalnya d

  • Gairah Suami Kedua   I Love You

    “Daffa adalah ayah dari bayi ini, Lan.”Aku membelalakkan mata, sepersekian detik kemudian dia tertawa keras. “Hahahaha kamu lucu ya kalau kaget gitu.”Dia masih tertawa, sementara aku hanya diam, tak menemukan letak humornya. “Aku cuma bercanda, ayah bayi ini Omnya Daffa, kamu inget, kan?”Kubalas pertanyaan tersebut dengan anggukan. Namun, melihat kedekatan keduanya rasa ragu menghampiri. Ditambah, Sean juga pernah bilang mereka sudah menikah. Apa Mona dan Daffa mengelabuiku?“Lan, kamu ngelamun? Astaga, jangan bilang candaanku barusan dianggap serius?” Mona terkekeh kemudian mengambil punggung tanganku. “Daffa gak mungkin mengkhianati kamu,” sambungnya dengan sorot teduh. “Ya, Mbak, semoga.” Beberapa menit kemudian, Mona berpamitan. Sebelum benar-benar pergi, dia memelukku lebih dulu, hal yang sama ia lakukan juga pada Daffa. Hatiku mencelos namun berusaha menampilkan senyum terbaik. Tepat pukul sebelas, aku membaringkan diri dengan berbagai

  • Gairah Suami Kedua   Pertemuan

    Seraya mengotak-atik ponsel, aku berjalan ke sana kemari, entah sudah berapa kali kutatap benda pintar itu, menunggu kabar dari Lintang yang sedari tadi tidak bisa dihubungi. Sungguh, aku sangat khawatir, lebih-lebih di luar sedang hujan. Aku membuka tirai berkali-kali sembari melihat ke arah jalan, namun tak ada tanda-tanda lalu lalang manusia. Hatiku kian gelisah saat hari semakin gelap. “Kamu udah hubungi pihak sekolah?” tanya Daffa yang terlihat sangat tenang. Lelaki itu menyandarkan punggung di kursi sambil memejamkan mata. “Sudah, sepeda Lintang ada di sekolah, itu yang bikin saya makin khawatir,” jawabku seraya menempelkan ponsel ke telinga, berusaha menghubungi teman-teman Lintang untuk menanyakan keberadaan anakku.Bertepatan dengan itu, adzan magrib berkumandang, aku menggigit bibir bawah, mataku berair seketika. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada Lintang, sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. “Sssst, kamu tenang, lebih baik kita beribada

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status