"Kenapa pria itu bisa berada di sini?" Clara tidak bisa menahan emosinya saat melihat Alexander.
Jantung Clara berdesir dan pikirannya langsung terbawa kembali ke malam itu, tragedi yang tak pernah ia lupakan sejak satu bulan lalu.
"Dia adalah CEO kita, Tuan Alexander Emanuel," bisik Dariel dengan senyum tipisnya.
Clara hanya menelan ludah pelan menahan emosinya, mengingat papan nama Penthouse itu.
Suasana ruang rapat tampak sunyi hanya dipecah oleh suara langkah kaki mereka yang terdengar semakin dekat.
Clara merasa jantungnya berdegup kencang, seperti ingin keluar dari dadanya. Ia tahu bahwa saat ini dia harus tetap tenang dan mengendalikan diri agar tidak membuat situasi semakin buruk.
Tiba-tiba saja rasa mual kembali menghampiri Clara. Dengan langkah terburu-buru dia ingin segera ke toilet, karena kecerobohannya, kakinya tersandung dengan kaki meja, sehingga tubuhnya menabrak Alexander yang berjalan tepat di depannya, pandangannya bertemu langsung dengan mata tajam milik Alexander.
Alex merasa tidak asing dengan tatapan wajah Perempuan yang ada di depannya ini. Bahkan, tatapan Alexander seolah-olah sedang memindai setiap inci wajah Clara.
Manik biru milik Clara sekilas mengingatkannya dengan kejadian malam itu. Mata mereka saling terkunci dalam sebuah tatapan intensif yang membuat jantung Clara berdegup kencang.
Namun, bukan Alexander Emanuel namanya jika tidak mau bersentuhan dengan wanita asing. Alexander segera melepaskan tubuh mungil Clara yang membeku di pelukannya dengan gugup karena saat ini menjadi pusat perhatian di dalam ruangan rapat tersebut.
"Apakah kau selalu berjalan tanpa menggunakan matamu?" Alexander mengangkat alisnya sejenak,
Clara sangat panik tapi sedikit lega karena Alexander tidak menyadari siapa dirinya.
"Maaf, Tuan Alex. Saya tidak bermaksud …"
"Berhati-hatilah!" seru Alex dengan tatapan yang mengintimidasi.
"Baik, Tuan. Saya minta maaf sekali lagi." Clara tampak sangat menyesal dan malu dengan apa yang baru saja terjadi.
Semua mata menatapnya seolah dirinya sedang menggunakan trik kuno untuk merayu seorang pria dengan berpura-pura jatuh padanya. Padahal semua itu terjadi karena kecerobohannya.
Tanpa menghiraukan Clara yang masih tertunduk ketakutan, Alexander berjalan dengan kepala tegaknya menuju kursi kebesarannya untuk memimpin rapat tahunan perusahaan AM Group.
Clara buru-buru pergi ke toilet yang berada di dalam ruang meeting itu karena dirinya merasa sangat tidak nyaman dengan kondisi tubuhnya saat ini.
Meeting tahunan perusahaan pun dimulai. Ruangan yang sebelumnya ramai dengan percakapan dan tawa, kini menjadi hening saat rapat dibuka dengan presentasi dari CEO perusahaan tentang visi dan misi perusahaan ke depan. Clara dengan canggung kembali ke tempat duduknya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Dariel yang tampak penasaran ketika Clara kedapatan berkali-kali mengusap leher belakangnya karena cemas yang melandanya.
"S-saya ti-tidak ada masalah Pak," jawab Clara sedikit gugup saat melihat wajah Alexander yang tampak serius mempresentasikan perusahaannya.
"Hmm, baiklah. Persiapkan dirimu. Setelah sambutan Tuan Alex, kaulah yang akan maju mempresentasikan hasil kerja devisi kita dalam satu tahun ini," tutur Dariel menasehati Clara.
Clara menganggukkan kepalanya pelan dan mulai mempelajari grafik pertumbuhan perkembangan perusahaannya.
Dengan langkah pelan, Clara berjalan menuju meja presentasi setelah sambutan dari CEO-nya sudah selesai. Dalam balutan setelan blazer hitam elegan, ia terlihat sangat profesional tapi saat dia berjalan melewati CEO, dia begitu gugup takut jika pria itu mengingat kejadian malam yang memalukan itu.
Alexander, CEO yang terkenal dengan dinginnya, duduk tegak di kursi utama ruang konferensi, tangan bersilang di meja mahogany. Mata tajamnya memantau setiap gerakan wanita muda itu saat menyajikan presentasinya. Ekspresi wajahnya tetap tak berubah, namun matanya terfokus pada layar presentasi
Alex memperhatikan bagaimana Clara presentasi, ia mencoba mengingat kembali siapa Wanita yang tidur bersamanya.
Pada saat Clara memberi penjelasan tentang grafik pertumbuhan, Alex meremas ujung pena peraknya. Tanpa sadar, Clara menggaruk lembut bagian belakang telinga, sebuah tanda kecemasan saat dia mendapati sorot tajam dari Alexander. Meskipun intonasi suaranya tetap tenang, bibirnya mungkin sedikit menegang ketika ia mempresentasikan kinerja Devisinya selama satu tahun ini.
"Tuan Alexander, apakah ada masalah dengan presentasi saya?" tanya Clara merasa gugup saat dirinya menyadari arti tatapan Alex kepadanya.
"Lanjutkan," jawab Alex, tetapi intonasinya mengisyaratkan bahwa ia mencari kejanggalan.
Clara melanjutkan presentasinya dengan menjelaskan tentang inovasi-inovasi baru yang berhasil diciptakan oleh tim marketingnya. Mulai dari kampanye iklan kreatif hingga kerjasama strategis dengan influencer ternama di dunia maya.
"Apakah yang lainnya ada pertanyaan?" tanya Clara saat dia benar-benar sudah menyelesaikan presentasinya.
Semua anggota rapat diam karena sangat kagum dengan setiap detail presentasi yang disampaikan oleh Clara. Setelah benar-benar tidak ada pertanyaan lagi, Clara kembali duduk di ujung meja, berusaha menghindari pandangan CEO yang duduk di seberangnya. Ketika CEO memandang ke arahnya, Clara dengan canggung menyelipkan senyum kecil, berharap agar tidak terlihat gugup.
Alexander mencatat semua pengajuan dari setiap devisi. Setelah presentasi dari tiap-tiap devisi sudah selesai, Alexander memberikan apresiasinya kepada devisi Marketing dengan menambahkan bonus tahunan.
Tentu saja hal ini membuat Dariel selaku Manager pemasaran sangat bahagia. Bonus yang diberikan oleh Alexander tidak hanya sekedar penghargaan atas kinerja semua anak buahnya, tetapi juga sebagai bentuk motivasi agar mereka terus bekerja keras dan mencapai target-target perusahaan.
“Saya menyukai kinerja Clara dan dedikasi yang sudah dia berikan kepada perusahaan ini." Mendengar pujian tersebut, Clara merasa bangga dan sedikit terkejut dengan pernyataan Alex.
"Untuk itu," lanjut Alexander sambil melihat ke arah Clara dengan tatapan tajam, "saya akan menaikkan jabatannya menjadi sekretaris pribadi saya." Keputusan tersebut membuat anggota rapat terkejut.
Mereka tidak menyangka bahwa Clara akan mendapatkan promosi yang lebih tinggi dari sekedar manager pemasaran. Dariel heran, kenapa Alexander malah ingin menjadikan Clara sebagai sekretaris pribadinya tapi dia tak bisa melawan keputusan Alex.
Namun, ada satu orang yang tidak senang dengan keputusan tersebut yaitu Clara sendiri. Wajahnya berubah masam karena dia tidak mau terus berdekatan dengan Alexander.
Baginya, Alexander adalah sosok yang telah merampas keperawanannya tanpa seizinnya. Meskipun insiden itu terjadi atas kecerobohannya, namun dia tidak bisa membenarkan perlakukan Alexander kepadanya malam itu.
"Tidak, ini tidaklah benar. Aku hanya ingin menjadi manager pemasaran, bukan sebagai sekretarisnya," lirih Clara sangat tertekan dengan keputusan Alex.
Saat rapat berakhir, Clara bernapas lega, berusaha menyelinap keluar sebelum CEO-nya menyadarinya. Namun, Alexander tampaknya bisa menangkap gerakan mencurigakan Clara.
"Besok, datanglah ke ruanganku." Alex memerintah Clara yang baru saja ia angkat sebagai sekretaris pribadinya.
“Selamat pagi, Pak, anda ingin berbicara dengan saya?”Di dalam ruangannya yang luas dipenuhi oleh aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Alexander Emanuel duduk di kursi kebesarannya sebagai seorang CEO.Matanya yang tajam menatap ke arah pintu saat Clara masuk. Gadis yang selalu membuatnya penasaran dengan sorot matanya serta bola mata samar-samar mengingatkannya akan kejadian malam itu."Clara," sapanya dengan suara yang dingin namun tegas begitu Clara berada di hadapannya. "Saya mempersiapkan kontrak kerja untuk Anda. Silakan duduk." ucap Alexander dengan suara yang tenang tetapi berwibawa, membuat Clara semakin gugup.Clara menarik kursi dengan hati-hati, mencoba menahan getaran ketegangan pada dirinya. Tatapan dingin Alexander menatapnya, mengungkapkan bahwa dia tidak akan mentolerir kelemahan atau ketidakpatuhan. "Saya tidak yakin bisa menerima ini," ujarnya akhirnya dengan suara yang ragu setelah membaca setiap poin yang tertulis di kontrak kerja tersebut.Sorot mata Clara mem
Alexander melangkah ke dalam kamar rawat inap Clara dengan langkah pasti yang menggambarkan otoritasnya sebagai seorang CEO yang sukses. Wajahnya diliputi ekspresi serius, tak tergoyahkan oleh emosi apapun. Dia dikenal sebagai sosok yang dingin dan tegas di dunia bisnis. "Clara," panggilnya dengan suara tanpa belas kasihan. Clara, terbaring di tempat tidur dengan tatapan cemas yang tak tersembunyi, merasa gemetar di bawah kehadiran Alexander. Dia tahu bahwa saat ini pertanyaan tentang kehamilannya akan diajukan. "Ya, Tuan Alexander?" jawabnya gemetar. Alexander tidak membuang waktu. "Mengapa kau hamil, sementara statusmu masih lajang? Apakah kau mencoba untuk memalsukan identitasmu?" tanyanya tanpa ampun, mencari jawaban yang jelas dari wanita muda di depannya. Clara menelan ludah, mencoba menemukan keberanian untuk menjawab. "Aku bertanya kepadamu!" seru Alex memecah keheningan ruangan tersebut membuat Clara terkejut. "Tuan... Saya belum menikah Tuan," jawab Clara dengan lirih
"Clara dengarkan aku!" seru Pedro mencoba meraih tangan Clara yang akan memasuki kamar apartemennya saat dia pulang dari rumah sakit. "Kau mau apalagi, Pedro? Bukankah kau akan segera bertunangan dengan dengan Rilla?" tanya Clara berusaha tegar di hadapan lelaki yang amat dia cintai sekaligus dia benci saat ini. "Clara, aku minta maaf. Aku salah, tapi harusnya kau mengerti, aku melakukan semua ini karena kau tidak pernah mau aku sentuh, jadi aku melampiaskan kepada... ." Plak!!! Sebuah tamparan keras mendarat ke pipi Pedro. Pedro tampak kesal dengan sikap kasar Clara kepadanya. "Clara kau... ." "Ya, aku bisa bersikap kasar dan lembut sesuai tempat Pedro. Mulai detik ini, jangan lagi kau temui aku, hubungan kita sudah berakhir!" tegas Clara dengan suara yang lantang sembari mengacungkan jari telunjuknya kepada Pedro. Emosi Pedro tersulut, dia merasa terhina telah ditampar oleh seorang wanita. "Baiklah, aku akan menuruti kemauanmu, Clara. Namun, harus kau tau, hidup itu keras. M
"Tuan, entah perasaanku atau apa. Tadi, saat saya dan Nona Clara berada tepat di depan penthouse Anda, Saya menangkap raut kecemasan dan trauma yang mendalam darinya. Apakah ini ada kemungkinan jika, Nona Clara adalah... ." tebak sang pengawal yang bernama Markus tersebut. "Benar Markus, dia adalah orangnya. Dia saat ini hamil," jawab Alexander singkat sembari sibuk dengan laptopnya. "Tuan, kenapa Anda tidak memberinya uang dan menyuruhnya menggugurkan kandungannya itu? Bagaimana kalau nanti Tuan dan Nyonya besar tau akan kandungannya itu?" kata Markus tampak terkejut. Alexander mengalihkan pandangannya tajam ke arah Markus. "Diam kau!" bentak Alexander sekali lagi kepada Markus yang masih terdiam tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari tuannya tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keluarga besar Alexander memiliki reputasi baik di mata masyarakat sehingga skandal seperti ini benar-benar harus dicegah agar tidak menghancurkan nama baik keluarganya. Alexander send
Alexander keluar dari kamarnya dengan langkah santai, hanya mengenakan celana pendek berbahan kain dan kaos oblong yang longgar. Rambutnya tampak acak-acakan namun tetap memberikan kesan rapi. Aura pria cool terpancar jelas dari penampilannya yang sederhana namun menawan. Clara tengah sibuk di meja makan, menyusun hidangan untuk makan malam mereka. Matanya tak bisa berhenti memandang ke arah Alex yang tiba-tiba muncul dengan penampilan yang begitu berbeda dari biasanya. Clara merasa takjub melihat betapa tampan dan kerennya Alex dalam mengenakan outfit tersebut. "Apa yang kau lihat?" tanya Alexander menatap sinis ke arah Clara yang tak mengedipkan matanya. "Tidak ada, saya hanya berpikir tadi, siapakah pria yang berdiri di hadapanku saat ini," jawab Clara jujur sembari menata piring dan gelas di meja makan. Alexander mencoba menyembunyikan senyum tipisnya ketika mendengar komentar jujur dari Clara tentang penampilannya. Ia memang terbiasa mendapat pujian langsung seperti itu dari s
"Baiklah, ikut saya menemui pemilik pelelangan ini!" seru sang pegawai dengan sorot matanya yang kejam meminta pihak pengamanan menyeret tubuh Clara menuju ruangan pemilik pelelangan.Clara merasa takut dan terkejut dengan perlakuan kasar yang diterimanya. Dari kejauhan, Rilla tersenyum sinis melihat nasib malang yang menimpa Clara."Kasian sekali nasibmu, Kak."Pedro, mantan pacar Clara, hanya bisa diam sambil merasakan perasaan kasihan yang mendalam. Ia ingin sekali membantu Clara dari situasi sulit ini, namun gadis itu terlalu sombong untuk menerima bantuan apapun darinya. Pedro merasa rendah di hadapan Clara karena sikap tegasnya itu.Di dalam ruangan pemilik pelelangan, dua orang satpam bertubuh kekar mendorong keras tubuh Clara hingga membuatnya terhuyung ke depan. Untunglah Alexander sigap menangkap tubuh Clara sebelum jatuh ke lantai."Apa yang kalian lakukan padanya!!!" teriak Alexander dengan suara lantang sambil menatap tajam kedua satpam tersebut. Emosi memenuhi wajahnya s
"T-tidak," sahut Clara dengan suara rendah yang gugup, matanya menunduk ke bawah. "Hanya saja, Liontin itu terlalu menyilaukan," papar Clara mencoba untuk tetap tenang dan menutupi kekhawatirannya dan sesekali melirik ke arah liontin tersebut.Alexander menaikkan alisnya merasakan kejanggalan dalam sikapnya, tetapi berusaha untuk tetap tenang ketika dia mulai yakin jika wanita pemilik liontin itu adalah Clara. "Baiklah," ucapnya dengan suara dingin, mencoba untuk menjaga ketegasannya."Ayo kita pergi dari sini," ajak Alexander dengan nada yang sama dinginnya, melirik sekilas ke arah pemilik pelelangan tersebut, seolah-olah tidak ada yang bisa menghalangi langkahnya.Clara menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Baik." Dia merasa seakan-akan terikat pada langkah-langkah tegas Alexander yang berjalan di depannya, tanpa sepatah kata pun yang mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya.Saat mereka melangkahkan kakinya keluar dari ruangan pemilik pelelangan menuju koridor te
Alexander memandang liontin di tangannya dengan senyum tipis di wajahnya, mengajak Clara pergi dari pelelangan tersebut. Hatinya berdebar-debar saat melihat ekspresi Clara yang terlihat begitu muram. 'Ternyata, firasatku benar! Clara tenang saja, aku akan bertanggung jawab dengan apa yang sudah aku perbuat kepadamu,' gumam Alexander dalam hati sambil melirik diam-diam ke arah Clara yang sedang termenung menatap luar jendela mobil.Clara sendiri tenggelam dalam pikirannya sendiri, merenungi segala masalah dan rintangan yang selalu menghampirinya. Dia tidak menyadari bahwa Alexander sedang memperhatikannya dengan penuh perasaan bersalah.Di sisi lain, Rilla tampak kesal kepada Pedro karena gagal mendapatkan liontin impiannya dan ibunya dari tangan Clara sejak dulu. "Kenapa tadi kau tidak menawar lebih tinggi daripada pria itu?" protes Rilla sambil mengguncangkan lengan Pedro.Pedro hanya bisa merespon dengan nada kesal, "Diamlah! Harga liontin itu sudah terlalu mahal."Rilla semakin fru
Clara merasa risih ketika lelaki tua itu terus memandang ke arahnya. "Kakek, apakah ada yang salah dengan saya?" tanya Clara segera menutupi bagian dadanya dengan sweater yang dia pakai.Kakek Mia memaksakan senyum, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang melanda hatinya. "Tidak. Boleh Kakek melihat kalungmu lebih dekat?"Clara mengangguk sambil mencopot kalungnya dan menyodorkan kalungnya. "Ini, Kek. Ini adalah kalung peninggalan ibu. Ibu selalu bilang ini sangat berharga."Kakek Mia memegang liontin itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. "Di mana ibumu mendapatkannya?"Clara mengerutkan kening, merasa aneh dengan reaksi Kakek Mia. "Katanya ini pemberian dari nenekku. Aku tidak pernah bertemu nenek, dia meninggal sebelum aku lahir. Ibu juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."Kakek Mia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Clara,
"Tentu saja, Clara. Kau merasa keberatan ketika ada wanita lain yang melihat tubuhku," jawab Alexander dengan wajahnya yang tenang."Tapi jangan lakukan hal sekejam itu, Tuan. Kasihan dengan Mia," jawab Clara terlihat sedih."Clara, dia sangat kejam. Dia bahkan akan mencelakai dirimu dan anak kita dengan memberimu racun yang langka. Dia juga menjebakku dan membuatmu bersedih. Kau masih bisa mengasihinya?" protes Alexander heran melihat reaksi istrinya."Aku tidak akan membiarkan Mia menghancurkan hidupku dan membuatmu bersedih, jika aku tidak memberinya hukuman," lanjut Alexander dengan tegas.Clara hanya bisa diam, dia tidak bisa lagi mencegah suaminya. Beberapa hari kemudian, Alexander berdiri di luar gedung tempat Mia disekap. Dia memasuki gedung tersebut dan memastikan jika Markus melakukan tugasnya dengan baik. Benar saja, di sana dia melihat Mia sudah kehilangan penglihatannya."Mia. Ini cukup untuk membuatmu menyesal sudah bermain api denganku, Mia," ujar Alexander dengan nada
"Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar.Clara masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Alexander, pria yang selama ini dianggapnya sebagai sosok baik dan setia, kini terlihat tidur dengan Mia, wanita yang selama ini membuat Clara gelisah. Dia mencoba menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Selma, merasa harus segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah ini. "Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar, mencoba untuk menampik apa yang dia lihat.Selma terdiam sejenak, lalu dengan tegas berkata, "Clara, tetap tenang. Aku akan mengurus ini."Selma bergegas meninggalkan Clara seornagbdiri di rumah sakit, dan segera pergi menuju Penthouse putranya.Ketika Selma tiba di penthouse tersebut dengan wajah tegang dan langkah cepatnya, ia segera masuk tanpa permisi. Dan disanalah dia melihat pemandangan yang membuat hatinya hampir copot dari tempatnya: Alexander tertidur hanya dengan memakai bocer pendek dan Mia baru saja selesa
Clara duduk di meja makan, memegang perutnya yang terasa kram hebat. Wajahnya pucat dan keringat dingin mulai membasahi dahinya. "Aku merasa sangat tidak enak badan," katanya lemah kepada Selma, ibu mertuanya, yang duduk di seberang meja.Selma memandang Clara dengan khawatir. "Kamu kenapa, Clara? Kamu terlihat sangat pucat," ujarnya sambil bangkit dan mendekati Clara. "Sepertinya kamu harus dibawa ke dokter."Saat itu, Mia memberikan segelas air kepada Clara. "Clara, minumlah ini. Mungkin kamu akan merasa lebih baik," katanya dengan senyum simpul.Namun Alexander menampik tangan Mia dan segera menggendong tubuh Clara ke luar untuk diperiksakan oleh dokter. "Aku akan membawanya ke rumah sakit sekarang juga," katanya dengan suara tegas. Mia berusaha membantu mengangkat Clara, namun Selma menolak bantuannya. "Jangan sentuh dia, Mia. Aku sudah mencurigaimu sejak awal." Mia terkejut. "Apa maksud Tante Selma? Kenapa Tante mencurigai aku?" Sepeninggal Clara dan Alexander, Selma menatap Mia
Siang itu, Selma, melangkah keluar dari lift menuju penthouse mewah Alexander. Pintu terbuka, memperlihatkan pemandangan indah kota dari jendela besar di ruang tamu. Namun, yang menarik perhatian Selma adalah suara tawa dari dapur. Dia berjalan mendekat, dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat Mia, dengan apron terikat di pinggangnya, sedang memasak di dapur Alexander."Mia? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Selma dengan nada tegas, matanya menyipit curiga.Mia menoleh dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan. "Oh, Selamat sore, Tante Selma. Saya hanya memasak makan siang. Ada yang bisa saya bantu?"Selma melangkah masuk, menatap Mia dengan sorotan tajam. "Kenapa kamu tinggal di sini bersama Alexander? Di mana Clara?"Mia tersenyum lebih lebar, tetapi matanya tetap dingin. "Clara sedang di kamarnya, apakah Tante tidak tau, jika Clara itu pemalas? Selama satu Minggu Saya disini, Sayalah yang mengurus rumah sementara dia bermalas-malasan."Selma merasa ada yang tidak beres. D
Pada hari pertama Mia tinggal di rumah Alexander, suasana di rumah itu terasa sedikit berbeda. Clara menjadi lebih protektif terhadap Alexander. Dia merasa perlu melindungi saudara laki-lakinya dari segala hal yang mungkin bisa membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Mia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan spesial untuk Alexander. Dia merasa senang bisa memberikan sesuatu yang istimewa untuk orang yang baru saja dia kenal ini. Dengan langkah ringan, Mia bergegas ke dapur dan mulai mencari-cari resep pancake favoritnya yang pernah dia lihat di internet.Sementara itu, Alexander turun dari lantai atas dengan langkah malas. Matanya masih setengah tertutup karena kantuk namun senyum tipis tetap menghiasi wajah tampannya ketika aroma harum pancake menyambut hidungnya begitu masuk ke dapur. Dia melihat Mia dengan tatapan penuh tanda tanya saat gadis itu sibuk mengaduk adonan pancake dengan penuh semangat."Selamat pagi!" sapu Mia riang sambil tersenyum lebar, adonan tepung sed
Clara sedang duduk di ruang tamu yang elegan, tangannya memegang secangkir teh hangat. Senyum lebar tergambar di wajahnya. Markus, asisten pribadi suaminya, Alexander, baru saja meninggalkan ruangan setelah memberi tahu Clara tentang keberhasilannya."Markus, terima kasih banyak. Kamu benar-benar hebat," kata Clara dengan penuh syukur."Senang bisa membantu, Bu Clara," jawab Markus sambil tersenyum sebelum menunduk hormat dan beranjak pergi.Tak lama kemudian, Alexander masuk ke ruang tamu. Dia melihat senyum lebar di wajah istrinya dan merasa ada sesuatu yang berbeda."Ada apa, Clara? Kamu terlihat sangat bahagia," tanya Alexander dengan nada penasaran.Clara menatap suaminya dan tersenyum lebih lebar lagi. "Aku baru saja mendengar kabar baik dari Markus. Dia berhasil menjauhkan Mia dari kamu."Alexander tersenyum tipis, menahan tawa yang ingin pecah. "Oh, jadi itu alasannya? Kamu begitu cemburu pada Mia, ya?"Clara meletakkan cangkir tehnya di atas meja dan menatap Alexander dengan
Clara duduk di ruang tamu, menggigit bibirnya sambil memandang kalender di dinding. Kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan dia merasakan gelombang kecemasan setiap kali memikirkan suaminya, Alexander, di kantor. Terutama sejak Mia, rekan kerja yang licik, semakin gencar menggoda Alexander. Sejak permintaannya menjadi sekretaris pribadi suaminya lima bulan yang lalu ditolak, Clara merasa semakin tertekan dengan situasi tersebut.“Tuan, aku harus bicara denganmu,” kata Clara saat Alexander masuk ke ruang tamu.Alexander menatap Clara dengan penuh perhatian, “Ada apa, Clara? Apa kamu baik-baik saja?”Clara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku ingin kembali menjadi sekretarismu. Aku tahu kamu tidak setuju, tapi aku merasa ini penting.”Dalam benaknya terus terngiang pertemuan singkat antara Alexander dan Mia beberapa hari yang lalu di acara perusahaan. Mereka terlihat begitu akrab dan mesra sehingga membuat hati Clara berbunga-bunga melihatnya. Namun rasa bahagia itu l
Clara duduk di ruang tamu, mengamati suaminya, Alexander, yang sedang membaca laporan keuangan di sofa seberang. Perasaan tidak nyaman menggelayuti hatinya sejak beberapa minggu terakhir. Mia, rekan bisnis perusahaan Alexander, tampak terlalu bersemangat dalam mendekati suaminya.Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sikap Mia tersebut. Ia pun memutuskan untuk menanyakan langsung kepada suaminya tentang bagaimana hubungan kerja mereka dengan Mia."Tuan, bagaimana rekan bisnis barumu? Mia, kan namanya?" tanya Clara pelan.Alexander menatap Clara sejenak sebelum menjawab dengan tenang, "Ya, Mia. Dia cukup efisien dan profesional dalam bekerja."Namun Clara tetap merasakan ketidaknyamanan dalam dirinya. Ia mencoba untuk bertindak biasa saja meskipun hatinya tak bisa tenang."Tidak ada alasan khusus. Hanya penasaran saja," ucap Clara sambil mencoba tersenyum tipis."Kau jangan berpikir yang bukan-bukan, Clara. Kemarin aku dan dia hanya makan malam biasa untuk membahas proyek ke