"Pedro, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Clara terlihat ketakutan mengingat saat terakhir dia bertemu dengan Pedro yang hampir saja memperkosanya. Dia berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman tangan Pedro yang kekar."Tenang, Clara. Jangan ketakutan seperti itu, aku tidak akan menyakitimu," jawab Pedro mempertahankan cengkramannya dengan senyumnya yang licik. Meskipun Pedro berusaha menenangkan Clara, tatapan matanya tetap menusuk dan membuat hati Clara berdegup kencang.Pedro kemudian menarik Clara menjauhi lift dan akan mengajaknya keluar dari gedung apartemen tersebut. Langkah kakinya mantap dan kuat, seakan tak ada kekuatan yang bisa melawan dirinya."Pedro, lepaskan aku. Kau akan membawaku kemana?" desis Clara dengan suara gemetar. Namun Pedro hanya tersenyum semakin lebar tanpa memberikan jawaban apapun kepada pertanyaan Clara.Clara merasa semakin tertekan oleh situasi ini. Dia mencoba untuk tetap tenang meski dalam hatinya sudah dipenuhi rasa takut dan cemas. Saat me
Clara menunggu Alexander dengan gelisah di dalam Penthouse. Sudah satu jam, suaminya itu masih di luar. Pikirannya melayang-layang, mencoba menebak apa yang sedang dilakukan oleh Alexander di luar sana."Apa sih, yang dia lakukan di luar?" gumam Clara pelan sambil berdiri dari tempat duduknya. Hatinya mulai resah dan kegelisahan semakin menghampiri dirinya.Namun, sebelum dia sempat membuka pintu menuju keluar, tiba-tiba saja pintu tersebut terbuka dengan sendirinya. Clara terkejut melihat Alexander sudah berada di depannya."Apa yang kau lakukan?" tanya Alexander heran saat melihat ekspresi wajah Clara yang penuh kekhawatiran."A-Aku... Kau terlalu lama di luar," ucap Clara canggung mencoba menjelaskan perasaannya pada suaminya.Namun, kata-kata Clara terputus begitu saja karena takut akan reaksi marah dari Alexander jika ia menyampaikan isi hati yang sebenarnya: rasa takut bahwa Alexander akan meninggalkannya lagi seperti sebelumnya. Keinginan untuk mempertahankan hubungan mereka me
Alexander melangkah keluar dari pintu gudang tua yang rapuh, meninggalkan Markus yang berdiri tegak di sana. Wajah Markus penuh dengan ekspresi tegas saat ia memerintahkan tiga orang besar dan kuat untuk menurunkan tubuh Pedro yang lemas dari gantungan itu, darah mengalir deras dari lukanya."Bawa pergi dia ke tempat sejauh mungkin," ucap Markus dengan suara rendah namun penuh otoritas, "sehingga sulit baginya untuk kembali ke kota ini lagi!"Ketiga orang tersebut hanya mengangguk sebagai jawaban atas perintah sang bos. Mereka segera merapatkan barisan dan dengan sigap mengangkat tubuh Pedro yang tak berdaya itu. Langkah mereka mantap menuju mobil Jeep hitam yang terparkir tidak jauh dari gudang tua tempat insiden mengerikan itu terjadi.Sementara itu, Alexander melangkah menjauhi gudang tersebut tanpa sepatah kata pun. Ekspresi wajahnya serius dan pikirannya tampak tenggelam dalam ketakutannya terlambat dan mengingkari janjinya kepada Clara. Ia tahu bahwa hal ini sangatlah tidak coco
"Bi Lea? Ada apa malam-malam datang ke sini? Apakah ada sesuatu yang terjadi pada Papa?" tanya Clara terkejut dengan kedatangan assisten rumah tangga ayahnya."Bi Lea, ayo masuk dulu. Kita bicara di dalam," pinta Alexander mencoba untuk tetap tenang."Nyonya Clara, Tuan William..." ucap Bi Lea dengan wajah serius."Papa? Ada apa?" Clara sangat panik, matanya mencari-cari jawaban dari ekspresi wajah Bi Lea."Clara, tenangkan dirimu. Ada apa dengan Tuan William, Bi Lea?" Alexander merangkul tubuh Clara untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Ekspresi cemas terpancar jelas dari raut wajahnya."Tadi ketika saya akan pulang ada tamu, dan sedikit terjadi pertengkaran," jelas Bi Lea sambil menundukkan kepala. Namun Clara tidak sabar untuk segera melihat kondisi ayahnya yang mungkin dalam bahaya."Tuan, ayo kita pergi ke apartemen Papa. Papa..." rengek Clara memohon kepada Alexander sambil meneteskan air mata kekhawatiran."Nyonya, maafkan saya. Saya sengaja datang ke sini karena saya khawatir
Clara menatap makam ayahnya dengan mata berkaca-kaca, Alexander yang berdiri di sampingnya mencoba menenangkannya dengan pelukan hangat. Mereka berdua terdiam sejenak, meratapi kepergian yang mendadak."Kita akan melaluinya bersama-sama, Clara," bisik Alexander sambil memeluk erat Clara.Clara hanya mengangguk lemah, air matanya masih mengalir deras. Namun, di balik kesedihan yang mendalam, ada keinginan yang berkobar dalam dirinya untuk mengetahui kebenaran.Sementara itu, Alexander merasa perlu untuk bertindak. Dia membiarkan Clara melepaskan kesedihannya sejenak di makam Papanya. Alexander sendiri melangkah perlahan menjauh dari pemakaman saat dirinya mendapat panggilan, wajahnyabtelrihat serius saat menerima panggilan tersebut. Dia tahu bahwa untuk membuktikan apa yang dicurigainya, dia harus menyelidiki dengan hati-hati.Langit senja mulai memerah ketika Clara dan Alexander meninggalkan pemakaman tersebut. Mereka berjalan berdampingan menuju mobil hitam milik keluarga mereka. Sua
Clara mengamati anting tersebut, dia mencoba mengingat siapa pemiliknya karena dia sangat familiar dengan anting itu. Anting dengan permata hijau."Bukankah ini anting Mama, yang dulu diambil oleh..." Clara terdiam sejenak, ingatan akan masa lalu mulai memenuhi pikirannya. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres dan perlu segera diungkap.Clara kini mengerti, jika Abigail pernah datang ke apartemen milik Ayahnya. Tanpa ragu lagi, Clara segera bergegas meninggalkan apartemen ayahnya dan menghubungi Alexander untuk memberitahunya bahwa saat ini dia akan pergi ke rumah lamanya.Setelah beberapa percakapan singkat dengan Alexander, mereka sepakat untuk bertemu di rumah lama Clara. Saat itu tiba, jantung Clara berdetak kencang ketika melihat rumah megah keluarganya terbengkalai begitu saja. Banyak rumput liar yang tumbuh di sana menambah kesan suram pada pemandangan yang disaksikan oleh Clara.Perlahan Clara membuka pagar rumah tersebut dan langkah kakinya semakin berat ketika ia melangkah
Selma merasa semakin kesal dengan sikap Alexander yang tampaknya tidak lagi memperhatikan keberadaannya. Ia merasa diabaikan dan terpinggirkan oleh anaknya sendiri. Dengan langkah berat, Selma akhirnya meninggalkan Penthouse Alexander sambil menahan emosi yang meluap-luap di dalam dirinya.Saat berjalan keluar dari gedung tersebut, pikiran Selma dipenuhi dengan rasa frustasi dan amarah. Ia tak habis pikir bagaimana seorang wanita murahan bisa membuat putranya begitu cuek padanya. Raut wajah Selma pun semakin gelap ketika ia membayangkan betapa rendahnya tingkat moralitas wanita itu."Dia pasti akan mendapat balasannya suatu hari nanti," desis Selma pelan sambil menoleh sekali lagi ke arah Penthouse tempat tinggal Alexander. Matanya bersinar penuh tekad untuk menghadapi si wanita murahan itu tanpa ampun.Dalam hati, Selma bertekad untuk memberikan pelajaran kepada siapa pun yang telah mencoba merusak hubungan antara dirinya dan sang anak. Ia tak akan tinggal diam melihat orang lain men
Di tengah perdebatan Clara dan Abigail, Polisi penyidik memanggil Abigail dan Rilla masuk ke dalam. Mereka berdua melakukan penyelidikan pada sidik jari mereka. Rupanya, hasil dari penyelidikan tersebut mengejutkan banyak pihak. Sidik jari yang ditemukan tidaklah milik Abigail atau Rilla seperti yang dituduhkan oleh Alexander. Hal ini membuat situasi semakin rumit karena misteri pembunuhan Tuan William belum terpecahkan.Setelah beberapa saat diam, tiba-tiba seorang detektif senior masuk ke ruangan tersebut dengan ekspresi serius di wajahnya."Dapat kabar dari laboratorium forensik bahwa ada DNA lain yang ditemukan di tempat kejadian perkara," ujar detektif senior tersebut.Hal ini membuat Clara dan Alexander terkejut."Tapi siapa pemilik DNA tersebut?" tanya Alexander penasaran.Detektif senior menggelengkan kepala sambil menjawab, "Belum diketahui secara pasti"Bagaimana bisa? Lalu anting ini?" tanya Clara bingung, begitu juga dengan Alexander.Abigail dan Rilla tertawa lega, mereka
Clara merasa risih ketika lelaki tua itu terus memandang ke arahnya. "Kakek, apakah ada yang salah dengan saya?" tanya Clara segera menutupi bagian dadanya dengan sweater yang dia pakai.Kakek Mia memaksakan senyum, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang melanda hatinya. "Tidak. Boleh Kakek melihat kalungmu lebih dekat?"Clara mengangguk sambil mencopot kalungnya dan menyodorkan kalungnya. "Ini, Kek. Ini adalah kalung peninggalan ibu. Ibu selalu bilang ini sangat berharga."Kakek Mia memegang liontin itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. "Di mana ibumu mendapatkannya?"Clara mengerutkan kening, merasa aneh dengan reaksi Kakek Mia. "Katanya ini pemberian dari nenekku. Aku tidak pernah bertemu nenek, dia meninggal sebelum aku lahir. Ibu juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."Kakek Mia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Clara,
"Tentu saja, Clara. Kau merasa keberatan ketika ada wanita lain yang melihat tubuhku," jawab Alexander dengan wajahnya yang tenang."Tapi jangan lakukan hal sekejam itu, Tuan. Kasihan dengan Mia," jawab Clara terlihat sedih."Clara, dia sangat kejam. Dia bahkan akan mencelakai dirimu dan anak kita dengan memberimu racun yang langka. Dia juga menjebakku dan membuatmu bersedih. Kau masih bisa mengasihinya?" protes Alexander heran melihat reaksi istrinya."Aku tidak akan membiarkan Mia menghancurkan hidupku dan membuatmu bersedih, jika aku tidak memberinya hukuman," lanjut Alexander dengan tegas.Clara hanya bisa diam, dia tidak bisa lagi mencegah suaminya. Beberapa hari kemudian, Alexander berdiri di luar gedung tempat Mia disekap. Dia memasuki gedung tersebut dan memastikan jika Markus melakukan tugasnya dengan baik. Benar saja, di sana dia melihat Mia sudah kehilangan penglihatannya."Mia. Ini cukup untuk membuatmu menyesal sudah bermain api denganku, Mia," ujar Alexander dengan nada
"Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar.Clara masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Alexander, pria yang selama ini dianggapnya sebagai sosok baik dan setia, kini terlihat tidur dengan Mia, wanita yang selama ini membuat Clara gelisah. Dia mencoba menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Selma, merasa harus segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah ini. "Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar, mencoba untuk menampik apa yang dia lihat.Selma terdiam sejenak, lalu dengan tegas berkata, "Clara, tetap tenang. Aku akan mengurus ini."Selma bergegas meninggalkan Clara seornagbdiri di rumah sakit, dan segera pergi menuju Penthouse putranya.Ketika Selma tiba di penthouse tersebut dengan wajah tegang dan langkah cepatnya, ia segera masuk tanpa permisi. Dan disanalah dia melihat pemandangan yang membuat hatinya hampir copot dari tempatnya: Alexander tertidur hanya dengan memakai bocer pendek dan Mia baru saja selesa
Clara duduk di meja makan, memegang perutnya yang terasa kram hebat. Wajahnya pucat dan keringat dingin mulai membasahi dahinya. "Aku merasa sangat tidak enak badan," katanya lemah kepada Selma, ibu mertuanya, yang duduk di seberang meja.Selma memandang Clara dengan khawatir. "Kamu kenapa, Clara? Kamu terlihat sangat pucat," ujarnya sambil bangkit dan mendekati Clara. "Sepertinya kamu harus dibawa ke dokter."Saat itu, Mia memberikan segelas air kepada Clara. "Clara, minumlah ini. Mungkin kamu akan merasa lebih baik," katanya dengan senyum simpul.Namun Alexander menampik tangan Mia dan segera menggendong tubuh Clara ke luar untuk diperiksakan oleh dokter. "Aku akan membawanya ke rumah sakit sekarang juga," katanya dengan suara tegas. Mia berusaha membantu mengangkat Clara, namun Selma menolak bantuannya. "Jangan sentuh dia, Mia. Aku sudah mencurigaimu sejak awal." Mia terkejut. "Apa maksud Tante Selma? Kenapa Tante mencurigai aku?" Sepeninggal Clara dan Alexander, Selma menatap Mia
Siang itu, Selma, melangkah keluar dari lift menuju penthouse mewah Alexander. Pintu terbuka, memperlihatkan pemandangan indah kota dari jendela besar di ruang tamu. Namun, yang menarik perhatian Selma adalah suara tawa dari dapur. Dia berjalan mendekat, dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat Mia, dengan apron terikat di pinggangnya, sedang memasak di dapur Alexander."Mia? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Selma dengan nada tegas, matanya menyipit curiga.Mia menoleh dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan. "Oh, Selamat sore, Tante Selma. Saya hanya memasak makan siang. Ada yang bisa saya bantu?"Selma melangkah masuk, menatap Mia dengan sorotan tajam. "Kenapa kamu tinggal di sini bersama Alexander? Di mana Clara?"Mia tersenyum lebih lebar, tetapi matanya tetap dingin. "Clara sedang di kamarnya, apakah Tante tidak tau, jika Clara itu pemalas? Selama satu Minggu Saya disini, Sayalah yang mengurus rumah sementara dia bermalas-malasan."Selma merasa ada yang tidak beres. D
Pada hari pertama Mia tinggal di rumah Alexander, suasana di rumah itu terasa sedikit berbeda. Clara menjadi lebih protektif terhadap Alexander. Dia merasa perlu melindungi saudara laki-lakinya dari segala hal yang mungkin bisa membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Mia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan spesial untuk Alexander. Dia merasa senang bisa memberikan sesuatu yang istimewa untuk orang yang baru saja dia kenal ini. Dengan langkah ringan, Mia bergegas ke dapur dan mulai mencari-cari resep pancake favoritnya yang pernah dia lihat di internet.Sementara itu, Alexander turun dari lantai atas dengan langkah malas. Matanya masih setengah tertutup karena kantuk namun senyum tipis tetap menghiasi wajah tampannya ketika aroma harum pancake menyambut hidungnya begitu masuk ke dapur. Dia melihat Mia dengan tatapan penuh tanda tanya saat gadis itu sibuk mengaduk adonan pancake dengan penuh semangat."Selamat pagi!" sapu Mia riang sambil tersenyum lebar, adonan tepung sed
Clara sedang duduk di ruang tamu yang elegan, tangannya memegang secangkir teh hangat. Senyum lebar tergambar di wajahnya. Markus, asisten pribadi suaminya, Alexander, baru saja meninggalkan ruangan setelah memberi tahu Clara tentang keberhasilannya."Markus, terima kasih banyak. Kamu benar-benar hebat," kata Clara dengan penuh syukur."Senang bisa membantu, Bu Clara," jawab Markus sambil tersenyum sebelum menunduk hormat dan beranjak pergi.Tak lama kemudian, Alexander masuk ke ruang tamu. Dia melihat senyum lebar di wajah istrinya dan merasa ada sesuatu yang berbeda."Ada apa, Clara? Kamu terlihat sangat bahagia," tanya Alexander dengan nada penasaran.Clara menatap suaminya dan tersenyum lebih lebar lagi. "Aku baru saja mendengar kabar baik dari Markus. Dia berhasil menjauhkan Mia dari kamu."Alexander tersenyum tipis, menahan tawa yang ingin pecah. "Oh, jadi itu alasannya? Kamu begitu cemburu pada Mia, ya?"Clara meletakkan cangkir tehnya di atas meja dan menatap Alexander dengan
Clara duduk di ruang tamu, menggigit bibirnya sambil memandang kalender di dinding. Kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan dia merasakan gelombang kecemasan setiap kali memikirkan suaminya, Alexander, di kantor. Terutama sejak Mia, rekan kerja yang licik, semakin gencar menggoda Alexander. Sejak permintaannya menjadi sekretaris pribadi suaminya lima bulan yang lalu ditolak, Clara merasa semakin tertekan dengan situasi tersebut.“Tuan, aku harus bicara denganmu,” kata Clara saat Alexander masuk ke ruang tamu.Alexander menatap Clara dengan penuh perhatian, “Ada apa, Clara? Apa kamu baik-baik saja?”Clara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku ingin kembali menjadi sekretarismu. Aku tahu kamu tidak setuju, tapi aku merasa ini penting.”Dalam benaknya terus terngiang pertemuan singkat antara Alexander dan Mia beberapa hari yang lalu di acara perusahaan. Mereka terlihat begitu akrab dan mesra sehingga membuat hati Clara berbunga-bunga melihatnya. Namun rasa bahagia itu l
Clara duduk di ruang tamu, mengamati suaminya, Alexander, yang sedang membaca laporan keuangan di sofa seberang. Perasaan tidak nyaman menggelayuti hatinya sejak beberapa minggu terakhir. Mia, rekan bisnis perusahaan Alexander, tampak terlalu bersemangat dalam mendekati suaminya.Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sikap Mia tersebut. Ia pun memutuskan untuk menanyakan langsung kepada suaminya tentang bagaimana hubungan kerja mereka dengan Mia."Tuan, bagaimana rekan bisnis barumu? Mia, kan namanya?" tanya Clara pelan.Alexander menatap Clara sejenak sebelum menjawab dengan tenang, "Ya, Mia. Dia cukup efisien dan profesional dalam bekerja."Namun Clara tetap merasakan ketidaknyamanan dalam dirinya. Ia mencoba untuk bertindak biasa saja meskipun hatinya tak bisa tenang."Tidak ada alasan khusus. Hanya penasaran saja," ucap Clara sambil mencoba tersenyum tipis."Kau jangan berpikir yang bukan-bukan, Clara. Kemarin aku dan dia hanya makan malam biasa untuk membahas proyek ke