Di tengah perdebatan Clara dan Abigail, Polisi penyidik memanggil Abigail dan Rilla masuk ke dalam. Mereka berdua melakukan penyelidikan pada sidik jari mereka. Rupanya, hasil dari penyelidikan tersebut mengejutkan banyak pihak. Sidik jari yang ditemukan tidaklah milik Abigail atau Rilla seperti yang dituduhkan oleh Alexander. Hal ini membuat situasi semakin rumit karena misteri pembunuhan Tuan William belum terpecahkan.Setelah beberapa saat diam, tiba-tiba seorang detektif senior masuk ke ruangan tersebut dengan ekspresi serius di wajahnya."Dapat kabar dari laboratorium forensik bahwa ada DNA lain yang ditemukan di tempat kejadian perkara," ujar detektif senior tersebut.Hal ini membuat Clara dan Alexander terkejut."Tapi siapa pemilik DNA tersebut?" tanya Alexander penasaran.Detektif senior menggelengkan kepala sambil menjawab, "Belum diketahui secara pasti"Bagaimana bisa? Lalu anting ini?" tanya Clara bingung, begitu juga dengan Alexander.Abigail dan Rilla tertawa lega, mereka
"Tuan, pemilik mobil itu adalah seorang wanita. Kemarin saya hampir saja mendapatkan identitas wanita itu, tapi dia tampaknya sadar jika diikuti. Dia lari menggunakan penutup kepala dan kaca mata hitam." Markus melaporkan hasil dari penyelidikannya."Sial. Dia ternyata wanita cerdik, pasti saat ini dia akan lebih berhati-hati," dengus Alexander terlihat kesal.Markus hanya diam, dia juga berpikir langkah apa yang bisa dia lakukan untuk membantu Alexander.Alexander menyuruh Markus pergi dari ruangannya. Dalam keheningan ruangan yang megah, Alexander merenung tentang kemungkinan langkah selanjutnya dalam mengungkap kasus ini. Wanita misterius pemilik mobil putih tersebut benar-benar berhasil membuat mereka tertinggal jauh dalam upaya penyelidikan mereka. Dia kembali mulai menyusuri setiap detil rekaman CCTV di sekitar apartemen ayah mertuanya dengan seksama dalam tempo yang lambat. Sekilas dia melihat kaca mata milik pelaku tersebut."Sepertinya kaca mata itu tidaklah asing." Alexander
Alexander tidak lagi mempedulikan ucapan sang tuan rumah. Dia duduk di kursi dengan bersandar mantap tajam kepada Tuan rumah tersebut."Bertha, aku tidak menyangka jika kau selicik ini. Aku tidak menyangka jika aku mempunyai teman sepicik kau!" ucap Alexander dengan nada tajam dan penuh kekecewaan. Bertha terdiam sejenak, matanya mencari jawaban atas tuduhan yang dilemparkan padanya.Bertha terkejut dengan ucapan pedas Alexander. Dia terlihat gugup, "A-apa maksud kamu?" gumamnya pelan sambil mencoba merangkai kata-kata untuk membela diri dari serangan tak terduga itu.Tanpa berkata-kata lagi, Alexander dengan cepat menarik lengan Bertha menuju ke mobilnya tanpa memberikan penjelasan apapun. Bertha semakin bingung dan cemas akan nasibnya yang belum jelas.Mereka akhirnya tiba di depan kantor polisi setempat, membuat Bertha semakin panik melihat tempat yang sama sekali tidak ia inginkan untuk berada di dalamnya. Semampunya dia berusaha bersikap tenang tapi denyut nadi yang semakin cepat
Clara, kau dan suami kamu telah menuduh kita yang bukan-bukan. Lihatlah, semua orang telah memandang rendah kita berdua. Kalian harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi." Abigail berkata dengan suara yang lantang memenuhi ruang tamu Penthouse AlexanderClara hanya tersenyum miring, dia mengerti kemana arah pembicaraan mereka. Dia merasa bahwa ini adalah konsekuensi dari keputusan yang pernah diambilnya."Berapa banyak yang kalian butuhkan? Aku harap setelah menerima uang dariku, kalian tak lagi menampakkan diri kalian!" hardik Clara membuat Rilla terlihat tidak terima dengan ucapan Clara. Rilla merasa bahwa permintaannya tidak dipahami sepenuhnya oleh Clara."Clara, jangan pikir kau sekarang menjadi istri orang terkaya nomor dua di negara ini, kau bisa merendahkan kami. Kami ke sini hanya ingin menuntut tanggung jawabmu dan suamimu bukan mengemis uang darimu!" bantah Rilla dengan suaranya yang tegas. Dia ingin agar Clara menyadari betapa pentingnya pertanggungjawaban dalam situ
"Tuan, kenapa kau memberikan uang sebanyak itu kepada mereka? Mereka hanya ingin memeras kita," protes Clara kepada suaminya.Alexander menatap mata Clara dengan penuh cinta. Dia membelai rambut istrinya yang tergerai hingga ke pundak. "Aku hanya tidak ingin mereka akan mengganggumu lagi. Jika mereka tidak mendapatkan apa yang mereka mau, pasti mereka akan kembali lagi ke sini dan terus menerormu dengan permintaan mereka. Aku hanya ingin kita hidup dengan tenang dan kau menjalani kehamilanmu saat ini dengan hati yang bahagia, Clara."Clara membalas tatapan Alexander dengan mata berbinar. Sungguh dia sangat terharu dengan ucapan sang suami."Kau memang yang terbaik," ucap Clara melingkarkan tangannya ke pinggang Alexander dan menyandarkan tubuhnya ke dada bidang suaminya.Matahari semakin meninggi, tapi suasana damai masih mengiringi kedekatan antara Alexander dan Clara di tepian kolam renang rumah mewah milik keluarga tersebut. Mereka duduk bersama di kursi panjang berwarna putih sam
Malam itu, Clara di temani oleh Alexander pergi ke kantor polisi. Saat mereka berada di ruang pengunjung, Clara tampak terkejut ketika mengetahui siapa pembunuh ayahnya."Bertha, kau..." ucap Clara dengan suara gemetar.Bertha hanya memandang Alexander dan Clara dengan tatapan sinis. "Puas kau wanita sialan. Puas kau sudah menghancurkan hidupku!" hardik Bertha tanpa ada rasa penyesalan sedikitpun.Clara merasa campur aduk antara marah dan sedih. Dia tidak pernah membayangkan bahwa sahabat karibnya sendiri akan melakukan sesuatu sekejam ini. "Kenapa kau tega membunuh Papaku? Apakah dia memiliki salah kepadamu?" tanya Clara berusaha untuk bersikap tenang meskipun hatinya hancur berkeping-keping.Bertha hanya mengangkat sudut bibirnya, "Aku sama sekali tidak ada masalah dengan lelaki tua itu. Kaulah yang membuat aku melakukannya."Clara mengepalkan tangannya dengan erat, mencoba menahan amarah yang menyala di dalam dirinya. Alexander melihat bagaimana istrinya sangat emosi saat itu dan m
"Alex, Mama menyesal telah membela Bertha yang ternyata manusia licik. Mama baru dapat kabar, jika Bertha telah membunuh Papa Clara demi egonya. Clara maafkan saya, karena telah salah menilai mu selama ini," sesal Selma dengan raut wajahnya yang sedih.Clara tersenyum bahagia, akhirnya Selma kini menerimanya sebagai menantu."Nyonya Selma, jangan meminta maaf. Anda tidak salah, wajar saja seorang ibu selalu ingin yang terbaik untuk anak-anak mereka."Selma tak menyangka jika hati Clara sangatlah besar untuk menerima maafnya. Dia memeluk Clara dengan rasa haru."Mulai sekarang, jangan panggil aku 'nyonya', panggillah aku dengan Mama seperti Alex memanggilku," pinta Selma dengan senyumnya yang menawan.Hari itu terasa begitu berat bagi Selma ketika dia menyadari bahwa keputusannya untuk membela Bertha adalah sebuah kesalahan besar. Ia merasakan penyesalan mendalam saat mendengar kabar bahwa Bertha telah melakukan tindakan keji tersebut demi ego dirinya sendiri. Hatinya hancur dan ia tid
"Mama?" gumam Clara menggelengkan kepalanya pelan ketika. Dia merasa hatinya berdebar kencang, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.Selma terlihat gugup, keringat dingin mengucur di badannya. Matanya berkaca-kaca, mencerminkan rasa takut dan kecemasan yang mendalam. Dia merasakan tekanan besar untuk memberikan kesaksian yang sebenarnya."Nyonya Selma, bisakah Anda ke kotak saksi?" pinta hakim kepada Selma yang terlihat sangat ketakutan. Suaranya gemetar saat dia menjawab bahwa ia siap untuk memberikan kesaksian.Alexander memandang Selma dengan penuh kekecewaan dan rasa khawatir kepadanya, berharap jika semuanya tidak benar. Hatinya hancur melihat ibunya dalam kondisi seperti itu, namun dia tetap bersikeras untuk percaya pada kemampuan dan integritasnya.Dalam keheningan ruang sidang yang tegang, Selma bangkit dari kursinya dengan langkah ragu. Setiap langkahnya terasa begitu berat karena beban emosional yang sedang dialaminya. Tatapan semua orang tertuju padanya saat
Clara merasa risih ketika lelaki tua itu terus memandang ke arahnya. "Kakek, apakah ada yang salah dengan saya?" tanya Clara segera menutupi bagian dadanya dengan sweater yang dia pakai.Kakek Mia memaksakan senyum, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang melanda hatinya. "Tidak. Boleh Kakek melihat kalungmu lebih dekat?"Clara mengangguk sambil mencopot kalungnya dan menyodorkan kalungnya. "Ini, Kek. Ini adalah kalung peninggalan ibu. Ibu selalu bilang ini sangat berharga."Kakek Mia memegang liontin itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. "Di mana ibumu mendapatkannya?"Clara mengerutkan kening, merasa aneh dengan reaksi Kakek Mia. "Katanya ini pemberian dari nenekku. Aku tidak pernah bertemu nenek, dia meninggal sebelum aku lahir. Ibu juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."Kakek Mia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Clara,
"Tentu saja, Clara. Kau merasa keberatan ketika ada wanita lain yang melihat tubuhku," jawab Alexander dengan wajahnya yang tenang."Tapi jangan lakukan hal sekejam itu, Tuan. Kasihan dengan Mia," jawab Clara terlihat sedih."Clara, dia sangat kejam. Dia bahkan akan mencelakai dirimu dan anak kita dengan memberimu racun yang langka. Dia juga menjebakku dan membuatmu bersedih. Kau masih bisa mengasihinya?" protes Alexander heran melihat reaksi istrinya."Aku tidak akan membiarkan Mia menghancurkan hidupku dan membuatmu bersedih, jika aku tidak memberinya hukuman," lanjut Alexander dengan tegas.Clara hanya bisa diam, dia tidak bisa lagi mencegah suaminya. Beberapa hari kemudian, Alexander berdiri di luar gedung tempat Mia disekap. Dia memasuki gedung tersebut dan memastikan jika Markus melakukan tugasnya dengan baik. Benar saja, di sana dia melihat Mia sudah kehilangan penglihatannya."Mia. Ini cukup untuk membuatmu menyesal sudah bermain api denganku, Mia," ujar Alexander dengan nada
"Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar.Clara masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Alexander, pria yang selama ini dianggapnya sebagai sosok baik dan setia, kini terlihat tidur dengan Mia, wanita yang selama ini membuat Clara gelisah. Dia mencoba menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Selma, merasa harus segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah ini. "Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar, mencoba untuk menampik apa yang dia lihat.Selma terdiam sejenak, lalu dengan tegas berkata, "Clara, tetap tenang. Aku akan mengurus ini."Selma bergegas meninggalkan Clara seornagbdiri di rumah sakit, dan segera pergi menuju Penthouse putranya.Ketika Selma tiba di penthouse tersebut dengan wajah tegang dan langkah cepatnya, ia segera masuk tanpa permisi. Dan disanalah dia melihat pemandangan yang membuat hatinya hampir copot dari tempatnya: Alexander tertidur hanya dengan memakai bocer pendek dan Mia baru saja selesa
Clara duduk di meja makan, memegang perutnya yang terasa kram hebat. Wajahnya pucat dan keringat dingin mulai membasahi dahinya. "Aku merasa sangat tidak enak badan," katanya lemah kepada Selma, ibu mertuanya, yang duduk di seberang meja.Selma memandang Clara dengan khawatir. "Kamu kenapa, Clara? Kamu terlihat sangat pucat," ujarnya sambil bangkit dan mendekati Clara. "Sepertinya kamu harus dibawa ke dokter."Saat itu, Mia memberikan segelas air kepada Clara. "Clara, minumlah ini. Mungkin kamu akan merasa lebih baik," katanya dengan senyum simpul.Namun Alexander menampik tangan Mia dan segera menggendong tubuh Clara ke luar untuk diperiksakan oleh dokter. "Aku akan membawanya ke rumah sakit sekarang juga," katanya dengan suara tegas. Mia berusaha membantu mengangkat Clara, namun Selma menolak bantuannya. "Jangan sentuh dia, Mia. Aku sudah mencurigaimu sejak awal." Mia terkejut. "Apa maksud Tante Selma? Kenapa Tante mencurigai aku?" Sepeninggal Clara dan Alexander, Selma menatap Mia
Siang itu, Selma, melangkah keluar dari lift menuju penthouse mewah Alexander. Pintu terbuka, memperlihatkan pemandangan indah kota dari jendela besar di ruang tamu. Namun, yang menarik perhatian Selma adalah suara tawa dari dapur. Dia berjalan mendekat, dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat Mia, dengan apron terikat di pinggangnya, sedang memasak di dapur Alexander."Mia? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Selma dengan nada tegas, matanya menyipit curiga.Mia menoleh dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan. "Oh, Selamat sore, Tante Selma. Saya hanya memasak makan siang. Ada yang bisa saya bantu?"Selma melangkah masuk, menatap Mia dengan sorotan tajam. "Kenapa kamu tinggal di sini bersama Alexander? Di mana Clara?"Mia tersenyum lebih lebar, tetapi matanya tetap dingin. "Clara sedang di kamarnya, apakah Tante tidak tau, jika Clara itu pemalas? Selama satu Minggu Saya disini, Sayalah yang mengurus rumah sementara dia bermalas-malasan."Selma merasa ada yang tidak beres. D
Pada hari pertama Mia tinggal di rumah Alexander, suasana di rumah itu terasa sedikit berbeda. Clara menjadi lebih protektif terhadap Alexander. Dia merasa perlu melindungi saudara laki-lakinya dari segala hal yang mungkin bisa membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Mia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan spesial untuk Alexander. Dia merasa senang bisa memberikan sesuatu yang istimewa untuk orang yang baru saja dia kenal ini. Dengan langkah ringan, Mia bergegas ke dapur dan mulai mencari-cari resep pancake favoritnya yang pernah dia lihat di internet.Sementara itu, Alexander turun dari lantai atas dengan langkah malas. Matanya masih setengah tertutup karena kantuk namun senyum tipis tetap menghiasi wajah tampannya ketika aroma harum pancake menyambut hidungnya begitu masuk ke dapur. Dia melihat Mia dengan tatapan penuh tanda tanya saat gadis itu sibuk mengaduk adonan pancake dengan penuh semangat."Selamat pagi!" sapu Mia riang sambil tersenyum lebar, adonan tepung sed
Clara sedang duduk di ruang tamu yang elegan, tangannya memegang secangkir teh hangat. Senyum lebar tergambar di wajahnya. Markus, asisten pribadi suaminya, Alexander, baru saja meninggalkan ruangan setelah memberi tahu Clara tentang keberhasilannya."Markus, terima kasih banyak. Kamu benar-benar hebat," kata Clara dengan penuh syukur."Senang bisa membantu, Bu Clara," jawab Markus sambil tersenyum sebelum menunduk hormat dan beranjak pergi.Tak lama kemudian, Alexander masuk ke ruang tamu. Dia melihat senyum lebar di wajah istrinya dan merasa ada sesuatu yang berbeda."Ada apa, Clara? Kamu terlihat sangat bahagia," tanya Alexander dengan nada penasaran.Clara menatap suaminya dan tersenyum lebih lebar lagi. "Aku baru saja mendengar kabar baik dari Markus. Dia berhasil menjauhkan Mia dari kamu."Alexander tersenyum tipis, menahan tawa yang ingin pecah. "Oh, jadi itu alasannya? Kamu begitu cemburu pada Mia, ya?"Clara meletakkan cangkir tehnya di atas meja dan menatap Alexander dengan
Clara duduk di ruang tamu, menggigit bibirnya sambil memandang kalender di dinding. Kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan dia merasakan gelombang kecemasan setiap kali memikirkan suaminya, Alexander, di kantor. Terutama sejak Mia, rekan kerja yang licik, semakin gencar menggoda Alexander. Sejak permintaannya menjadi sekretaris pribadi suaminya lima bulan yang lalu ditolak, Clara merasa semakin tertekan dengan situasi tersebut.“Tuan, aku harus bicara denganmu,” kata Clara saat Alexander masuk ke ruang tamu.Alexander menatap Clara dengan penuh perhatian, “Ada apa, Clara? Apa kamu baik-baik saja?”Clara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku ingin kembali menjadi sekretarismu. Aku tahu kamu tidak setuju, tapi aku merasa ini penting.”Dalam benaknya terus terngiang pertemuan singkat antara Alexander dan Mia beberapa hari yang lalu di acara perusahaan. Mereka terlihat begitu akrab dan mesra sehingga membuat hati Clara berbunga-bunga melihatnya. Namun rasa bahagia itu l
Clara duduk di ruang tamu, mengamati suaminya, Alexander, yang sedang membaca laporan keuangan di sofa seberang. Perasaan tidak nyaman menggelayuti hatinya sejak beberapa minggu terakhir. Mia, rekan bisnis perusahaan Alexander, tampak terlalu bersemangat dalam mendekati suaminya.Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sikap Mia tersebut. Ia pun memutuskan untuk menanyakan langsung kepada suaminya tentang bagaimana hubungan kerja mereka dengan Mia."Tuan, bagaimana rekan bisnis barumu? Mia, kan namanya?" tanya Clara pelan.Alexander menatap Clara sejenak sebelum menjawab dengan tenang, "Ya, Mia. Dia cukup efisien dan profesional dalam bekerja."Namun Clara tetap merasakan ketidaknyamanan dalam dirinya. Ia mencoba untuk bertindak biasa saja meskipun hatinya tak bisa tenang."Tidak ada alasan khusus. Hanya penasaran saja," ucap Clara sambil mencoba tersenyum tipis."Kau jangan berpikir yang bukan-bukan, Clara. Kemarin aku dan dia hanya makan malam biasa untuk membahas proyek ke