"Zie dipanggil Pak Andra ke ruangannya," ucap Pak Gayus.
Zie terang saja terkejut, seketika bergemuruhlah dalam dadanya. Rena yang duduk tidak jauh dari Zie ikut mendengarkan juga heran.
"M-mau apa, Pak?" Kegugupan tidak dapat Zie kendalikan.
Pak Gayus sedikit mencebik sambil menjengkitkan bahu. "Bapak juga kurang tau. Ayo, cepetan ke sana. Pak Andra tidak suka menunggu lama."
"I-iya, Pak."
Pria tambun berusia setengah abad itu meninggalkan Zie dalam kegamangan. Menggigit kuku ibu jari atau bibir bawah adalah suatu kebiasaan gadis berhidung mancung itu di kala bingung merecokinya.
Zie meratap sial, kenapa zona damainya tidak bisa ditawar kembali ke semula, di kala Andra belum menginjakkan kaki di pelataran gedung megah Pranajaya Jakarta.
Kenapa pria tersebut tidak berdiam di Semarang saja, tempatnya meraja sebagai direktur perusahan cabang. Kenapa Pak Anjay harus menyerahkan jabatannya pada anak kedua, lalu anak pertama di mana?
Kenapa, kenapa, kenapa?
Zie merafal istighfar dalam hati, pikiran konyolnya terlalu jauh melantur, sehingga bentakan Pak Gayus menggetarkan gendang telinganya.
"Ziiie ...."
"Iya, Pak, iya. Saya segera ke sana!"
Duh, mau ngapain, sih, Pak Andra manggil aku segala, perasaan aku gak punya kesalahan kerja! Otak Zie berputar mencari sekelumit masalah yang tercipta tanpa sengaja, sehingga dia disuruh menghadap ketua.
Tidak ada! Semua baik-baik saja.
"Zie, mudah-mudahan Pak Andra ngajak merit. Jangan lupa kabari hasil pertemuannya, ya?" Rena kepo, menaik-turunkan alis, dengan ekspresi konyol.
"Dasar bubuk terigu sisa dipatuk ayam!" Zie melempar gulungan kertas yang dia remas ke arah Rena, lantas meninggalkan gadis mungil yang sedang terkikik.
**
Debur di dada kian meningkat gelombangnya, lima menit Zie berdiri di hadapan pintu bertuliskan nama pria si penabuh genderang rasa di dalam dada.
Entah rasa yang bagaimana, saking banyak yang dia rasakan, sehingga Zie sendiri kesulitan mendeksprisikannya.
Ketukan dua kali dari jarinya langsung mendapat sahutan dari dalam. Selepas membanting napas, Zie mengumpulkan kekuatan untuk mengantisipasi, takut sesuatu terjadi, seperti tempo hari.
Pintu berdecit pelan, Zie melangkah penuh irama kehati-hatian, seakan takut ujung lancip heeghilss yang dipakainya meninggalkan goresan pada keramik marmer mahal indah mengilat.
Perasaan takjub kembali menari-nari di mata Zie saat menginjakkan lagi di kantor mewah bernuansa elegan. Aroma lavender menyambar indera penciuman membuat hati sang gadis kembali dirasuki damai.
Namun, hanya sekilat rasa tentram itu menyapa, saat pandangan bersirobok dengan netra legam milik Andra, gemuruh di dalam dada kembali berulah. Mengundang keluh tidak berkesudahan di hati Zie.
"Se-selamat pagi jelang siang, Pak." Meskipun sudah mati-matian mengatur nada suara agar tidak kentara dengan kegugupan, hasilnya tetap saja memalukan.
Andra tidak menjawab. Punggung bersandar di sandaran kursi kebesaran, siku bertumpu di lengan kursi dengan jari ditaruh di bibir. Matanya mengamati lekuk padat indah yang pernah membuatnya seperti minum Vodka, memabukan.
Andra melempar tatapan yang mampu membekukan sel-sel saraf dalam tubuh Zie, serta membuat jantung liar berlompatan. Sang gadis memilih menunduk, menatap mesra sepatunya.
"Kamu tau kenapa aku memanggilmu?" Suara berat Andra memecah kesunyian.
Zie menggeleng, tanpa berani mengubah posisinya berdiri sambil tertunduk dalam.
"Duduk!" titah Andra tegas.
Tanpa menimpali, Zie mengikuti perintah sang bos. Kini mereka saling duduk berhadapan yang disekat meja tengah-tengah.
Gadis itu tetap setia menunduk, kali ini remasan jemari lengket dibasahi keringat yang jadi sasaran, ketimbang menatap pria tampan bak dewa di seberang sana.
Andra menggeser kertas yang sedari tadi teronggok di atas benda persegi panjang yang terbuat dari jati hitam di depannya ke hadapan Zie.
"Kamu membohongi perusahaan ... Zievana." Ucapan Andra sukses mendongakkan kepala Zie. Keningnya nyaris menyatu.
"Maksud, Pak Andra?"
"Dalam formulir tertulis statusmu belum menikah, nyatanya kamu sudah bersuami bahkan sudah memiliki anak. Bisa kamu jelaskan ... Zievana?!"
"Pak ... a-aku--"
"Zievana!" Andra tidak memberi kesempatan Zie melakukan pembelaan.
Sang pria beranjak dari kursi, kemudian memutari pinggir meja. Berikutnya pria itu menaruh pantat di sisi meja, samping gadis yang tengah menggigit bawah bibirnya.
Ekspresi dan tingkah Zie demikian justru mengundang cairan merah pekat dalam tubuh sang pria menggelegak, panas. Kelopak tipis merah sensual itu yang paling Andra candui.
Andra menahan semua rasa yang membuncah dengan mengalihkan tatapan pada kertas berupa formulir data-data kerja milik Zie. Jarinya diketukkan pada lembar putih tersebut.
"Kamu mulai bekerja tepat satu tahun, di sini tidak dijelaskan kamu cuti hamil, bahkan masih single. Katakan ... apa maksud semua ini?"
Zie terhenyak. Otaknya bekerja dalam diam, merangkai tanya bagaimana Andra bisa tahu dirinya memiliki anak. Sedangkan sewaktu melamar kerja, dalam data-datanya ia tulis tidak memiliki pasangan.
Hanya Rena yang tahu perihal dirinya di luar kantor, tapi tidak mungkin sahabatnya itu yang membocorkan. Zie sangat mengenal luar dalamnya gadis mungil itu, jadi tidak mungkin melakukannya.
"Bu-bukankah setiap perusahaan tidak ada peraturan mengenai sudah punya anak atau belum, masih gadis atau sudah menikah, yang penting kriteria kerjanya, dan saat melamar sedang tidak hamil, sedangkan aku mengikuti prosedur menunggu melahirkan dahulu baru melamar kerja." Zie mendongak, memberanikan menantang netra legam yang semula menyorot tajam, kini tatapan sendu nan lembut yang terpancar di sana.
Andra bersikap jemawa, tangan bersedekap di depan dada. Penuturan Zie yang panjang lebar sesungguhnya menuai puji secara diam-diam, bahwa gadis itu memilih kata yang tepat sebagai pembelaan.
Andra menarik sang gadis supaya berdiri. Membuat Zie sejajar di depannya. Dua tatapan beradu, menimbulkan satu desiran yang sama.
Zie kembali menunduk, takut Andra membaca ada gejolak dahsyat dalam dada yang merangkak ke mata.
"Memang! Kasusmu bukan karena kamu sudah menikah dan punya anak, tapi caramu itu menipu perusahaan dengan data-data bodong. Dan itu bukan masalah sepele bagi perusahaan Pranajaya. Kami tidak menerima data-data palsu, paham?!" Lembut, tapi mengandung ancaman terselubung, untaian yang Andra dengungkan.
Zie disergap gundah, yang dikatakan Andra tidak bisa didebat balik. Bagaimana kalau berakhir pada pemecatan dirinya. Ketakutan tercetak jelas di wajah pucat kesi itu.
"Apakah pria yang mengantarmu tadi ... suamimu?" Andra menyelipkan anak rambut Zie ke belakang telinga, tersebab menghalangi pemandangannya pada wajah cantik itu.
"Derry?"
"Hmmm, jadi namanya Derry?" Terdengar sinis saat mengucap nama itu.
Zie mengangguk kecil. Jari telunjuk Andra bertingkah dengan lembut, menyusuri pelipis, turun ke pipi, dan berakhir menyapu bibir tipis bergetar. Kembali sang gadis menggigit sekerat daging kenyal merah delima bagian bawah miliknya, sehingga gerakan jari terhenti.
Sial! Andra merutuki akalnya yang mulai terkontaminasi oleh hasrat yang terpancing.
"Berhentilah melakukan itu, Zievana!" sentak Andra, seraya meluruskan badan menjadi berdiri tegap. Sorot elang itu kembali menajam.
Zie tersentak mundur, tidak mengerti maksud Andra.
"Kenapa kamu selalu kabur dariku? Kenapa kamu tidak memberiku kesempatan menemuimu? Kenapa kamu membuat sekeping hati sekarat akan rindu, dan .... Kenapa kamu mengkhianatiku, Zievana Khairunisa?!" Andra sedikit mengguncang bahu Zievana.
Mulut gadis itu menganga, rasa hangat dan nyaman tiba-tiba menjalar di rongga dada, disebabkan kalimat demi kalimat pengakuan secara spontan yang didengungkan Andra dengan penuh penekanan.
Namun, kata terakhir menimbulkan satu pertanyaan di benak Zie, 'Aku mengkhianatinya tentang apa?'
Bersambung
Zie kembali ke ruang kerja dengan wajah yang ditekuk. Lemas bagai raga habis dilolosi tulang, dan tentu saja mengundang tanya sang ratu kepo Rena. Gadis mungil itu langsung menghampiri, dengan menggeser kursi berodanya saat Zie tiba di meja kerja."Kamu kenapa kok, murung, Zie?" Rena siku di meja, tangan yang digunakan untuk menopang dagu. Mengamati raut yang berlapis mendung sang sahabat.Zie menghela napas, kemudian menjatuhkan telengkup, kening menempel di lengan yang saling tumpang tindih di atas meja. erangan resah, menambah keheranan Rena semakin memenuhi pikiran."Zie, hei, Zie! Jangan bikin aku cemas, dong! Sikapmu kek abis dilamar buaya darat bangkotan."Ucapan konyol Rena menggerakkan kepala Zie, sehingga sedikit mendongak. "Aarrrggghh!" pekik Zie tiba-tiba sambil mengacak rambut.Rena terlonjak sampai mundur bersama kursinya, meraba dada merasakan detak jantung yang tidak beraturan. Wajah merengut. Karyawan di dekat mereka langsung terkejut, lantas membocorkan aneh penuh
Meskipun Andra tidak ingin ikut campur permasalahan sakitnya Alana, tapi ia seolah ditarik masuk dalam kecemasan seperti yang Zie dan Bu Laila rasakan.Pria yang memiliki postur tinggi itu bergeming tidak jauh dari ambang pintu, mengamati Zie dengan wajah khawatir mengambil Alana dari gendongan Bu Laila.Bayi berusia tiga belas bulan itu menangis, Zie nampak kesulitan meredakan sambil menimang-nimang. Sesekali melirik pria yang datang bersamanya, seolah menyampaikan kata melalui pancaran mata bahwa ia membutuhkannya."Apa kamu tidak mau menyusuinya?" Andra buka suara, dari nadanya terdengar agak jengkel, tersebab prihatin dengan kondisi malaikat kecil yang terus mendengungkan tangis sampai suaranya parau."Aku sudah tidak menyusui ASI, Alana minum susu formula. Karena ASI-ku sedikit, tidak memuaskannya, lalu dia berhenti sendiri."Pantas, bagian dada Zie normal-normal saja, pikir Andra.Pria berambut cepak itu masuk lebih dalam lagi, mendekati Zie. Tangannya lantas menyentuh kening Al
Rena berlari dari arah kontrakannya yang berada di seberang."Hai, Ren." Zie melempar senyum pada sahabat baiknya itu."Eh, Pak Andra. Selamat malam, Pak." Meskipun dari kejauhan sudah melihat Zie ditemani bos mereka, perasaan kikuk tetap hinggap di hati Rena saat berhadapan."Malam." Andra mengangguk kecil, seraya menyunggingkan senyum tipis.Rena mengalihkan perhatian kembali ke tujuan utama, menanyakan kabar buah hati sahabatnya. "Gimana keadaan Alana, dia baik-baik saja, kan?" Meraba kening sang bayi, panasnya mulai sedikit reda."Alana baik-baik saja.""Ah, syukurlah. Ya, udah deh, bawa masuk gih, udara malam gak bagus buat Alana.""Kamu masuk dulu, Ren," tawar Zie, berharap Rena mau menemaninya di dalam. Perasaan tidak enak menyapa jika harus berduaan dengan Andra nantinya.Rena melirik sang pria yang hanya diam membisu seperti patung manekin tampan. Gadis mungil itu menggeleng, tanda menolak tawaran sahabatnya. Zie mendesah pelan."Aku lagi ada kerjaan, Zie. Biar Pak Andra aja
"Dia?" Andra menunggu Zie melanjutkan kata-katanya dengan rasa penasaran tinggi. "Bukan suamiku."Andra diam, lebih intens masuk ke netra bening Zie, mencoba berenang di kedalamannya demi menemukan sebuah fakta dari dua kata yang meluncur melalui bibir semerah delima."Derry... dia hanya berusaha jadi pria yang melindungiku juga Alana. Hanya itu."Andra mendesah pelan, lalu menertawakan diri sendiri. Dari hari ke hari membiarkan diri jadi manusia bodoh. Praduga yang dikuasi tidak jelas dan kecemburuan tidak beralasan. Bukannya menemukan kebenaran malah berkubang dengan lara.Tangan kanan Andra terangkat, menyentuh pipi selembut kapas, sedingin es karena diterpa angin malam. Mengelus, mengalirkan kehangatan disertai sensasi yang tidak biasa.Andra mendorong sedikit tubuh Zie hingga bersandar di mobil. Mereka berdiri tanpa jarak, sehingga napas panas saling menyapu wajah. "Aku mau kamu ... jadi milikku, Zievana.""Pak Andra...." Bibir Zie tertarik kelu. Tenggorokan seperti ada yang me
Jantung Zie serasa terlempar dari tempatnya, wajah pucat kesi, melihat sosok gagah berdiri menjulang di hadapan dengan senyum manis terukir di bibirnya. Sebuah rasa sakit dan kecewa merangsek masuk tanpa aba-aba. Zie tidak tahu bagaimana cara menggambarkan kedua rasa itu. Demi Tuhan, Pak Andra adalah calon suami Mbak Syahra--si wanita berhati Malaikat, jerit hati Zievana.Wanita berambut panjang hitam bergelombang itu mencoba memunguti kepingan-kepingan indah saat bersama Andra. Meskipun singkat, tapi sangat membekas. Barisan aksara yang mengalun merdu dua hari lalu tentang 'Kamu Milikku', masih segar diingatan, bahkan di abadikan di memory otak paling terdalam. Namun, baru saja Zie mencecap manisnya cinta, kini langsung dihempas badai nestapa."Zie, kamu baik-baik saja?" Syahra menyentuh tangan Zie yang dingin.Zievana tersadar dari angan yang melambungkannya. Andra sudah duduk di dekat Syahra tanpa Zie tahu kapan bergeraknya. Tanpa disadari oleh kedua wanita itu, sang pria sedang
"Pak Andra kenapa, Zie?" Rena dibuat penasaran oleh kata-kata Zie."Pak Andra adalah ayah kandung Alana.""Apaa?"Zie secepat kilat membungkam mulut Rena dengan tangan kanan, tangan kiri depan di bibir itu sendiri. Kepalanya celingak-celinguk, takut pekikan Rena mengundang perhatian.Beberapa orang terpancing, menoleh ke arah dua gadis yang terlihat seperti sedang berseteru itu dengan rasa curiga. Zie mengangguk sopan sebagai kode permintaan maaf, mereka menanggapi dengan gelengan kepala.kebiasaan! Pikir mereka."Jangan teriak napa, Dodol Bulukan! Noh, orang-orang pada curiga."Rena mengacungkan dua jari, membentuk huruf 'V'. Zie menurunkan tangan dari wajah gadis itu."Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah, kamu gak lagi ngelindur kan, Zie?" Ekspresi Rena kentara sekali dengan keterkejutan. matanya melotot sempurna."Kamu bisa melihat wajah anakku mirip siapa?" Suara Zie sendu sambil memandang manik mata sahabatnya."Gila! Jika aku inget-inget lagi, Alana dan Pak Andra waja
Zie membocorkan lekat sang pria lalu berkata, "Untuk apa Pak Andra ingin tahu siapa ayah Alana?"Andra perhatiannya kepada arah sang wanita. Dia bangkit, berjalan mendekati Zie yang mulai mundur dan berahkir dengan punggung menempel di dinding kamar."Dia putriku? Dia darah dagingku, kan?" Andra berjarak di antara mereka. Menempelkan telapaknya di kiri kanan tembok, wajah Zie.Zie merasakan embusan napas panas Andra di wajah dan sedikit pengalaman. Aroma maskulin merangsek indera penciumannya sehingga sel-sel dalam tubuh mulai bereaksi tegang."Katakan, Zie? Jelaskan yang kamu sembunyikan dariku?"Keheningan ruangan. Andra menunggu penjelasan dari bibir semerah delima yang justru sedang hanyut dalam kebingungan."Aku menunggu, Zievana." Andra mendesis."Ka-kalau Alana p-putrimu, apa yang akan Pak Andra l-lakukan?" Zie kepayahan tanya. Tenggorokan bagai tercekik sesuatu tidak kasat mata."Jadi... benar, Alana hasil perbuatan kita di malam itu?"Zie tidak menjawab lalu, menutup mata, me
Derry menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, lalu menerawangkan pikirannya pada beberapa jam lalu saat berhasil mengajak Zie dan Alana jalan-jalan.Dia sempat kesulitan merayu Zie mengabulkan keinginannya ke luar dari rumah untuk menikmati malam panjang yang cerah. Lagi dan lagi Bu Laela ikut berperan membujuk bunda dari Alana itu memenuhi keinginan sang putra."Zievana, aku cinta kamu." Bibir Derry menyuarakan isi hati sambil membayangkan kejadian langka penuh bahagia tadi."Kita mau ke mana, Derr?" tanya Zie di atas motor kala itu."Nanti kamu setelah kita tiba di sana," jawab Derry. Kemudian tidak ada lagi percakapan di atas motor.Alana di taruh di tengah di pangkuan Zie sehingga membatasi Derry dengannya yang bisa membatasi. Kuda besi roda dua itu memacu dengan kecepatan standar berkesan berkesan sebab angin kencang berdampak pada Alana."Kita ke tempat yang banyak permainan buat Alana ya, Zie," ucap Derry setibanya mereka di sebuah plazza dan saling melepaskan helm."Tapi
Empat hari berlalu semenjak resepsi pernikahan bos muda Affandra Adiaksa Pranajaya dengan Zievana Khairunisa. Kini sepasang pengantin baru itu sedang berada di restoran mewah milik Haura.Keduanya sepakat untuk lanjut mencari tahu di mana keberadaan Syahra. Ada banyak pertanyaan membelit pikiran mereka, masih ada atau tiada wanita yang mereka cari.Sebelum pokok pembicaraan dimulai, Haura dan Zie saling tukar kabar terlebih dahulu. Bercakap ringan mengenai kelanjutan hubungan Haura dan Zevano, yang disambut semringah oleh kakak dari Syahra itu.Zie berharap penuh, Haura adalah wanita terbaik yang Tuhan pilihkan untuk Zevano, juga ibu sambung untuk Zaidan.Pembahasan pun perlahan mulai teralihkan. Haura tahu persis tujuan Andra dan Zie ke restorannya bukan karena ingin menikmati menu yang tersedia di sana, tapi untuk mengorek sampai ke akar-akarnya perihal Syahra.Dan itu terbukti saat Andra mulai mengajukan tanya, "Pertanyaanku masih sama, di mana Syahra berada?""Kalian masih ingin t
Usai resepsi pernikahan, Andra langsung memboyong wanitanya ke rumah dia sendiri, meskipun kamar pengantin disediakan di hotel itu, tetap memilih pulang. Sementara apartemen Zie ditempati keluarga Hadisusilo selama mereka tinggal di Jakarta.Netra Zie memonitor rumah megah berlantai dua dengan arsitektur Victoria. Kekaguman terpancar jelas atas kemewahan dari setiap bahan-bahan bangunan di depannya."Ini rumah kita," ucap Andra. Menyelipkan jemari kokohnya di sela-sela jari sang istri, menimbulkan gelenyar aneh pada diri Zie. Senyum mereka kian merekah, layaknya remaja sedang kasmaran, dimabuk cinta.Melangkah bersamaan memasuki rumah yang pintunya dibuka dari dalam oleh seorang pelayan. Kembali Zie terkagum-kagum atas keindahan isi bangunan ini. Di dalamnya jauh lebih megah dan serba mewah."Kamar kita ada di lantai dua." Kembali Andra menarik lembut Zie yang masih ada dalam mode terpukau. Mengikuti ke mana langkah sang pria tanpa kata.Rasanya seperti masih berada dalam dunia mimpi
Sementara itu di tempat yang berbeda, di waktu bersamaan dengan acara pernikahan Zievana dan Andra, Derry mondar-mandir resah di kamarnya. Penampilannya sangat rapih, khas dandanan mau ke pesta. Kemeja putih tertutup jas blazer pria warna abu-abu muda, selaras dengan celananya yang berwarna sama. Rambut hitam dan tebal tersisir rapi, mengilat karena minyak rambut, serta parfum maskulin kian menambah memukau pesona sang pria.Penampilannya yang begitu cerah tidak sebanding dengan parasnya yang kental digelayuti duka. Patah hati adalah penyebab Derry demikian, tersebab yang menjadi belahan jiwanya memutuskan menikah dengan pria pilihannya.Berkali-kali mencoba ikhlas, tetap saja nyeri itu menyelinap diam-diam sehingga sesak menaktahi dada. Meskipun sekarang ada Rena yang mulai dekat bahkan sepakat saling mendekatkan diri dalam artian pacaran, jauh di palung hati cinta terhadap Zie belum bisa diakhiri."Nak, kamu belum berangkat?" Ucapan disertai sentuhan lembut di bahu oleh Bu Laila se
"Zievana ... adalah adik kandungku." Zevano berkata dengan nada hati-hati.Kali ini Haura yang terperanjat, berkata dengan terbata, "Apa, Ziezie? Zievana adalah Ziezie?"Vano mengangguk, benar dugaannya kalau Haura bakal seterkejut itu. "Dan Rara adalah Syahra?""Ya Tuhan, mereka adik-adik kita." Ketidakpercayaan tergambar dari sikap dan raut wajah Haura. "Kita hanya tahu nama panggilan kecil mereka, tanpa tau nama yang sebenarnya, aku pikir Zievana orang lain, ternyata dia adikmu.""Apa kamu tidak pernah bertemu Zie selama adikku di Jakarta?""Tidak, aku tidak pernah bertemu sekalipun dengannya. Aku hanya tau Zievana dari Syahra dan aku sama sekali tidak berpikir bahwa dia adalah Ziezie, adikmu.""Aku juga tidak menyangka, Rara adalah Syahra, calon istri dari Andra. Yaa Tuhan, rencana-Mu sungguh sempurna, melibatkan kita semua dalam satu perkara, tanpa ada yang menyadari bahwa kita begitu dekat."Keduanya dihadapkan keterkejutan dengan fakta yang terungkap. Percakapan pun merembet pa
Wanita berambut lurus sepunggung pemilik restoran itu beralih memberi sopan santun pada orang tua Vano. "Apa kabar, Om Tante?""Alhamdulillah, kami baik, Nak." Pak Rudi menjawab bersamaan dengan istrinya.Kali ini netra bening itu tertuju pada Vano."Haura, kamu ... di sini ...." Kegugupan tidak dapat Vano cegah. "Iya, aku di sini." Haura mengukir senyum termanis yang dia punya. "Ridho, letakan hidangannya ya, jangan lupa buatkan makanan penutup yang saya sebutkan tadi.""Baik, Bu."Satu hal hidangan berpindah ke meja. Vano agak tercengang, makanan yang dipesannya jauh lebih banyak dan beragam dari yang dipesannya."Ini semua...." Ucapan Vano terpangkas oleh ekspresi Haura. Melalui gerakan mata, wanita itu mencoba menyampaikan kata. Vano paham, tidak lagi bicara.Kedua orang tua Zevano masih mengingat-ingat siapa pemilik wajah bulat yang mirip dengan penyanyi diva terkenal sepanjang masa, Yuni Sahra itu. "Haura? Melihat dari paras cantik itu, melihat kamu kekasih Vano di masa lalu?"
"Tolong katakan, di mana Syahra?" Andra mendesak Haura untuk kali kesekian."Sudah kubilang, lupakan Syahra, dan tidak perlu lagi bertanya bagaimana keadaannya." Dingin dan tanpa ekspresi sikap yang ditunjukan Haura."Aku hanya ingin tahu kondisinya saat ini. Apakah dia baik-baik saja?" Andra kukuh menuntut jawaban. Bagaimanapun ia pernah dekat dengan Syahra, rasa khawatir campur penasaran mencengkram kuat perasaan."Syahra baik-baik saja, ok! Aku sibuk, mau melanjutkan pekerjaan." Haura memutar badan.Andra tidak puas dengan jawaban yang diberikan lawan bicaranya. Namun, ia memahami sifat Haura, yang lebih memilih bungkam, ketimbang memberinya penjelasan.Janggal, Andra merasakan hal itu pada sikap Haura, seolah tengah menyembunyikan sesuatu, dan jelas itu tentang Syahra, pikirnya."Setidaknya beritahu aku dimana dia." Andra tidak menyerah, mencekal lengan Haura sebelum melangkah lebih jauh."Apa pedulimu tentangnya? Sudahlah, lupakan adikku, lanjutkan rencana pernikahanmu dengan Zie
Pagi biru cerah hujan semesta yang biasanya dinaungi awan mendung kemudian disusul serbuan tetes. Aroma petricor menusuk tajam indera penciuman siapa saja yang berada di rumah sakit ini.Di sebuah ruangan perawatan, kedua netra Syahra terbuka, yang pertama kali dilihat langit-langit kamar serba putih. Dua hari dirawat, keadaannya masih terlihat lemah, karena darah cukup banyak yang terbuang.Perasaan hampa sewaktu ia terjaga. Berapa kali kita memperhatikan raga, sesak mendera dada, diikuti bayang kematian yang seolah siap menyambutnya. Namun, entah mengapa Sang Pencipta lagi dan lagi membiarkannya bagian dari semesta. Menjaga nyawa tetap pada raganya.Keheningan terusik dengan pintu yang berdecit pelan, pertanda seseorang masuk sambil mengucap salam. Alih-alih menjawab, Syahra membuang muka, memejamkan mata, seolah enggan bersitatap dengan pria yang kini mulai mendekatinya."Syahra, apa kabar?" Nathan duduk di pinggir ranjang, mengelus jemari lentik kurus dan pucat.Sang wanita bergem
"Syahraaa! Apa yang kamu lakukan?!""A--an--dra ...." Satu kata terpatah-patah terucap, sebelum akhirnya Syahra benar-benar hilang kesadaran.Untuk mencari Andra terhanyut dalam bingung. Detik kemudian dia mengumpulkan tubuh tidak berdaya itu, kemudian membawanya untuk dibawa ke luar kamar.Menuruni tangga agak kesulitan. Salah seorang pelayan wanita terkejut, kemudian berlari membukakan pintu, agar Andra dapat dengan mudah menuju kendaraannya yang diparkir di halaman."Cepat bukakan pintu mobil belakang!" Tatapan tertuju pada pelayan pria yang sepertinya baru selesai buang sampah, segera dianggukinya mengikuti perintah."Bisa nyetir?" tanya andra.Kembali sang pelayan mengangguk disertai jawaban, "Bisa, Pak.""Cepat ke rumah sakit!"Usai berkata demikian, Andra menempatkan sang wanita di jok belakang bersamanya. Pria itu menjadikan pahanya sebagai alas kepala. Tidak berapa lama kendaraan warna hitam meninggalkan kediaman Syara.Andra membalut yang teriris potongan kaca oleh saputanga
"Zievanaaa!" Teriakan Rena memekakkan telinga. Sontak Zie menutup kuping, supaya gendangnya terhindar dari kerusakan."Eh, Patung Kerdil, itu suara apa toa soak, sih? Bikin sakit kuping orang!"Rena terbahak, paling suka kalau sudah mencandai sahabatnya, seakan terlupa masalah kerumitan hidup. Puas dengan tawanya sampai mengeluarkan air mata, Rena mengembuskan napas sambil menyelipkan anak rambut yang berantakan ke belakang telinga. Mata Rena memindai setiap inci wajah cantik di hadapannya. "Kamu beda banget, Upik Abu. Masyaa Allah, kamu ketiban hidayah dari mana, sampai penampilanmu berubah drastis kek gitu?" Rena berdecak sambil geleng-geleng kepala.Rena mengakui perubahan Zie yang semakin mempesona, pantas saja Andra tergila-gila terhadap sahabatnya itu."Sialan, sahabat gak punya akhlak!" Menjitak gemas jidat Rena. "Masih banyak waktu, ngobrol dulu, yuk!" Zie menarik tubuh mungil sang sahabat, sampai Rena pontang-panting berusaha menyeimbangkan langkah wanita berpostur tinggi it