"Clara, kau harus pergi ke perusahaan Chultzer Life, untuk menunjukkan proposal yang kemarin kau kerjakan," perintah Manager pemasaran perusahaan Am Group, Dariel.
Sejak lama dia memperhatikan kinerja Clara sebagai staf marketing dinilai sangat baik dan selalu penuh semangat dan tanggung jawab. Wajah Clara langsung terlihat penuh kekhawatiran saat ia menatap Dariel dengan tatapan bingung. Ia merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres, terutama ketika mendengar nama perusahaan tersebut.
“Apakah kau sakit, Clara?” tanya Dariel penasaran.
“A-ah, tidak, aku baik-baik saja!” Clara dengan gugup.
Setelah satu bulan sejak kejadian itu, Clara tidak ingin mengingat kembali. Tetapi memang ia mengakui, akhir-akhir ini kondisi tubuhnya tidak menentu, bahkan Clara sering sekali merasa pusing dan mual.
“Bagus kalau begitu. Sekarang, cepat kau pergi!” perintah Dariel.
Di sisi lain, Clara sungguh tidak bisa melakukan presentasi saat ini, karena ia sama sekali belum menyiapkan apapun.
"Pak, bisakah Anda memberikan tugas ini kepada yang lain? Maaf, maksud saya adalah—" penjelasa Clara terputus, karena disanggah oleh atasannya itu.
"Apakah kau mau aku promosikan menjadi manager pemasaran, menggantikanku?" tanya Dariel dengan nada berbisik namun penuh harapan. Wajahnya tampak serius namun ada kilatan senyum di matanya.
"Inilah kesempatanmu, jika kau berhasil mengerjakan proyek dari perusahaan Tuan Schultz, kau akan ikut rapat direksi untuk mewakili devisi pemasaran dalam pertemuan rutin tahunan yang juga di hadiri oleh CEO dan para petinggi perusahaan lainnya."
Clara merenung sejenak setelah mendengar penawaran dari Dariel. Ia melihat wajah sang Manager yang tampak begitu serius namun juga penuh harapan. Kilatan senyum di matanya membuat hati Clara semakin bersemangat karena ia bisa merasakan betapa pentingnya kesempatan ini bagi dirinya.
"T-tapi pak—“ Clara masih ragu dengan dirinya sendiri.
"Jika Tuan Alex suka dengan presentasimu ini, kau akan mendapatkan promosi menjadi manager pemasaran." jawab Dariel dengan nada semakin bersemangat.
Rasanya, Clara seperti tidak bisa menolak tawaran tersebut, karena ia memang membutuhkan biaya saat ini, gaji yang pas-pasan sangat tidak mencukupi kehidupannya, belum lagi, ia harus membayar uang sewa apartemen.
Sebagai seorang staf biasa di departemen pemasaran selama bertahun-tahun tanpa ada promosi, kesempatan ini terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Clara menyadari bahwa ini adalah peluang besar baginya untuk membuktikan kemampuannya dan naik jabatan.
"Baiklah Pak, Saya akan berangkat sekarang juga." jawab Clara dengan penuh semangat. Hatinya berdebar-debar karena ini adalah kesempatan besar baginya untuk membuktikan diri bahwa dia mampu mengemban tugas penting dari devisinya.
Clara diantar oleh mobil dinas yang disediakan oleh Perusahaan untuk menuju alamat yang dia terima dari kepala Divisinya.
Setelah beberapa saat, Clara akhirnya tiba di depan gedung megah Chultzer Life. Dia memarkirkan mobilnya dengan hati-hati dan keluar dari kendaraan itu dengan langkah mantap. Ia merasa jantungnya berdebar kencang saat melihat logo perusahaan itu di pintu masuk. Begitu masuk ke dalam gedung, dia disambut oleh resepsionis kantor tersebut.
"Selamat pagi, apakah ada yang bisa kami bantu?" sambut Resepsionis dengan ramah ketika Clara baru memasuki kantor Chultzer Life. Wajah Resepsionis itu tampak ceria dan siap membantu setiap tamu yang datang.
"Perkenalkan, nama saya Clara Maiyer perwakilan dari AM Group," jawab Clara dengan sangat profesional sambil memberikan kartu namanya kepada Resepsionis tersebut.
"Saya datang kesini mewakili AM Group yang ada janji sebelumya dengan CEO perusahaan ini." Jelas Clara memperkenalkan dirinya sebagai perwakilan Perusahaan yang akan mempresentasikan produk baru.
Resepsionis mengambil kartu nama Clara dan melihatnya sekilas sebelum tersenyum sopan. "Tentu saja, Nona Maiyer," kata Resepsionis itu ramah sambil menunjukkan arah ke ruang tunggu. "Silakan menunggu sebentar, saya akan memberitahu beliau tentang kedatangan Anda."
Clara mengangguk dan berjalan menuju ruang tunggu yang nyaman. Dia duduk di sofa empuk sambil melihat-lihat sekelilingnya. Ruangan itu terasa elegan dengan dekorasi yang modern dan suasana yang tenang. Sementara menunggu, Clara memeriksa kembali berkas-berkas pengajuan kerja sama dengan perusahaan Chultzer life untuk memastikan tidak ada kesalahan sedikitpun.
"Nona Maiyer, Tuan Schultz menunggu Anda di ruangannya," ujar Resepsionis itu mendatangi Clara dengan senyum ramahnya. Clara mengangkat kepalanya, membalas dengan senyum yang tak kalah ramahnya.
"Mari saya antarkan Anda, ke ruangan beliau," tuturnya dengan sangat ramah.
"Baik, terima kasih," jawab Clara berdiri dari tempat duduknya mengekori resepsionis tersebut berjalan menuju ruangan CEO perusahaan itu.
Mereka melewati lorong-lorong panjang dalam gedung perkantoran tersebut.
"Nona Meiyer, Anda bisa masuk sekarang," ujar Resepsionis tersebut mempersilahkan Clara masuk.
Setelah Clara menganggukkan kepalanya, resepsionis itu kembali ke tempat kerjanya.
Clara menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya mendorong pintu ruangan tersebut dan memasukinya. Ruangan itu terasa begitu megah dengan dekorasi yang elegan dan suasana yang tenang. Clara merasa sedikit gugup namun dia mencoba untuk tetap tenang dan profesional.
"Selamat pagi," sapa Clara dengan penuh hormat saat melihat Tuan Schultz duduk di meja kerjanya yang besar. Dia terlihat sangat sibuk dengan beberapa dokumen yang tersebar di atas meja. Clara bisa melihat betapa fokusnya Tuan Schultz pada pekerjaannya.
Tuan Schultz mengangkat kepalanya saat melihat Clara masuk ke dalam ruangan.
"Clara, benarkah itu kau?" tanya Tuan Schultz dengan mata terbelalak tak percaya bahwa saat ini dihadapannya muncul wanita yang berhari-hari dia cari.
Clara dengan spontan membalikkan badannya dan bergumam dalam hati, "Pedro, ternyata benar firasatku."
Clara ingin sekali meninggalkan ruangan itu karena tidak sanggup berhadapan dengan pria yang sudah mengkhianatinya. Namun, Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas untuk membuktikan kemampuan yang dia miliki demi promosi jabatannya.
Akhirnya, Clara kembali menghadap ke Pedro setelah menata emosinya. Mereka saling bertatapan sejenak seolah tidak percaya bahwa mereka berdua kembali bertemu.
Dengan langkah mantap, Clara mendekati meja kerja Pedro dan berdiri tegak di depannya. Ruangan itu terasa hening, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar jelas. Clara merasakan detak jantungnya semakin cepat, namun dia tetap berusaha untuk menahan air matanya agar tidak tumpah.
"Clara, aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu lagi," ujar Pedro dengan senyum sumringahnya berdirii dari tempat duduknya menghampiri Clara yang kini berdiri tepat di depan meja kerjanya.
"Tuan, saya ke sini untuk menunjukkan proposal kerja sama perusahaan Chultzer Life dengan AM Group," ucap Clara dengan suara yang sedikit gemetar namun tetap berusaha menunjukkan sikap profesionalnya menunjukkan map yang dia bawa.
Dia ingin memberikan kesan bahwa dirinya adalah seorang wanita kuat meskipun hatinya sedang dalam keadaan kacau.
"Clara, dengarkan aku. Kau jangan seformal ini. Aku tau, kau kesini karena kau masih ingin bersama denganku, bukan?" tanya Pedro mencoba untuk memegang tangan Clara, tapi secepatnya Clara menepisnya.
"Tuan Pedro. Bersikaplah profesional, saat ini kita hanyalah partner bisnis. Tolong tanda lihat proposal ini jika setuju dengan rancangan kami, saya minta Anda segera tanda tangani berkas ini, agar kerja sama kita akan segera terlaksana," pinta Clara memandang tegas ke arah mantan kekasihnya itu berusaha untuk menutupi rasa sedih dan mencoba untuk menguatkan diri.
"Bisa saja aku langsung menandatanganinya." Pedro mengangkat alisnya dan melihat Clara dengan senyumnya yang penuh arti, "Tapi nantilah dulu. Aku ingin mengobrol denganmu lebih lama," lanjut Pedro dengan seringai liciknya.
Clara terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri agar tidak meledakkan emosinya di depan mantan kekasihnya itu.
"Maaf Tuan. Jangan campur adukkan urusan pribadi dan pekerjaan. Saat ini masih jam kerja, saya minta Anda menandatangani kerja sama ini," jawab Clara dengan suara tetap tenang meskipun ada rasa sakit yang tersirat dalam kata-katanya.
Pedro melihat ke arah Clara dengan tatapan tajamnya yang membuat bulu kuduk Clara merinding. Dia semakin mendekati Clara sambil memperlihatkan senyum sinis di wajahnya.
"Clara! Kau jangan berpura-pura tegar di hadapanku! Aku tau, hatimu hancur bukan, melihatku tidur dengan saudara tiri mu itu?" tebak Pedro sambil menatap mata Clara lekat-lekat seperti ingin membaca pikiran gadis itu.
Mendengar perkataan Pedro, Clara merasakan dadanya terasa sesak dan napasnya menjadi terengah-engah. Rasa sakit dan kecewa yang selama ini dia pendam akhirnya terungkap di hadapan Pedro. Dia berusaha menahan air mata yang ingin keluar.
"Pedro, tolong jangan bicara seperti itu. Hubungan kita sudah berakhir, aku bisa menerima pengkhianatanmu dengan adik tiriku sendiri. Sekarang bersikaplah profesional, jangan persulit pekerjaanku, Pedro!" seru Clara dengan suara tegasnya yang membuat Pedro semakin emosi.
Dia menggebrak meja dengan kuat membuat Clara terkejut. "Bohong!!!" teriak Pedro lantang.
"Ada apa ini?" tanya seorang wanita yang ternyata adalah Rilla, adik tiri Clara masuk secara tiba-tiba ke ruangan Pedro.
"Oh, tampaknya ada tamu penting," lanjut Rilla memicingkan matanya ke arah Clara.
Clara tampak acuh, dia ingin segera keluar dari ruangan itu menghindari mantan kekasihnya dan juga adik tirinya yang Tidka tau diri itu.
"Tuan, aku minta kau lihat proposal itu agar aku dan tim segera mengerjakan proyek ini," desak Clara menatap Pedro tegas.
Rilla tersenyum licik, dia tau jika saat ini kakak tirinya itu tengah mencoba bersikap tegar padahal dia merasakan cemburu dan hatinya sangat hancur.
"Sayang, apakah kau sudah memberikan undangan pesta pertunangan kita?" tanya Rilla dengan gaya centilnya menggandeng lengan Pedro menatap sinis ke arah Clara.
"Belum, kau saja yang memberikannya," jawab Pedro singkat membuat Rilla sedikit kesal karena calon tunangannya itu selalu bersikap dingin kepadanya.
Rilla mengeluarkan kartu undangan kepada Clara dan Clara mengambilnya dengan tenang.
"Jangan lupa datang ya?" pesan Rilla kepada Clara.
"Tuan Pedro, bagaimana? Apakah kau sudah setuju dengan semua rancangan dari perusahaan AM Group? Tolong, jangan menghambat waktu saya," ujar Clara sekali lagi menatap Pedro yang tampak kesal kepadanya.
Tanpa membuang waktu lagi, Pedro segera menandatangani proposal itu tanpa membacanya lagi dan menyerahkan salah satunya kepada Clara. Clara mengambilnya dengan sigap dan segera pergi dari ruangan itu dengan perasaan hancur mendengar mantan kekasihnya benar-benar bertunangan dengan adik tirinya.
Namun, belum jauh dari pintu keluar, Pedro memanggil Clara kembali, dan mengejarnya.
"Clara, wajahmu tampak pucat." ujar Pedro cemas saat melihat wajah Clara yang memang terlihat pucat. Hal ini membuat Rilla kesal karena tidak sepenuhnya bisa merebut hati Pedro dari Clara.
"Saya baik-baik saja Pak. Mungkin saya hanya masuk angin saja, karena sejak pagi saya mual-mual," jawab Clara yang saat itu merasakan tubuhnya terasa lemas dan tak berotot ketika sejak pagi dia mual dan pusing."Lebih baik kau pulang saja, biar aku urus ijinmu," saran Pedro tampak khawatir dengan keadaan mantan kekasihnya itu."Tidak masalah, Pak. Saya masih bisa kerja. Saya permisi." jawab Clara mencoba untuk menguatkan dirinya, lalu beranjak pergi meninggalkan Pedro dan Rilla.Ketika Clara keluar ruangan, ia kembali ke kantornya dengan kondisi tubuh yang semakin lemah dan terpaksa dia ijin istirahat beberapa hari, berharap kondisinya akan membaik.***"Clara, kabar baik untukmu. Tuan Emanuel terkesan dengan proposal yang telah kau buat," ujar Dariel kepada Clara dengan penuh semangat. Clara yang sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya."Benarkah?" tanya Clara tak percaya dengan apa yang Dariel katakan. Matanya memandang ke arah Dariel dengan ekspresi campuran antara harapan dan kera
"Kenapa pria itu bisa berada di sini?" Clara tidak bisa menahan emosinya saat melihat Alexander.Jantung Clara berdesir dan pikirannya langsung terbawa kembali ke malam itu, tragedi yang tak pernah ia lupakan sejak satu bulan lalu."Dia adalah CEO kita, Tuan Alexander Emanuel," bisik Dariel dengan senyum tipisnya.Clara hanya menelan ludah pelan menahan emosinya, mengingat papan nama Penthouse itu. Suasana ruang rapat tampak sunyi hanya dipecah oleh suara langkah kaki mereka yang terdengar semakin dekat.Clara merasa jantungnya berdegup kencang, seperti ingin keluar dari dadanya. Ia tahu bahwa saat ini dia harus tetap tenang dan mengendalikan diri agar tidak membuat situasi semakin buruk.Tiba-tiba saja rasa mual kembali menghampiri Clara. Dengan langkah terburu-buru dia ingin segera ke toilet, karena kecerobohannya, kakinya tersandung dengan kaki meja, sehingga tubuhnya menabrak Alexander yang berjalan tepat di depannya, pandangannya bertemu langsung dengan mata tajam milik Alexande
“Selamat pagi, Pak, anda ingin berbicara dengan saya?”Di dalam ruangannya yang luas dipenuhi oleh aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Alexander Emanuel duduk di kursi kebesarannya sebagai seorang CEO.Matanya yang tajam menatap ke arah pintu saat Clara masuk. Gadis yang selalu membuatnya penasaran dengan sorot matanya serta bola mata samar-samar mengingatkannya akan kejadian malam itu."Clara," sapanya dengan suara yang dingin namun tegas begitu Clara berada di hadapannya. "Saya mempersiapkan kontrak kerja untuk Anda. Silakan duduk." ucap Alexander dengan suara yang tenang tetapi berwibawa, membuat Clara semakin gugup.Clara menarik kursi dengan hati-hati, mencoba menahan getaran ketegangan pada dirinya. Tatapan dingin Alexander menatapnya, mengungkapkan bahwa dia tidak akan mentolerir kelemahan atau ketidakpatuhan. "Saya tidak yakin bisa menerima ini," ujarnya akhirnya dengan suara yang ragu setelah membaca setiap poin yang tertulis di kontrak kerja tersebut.Sorot mata Clara mem
Alexander melangkah ke dalam kamar rawat inap Clara dengan langkah pasti yang menggambarkan otoritasnya sebagai seorang CEO yang sukses. Wajahnya diliputi ekspresi serius, tak tergoyahkan oleh emosi apapun. Dia dikenal sebagai sosok yang dingin dan tegas di dunia bisnis. "Clara," panggilnya dengan suara tanpa belas kasihan. Clara, terbaring di tempat tidur dengan tatapan cemas yang tak tersembunyi, merasa gemetar di bawah kehadiran Alexander. Dia tahu bahwa saat ini pertanyaan tentang kehamilannya akan diajukan. "Ya, Tuan Alexander?" jawabnya gemetar. Alexander tidak membuang waktu. "Mengapa kau hamil, sementara statusmu masih lajang? Apakah kau mencoba untuk memalsukan identitasmu?" tanyanya tanpa ampun, mencari jawaban yang jelas dari wanita muda di depannya. Clara menelan ludah, mencoba menemukan keberanian untuk menjawab. "Aku bertanya kepadamu!" seru Alex memecah keheningan ruangan tersebut membuat Clara terkejut. "Tuan... Saya belum menikah Tuan," jawab Clara dengan lirih
"Clara dengarkan aku!" seru Pedro mencoba meraih tangan Clara yang akan memasuki kamar apartemennya saat dia pulang dari rumah sakit. "Kau mau apalagi, Pedro? Bukankah kau akan segera bertunangan dengan dengan Rilla?" tanya Clara berusaha tegar di hadapan lelaki yang amat dia cintai sekaligus dia benci saat ini. "Clara, aku minta maaf. Aku salah, tapi harusnya kau mengerti, aku melakukan semua ini karena kau tidak pernah mau aku sentuh, jadi aku melampiaskan kepada... ." Plak!!! Sebuah tamparan keras mendarat ke pipi Pedro. Pedro tampak kesal dengan sikap kasar Clara kepadanya. "Clara kau... ." "Ya, aku bisa bersikap kasar dan lembut sesuai tempat Pedro. Mulai detik ini, jangan lagi kau temui aku, hubungan kita sudah berakhir!" tegas Clara dengan suara yang lantang sembari mengacungkan jari telunjuknya kepada Pedro. Emosi Pedro tersulut, dia merasa terhina telah ditampar oleh seorang wanita. "Baiklah, aku akan menuruti kemauanmu, Clara. Namun, harus kau tau, hidup itu keras. M
"Tuan, entah perasaanku atau apa. Tadi, saat saya dan Nona Clara berada tepat di depan penthouse Anda, Saya menangkap raut kecemasan dan trauma yang mendalam darinya. Apakah ini ada kemungkinan jika, Nona Clara adalah... ." tebak sang pengawal yang bernama Markus tersebut. "Benar Markus, dia adalah orangnya. Dia saat ini hamil," jawab Alexander singkat sembari sibuk dengan laptopnya. "Tuan, kenapa Anda tidak memberinya uang dan menyuruhnya menggugurkan kandungannya itu? Bagaimana kalau nanti Tuan dan Nyonya besar tau akan kandungannya itu?" kata Markus tampak terkejut. Alexander mengalihkan pandangannya tajam ke arah Markus. "Diam kau!" bentak Alexander sekali lagi kepada Markus yang masih terdiam tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari tuannya tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keluarga besar Alexander memiliki reputasi baik di mata masyarakat sehingga skandal seperti ini benar-benar harus dicegah agar tidak menghancurkan nama baik keluarganya. Alexander send
Alexander keluar dari kamarnya dengan langkah santai, hanya mengenakan celana pendek berbahan kain dan kaos oblong yang longgar. Rambutnya tampak acak-acakan namun tetap memberikan kesan rapi. Aura pria cool terpancar jelas dari penampilannya yang sederhana namun menawan. Clara tengah sibuk di meja makan, menyusun hidangan untuk makan malam mereka. Matanya tak bisa berhenti memandang ke arah Alex yang tiba-tiba muncul dengan penampilan yang begitu berbeda dari biasanya. Clara merasa takjub melihat betapa tampan dan kerennya Alex dalam mengenakan outfit tersebut. "Apa yang kau lihat?" tanya Alexander menatap sinis ke arah Clara yang tak mengedipkan matanya. "Tidak ada, saya hanya berpikir tadi, siapakah pria yang berdiri di hadapanku saat ini," jawab Clara jujur sembari menata piring dan gelas di meja makan. Alexander mencoba menyembunyikan senyum tipisnya ketika mendengar komentar jujur dari Clara tentang penampilannya. Ia memang terbiasa mendapat pujian langsung seperti itu dari s
"Baiklah, ikut saya menemui pemilik pelelangan ini!" seru sang pegawai dengan sorot matanya yang kejam meminta pihak pengamanan menyeret tubuh Clara menuju ruangan pemilik pelelangan.Clara merasa takut dan terkejut dengan perlakuan kasar yang diterimanya. Dari kejauhan, Rilla tersenyum sinis melihat nasib malang yang menimpa Clara."Kasian sekali nasibmu, Kak."Pedro, mantan pacar Clara, hanya bisa diam sambil merasakan perasaan kasihan yang mendalam. Ia ingin sekali membantu Clara dari situasi sulit ini, namun gadis itu terlalu sombong untuk menerima bantuan apapun darinya. Pedro merasa rendah di hadapan Clara karena sikap tegasnya itu.Di dalam ruangan pemilik pelelangan, dua orang satpam bertubuh kekar mendorong keras tubuh Clara hingga membuatnya terhuyung ke depan. Untunglah Alexander sigap menangkap tubuh Clara sebelum jatuh ke lantai."Apa yang kalian lakukan padanya!!!" teriak Alexander dengan suara lantang sambil menatap tajam kedua satpam tersebut. Emosi memenuhi wajahnya s
Clara merasa risih ketika lelaki tua itu terus memandang ke arahnya. "Kakek, apakah ada yang salah dengan saya?" tanya Clara segera menutupi bagian dadanya dengan sweater yang dia pakai.Kakek Mia memaksakan senyum, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang melanda hatinya. "Tidak. Boleh Kakek melihat kalungmu lebih dekat?"Clara mengangguk sambil mencopot kalungnya dan menyodorkan kalungnya. "Ini, Kek. Ini adalah kalung peninggalan ibu. Ibu selalu bilang ini sangat berharga."Kakek Mia memegang liontin itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. "Di mana ibumu mendapatkannya?"Clara mengerutkan kening, merasa aneh dengan reaksi Kakek Mia. "Katanya ini pemberian dari nenekku. Aku tidak pernah bertemu nenek, dia meninggal sebelum aku lahir. Ibu juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."Kakek Mia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Clara,
"Tentu saja, Clara. Kau merasa keberatan ketika ada wanita lain yang melihat tubuhku," jawab Alexander dengan wajahnya yang tenang."Tapi jangan lakukan hal sekejam itu, Tuan. Kasihan dengan Mia," jawab Clara terlihat sedih."Clara, dia sangat kejam. Dia bahkan akan mencelakai dirimu dan anak kita dengan memberimu racun yang langka. Dia juga menjebakku dan membuatmu bersedih. Kau masih bisa mengasihinya?" protes Alexander heran melihat reaksi istrinya."Aku tidak akan membiarkan Mia menghancurkan hidupku dan membuatmu bersedih, jika aku tidak memberinya hukuman," lanjut Alexander dengan tegas.Clara hanya bisa diam, dia tidak bisa lagi mencegah suaminya. Beberapa hari kemudian, Alexander berdiri di luar gedung tempat Mia disekap. Dia memasuki gedung tersebut dan memastikan jika Markus melakukan tugasnya dengan baik. Benar saja, di sana dia melihat Mia sudah kehilangan penglihatannya."Mia. Ini cukup untuk membuatmu menyesal sudah bermain api denganku, Mia," ujar Alexander dengan nada
"Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar.Clara masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Alexander, pria yang selama ini dianggapnya sebagai sosok baik dan setia, kini terlihat tidur dengan Mia, wanita yang selama ini membuat Clara gelisah. Dia mencoba menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Selma, merasa harus segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah ini. "Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar, mencoba untuk menampik apa yang dia lihat.Selma terdiam sejenak, lalu dengan tegas berkata, "Clara, tetap tenang. Aku akan mengurus ini."Selma bergegas meninggalkan Clara seornagbdiri di rumah sakit, dan segera pergi menuju Penthouse putranya.Ketika Selma tiba di penthouse tersebut dengan wajah tegang dan langkah cepatnya, ia segera masuk tanpa permisi. Dan disanalah dia melihat pemandangan yang membuat hatinya hampir copot dari tempatnya: Alexander tertidur hanya dengan memakai bocer pendek dan Mia baru saja selesa
Clara duduk di meja makan, memegang perutnya yang terasa kram hebat. Wajahnya pucat dan keringat dingin mulai membasahi dahinya. "Aku merasa sangat tidak enak badan," katanya lemah kepada Selma, ibu mertuanya, yang duduk di seberang meja.Selma memandang Clara dengan khawatir. "Kamu kenapa, Clara? Kamu terlihat sangat pucat," ujarnya sambil bangkit dan mendekati Clara. "Sepertinya kamu harus dibawa ke dokter."Saat itu, Mia memberikan segelas air kepada Clara. "Clara, minumlah ini. Mungkin kamu akan merasa lebih baik," katanya dengan senyum simpul.Namun Alexander menampik tangan Mia dan segera menggendong tubuh Clara ke luar untuk diperiksakan oleh dokter. "Aku akan membawanya ke rumah sakit sekarang juga," katanya dengan suara tegas. Mia berusaha membantu mengangkat Clara, namun Selma menolak bantuannya. "Jangan sentuh dia, Mia. Aku sudah mencurigaimu sejak awal." Mia terkejut. "Apa maksud Tante Selma? Kenapa Tante mencurigai aku?" Sepeninggal Clara dan Alexander, Selma menatap Mia
Siang itu, Selma, melangkah keluar dari lift menuju penthouse mewah Alexander. Pintu terbuka, memperlihatkan pemandangan indah kota dari jendela besar di ruang tamu. Namun, yang menarik perhatian Selma adalah suara tawa dari dapur. Dia berjalan mendekat, dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat Mia, dengan apron terikat di pinggangnya, sedang memasak di dapur Alexander."Mia? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Selma dengan nada tegas, matanya menyipit curiga.Mia menoleh dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan. "Oh, Selamat sore, Tante Selma. Saya hanya memasak makan siang. Ada yang bisa saya bantu?"Selma melangkah masuk, menatap Mia dengan sorotan tajam. "Kenapa kamu tinggal di sini bersama Alexander? Di mana Clara?"Mia tersenyum lebih lebar, tetapi matanya tetap dingin. "Clara sedang di kamarnya, apakah Tante tidak tau, jika Clara itu pemalas? Selama satu Minggu Saya disini, Sayalah yang mengurus rumah sementara dia bermalas-malasan."Selma merasa ada yang tidak beres. D
Pada hari pertama Mia tinggal di rumah Alexander, suasana di rumah itu terasa sedikit berbeda. Clara menjadi lebih protektif terhadap Alexander. Dia merasa perlu melindungi saudara laki-lakinya dari segala hal yang mungkin bisa membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Mia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan spesial untuk Alexander. Dia merasa senang bisa memberikan sesuatu yang istimewa untuk orang yang baru saja dia kenal ini. Dengan langkah ringan, Mia bergegas ke dapur dan mulai mencari-cari resep pancake favoritnya yang pernah dia lihat di internet.Sementara itu, Alexander turun dari lantai atas dengan langkah malas. Matanya masih setengah tertutup karena kantuk namun senyum tipis tetap menghiasi wajah tampannya ketika aroma harum pancake menyambut hidungnya begitu masuk ke dapur. Dia melihat Mia dengan tatapan penuh tanda tanya saat gadis itu sibuk mengaduk adonan pancake dengan penuh semangat."Selamat pagi!" sapu Mia riang sambil tersenyum lebar, adonan tepung sed
Clara sedang duduk di ruang tamu yang elegan, tangannya memegang secangkir teh hangat. Senyum lebar tergambar di wajahnya. Markus, asisten pribadi suaminya, Alexander, baru saja meninggalkan ruangan setelah memberi tahu Clara tentang keberhasilannya."Markus, terima kasih banyak. Kamu benar-benar hebat," kata Clara dengan penuh syukur."Senang bisa membantu, Bu Clara," jawab Markus sambil tersenyum sebelum menunduk hormat dan beranjak pergi.Tak lama kemudian, Alexander masuk ke ruang tamu. Dia melihat senyum lebar di wajah istrinya dan merasa ada sesuatu yang berbeda."Ada apa, Clara? Kamu terlihat sangat bahagia," tanya Alexander dengan nada penasaran.Clara menatap suaminya dan tersenyum lebih lebar lagi. "Aku baru saja mendengar kabar baik dari Markus. Dia berhasil menjauhkan Mia dari kamu."Alexander tersenyum tipis, menahan tawa yang ingin pecah. "Oh, jadi itu alasannya? Kamu begitu cemburu pada Mia, ya?"Clara meletakkan cangkir tehnya di atas meja dan menatap Alexander dengan
Clara duduk di ruang tamu, menggigit bibirnya sambil memandang kalender di dinding. Kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan dia merasakan gelombang kecemasan setiap kali memikirkan suaminya, Alexander, di kantor. Terutama sejak Mia, rekan kerja yang licik, semakin gencar menggoda Alexander. Sejak permintaannya menjadi sekretaris pribadi suaminya lima bulan yang lalu ditolak, Clara merasa semakin tertekan dengan situasi tersebut.“Tuan, aku harus bicara denganmu,” kata Clara saat Alexander masuk ke ruang tamu.Alexander menatap Clara dengan penuh perhatian, “Ada apa, Clara? Apa kamu baik-baik saja?”Clara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku ingin kembali menjadi sekretarismu. Aku tahu kamu tidak setuju, tapi aku merasa ini penting.”Dalam benaknya terus terngiang pertemuan singkat antara Alexander dan Mia beberapa hari yang lalu di acara perusahaan. Mereka terlihat begitu akrab dan mesra sehingga membuat hati Clara berbunga-bunga melihatnya. Namun rasa bahagia itu l
Clara duduk di ruang tamu, mengamati suaminya, Alexander, yang sedang membaca laporan keuangan di sofa seberang. Perasaan tidak nyaman menggelayuti hatinya sejak beberapa minggu terakhir. Mia, rekan bisnis perusahaan Alexander, tampak terlalu bersemangat dalam mendekati suaminya.Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sikap Mia tersebut. Ia pun memutuskan untuk menanyakan langsung kepada suaminya tentang bagaimana hubungan kerja mereka dengan Mia."Tuan, bagaimana rekan bisnis barumu? Mia, kan namanya?" tanya Clara pelan.Alexander menatap Clara sejenak sebelum menjawab dengan tenang, "Ya, Mia. Dia cukup efisien dan profesional dalam bekerja."Namun Clara tetap merasakan ketidaknyamanan dalam dirinya. Ia mencoba untuk bertindak biasa saja meskipun hatinya tak bisa tenang."Tidak ada alasan khusus. Hanya penasaran saja," ucap Clara sambil mencoba tersenyum tipis."Kau jangan berpikir yang bukan-bukan, Clara. Kemarin aku dan dia hanya makan malam biasa untuk membahas proyek ke