“Bunda nyium wangi parfum perempuan?”
Pertanyaan Lintang menari-nari di kepala, membuatku sulit memejamkan mata dan berakhir gulang-guling ke sana ke mari karena gelisah.“Kamu belum tidur?”Aku melirik sekilas, kemudian membalik badan, memunggungi lelaki tersebut.“Kenapa belum tidur?” tanyanya lagi.“Bukan urusan kamu!” ketusku.Tak berselang lama, tempat tidur bergoyang, pertanda seseorang naik ke atasnya. Dan benar saja, Daffa sudah berada di sampingku.“Pergi!” usirku tanpa melihat wajahnya.Bukannya menuruti ucapan tersebut, tangan besarnya malah melingkari pinggangku. Darahku berdesir, disertai degup jantung yang bertalu-talu di dalam sana. Tuhan, perasaan apa ini?Tidak-tidak, aku tidak boleh menikmati sentuhannya. Sontak, segera kulepas kasar tangan tersebut.“Jangan sentuh saya!”“Kenapa? Bukannya menyentuh istri dan melayani suami merupakan pahala?” Daffa menPunggung itu kian menjauh kemudian hilang, bersamaan dengan roda mobil sedan hitam yang berputar membelah jalanan. Aku termangu di tempat, masih tak percaya dengan yang terjadi barusan. Dia berkata ingin memperbaiki hubungan, sementara antara ucapan dan tindakannya tidak sejalan. Lantas, bagian mana yang harus kupercaya? Sepertinya tidak ada, dia benar-benar pembual! Berbagai asumsi memenuhi kepala tanpa bisa dicegah. Mataku menatap ke arah taman, namun pikiranku tidak di sana, melanglangbuana entah ke mana. Sampai akhirnya, tepukan pelan di pundak mengembalikanku pada realita. Aku berbalik dan mendapati Mas Heru—mantan suami pertamaku berdiri tegap sambil tersenyum lebar. “Pagi-pagi udah ngelamun, mikirin apa, hmm?” “Bukan apa-apa,” balasku. Meskipun sudah berpisah sejak bertahun-tahun silam, hubunganku dengannya terbilang cukup baik, kami masih sering berkomunikasi untuk sekadar membahas soal Lintang. Sesekali dia juga datang berkunjung guna bertemu putri semata wayangnya. “Lint
PoV DaffaAku berjalan dengan langkah lebar, tak sabar ingin bicara pada Kelana, mumpung di rumah ini hanya ada kami berdua. Harapanku, semoga, setelah mendengar segala hal yang kukatakan, dia bisa bersikap lebih baik. Kalaupun tidak, tak apa, aku masih punya waktu seratus sembilan belas hari. Aku yakin bisa meluluhkan hatinya, sama seperti dulu. Ceklek!Saat pintu terbuka, mataku memintas sekeliling, mencari keberadaan Kelana. Di teras tidak ada, di ruang tamu juga tidak ada. Di mana dia? Apa di kamar? Atau dapur?“Kelana, saya sudah pulang, kamu di mana?” tanyaku setengah berteriak. Akan tetapi, sampai beberapa detik lamanya tak ada sahutan. Kubuka pintu kamar barangkali dia ada di sana. Tapi, nihil, kamar tersebut kosong. Hanya suara detak jarum jam yang memenuhi ruangan. Begitupun di dapur yang suasananya lebih hening dan lengang. “Ke mana dia?” batinku sembari merogoh ponsel, kemudian mengotak-atik benda pipih tersebut. “Angkat, Lan,” guma
PoV Daffa Tok tok tok!Seketika, pembicaraan seriusku dengan Kelana terhenti. Kami saling pandang dengan aku yang menatapnya penuh tanya. “Permisi, paketttt!”Mendengar suara tersebut, aku menarik kursi dan bergegas membuka pintu. Namun, Kelana lebih dulu menginterupsi. “Biar saya aja,” ungkapnya sembari berlalu. Tak berselang lama, dia kembali sambil membawa sebuah amplop dan memberikannya padaku. “Nih.”Aku mengernyitkan dahi. “Ini apa?”Kelana mengedikkan bahu kemudian mengambil sayuran yang telah selesai dipetik dan memasukkannya ke wadah Tupperware. Sementara aku masih melihat-lihat amplop coklat tersebut, tidak ada nama pengirim, yang tertera hanya nama penerima dan alamat tujuan. Disaat bersamaan, ponsel yang kuletakkan di atas meja berdering, aku menggeser layar dan menyalakan fitur loudspeaker, agar Kelana turut mendengar pembicaraanku dengan sang penelepon. “Halo.”“Iya, Mon, kenapa?”“Kamu udah sampe?”“Uda
Seraya mengotak-atik ponsel, aku berjalan ke sana kemari, entah sudah berapa kali kutatap benda pintar itu, menunggu kabar dari Lintang yang sedari tadi tidak bisa dihubungi. Sungguh, aku sangat khawatir, lebih-lebih di luar sedang hujan. Aku membuka tirai berkali-kali sembari melihat ke arah jalan, namun tak ada tanda-tanda lalu lalang manusia. Hatiku kian gelisah saat hari semakin gelap. “Kamu udah hubungi pihak sekolah?” tanya Daffa yang terlihat sangat tenang. Lelaki itu menyandarkan punggung di kursi sambil memejamkan mata. “Sudah, sepeda Lintang ada di sekolah, itu yang bikin saya makin khawatir,” jawabku seraya menempelkan ponsel ke telinga, berusaha menghubungi teman-teman Lintang untuk menanyakan keberadaan anakku.Bertepatan dengan itu, adzan magrib berkumandang, aku menggigit bibir bawah, mataku berair seketika. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada Lintang, sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. “Sssst, kamu tenang, lebih baik kita beribada
“Daffa adalah ayah dari bayi ini, Lan.”Aku membelalakkan mata, sepersekian detik kemudian dia tertawa keras. “Hahahaha kamu lucu ya kalau kaget gitu.”Dia masih tertawa, sementara aku hanya diam, tak menemukan letak humornya. “Aku cuma bercanda, ayah bayi ini Omnya Daffa, kamu inget, kan?”Kubalas pertanyaan tersebut dengan anggukan. Namun, melihat kedekatan keduanya rasa ragu menghampiri. Ditambah, Sean juga pernah bilang mereka sudah menikah. Apa Mona dan Daffa mengelabuiku?“Lan, kamu ngelamun? Astaga, jangan bilang candaanku barusan dianggap serius?” Mona terkekeh kemudian mengambil punggung tanganku. “Daffa gak mungkin mengkhianati kamu,” sambungnya dengan sorot teduh. “Ya, Mbak, semoga.” Beberapa menit kemudian, Mona berpamitan. Sebelum benar-benar pergi, dia memelukku lebih dulu, hal yang sama ia lakukan juga pada Daffa. Hatiku mencelos namun berusaha menampilkan senyum terbaik. Tepat pukul sebelas, aku membaringkan diri dengan berbagai
Pagi harinya, aku bangun saat sang surya telah meninggi. Aku menggeliat sejenak, mataku mengerjap beberapa kali. Selimut tebal masih menutupi hampir sebagain tubuh. Kilas balik akan kejadian semalam membuatku spontan membuka selimut. Untuk beberapa saat aku terlonjak kala mendapati diriku yang tanpa sehelai benang pun. “Ternyata bukan mimpi. Bodoh kamu, Lan!” rutukku sembari memukul-mukul kepala. Mengingat kejadian tersebut membuatku malu sendiri, wajahku memerah seketika, hingga terdengar suara derit pintu yang seketika mengalihkan perhatian. Krek“Pagi, Sayang,” sapa Daffa seraya duduk di sisi ranjang. Ia mencondongkan tubuh dan mendaratkan kecupan singkat di keningku. Aku tak membalas sapaan itu, tidak juga menatap padanya. Sengaja kupalingkan wajah agar dia tak melihat semburat merah yang tercetak jelas di kedua pipiku. “Tadi sebelum Lintang berangkat sekolah, saya ngobrol sebentar sama dia.” Daffa mengawali pembicaraan. “Bukan ngobrol sih, soalnya d
“Anak sama emak sama aja, sama-sama jalang, murahan!”Pesan yang diakhiri tanda seru itu menjadi fokusku. Apa maksudnya ini? Mengapa si pengirim membawa-bawa anakku? Kuamati dua belas digit angka yang tertera di layar, berusaha mengenali pemiliknya. Namun, sampai beberapa menit berlalu, aku sangat yakin tak mengenal pemilik nomor tersebut. Tidak mau berlama-lama memendam amarah dan kekesalan, aku segera menghubungi nomor itu. Akan tetapi, nomornya tak aktif. “Mungkin cuma orang iseng,” batinku sembari mengalihkan perhatian pada pesan yang berkaitan dengan produk yang kutawarkan, tak ingin membuang-buang waktu untuk meladeni orang-orang kurang kerjaan. Selama berjam-jam lamanya, aku larut dalam aktivitas tersebut, hingga tak sadar sepasang mata tengah memerhatikan. “Sayang, perut Mona keram lagi, saya harus…”Aku yang semula tengah berbalas pesan dengan salah satu calon pembeli, menghentikan aktivitas tersebut kemudian meletakkan ponsel di atas meja, hingg
PoV LintangHai, namaku Lintang Utami Atmadja, orang-orang memanggilku Lintang, pengguna lengan palsu yang kerap menjadi sasaran bullying. Selain itu, aku adalah korban dari perceraian kedua orang tuaku—Kelana dan Heru. Saat ini, usiaku menginjak tujuh belas tahun.Hidupku ya begini-begini saja, berangkat sekolah, pulang, kemudian menyaksikan drama bunda dengan suami keduanya, orang yang dulu kupanggil Papa. Sejujurnya, dia adalah sosok yang pernah sangat kuidolakan. Namun, seiring berjalannya waktu, semua perasaan itu berubah menjadi rasa benci yang teramat dalam. Singkatnya, dia adalah penyebab aku kehilangan lengan. Ah, andai dulu bunda tak mengenalnya. Setelah meninggalkan aku dan bunda tiga tahun silam, dia kembali dengan membawa segala drama dan problematika kehidupan. Karena tak punya pilihan, bunda menerima kehadirannya, ya meskipun penuh keterpaksaan. Satu sisi aku keberatan, namun sisi lainnya tak punya solusi atas permasalahan yang terjadi. Alhasil, suka t
Usai kejadian malam itu, Daffa tidak pulang sampai pagi, aku pun tak mencari. Sebab sudah bisa menebak, kemana lelaki tersebut pergi. Rumah ini terasa damai tanpa kehadirannya. Ya, meskipun sudut hatiku menginginkan dia berada di tengah-tengah kami. Namun lagi-lagi, bagian terpentingnya bukan itu, ada hal lain yang harus kuperjuangkan lebih dari sekadar urusan perasaan. “Bunda lagi apa?” Lintang yang baru tiba duduk di sampingku. “Lagi take video, Sayang,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan. Aku yang sedang giat-giatnya membuat konten promosi produk, tanpa sadar mengabaikan kehadiran Lintang. Dia mengamati aktivitas bundanya yang berpindah dari satu posisi ke posisi lain demi mendapat tangkapan layar terbaik. “Biar Lintang bantu pegangin HPnya, Bun.”“Gak usah, Sayang, Lintang ganti baju, makan, terus istirahat aja. Pasti capek kan seharian di sekolah?” tolakku sambil tersenyum dan mengusap surainya lembut. “Lintang mau bantuin Bunda,” pintanya.
“Darimana kamu?” cecar Daffa dengan mata menyorot tajam pada Mas Heru. Aku yang berada di tengah-tengah mereka, memandang keduanya bergantian. “Mas, kamu pulang aja,” ujarku lirih. Ya, dia memang harus segera pulang, pasalnya hal buruk bisa saja terjadi jika dia tetap di sini.“Oke. Mas pulang, ya,” pamitnya yang segera kubalas dengan anggukan singkat.Sepeninggal Mas Heru, Daffa menarikku memasuki rumah kemudian menutup pintu hingga menimbulkan suara keras. Wajahnya tampak mengencang dengan kedua tangan mengepal sempurna.“Kamu ketemu dia? Kenapa gak izin dulu? Saya ini suami kamu, Kelana,” cerocos Daffa.Untuk beberapa detik, aku tak menanggapi ucapannya, membiarkan dia mengatakan apa yang ingin dikatakan. “Bahkan selangkah pun kamu keluar dari rumah ini, itu harus seizin saya.” Nada bicaranya semakin tidak santai. Aku masih diam, menunggu waktu yang tepat untuk menghentikan lelaki tersebut. “Saya gak suka kamu pergi dengan lelaki lain!” “Play
Aku mematung di tempat dan menyaksikan secara langsung bagaimana suamiku memapah Mona, membantunya berjalan. Kuhembuskan napas dalam dan membuangnya perlahan seraya menyugesti diri, tidak, aku tak boleh cemburu apalagi merasa terganggu. Sejak awal, Daffa memang tidak pernah serius memperbaiki hubungan. Segala ucapannya hanya omong kosong belaka. Hampir saja aku terbuai dan menikmati segala perlakuan manisnya. “Saya permisi dulu,” pamitku sambil tersenyum tipis kemudian melenggang pergi. Saat itulah Daffa menghampiri, dia mengambil punggung tanganku dan menggenggamnya erat sekali. “Sayang, maaf, saya gak punya pilihan selain bawa dia ke sini.”Decak sebal lolos begitu saja. Menurutku, bukan tak punya pilihan, melainkan sengaja atau memang itu tujuannya sedari dulu.“Saya gak peduli,” jawabku dingin seraya melepas genggamanya. “Lakuin apa yang kalian mau, karena tujuan saya cuma satu, mengambil apa yang memang menjadi hak saya!” Aku melangkah menjauh
Tok tok tok!Beberapa saat setelah Daffa pergi, suara ketukan pintu terdengar. Kulirik sekilas pintu berbahan kayu jati, kemudian beralih menatap jam yang menggantung di dinding. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Sepertinya itu Lintang. Tanpa pikir panjang, aku menyuruhnya masuk.“Masuk.”Benar saja, tak lama kemudian, wajah anakku menyembul dari baliknya. Ia masih mengenakan seragam sekolah dengan rambut dicepol asal, sederhana namun terlihat cantik. “Bunda sakit?” Itulah pertanyaan pertama yang dia lontarkan saat melihat selimut menutupi hampir sebagian tubuhku. Aku tersenyum tipis seraya menepuk tempat di sampingku dan berusaha bangkit. “Nggak, Sayang, cuma sedikit pusing aja kok, sini.” Lintang mendekat kemudian memijit kakiku. “Bunda rebahan aja,” cegahnya. Aku kembali merebah. Meskipun rasa sakit di kepala sudah berangsur hilang, namun tubuhku masih sedikit lemas. Kutatap wajah ayu putriku yang terlihat memendam sesuatu. “Kenapa, Nak?”
PoV LintangHai, namaku Lintang Utami Atmadja, orang-orang memanggilku Lintang, pengguna lengan palsu yang kerap menjadi sasaran bullying. Selain itu, aku adalah korban dari perceraian kedua orang tuaku—Kelana dan Heru. Saat ini, usiaku menginjak tujuh belas tahun.Hidupku ya begini-begini saja, berangkat sekolah, pulang, kemudian menyaksikan drama bunda dengan suami keduanya, orang yang dulu kupanggil Papa. Sejujurnya, dia adalah sosok yang pernah sangat kuidolakan. Namun, seiring berjalannya waktu, semua perasaan itu berubah menjadi rasa benci yang teramat dalam. Singkatnya, dia adalah penyebab aku kehilangan lengan. Ah, andai dulu bunda tak mengenalnya. Setelah meninggalkan aku dan bunda tiga tahun silam, dia kembali dengan membawa segala drama dan problematika kehidupan. Karena tak punya pilihan, bunda menerima kehadirannya, ya meskipun penuh keterpaksaan. Satu sisi aku keberatan, namun sisi lainnya tak punya solusi atas permasalahan yang terjadi. Alhasil, suka t
“Anak sama emak sama aja, sama-sama jalang, murahan!”Pesan yang diakhiri tanda seru itu menjadi fokusku. Apa maksudnya ini? Mengapa si pengirim membawa-bawa anakku? Kuamati dua belas digit angka yang tertera di layar, berusaha mengenali pemiliknya. Namun, sampai beberapa menit berlalu, aku sangat yakin tak mengenal pemilik nomor tersebut. Tidak mau berlama-lama memendam amarah dan kekesalan, aku segera menghubungi nomor itu. Akan tetapi, nomornya tak aktif. “Mungkin cuma orang iseng,” batinku sembari mengalihkan perhatian pada pesan yang berkaitan dengan produk yang kutawarkan, tak ingin membuang-buang waktu untuk meladeni orang-orang kurang kerjaan. Selama berjam-jam lamanya, aku larut dalam aktivitas tersebut, hingga tak sadar sepasang mata tengah memerhatikan. “Sayang, perut Mona keram lagi, saya harus…”Aku yang semula tengah berbalas pesan dengan salah satu calon pembeli, menghentikan aktivitas tersebut kemudian meletakkan ponsel di atas meja, hingg
Pagi harinya, aku bangun saat sang surya telah meninggi. Aku menggeliat sejenak, mataku mengerjap beberapa kali. Selimut tebal masih menutupi hampir sebagain tubuh. Kilas balik akan kejadian semalam membuatku spontan membuka selimut. Untuk beberapa saat aku terlonjak kala mendapati diriku yang tanpa sehelai benang pun. “Ternyata bukan mimpi. Bodoh kamu, Lan!” rutukku sembari memukul-mukul kepala. Mengingat kejadian tersebut membuatku malu sendiri, wajahku memerah seketika, hingga terdengar suara derit pintu yang seketika mengalihkan perhatian. Krek“Pagi, Sayang,” sapa Daffa seraya duduk di sisi ranjang. Ia mencondongkan tubuh dan mendaratkan kecupan singkat di keningku. Aku tak membalas sapaan itu, tidak juga menatap padanya. Sengaja kupalingkan wajah agar dia tak melihat semburat merah yang tercetak jelas di kedua pipiku. “Tadi sebelum Lintang berangkat sekolah, saya ngobrol sebentar sama dia.” Daffa mengawali pembicaraan. “Bukan ngobrol sih, soalnya d
“Daffa adalah ayah dari bayi ini, Lan.”Aku membelalakkan mata, sepersekian detik kemudian dia tertawa keras. “Hahahaha kamu lucu ya kalau kaget gitu.”Dia masih tertawa, sementara aku hanya diam, tak menemukan letak humornya. “Aku cuma bercanda, ayah bayi ini Omnya Daffa, kamu inget, kan?”Kubalas pertanyaan tersebut dengan anggukan. Namun, melihat kedekatan keduanya rasa ragu menghampiri. Ditambah, Sean juga pernah bilang mereka sudah menikah. Apa Mona dan Daffa mengelabuiku?“Lan, kamu ngelamun? Astaga, jangan bilang candaanku barusan dianggap serius?” Mona terkekeh kemudian mengambil punggung tanganku. “Daffa gak mungkin mengkhianati kamu,” sambungnya dengan sorot teduh. “Ya, Mbak, semoga.” Beberapa menit kemudian, Mona berpamitan. Sebelum benar-benar pergi, dia memelukku lebih dulu, hal yang sama ia lakukan juga pada Daffa. Hatiku mencelos namun berusaha menampilkan senyum terbaik. Tepat pukul sebelas, aku membaringkan diri dengan berbagai
Seraya mengotak-atik ponsel, aku berjalan ke sana kemari, entah sudah berapa kali kutatap benda pintar itu, menunggu kabar dari Lintang yang sedari tadi tidak bisa dihubungi. Sungguh, aku sangat khawatir, lebih-lebih di luar sedang hujan. Aku membuka tirai berkali-kali sembari melihat ke arah jalan, namun tak ada tanda-tanda lalu lalang manusia. Hatiku kian gelisah saat hari semakin gelap. “Kamu udah hubungi pihak sekolah?” tanya Daffa yang terlihat sangat tenang. Lelaki itu menyandarkan punggung di kursi sambil memejamkan mata. “Sudah, sepeda Lintang ada di sekolah, itu yang bikin saya makin khawatir,” jawabku seraya menempelkan ponsel ke telinga, berusaha menghubungi teman-teman Lintang untuk menanyakan keberadaan anakku.Bertepatan dengan itu, adzan magrib berkumandang, aku menggigit bibir bawah, mataku berair seketika. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada Lintang, sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. “Sssst, kamu tenang, lebih baik kita beribada