"Alex, Mama menyesal telah membela Bertha yang ternyata manusia licik. Mama baru dapat kabar, jika Bertha telah membunuh Papa Clara demi egonya. Clara maafkan saya, karena telah salah menilai mu selama ini," sesal Selma dengan raut wajahnya yang sedih.Clara tersenyum bahagia, akhirnya Selma kini menerimanya sebagai menantu."Nyonya Selma, jangan meminta maaf. Anda tidak salah, wajar saja seorang ibu selalu ingin yang terbaik untuk anak-anak mereka."Selma tak menyangka jika hati Clara sangatlah besar untuk menerima maafnya. Dia memeluk Clara dengan rasa haru."Mulai sekarang, jangan panggil aku 'nyonya', panggillah aku dengan Mama seperti Alex memanggilku," pinta Selma dengan senyumnya yang menawan.Hari itu terasa begitu berat bagi Selma ketika dia menyadari bahwa keputusannya untuk membela Bertha adalah sebuah kesalahan besar. Ia merasakan penyesalan mendalam saat mendengar kabar bahwa Bertha telah melakukan tindakan keji tersebut demi ego dirinya sendiri. Hatinya hancur dan ia tid
"Mama?" gumam Clara menggelengkan kepalanya pelan ketika. Dia merasa hatinya berdebar kencang, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.Selma terlihat gugup, keringat dingin mengucur di badannya. Matanya berkaca-kaca, mencerminkan rasa takut dan kecemasan yang mendalam. Dia merasakan tekanan besar untuk memberikan kesaksian yang sebenarnya."Nyonya Selma, bisakah Anda ke kotak saksi?" pinta hakim kepada Selma yang terlihat sangat ketakutan. Suaranya gemetar saat dia menjawab bahwa ia siap untuk memberikan kesaksian.Alexander memandang Selma dengan penuh kekecewaan dan rasa khawatir kepadanya, berharap jika semuanya tidak benar. Hatinya hancur melihat ibunya dalam kondisi seperti itu, namun dia tetap bersikeras untuk percaya pada kemampuan dan integritasnya.Dalam keheningan ruang sidang yang tegang, Selma bangkit dari kursinya dengan langkah ragu. Setiap langkahnya terasa begitu berat karena beban emosional yang sedang dialaminya. Tatapan semua orang tertuju padanya saat
Di ruang sidang yang ramai, Selma duduk tegang di kursi terdakwa, mata penuh harap pada pengacara Alexander. Wanita paruh baya itu merasa gelisah namun tetap percaya pada kemampuan pengacara anaknya untuk membela dirinya. Alexander sendiri tampak tenang dan yakin bahwa ibunya akan dibuktikan tidak bersalah.Dengan langkah mantap, pengacara Alexander berdiri di hadapan juri dan mulai memaparkan bukti-bukti baru yang menunjukkan keberadaan saksi kunci yang sebelumnya terlewatkan. Suasana ruangan menjadi semakin tegang dengan setiap kata yang keluar dari mulut sang pengacara."Tuan Hakim yang terhormat," ucap pengacara tersebut dengan tegas, "anting itu memang milik nyonya Selma tapi Nyonya Bertha sengaja mencurinya untuk menjebak Nyonya Selma." Penjelasan tersebut membuat seisi ruangan terkejut dan beberapa orang bahkan mengeluarkan desahan tidak percaya. Semua mata tertuju pada Selma, yang wajahnya masih dipenuhi ketegangan namun juga sedikit lega karena akhirnya kebenaran mulai terung
"Clara, maafkan Mama. Sebenarnya saat itu tengah di hasut oleh Barbara. Mama termakan ucapannya jika Alexander tidak lagi peduli dengan Mama karena hasutanmu."Clara merasa hatinya teriris mendengar penjelasan dari Selma. Dia tidak pernah menyangka bahwa Bertha bisa begitu jahat dan licik untuk memanipulasi ibu mertuanya. Clara mencoba memahami situasi yang rumit ini, sambil tetap mencerna informasi yang baru saja dia dengar.Selma terus menjelaskan dengan penuh emosi, "Bertha benar-benar ingin menghancurkan hubunganmu dan Alexander. Dia iri dengan kebahagiaanmu yang bisa bersama dengan Alexander." Clara semakin terkejut mendengar semua ini. Hatinya campur aduk antara marah pada Bertha dan iba pada ibu mertuanya yang telah menjadi korban tipu daya Bertha.Sementara itu, di taman halaman pengadilan yang dipenuhi dengan pepohonan rindang dan bunga-bunga yang bermekaran, suasana semakin hening ketika Selma melanjutkan ceritanya. Bertha, wanita licik berambut pirang panjang, ingin tahu s
"Plak!!!" sebuah tamparan keras tiba-tiba saja melayang ke pipi Selma yang masih duduk di meja makan. Tuan E-Manuel berdiri dengan ekspresi kecewa dan marah, matanya menatap tajam ke arah istrinya, Selma, yang duduk di depannya dengan air mata berlinang. Di sudut ruangan, Clara, menantu mereka, hanya bisa diam, tak tahu harus berbuat apa.E-Manuel menggebrak meja, "Selma, bagaimana bisa kau berbuat seperti ini? Aku sangat kecewa kepadamu!" Suaranya bergema di seluruh ruangan membuat udara terasa tegang. Selma menundukkan kepalanya terisak dalam tangisnya yang semakin menjadi-jadi. Dia merasakan rasa sakit tidak hanya dari tamparan fisik itu tapi juga dari tatapan penuh penyesalan suaminya."Suamiku," ucap Selma lirih sambil mencoba menjelaskan dirinya sendiri. "Kumohon dengarkan aku. Aku tidak bersalah. Bertha menjebakku. Aku tidak tahu apa yang dia rencanakan." Air mata terus mengalir deras membasahi pipi mulusnya.Namun E-Manuel tetap tak bisa menerima penjelasan sang istri. Dengan
"Tuan, sudahlah. Jangan kau terus menerus marah kepada Mama. Kau harusnya bersyukur masih memiliki Mama, berbeda denganku yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini," bujuk Clara terlihat sedih ketika mengingat kedua orang tuanya yang sudah tenang di surga.Alexander menutup mulut Clara dengan jari telunjuknya. "Jangan pernah kau bilang kau Tidka punya siapapun di dunia ini. Ingatlah Clara, ada aku yang akan selalu menemanimu," ucap Alexander dengan tatapan hangatnya pada Clara.Clara mengangguk pelan, "Tuan, selagi ada orang tua, perlakukan mereka dengan baik. Tidak semua orang sesempurna yang kita inginkan, Mama memang salah tapi dia juga memiliki hak untuk menerima maaf dan kesempatan ke dua."Mata Alexander penuh dengan kehangatan saat ia melihat ekspresi sedih Clara. Ia merasa bertanggung jawab untuk memberikan dukungan dan kasih sayang pada wanita itu. Meskipun tak bisa menggantikan kedua orang tua Clara yang telah tiada, setidaknya ia ingin menjadi sosok yang dapat di
Selma menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan saat aroma masakan mulai memenuhi dapur penthouse Alexander. Penthouse itu megah dan modern, dengan peralatan dapur lengkap yang berkilauan di bawah pencahayaan hangat. Di atas kompor, panci berisi osso buco mendidih perlahan, menyebarkan aroma lezat yang mengingatkannya pada rumah.Dia merapikan apron yang dipakainya dan memeriksa sekali lagi apakah semua sudah siap. Selma tahu betapa Tuan Smith menyukai osso buco, dan dia berharap makanan ini bisa menjadi awal yang baik untuk meminta maaf."Ayo, Selma, kamu bisa melakukannya," gumamnya pada diri sendiri sambil memeriksa saus yang mengental sempurna.Sementara itu, Clara yang mencium aroma kelezatan masakan ibu mertuanya mendekati wanita paruh baya yang kini sudah menata masakannya di dalam tempat makan. "Aromanya sangat lezat," ucap Clara dengan senyum yang mengembang."Semoga saja, Papa mertua kamu menyukainya dan bisa memaafkanku." Selma menatap kosong kedeoan dengan penuh
Clara bangun tidur dan meraih ponsel di samping tempat tidurnya. Namun, yang ia temukan bukanlah pesan dari suaminya, Alexander, melainkan sebuah catatan tertulis dengan tulisan tangan yang familiar baginya."Selamat pagi, sayang. Malam ini, aku punya kejutan untukmu, Alexander," Clara membaca dengan senyum simpul di wajahnya. Hatinya berbunga-bunga karena rasa penasaran akan apa yang telah direncanakan oleh suaminya yang biasanya lebih banyak bertutur dalam diam.Dengan langkah ringan, Clara mencari sosok suami tercinta namun tidak menemukannya di kamar atau ruang tamu. "Mungkin dia sudah berangkat kerja," desis Clara pelan sambil tersenyum lebar membayangkan ekspresi bahagia sang suami saat menyiapkan kejutan malam itu.Tanpa pikir panjang lagi, Clara segera turun dari ranjangnya dan bergegas menuju lantai bawah rumah mereka. Saat menginjak anak tangga menuju ruang makan, pandangannya langsung tertuju pada meja makan yang dipenuhi oleh rangkaian bunga segar dan hidangan sarapan pagi
Clara merasa risih ketika lelaki tua itu terus memandang ke arahnya. "Kakek, apakah ada yang salah dengan saya?" tanya Clara segera menutupi bagian dadanya dengan sweater yang dia pakai.Kakek Mia memaksakan senyum, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang melanda hatinya. "Tidak. Boleh Kakek melihat kalungmu lebih dekat?"Clara mengangguk sambil mencopot kalungnya dan menyodorkan kalungnya. "Ini, Kek. Ini adalah kalung peninggalan ibu. Ibu selalu bilang ini sangat berharga."Kakek Mia memegang liontin itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. "Di mana ibumu mendapatkannya?"Clara mengerutkan kening, merasa aneh dengan reaksi Kakek Mia. "Katanya ini pemberian dari nenekku. Aku tidak pernah bertemu nenek, dia meninggal sebelum aku lahir. Ibu juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."Kakek Mia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Clara,
"Tentu saja, Clara. Kau merasa keberatan ketika ada wanita lain yang melihat tubuhku," jawab Alexander dengan wajahnya yang tenang."Tapi jangan lakukan hal sekejam itu, Tuan. Kasihan dengan Mia," jawab Clara terlihat sedih."Clara, dia sangat kejam. Dia bahkan akan mencelakai dirimu dan anak kita dengan memberimu racun yang langka. Dia juga menjebakku dan membuatmu bersedih. Kau masih bisa mengasihinya?" protes Alexander heran melihat reaksi istrinya."Aku tidak akan membiarkan Mia menghancurkan hidupku dan membuatmu bersedih, jika aku tidak memberinya hukuman," lanjut Alexander dengan tegas.Clara hanya bisa diam, dia tidak bisa lagi mencegah suaminya. Beberapa hari kemudian, Alexander berdiri di luar gedung tempat Mia disekap. Dia memasuki gedung tersebut dan memastikan jika Markus melakukan tugasnya dengan baik. Benar saja, di sana dia melihat Mia sudah kehilangan penglihatannya."Mia. Ini cukup untuk membuatmu menyesal sudah bermain api denganku, Mia," ujar Alexander dengan nada
"Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar.Clara masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Alexander, pria yang selama ini dianggapnya sebagai sosok baik dan setia, kini terlihat tidur dengan Mia, wanita yang selama ini membuat Clara gelisah. Dia mencoba menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Selma, merasa harus segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah ini. "Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar, mencoba untuk menampik apa yang dia lihat.Selma terdiam sejenak, lalu dengan tegas berkata, "Clara, tetap tenang. Aku akan mengurus ini."Selma bergegas meninggalkan Clara seornagbdiri di rumah sakit, dan segera pergi menuju Penthouse putranya.Ketika Selma tiba di penthouse tersebut dengan wajah tegang dan langkah cepatnya, ia segera masuk tanpa permisi. Dan disanalah dia melihat pemandangan yang membuat hatinya hampir copot dari tempatnya: Alexander tertidur hanya dengan memakai bocer pendek dan Mia baru saja selesa
Clara duduk di meja makan, memegang perutnya yang terasa kram hebat. Wajahnya pucat dan keringat dingin mulai membasahi dahinya. "Aku merasa sangat tidak enak badan," katanya lemah kepada Selma, ibu mertuanya, yang duduk di seberang meja.Selma memandang Clara dengan khawatir. "Kamu kenapa, Clara? Kamu terlihat sangat pucat," ujarnya sambil bangkit dan mendekati Clara. "Sepertinya kamu harus dibawa ke dokter."Saat itu, Mia memberikan segelas air kepada Clara. "Clara, minumlah ini. Mungkin kamu akan merasa lebih baik," katanya dengan senyum simpul.Namun Alexander menampik tangan Mia dan segera menggendong tubuh Clara ke luar untuk diperiksakan oleh dokter. "Aku akan membawanya ke rumah sakit sekarang juga," katanya dengan suara tegas. Mia berusaha membantu mengangkat Clara, namun Selma menolak bantuannya. "Jangan sentuh dia, Mia. Aku sudah mencurigaimu sejak awal." Mia terkejut. "Apa maksud Tante Selma? Kenapa Tante mencurigai aku?" Sepeninggal Clara dan Alexander, Selma menatap Mia
Siang itu, Selma, melangkah keluar dari lift menuju penthouse mewah Alexander. Pintu terbuka, memperlihatkan pemandangan indah kota dari jendela besar di ruang tamu. Namun, yang menarik perhatian Selma adalah suara tawa dari dapur. Dia berjalan mendekat, dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat Mia, dengan apron terikat di pinggangnya, sedang memasak di dapur Alexander."Mia? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Selma dengan nada tegas, matanya menyipit curiga.Mia menoleh dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan. "Oh, Selamat sore, Tante Selma. Saya hanya memasak makan siang. Ada yang bisa saya bantu?"Selma melangkah masuk, menatap Mia dengan sorotan tajam. "Kenapa kamu tinggal di sini bersama Alexander? Di mana Clara?"Mia tersenyum lebih lebar, tetapi matanya tetap dingin. "Clara sedang di kamarnya, apakah Tante tidak tau, jika Clara itu pemalas? Selama satu Minggu Saya disini, Sayalah yang mengurus rumah sementara dia bermalas-malasan."Selma merasa ada yang tidak beres. D
Pada hari pertama Mia tinggal di rumah Alexander, suasana di rumah itu terasa sedikit berbeda. Clara menjadi lebih protektif terhadap Alexander. Dia merasa perlu melindungi saudara laki-lakinya dari segala hal yang mungkin bisa membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Mia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan spesial untuk Alexander. Dia merasa senang bisa memberikan sesuatu yang istimewa untuk orang yang baru saja dia kenal ini. Dengan langkah ringan, Mia bergegas ke dapur dan mulai mencari-cari resep pancake favoritnya yang pernah dia lihat di internet.Sementara itu, Alexander turun dari lantai atas dengan langkah malas. Matanya masih setengah tertutup karena kantuk namun senyum tipis tetap menghiasi wajah tampannya ketika aroma harum pancake menyambut hidungnya begitu masuk ke dapur. Dia melihat Mia dengan tatapan penuh tanda tanya saat gadis itu sibuk mengaduk adonan pancake dengan penuh semangat."Selamat pagi!" sapu Mia riang sambil tersenyum lebar, adonan tepung sed
Clara sedang duduk di ruang tamu yang elegan, tangannya memegang secangkir teh hangat. Senyum lebar tergambar di wajahnya. Markus, asisten pribadi suaminya, Alexander, baru saja meninggalkan ruangan setelah memberi tahu Clara tentang keberhasilannya."Markus, terima kasih banyak. Kamu benar-benar hebat," kata Clara dengan penuh syukur."Senang bisa membantu, Bu Clara," jawab Markus sambil tersenyum sebelum menunduk hormat dan beranjak pergi.Tak lama kemudian, Alexander masuk ke ruang tamu. Dia melihat senyum lebar di wajah istrinya dan merasa ada sesuatu yang berbeda."Ada apa, Clara? Kamu terlihat sangat bahagia," tanya Alexander dengan nada penasaran.Clara menatap suaminya dan tersenyum lebih lebar lagi. "Aku baru saja mendengar kabar baik dari Markus. Dia berhasil menjauhkan Mia dari kamu."Alexander tersenyum tipis, menahan tawa yang ingin pecah. "Oh, jadi itu alasannya? Kamu begitu cemburu pada Mia, ya?"Clara meletakkan cangkir tehnya di atas meja dan menatap Alexander dengan
Clara duduk di ruang tamu, menggigit bibirnya sambil memandang kalender di dinding. Kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan dia merasakan gelombang kecemasan setiap kali memikirkan suaminya, Alexander, di kantor. Terutama sejak Mia, rekan kerja yang licik, semakin gencar menggoda Alexander. Sejak permintaannya menjadi sekretaris pribadi suaminya lima bulan yang lalu ditolak, Clara merasa semakin tertekan dengan situasi tersebut.“Tuan, aku harus bicara denganmu,” kata Clara saat Alexander masuk ke ruang tamu.Alexander menatap Clara dengan penuh perhatian, “Ada apa, Clara? Apa kamu baik-baik saja?”Clara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku ingin kembali menjadi sekretarismu. Aku tahu kamu tidak setuju, tapi aku merasa ini penting.”Dalam benaknya terus terngiang pertemuan singkat antara Alexander dan Mia beberapa hari yang lalu di acara perusahaan. Mereka terlihat begitu akrab dan mesra sehingga membuat hati Clara berbunga-bunga melihatnya. Namun rasa bahagia itu l
Clara duduk di ruang tamu, mengamati suaminya, Alexander, yang sedang membaca laporan keuangan di sofa seberang. Perasaan tidak nyaman menggelayuti hatinya sejak beberapa minggu terakhir. Mia, rekan bisnis perusahaan Alexander, tampak terlalu bersemangat dalam mendekati suaminya.Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sikap Mia tersebut. Ia pun memutuskan untuk menanyakan langsung kepada suaminya tentang bagaimana hubungan kerja mereka dengan Mia."Tuan, bagaimana rekan bisnis barumu? Mia, kan namanya?" tanya Clara pelan.Alexander menatap Clara sejenak sebelum menjawab dengan tenang, "Ya, Mia. Dia cukup efisien dan profesional dalam bekerja."Namun Clara tetap merasakan ketidaknyamanan dalam dirinya. Ia mencoba untuk bertindak biasa saja meskipun hatinya tak bisa tenang."Tidak ada alasan khusus. Hanya penasaran saja," ucap Clara sambil mencoba tersenyum tipis."Kau jangan berpikir yang bukan-bukan, Clara. Kemarin aku dan dia hanya makan malam biasa untuk membahas proyek ke