'Percayalah, Tuhan mempunyai solusi untuk mengeluarkanmu dari masalah. Kamu hanya tinggal berdiskusi dan meminta pada-NYA.'
Terngiang lagi kalimat itu, Zie semakin meyakini akan menghadapi konseksuensi dari kejadian memalukan itu, pun akan menguatkan mental bilamana terjadi sesuatu dikemudian hari.
Syahra berhasil mengubah pikiran Zie perihal melenyapkan semua masalah dengan bunuh diri. Iya, itu salah besar. Ah, andai tidak ada wanita baik itu, mungkin saat ini tinggal nama.
Entah Malaikat mana yang sudah berbaik hati mengirimkan wanita itu.
Zie sempat teringat ucapan terakhir Syahra, bahwa wanita cantik itu pernah berada di posisi ingin bunuh diri seperti dirinya hanya saja Zie menahan diri untuk tidak menanyakan penyebabnya, takut mengorek luka lama.
Setelah pertemuannya dengan wanita berusia tiga tahun lebih tua di atasnya, Zie memutuskan pulang dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Orang tua Zie selama lima hari berada di luar kota, membuatnya tidak perlu khawatir diceramahi mereka, karena semalaman tidak pulang, apa lagi penampilannya yang kacau, wajah sembab.
Mbok Nah lah yang biasa ngomel, sebab wanita setengah baya itu yang paling dipercayai menjaga Zie selama orang tuanya pergi. Mbok Nah, wanita pengasuh Zie sedari kecil, kasih sayangnya tidak lagi diragukan.
Benar saja setibanya Zie di rumah, Mbok Nah memberondongnya dengan pertanyaan, persis rem blong. Mencerewetinya dengan nasihat, Zie setia mendengarkan tanpa menyanggah.
"Bibi udah belum ngomelnya?" tanya Zie dengan lesu.
"Ya ampun, Non, non. Bibi tuh ngomel karena khawatir, apa lagi lihat keadaan Non Zie pulang-pulang kusut dan lusuh macam ini. Persis anak gadis abis dari sarang penyamun."
"Ish, Bibi. Udah ah, Zie capek, pengen istirahat." Ngeloyor meninggalkan Bi Nah yang hanya bisa geleng-geleng kepala.
Perih, pedih, sebenarnya yang sedang Zie rasakan. Ingin dia menceritakan kemelut yang dihadapinya pada Bi Nah. Namun, takut wanita itu tidak bisa menahan mulut, membeberkannya pada orang tua.
Akhirnya, dia memilih memendam sendiri masalah yang memasungnya.
**
Tiga hari berlalu semenjak kejadian itu, Zie baru kembali masuk kuliah. Namun, wajahnya digayuti mendung, tidak ada keceriaan yang biasa mewarnai setiap harinya jika berada di lingkungan kampus. Dia berusaha menguatkan diri menjalani aktivitasnya sebagai mahasiswi.
Zie sebenarnya enggan menginjakkan lagi kaki di kampus ini, karena di sana ada Jimmy, laki-laki yang sudah memberinya obat terkutuk. Pasti lelaki itu tidak akan tinggal diam, terus mengganggunya.
"Zie, tunggu!"
Benar saja, laki-laki brengsek itu langsung datang setelah Zie meredakan pikirannya perihal dia. Sang Gadis tidak menghiraukan seruan Jimmy, langkahnya dipercepat meninggalkan halaman kampus.
"Tunggu, Zie, aku mau bicara!" Jimmy berhasil menyusul, lantas mencekal lengan Zie.
"Lepasin!" Zie menepis tangan Jimmy, mata nyalang menyorotkan kebencian.
"Zie, aku ... minta maaf tentang malam itu!"
"Pergilah! Aku gak mau bicara sama kamu!"
Zie kembali memutar badan meninggalkan Jimmy. Namun, pemuda itu dengan gesit menghadang langkah sang gadis, berdiri menjulang sambil merentangkan tangan.
"Please, beri aku kesempatan buat ngomong, Zie!"
"Aku gak sudi! Minggir!" Zie mendorong Jimmy, tapi sia-sia, tubuh tegap itu sama sekali tidak bergeser dari tempatnya.
Pemuda itu hilang kesabaran, jengkel dengan penolakan Zievana, akhirnya memilih memeluk pinggang sang gadis cukup kuat.
Zie meronta seraya memukul-mukul lengan Jimmy. Aksi mereka berdua mengundang perhatian banyak orang. Memandang mereka dengan tatapan aneh dan sejenisnya.
"Zie, aku mencintaimu. Semua yang aku lakukan karena putus asa untuk mendapatkanmu!" Jimmy kukuh meyakinkan Zie akan perasaannya, meskipun gadis itu tidak mau menanggapi.
Zievana memanahkan tatapan setajam ujung pisau pada Jimmy "Kamu pikir dengan caramu itu aku bakal luluh? Jangan mimpi! Aku malah semakin menyesal pernah mengenalmu!"
"Kenapa kamu keras kepala, Zie? Apa kurangnya aku di matamu? Aku kaya, tampan, apa yang kamu mau aku kabulkan asal kamu mau menerima cintaku!"
Zie muak mendengar tutur kata disertai kepedean yang mendekati kesombongan Jimmy. Memutar bola mata, sebal.
Sebenarnya siapa yang keras kepala?
Enggan bicara lagi, Zie berusaha keras menyingkirkan Jimmy dari hadapannya bahkan berusaha kuat melepaskan tangan pemuda itu dari pinggangnya.
"Lepaskan dia!" Suara bariton dari samping menolehkan kepala dua insan yang sedang bersitegang itu ke arahnya.
Zie membelalakan mata, mulut sedikit menganga, seketika wajah cantiknya berubah pias. Sang gadis berharap keajaiban ada yang menyulapnya supaya menghilang dari tempat ini.
Sepasang netra hitam legam menatap Zie dengan ekspresi yang sulit gadis itu terka maknanya. Lelaki itu ... yang tidak ingin Zie temui.
"Jimmy, apa yang kamu lakukan sama Zie, hah?" Meylan menatap berang Jimmy. Gadis itu berdiri di samping pria yang dipelototi Zie sambil tolak pinggang.
"Aku bilang lepaskan gadis itu!" tegas dan penuh penekanan suara Andra.
Jimmy mendengkus kesal, dekapan melonggar, secepatnya Zie melepaskan diri dengan mendorong tubuh pemuda itu sampai mundur beberapa langkah.
Tanpa pikir panjang, Zie berlari meninggalkan fakultas, bahkan teriakan Meylan tidak dia hiraukan. Yang ada di benak gadis itu hanyalah ingin menghilang dari pandangan sang pria.
"Zievana!" Andra mengejar gadis pemilik iris coklat madu itu dengan perasaan yang sulit ia gambarkan.
Sedangkan Meylan menghalangi langkah Jimmy yang juga hendak mengejar Zie. Mereka saling adu mulut.
"Minggir, Mey!" sentak Jimmy.
"Gak bisa!" Meylan tidak mau kalah.
Sementara Zievana menyentop taksi yang kebetulan melintas di depannya, bergegas masuk sebelum Andra mendekat.
"Zievana, tunggu, Zie!" Andra hanya bisa menyentuh ujung belakang mobil. Taksi melaju meninggalkannya yang terlihat sedang misuh-misuh.
Jantung Zie berdegup bukan main, tubuh gemetar, keringat dingin mengucur deras. Dalam hati mengumpat kenapa harus dipertemukan kembali dengan pria yang sudah menaruh noda.
Sungguh Zie tidak sanggup menyembunyikan perasaannya yang campur aduk, sebab itu dia memilih kabur. Rasanya memang memalukan jika mengingat tentang malam itu.
Zievana gelisah, lelaki itu tahu tempatnya kuliah, dan kenal dengan Meylan. Bagaimana kalau sahabatnya itu tahu bahwa dia sudah tidur dengan pria itu.
Apa hubungan Meylan dengan sang pria? Mereka terlihat seperti dekat.
Kepala Zie serasa berat dan pening, seperti dihimpit ribuan batu. Ingin secepatnya tiba di rumah, mengempaskan tubuh di pembaringan yang selalu membuatnya damai.
**
"Kenapa kamu harus kabur lagi, Zievana?" gumam Andra kecewa campur kesal. Memandang taksi di mana di dalamnya ada gadis yang menciptakan kegelisahan semenjak malam terlarang itu.
Sebelum ini Andra mengantarkan Meylan yang merupakan keponakannya ke kampus, sedangkan dia sendiri bermaksud pergi ke tempatnya bekerja.
Jalan menuju tempat masing-masing satu arah. Saat Andra menurunkan Meylan, matanya membentur sosok yang dia cari selama tiga hari ini. Namun, gadis itu kembali kabur.
Meylan dan Jimmy sudah tidak ada di tempat, pria itu memilih meninggalkan kampus, meluncurkan mobilnya ke kantor, dan sepanjang perjalanan otak Andra tidak lepas memikirkan Zie.
"Zie, kamu sudah memberiku malam pertama yang tidak pernah disangka, walaupun terlarang. Kamu menyelipkan memory yang tidak akan pernah musnah pendarnya di kepalaku, dan ... kamu ... sudah menyalakan bara cinta di hatiku, jangan harap dapat padam begitu saja!" Andra bergumam panjang.
"Ke mana kamu pergi, aku akan mengejarmu, Zievana!"
Bersambung
Dua tahun berlalu semenjak kejadian itu. Di sebuah gedung pencakar langit milik perusahaan besar Pranajaya, seorang gadis cantik melenggang anggun memasuki bangunan bertingkat duabelas tersebut."Zie, kamu udah denger gosip terbaru belum?" tanya seorang gadis manis berwajah khas lokal dengan napas tersengal seperti habis dikejar penagih utang.Gadis yang memiliki tubuh mungil bernama Rena langsung mensejajarkan langkah dengan kawannya yang tidak lain Zievana. Mereka memasuki lift, kemudian menekan tombol lantai sepuluh.Tubuh Rena yang imut memaksanya selalu mendongak setiap bicara dengan Zie."Gosip apaan?" Zie acuh tak acuh."Kalo dengar jawaban kamu yang kek gitu, berarti kamu belum denger gosip menarik ini. Iya, kan?" Rena mengacungkan telunjuk ke wajah Zie, alisnya terangkat sehingga muka imutnya nampak lucu."To the point aja, emang gosip apaan, sih? Aku bukan cewek super kepo kek kamu, apa-apa serba dicari tau, lambe turah."
"Kamu kenapa diam aja, Zie?" Rena menggerakkan tubuh yang mematung dengan satu telunjuk ditusukkan pada lengan atas Zie.Sang gadis terkesiap, sendok yang Zie genggam nyaris terjatuh. "Eh, apa?" tanyanya spontan, Rena tepuk jidat.Makan siang yang tersaji di atas meja tidak membuat selera makan Zie tergugah. Padahal jika menghirup aromanya saja, siapapun akan tergoda untuk menyantap.Zie mengembuskan napas panjang, menimbulkan tanda tanya besar di benak Rena, tidak biasanya Zie begitu, seperti menyimpan beban yang cukup berat."Zie, kamu tuh kenapa, sih? Pengen kawin, ya?"Zie mendelik, Rena nyengir. "Lagian wajahmu gitu amat, sih. Mirip kanebo kering.""Ren, kenapa bos kita mesti diganti, ya?" ucap Zie tiba-tiba seraya menaruh sendok di alas makan, lantas menopang dagu. Tatapan menarawang entah ke mana."Hah! Kamu gak salah ngomong, Surabi Oncom? Seisi gedung ini berharap banget bos Pranajaya diganti. Wong dia galak, nyebelin,
"Zie, antarkan laporan bulanan ini ke ruangan Pak Andra. Tadi dia minta untuk dicek. Secepatnya ya, dia gak suka menunggu." Kepala staf keuangan menaruh berkas yang cukup tebal di meja Zievana. Tanpa menunggu jawaban, staf cantik itu meninggalkan Zie. Tubuh sang gadis menegang, bukan karena perintahnya, tapi tempat tujuannya, kantor Affandra.Duh, kenapa harus dirinya? Rena, sih, lama banget di toilet. Kan, bisa minta dia yang anterin.Zie menarik udara banyak-banyak, kemudian diembuskan kembali, tapi gemuruh di dadanya tidak berkurang. Dia kesal, terpaksa meraih berkas yang harus diantarkan.Namun, Zie tidak lekas beranjak, masih menunggu Rena. Berharap gadis mungil itu cepat datang supaya bisa mengoper perintah. Namun, tunggu punya tunggu Rena tak kunjung juga.**Zie membeku di depan pintu coklat dengan handle keperakan. Gadis berambut hitam sepunggung bergelombang indah itu masih bertarung dengan ketakutan. Takut tidak mampu menguasai rasa malunya.Selepas menggumamkan bismillah,
Dua tahun bukan waktu sebentar, jika bernapas diiringi siksaan batin, membuat Andra tidak mampu lagi memikul lama. Dia mencoba berdamai dengan ketidakberuntungan atas hilangnya Zievana.Andra dengan niat terkumpul mendatangi kediaman Zievana. Namun, apa yang dia dapat, gadis itu dikabarkan tidak lagi tinggal di sana. Meskipun ia bukan lelaki suci, tapi merenggut keperawanan seorang gadis membuatnya dikejar tanggung jawab, walaupun kejadian tersebut bukan bermula darinya. Terlebih ia menaruh rasa yang berbeda terhadap gadis itu.Andra hanya diberitahu oleh Mbok Nah bahwa Zie pergi entah ke mana. Saat itu orang tua sang gadis sedang tidak berada di tempat, sehingga pria itu memilih menyudahi bertamu dengan benak dipenuhi tanda tanya.Tidak perlu mengorek keterangan lebih jauh, penjelasan Mbok Nah yang singkat cukup membuat Andra menyimpulkan bahwa Zie kabur lagi sampai dia benar-benar menyerah dengan menerima tawaran orang tuanya pindah kepemimpinan di perusahaan Jakarta yang semula di
Zie melangkah tergesa begitu turun dari ojek online, ingin lekas memburu sang buah hati. Kakinya ia arahkan ke rumah induk pemilik kontrakan, sebab di sanalah Alana, putrinya dititipkan.Sedangkan Rena memilih langsung menuju kamar kontrakannya. Mereka terbiasa pulang-pergi bersama, meskipun beda menaiki tumpangan."Assalamualaikum, Bu!" panggil Zie. Meskipun pintu sedikit terbuka, ia tidak berani seenaknya masuk tanpa diperintah."Waalaikumsallam, masuk aja, Zie!" suara berat wanita menyahut dari dalam.Barulah Zie melangkah pasti memasuki rumah setelah mendapat izin. Di ruang tamu, wanita berusia setengah abad yang biasa dipanggil Bu Laila, tengah mencandai bayi perempuan yang montok menggemaskan."Tuh, Bundanya datang!" ucap wanita tersebut, mengarahkan sang bayi supaya menghadap Zie. Seolah mengerti bayi perempuan cantik berkulit putih bak pualam itu tersenyum lebar."Hallo, putrinya bunda." Zie meraup sang buah hati, mencium gemas pipi gembil nan lembut, hingga sang bayi menderai
"Zie aku antar kamu, ya?" tawar Derry menghentikan motornya di hadapan sang wanita. Kemudian melepas helm.Pemuda itu menunjukkan wajah tampannya, rambut disugar ke belakang. Kemeja putih didobel jaket dengan resleting terbuka, dipadupadankan celana kain hitam, menambah penampilan sang pria kian menawan. Gagah kesan yang Zie tangkap pada diri Derry, apalagi duduk di jok tunggangan bermerk ternama, ditambah senyuman manis mengalahkan sari madu, hati wanita mana yang tidak akan meleleh dibuatnya. "Gak usah, Der. Aku bisa naik ojol." Zie menolak halus ajakan putra kedua dari Bu Laila."Mau sampai kapan kamu nolak ajakanku terus, Zie. Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu, sungguh." Derry setengah becanda, tapi Zie berpraduga lain."Eh, bu-bukan begitu. Aku cuma gak mau ngerepotin kamu. Kita kan, beda arah, kalau kamu nganterin aku dulu nanti kamu harus putar balik, bisa terlambat masuk kerja.""Aku gak merasa direpotkan, aku malah senang bisa nganterin bundanya Alana. Sekali-kali berkorban
"Zie dipanggil Pak Andra ke ruangannya," ucap Pak Gayus.Zie terang saja terkejut, seketika bergemuruhlah dalam dadanya. Rena yang duduk tidak jauh dari Zie ikut mendengarkan juga heran."M-mau apa, Pak?" Kegugupan tidak dapat Zie kendalikan.Pak Gayus sedikit mencebik sambil menjengkitkan bahu. "Bapak juga kurang tau. Ayo, cepetan ke sana. Pak Andra tidak suka menunggu lama.""I-iya, Pak."Pria tambun berusia setengah abad itu meninggalkan Zie dalam kegamangan. Menggigit kuku ibu jari atau bibir bawah adalah suatu kebiasaan gadis berhidung mancung itu di kala bingung merecokinya.Zie meratap sial, kenapa zona damainya tidak bisa ditawar kembali ke semula, di kala Andra belum menginjakkan kaki di pelataran gedung megah Pranajaya Jakarta.Kenapa pria tersebut tidak berdiam di Semarang saja, tempatnya meraja sebagai direktur perusahan cabang. Kenapa Pak Anjay harus menyerahkan jabatannya pada anak kedua, lalu anak pertama di mana?Kenapa, kenapa, kenapa?Zie merafal istighfar dalam hati
Zie kembali ke ruang kerja dengan wajah yang ditekuk. Lemas bagai raga habis dilolosi tulang, dan tentu saja mengundang tanya sang ratu kepo Rena. Gadis mungil itu langsung menghampiri, dengan menggeser kursi berodanya saat Zie tiba di meja kerja."Kamu kenapa kok, murung, Zie?" Rena siku di meja, tangan yang digunakan untuk menopang dagu. Mengamati raut yang berlapis mendung sang sahabat.Zie menghela napas, kemudian menjatuhkan telengkup, kening menempel di lengan yang saling tumpang tindih di atas meja. erangan resah, menambah keheranan Rena semakin memenuhi pikiran."Zie, hei, Zie! Jangan bikin aku cemas, dong! Sikapmu kek abis dilamar buaya darat bangkotan."Ucapan konyol Rena menggerakkan kepala Zie, sehingga sedikit mendongak. "Aarrrggghh!" pekik Zie tiba-tiba sambil mengacak rambut.Rena terlonjak sampai mundur bersama kursinya, meraba dada merasakan detak jantung yang tidak beraturan. Wajah merengut. Karyawan di dekat mereka langsung terkejut, lantas membocorkan aneh penuh
Empat hari berlalu semenjak resepsi pernikahan bos muda Affandra Adiaksa Pranajaya dengan Zievana Khairunisa. Kini sepasang pengantin baru itu sedang berada di restoran mewah milik Haura.Keduanya sepakat untuk lanjut mencari tahu di mana keberadaan Syahra. Ada banyak pertanyaan membelit pikiran mereka, masih ada atau tiada wanita yang mereka cari.Sebelum pokok pembicaraan dimulai, Haura dan Zie saling tukar kabar terlebih dahulu. Bercakap ringan mengenai kelanjutan hubungan Haura dan Zevano, yang disambut semringah oleh kakak dari Syahra itu.Zie berharap penuh, Haura adalah wanita terbaik yang Tuhan pilihkan untuk Zevano, juga ibu sambung untuk Zaidan.Pembahasan pun perlahan mulai teralihkan. Haura tahu persis tujuan Andra dan Zie ke restorannya bukan karena ingin menikmati menu yang tersedia di sana, tapi untuk mengorek sampai ke akar-akarnya perihal Syahra.Dan itu terbukti saat Andra mulai mengajukan tanya, "Pertanyaanku masih sama, di mana Syahra berada?""Kalian masih ingin t
Usai resepsi pernikahan, Andra langsung memboyong wanitanya ke rumah dia sendiri, meskipun kamar pengantin disediakan di hotel itu, tetap memilih pulang. Sementara apartemen Zie ditempati keluarga Hadisusilo selama mereka tinggal di Jakarta.Netra Zie memonitor rumah megah berlantai dua dengan arsitektur Victoria. Kekaguman terpancar jelas atas kemewahan dari setiap bahan-bahan bangunan di depannya."Ini rumah kita," ucap Andra. Menyelipkan jemari kokohnya di sela-sela jari sang istri, menimbulkan gelenyar aneh pada diri Zie. Senyum mereka kian merekah, layaknya remaja sedang kasmaran, dimabuk cinta.Melangkah bersamaan memasuki rumah yang pintunya dibuka dari dalam oleh seorang pelayan. Kembali Zie terkagum-kagum atas keindahan isi bangunan ini. Di dalamnya jauh lebih megah dan serba mewah."Kamar kita ada di lantai dua." Kembali Andra menarik lembut Zie yang masih ada dalam mode terpukau. Mengikuti ke mana langkah sang pria tanpa kata.Rasanya seperti masih berada dalam dunia mimpi
Sementara itu di tempat yang berbeda, di waktu bersamaan dengan acara pernikahan Zievana dan Andra, Derry mondar-mandir resah di kamarnya. Penampilannya sangat rapih, khas dandanan mau ke pesta. Kemeja putih tertutup jas blazer pria warna abu-abu muda, selaras dengan celananya yang berwarna sama. Rambut hitam dan tebal tersisir rapi, mengilat karena minyak rambut, serta parfum maskulin kian menambah memukau pesona sang pria.Penampilannya yang begitu cerah tidak sebanding dengan parasnya yang kental digelayuti duka. Patah hati adalah penyebab Derry demikian, tersebab yang menjadi belahan jiwanya memutuskan menikah dengan pria pilihannya.Berkali-kali mencoba ikhlas, tetap saja nyeri itu menyelinap diam-diam sehingga sesak menaktahi dada. Meskipun sekarang ada Rena yang mulai dekat bahkan sepakat saling mendekatkan diri dalam artian pacaran, jauh di palung hati cinta terhadap Zie belum bisa diakhiri."Nak, kamu belum berangkat?" Ucapan disertai sentuhan lembut di bahu oleh Bu Laila se
"Zievana ... adalah adik kandungku." Zevano berkata dengan nada hati-hati.Kali ini Haura yang terperanjat, berkata dengan terbata, "Apa, Ziezie? Zievana adalah Ziezie?"Vano mengangguk, benar dugaannya kalau Haura bakal seterkejut itu. "Dan Rara adalah Syahra?""Ya Tuhan, mereka adik-adik kita." Ketidakpercayaan tergambar dari sikap dan raut wajah Haura. "Kita hanya tahu nama panggilan kecil mereka, tanpa tau nama yang sebenarnya, aku pikir Zievana orang lain, ternyata dia adikmu.""Apa kamu tidak pernah bertemu Zie selama adikku di Jakarta?""Tidak, aku tidak pernah bertemu sekalipun dengannya. Aku hanya tau Zievana dari Syahra dan aku sama sekali tidak berpikir bahwa dia adalah Ziezie, adikmu.""Aku juga tidak menyangka, Rara adalah Syahra, calon istri dari Andra. Yaa Tuhan, rencana-Mu sungguh sempurna, melibatkan kita semua dalam satu perkara, tanpa ada yang menyadari bahwa kita begitu dekat."Keduanya dihadapkan keterkejutan dengan fakta yang terungkap. Percakapan pun merembet pa
Wanita berambut lurus sepunggung pemilik restoran itu beralih memberi sopan santun pada orang tua Vano. "Apa kabar, Om Tante?""Alhamdulillah, kami baik, Nak." Pak Rudi menjawab bersamaan dengan istrinya.Kali ini netra bening itu tertuju pada Vano."Haura, kamu ... di sini ...." Kegugupan tidak dapat Vano cegah. "Iya, aku di sini." Haura mengukir senyum termanis yang dia punya. "Ridho, letakan hidangannya ya, jangan lupa buatkan makanan penutup yang saya sebutkan tadi.""Baik, Bu."Satu hal hidangan berpindah ke meja. Vano agak tercengang, makanan yang dipesannya jauh lebih banyak dan beragam dari yang dipesannya."Ini semua...." Ucapan Vano terpangkas oleh ekspresi Haura. Melalui gerakan mata, wanita itu mencoba menyampaikan kata. Vano paham, tidak lagi bicara.Kedua orang tua Zevano masih mengingat-ingat siapa pemilik wajah bulat yang mirip dengan penyanyi diva terkenal sepanjang masa, Yuni Sahra itu. "Haura? Melihat dari paras cantik itu, melihat kamu kekasih Vano di masa lalu?"
"Tolong katakan, di mana Syahra?" Andra mendesak Haura untuk kali kesekian."Sudah kubilang, lupakan Syahra, dan tidak perlu lagi bertanya bagaimana keadaannya." Dingin dan tanpa ekspresi sikap yang ditunjukan Haura."Aku hanya ingin tahu kondisinya saat ini. Apakah dia baik-baik saja?" Andra kukuh menuntut jawaban. Bagaimanapun ia pernah dekat dengan Syahra, rasa khawatir campur penasaran mencengkram kuat perasaan."Syahra baik-baik saja, ok! Aku sibuk, mau melanjutkan pekerjaan." Haura memutar badan.Andra tidak puas dengan jawaban yang diberikan lawan bicaranya. Namun, ia memahami sifat Haura, yang lebih memilih bungkam, ketimbang memberinya penjelasan.Janggal, Andra merasakan hal itu pada sikap Haura, seolah tengah menyembunyikan sesuatu, dan jelas itu tentang Syahra, pikirnya."Setidaknya beritahu aku dimana dia." Andra tidak menyerah, mencekal lengan Haura sebelum melangkah lebih jauh."Apa pedulimu tentangnya? Sudahlah, lupakan adikku, lanjutkan rencana pernikahanmu dengan Zie
Pagi biru cerah hujan semesta yang biasanya dinaungi awan mendung kemudian disusul serbuan tetes. Aroma petricor menusuk tajam indera penciuman siapa saja yang berada di rumah sakit ini.Di sebuah ruangan perawatan, kedua netra Syahra terbuka, yang pertama kali dilihat langit-langit kamar serba putih. Dua hari dirawat, keadaannya masih terlihat lemah, karena darah cukup banyak yang terbuang.Perasaan hampa sewaktu ia terjaga. Berapa kali kita memperhatikan raga, sesak mendera dada, diikuti bayang kematian yang seolah siap menyambutnya. Namun, entah mengapa Sang Pencipta lagi dan lagi membiarkannya bagian dari semesta. Menjaga nyawa tetap pada raganya.Keheningan terusik dengan pintu yang berdecit pelan, pertanda seseorang masuk sambil mengucap salam. Alih-alih menjawab, Syahra membuang muka, memejamkan mata, seolah enggan bersitatap dengan pria yang kini mulai mendekatinya."Syahra, apa kabar?" Nathan duduk di pinggir ranjang, mengelus jemari lentik kurus dan pucat.Sang wanita bergem
"Syahraaa! Apa yang kamu lakukan?!""A--an--dra ...." Satu kata terpatah-patah terucap, sebelum akhirnya Syahra benar-benar hilang kesadaran.Untuk mencari Andra terhanyut dalam bingung. Detik kemudian dia mengumpulkan tubuh tidak berdaya itu, kemudian membawanya untuk dibawa ke luar kamar.Menuruni tangga agak kesulitan. Salah seorang pelayan wanita terkejut, kemudian berlari membukakan pintu, agar Andra dapat dengan mudah menuju kendaraannya yang diparkir di halaman."Cepat bukakan pintu mobil belakang!" Tatapan tertuju pada pelayan pria yang sepertinya baru selesai buang sampah, segera dianggukinya mengikuti perintah."Bisa nyetir?" tanya andra.Kembali sang pelayan mengangguk disertai jawaban, "Bisa, Pak.""Cepat ke rumah sakit!"Usai berkata demikian, Andra menempatkan sang wanita di jok belakang bersamanya. Pria itu menjadikan pahanya sebagai alas kepala. Tidak berapa lama kendaraan warna hitam meninggalkan kediaman Syara.Andra membalut yang teriris potongan kaca oleh saputanga
"Zievanaaa!" Teriakan Rena memekakkan telinga. Sontak Zie menutup kuping, supaya gendangnya terhindar dari kerusakan."Eh, Patung Kerdil, itu suara apa toa soak, sih? Bikin sakit kuping orang!"Rena terbahak, paling suka kalau sudah mencandai sahabatnya, seakan terlupa masalah kerumitan hidup. Puas dengan tawanya sampai mengeluarkan air mata, Rena mengembuskan napas sambil menyelipkan anak rambut yang berantakan ke belakang telinga. Mata Rena memindai setiap inci wajah cantik di hadapannya. "Kamu beda banget, Upik Abu. Masyaa Allah, kamu ketiban hidayah dari mana, sampai penampilanmu berubah drastis kek gitu?" Rena berdecak sambil geleng-geleng kepala.Rena mengakui perubahan Zie yang semakin mempesona, pantas saja Andra tergila-gila terhadap sahabatnya itu."Sialan, sahabat gak punya akhlak!" Menjitak gemas jidat Rena. "Masih banyak waktu, ngobrol dulu, yuk!" Zie menarik tubuh mungil sang sahabat, sampai Rena pontang-panting berusaha menyeimbangkan langkah wanita berpostur tinggi it