Alexander melangkah ke dalam kamar rawat inap Clara dengan langkah pasti yang menggambarkan otoritasnya sebagai seorang CEO yang sukses. Wajahnya diliputi ekspresi serius, tak tergoyahkan oleh emosi apapun. Dia dikenal sebagai sosok yang dingin dan tegas di dunia bisnis.
"Clara," panggilnya dengan suara tanpa belas kasihan.
Clara, terbaring di tempat tidur dengan tatapan cemas yang tak tersembunyi, merasa gemetar di bawah kehadiran Alexander. Dia tahu bahwa saat ini pertanyaan tentang kehamilannya akan diajukan.
"Ya, Tuan Alexander?" jawabnya gemetar.
Alexander tidak membuang waktu. "Mengapa kau hamil, sementara statusmu masih lajang? Apakah kau mencoba untuk memalsukan identitasmu?" tanyanya tanpa ampun, mencari jawaban yang jelas dari wanita muda di depannya.
Clara menelan ludah, mencoba menemukan keberanian untuk menjawab.
"Aku bertanya kepadamu!" seru Alex memecah keheningan ruangan tersebut membuat Clara terkejut.
"Tuan... Saya belum menikah Tuan," jawab Clara dengan lirih dan tertunduk.
Wajah Alexander menegang lebih kuat lagi. "Apa Maksudmu? Lalu, siapa ayah dari bayi itu?" desaknya, suaranya bergetar oleh kecurigaan yang mendalam.
Clara menatap kosong ke lantai, mencoba menyembunyikan kecemasannya yang tak terbendung. "Saya... saya tidak tahu," ucapnya dengan gemetar.
"Tidak tahu?" ulang Alexander dengan nada yang tajam. "Apakah kau berpikir aku akan percaya padamu?"
Clara merasa terjepit di antara rasa takut kehilangan pekerjaannya dan keinginannya untuk menyembunyikan identitas ayah bayinya. "Maafkan saya, Tuan Alexander. Saya benar-benar tidak tahu," ujarnya dengan nada yang lemah.
Wajah Alexander semakin mengeras, matanya menatap Clara dengan intensitas yang membuatnya merasa seperti terjebak dalam sorotan cahaya yang tajam. "Kau berani bermain-main denganku. Kau bilang kau belum menikah dan tidak tau siapa ayah dari janin yang kau kandung itu! Kau dipecat!" ucapnya tegas, suaranya memenuhi ruangan dengan otoritas yang tak terbantahkan.
Alexander bangkit dari duduknya sambil merapikan jasnya, tatapan tajam masih terarah pada Clara saat ia akhirnya melangkah menuju pintu keluar dengan langkah panjang.
"Dipecat?" lirih Clara sambil meneteskan air mata.
Dalam keadaan dilema, pikiran Clara melayang antara rasa lega karena menjauh dari Alexander namun juga kekhawatiran akan calon bayinya yang membutuhkan asupan gizi. Bagaimana dia akan mencukupi kebutuhan hidup jika benar-benar dipecat?
Clara merasa gemetar di bawah tekanan yang begitu besar. Dia tidak pernah membayangkan bahwa dia akan berada dalam situasi seperti ini, harus menghadapi sang CEO dengan pengakuan yang begitu menyakitkan. "S-Saya diperkosa Tuan," ujarnya lirih, mencoba menahan air mata yang ingin berlinang.
"Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan lelaki itu..." Clara terdiam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Saya benar-benar tidak bermaksud melanggar kebijakan perusahaan, Tuan," tambahnya pelan.
Dalam hati Clara ingin sekali mengungkapkan kebenaran kepada Alexander bahwa dia adalah ayah dari janin yang dikandungnya saat ini. Namun ketegasan serta sikap dingin sang CEO membuat dirinya ragu untuk melakukannya. Bagaimana jika Alexander menolak tanggung jawab? Bagaimana jika pengakuannya malah membuat semuanya menjadi lebih rumit?
Hatinya berdegup kencang, takut akan konsekuensi dari pengakuan yang harus dia buat. Sudah cukup banyak beban yang harus ia tanggung sekarang ini tanpa ditambah lagi dengan ancaman pemecatan dari tempat kerja satu-satunya.
Alexander menghentikan langkahnya tiba-tiba dan mengerutkan dahinya, ekspresi wajahnya serius dan penuh pertimbangan. "Diperkosa? Salah masuk apartemen?" gumam Alexander sambil mencoba memproses semua informasi tersebut dalam pikirannya.
Tatapan tajam sang CEO membuat Clara semakin gugup dan cemas atas reaksi selanjutnya dari pria di depannya tersebut. Apakah Alexander akan percaya padanya atau justru meningkatkan tekan padanya.
Clara merasa deg-degan saat menunggu keputusan dari Alexander. Dia berharap agar dapat diberikan kesempatan untuk membuktikan dirinya di perusahaan sang CEO yang terkenal itu. Namun, Clara juga tak bisa menahan rasa khawatir jika nantinya permintaannya ditolak dengan kasar oleh Alex.
"Tuan, tolong berikan saya kesempatan untuk bekerja di perusahaan Anda," pinta Clara dengan suara lemahnya, tatapan matanya memohon pada Alexander.
Melihat ekspresi wajah Clara yang penuh harap, Alexander memberikan senyuman tipis sebagai respon atas permintaan wanita di hadapannya itu. Namun, dalam hati Alex masih merenung apakah benar Clara hanya salah alamat atau ada hal lain yang tidak diketahuinya.
"Jika kau sudah pulih, langsung datang ke ruanganku!" seru Alex dengan nada yang datar namun tetap tegas sebelum akhirnya meninggalkan ruang rawat tempat Clara berada. Langkah kakinya mantap meninggalkan ruangan tanpa melihat lagi ke belakang menuju kantor pusat perusahaannya.
Clara merasakan sedikit lega mendengar jawaban dari Alexander meskipun belum sepenuhnya pasti apa arti dari undangan tersebut.
***
Alexander duduk tegak di kursi kulitnya yang mewah, dengan tatapan tajam yang menembus layar komputer di hadapannya. Clara, calon sekretarisnya, telah menjadi misteri yang menarik perhatiannya.
"Dia diperkosa karena salah masuk apartemen," gumam Alexander dalam hati, tangannya mengetuk-ngetukkan mouse berulang-ulang.
"Pergi kau dari apartemenku!" Kilatan bayangan gadis malam itu mendorong tubuhnya dengan kuat dan mengusirnya.
Alexander memanggil Dariel, Manager pemasaran sekaligus orang kepercayaannya di perusahaannya, dengan satu ketukan ringan di meja. "Selidiki setiap detil tentang Clara. Saya ingin tahu dari mana dia berasal, apa latar belakang pendidikannya, dan siapa yang ada di lingkaran sosialnya. Saya tidak suka misteri, terutama ketika itu berkaitan dengan staf saya."
Dariel terbelalak, tak biasanya bosnya itu tertarik menyelidiki seorang wanita. Hatinya berdebar-debar karena merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam permintaan Alexander kali ini.
"Tuan, apakah saya tidak salah dengar?" tanya Dariel tampak tidak percaya dengan perintah bosnya itu.
Alexander hanya menjawab dengan sorot tajam mengarah ke Dariel. Ekspresi wajah sang bos membuat Dariel semakin yakin bahwa ini bukanlah permintaan biasa.
"Ba-baik saya akan melakukannya, Saya permisi," ujar Dariel terlihat ketakutan saat melihat wajah kesal sang bos.
Dengan hati-hati dan pikiran yang dipenuhi pertanyaan, Dariel segera meninggalkan ruangan menuju koridor yang membawanya ke departemen personalia. Langkah kakinya mantap meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh penasaran yang muncul akibat perintah aneh dari atasannya tersebut. Sesampainya di departemen personalia, ia langsung bertemu dengan kepala bagian untuk memberikan instruksi dari Alexander tanpa menambahkan komentar lebih lanjut.
Sementara itu, Alexander sambil menunggu Dariel. Dia memanggil asisten pribadinya dan memerintahkan untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang pemilik liontin itu. "Bagaimana hasil penyelidikanmu? Apakah kau menemukan pemilik Lontin ini?"
"Tuan, Liontin ini adalah Liontin turun temurun dari keluarga William," jawab Sang pengawal dengan penuh hormat.
"Baiklah, kau boleh pergi sekarang," perintah Alexander menggerakkan tangannya.
Alexander mengerutkan keningnya mencoba untuk berpikir. Ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan liontin tersebut. Dariel akhirnya tiba membawa laporan dari departemen personalia dan keamanan.
"Tuan, laporan dari departemen keamanan dan personalia," kata Dariel, memberikan berkas kepada Alexander.
Alexander langsung menyambut laporan tersebut dengan antusiasme.
"Tuan, apakah ada lagi yang harus saya kerjakan?" tanya Dariel yang sejak tadi diam berdiri di depan meja Alexander tampak bingung dengan tingkah bosnya itu.
"Pergilah!" perintah Alexander terus memperhatikan laporan yang Dariel berikan kepadanya.
"Cheval Wharf," lirih Alexander sejenak menyadari jika dirinya dan Clara dalam unit apartemen yang sama.
"Baiklah, Clara. Kau sedang bermain petak umpet denganku, lihat saja aku akan membuatmu mengaku dengan sendirinya," ujar Alexander dengan senyum liciknya memandang liontin yang dia temukan di kamar apartemennya.
Apa ya, kira-kira yang akan Alex lakukan dengan liontin itu?
"Clara dengarkan aku!" seru Pedro mencoba meraih tangan Clara yang akan memasuki kamar apartemennya saat dia pulang dari rumah sakit. "Kau mau apalagi, Pedro? Bukankah kau akan segera bertunangan dengan dengan Rilla?" tanya Clara berusaha tegar di hadapan lelaki yang amat dia cintai sekaligus dia benci saat ini. "Clara, aku minta maaf. Aku salah, tapi harusnya kau mengerti, aku melakukan semua ini karena kau tidak pernah mau aku sentuh, jadi aku melampiaskan kepada... ." Plak!!! Sebuah tamparan keras mendarat ke pipi Pedro. Pedro tampak kesal dengan sikap kasar Clara kepadanya. "Clara kau... ." "Ya, aku bisa bersikap kasar dan lembut sesuai tempat Pedro. Mulai detik ini, jangan lagi kau temui aku, hubungan kita sudah berakhir!" tegas Clara dengan suara yang lantang sembari mengacungkan jari telunjuknya kepada Pedro. Emosi Pedro tersulut, dia merasa terhina telah ditampar oleh seorang wanita. "Baiklah, aku akan menuruti kemauanmu, Clara. Namun, harus kau tau, hidup itu keras. M
"Tuan, entah perasaanku atau apa. Tadi, saat saya dan Nona Clara berada tepat di depan penthouse Anda, Saya menangkap raut kecemasan dan trauma yang mendalam darinya. Apakah ini ada kemungkinan jika, Nona Clara adalah... ." tebak sang pengawal yang bernama Markus tersebut. "Benar Markus, dia adalah orangnya. Dia saat ini hamil," jawab Alexander singkat sembari sibuk dengan laptopnya. "Tuan, kenapa Anda tidak memberinya uang dan menyuruhnya menggugurkan kandungannya itu? Bagaimana kalau nanti Tuan dan Nyonya besar tau akan kandungannya itu?" kata Markus tampak terkejut. Alexander mengalihkan pandangannya tajam ke arah Markus. "Diam kau!" bentak Alexander sekali lagi kepada Markus yang masih terdiam tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari tuannya tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keluarga besar Alexander memiliki reputasi baik di mata masyarakat sehingga skandal seperti ini benar-benar harus dicegah agar tidak menghancurkan nama baik keluarganya. Alexander send
Alexander keluar dari kamarnya dengan langkah santai, hanya mengenakan celana pendek berbahan kain dan kaos oblong yang longgar. Rambutnya tampak acak-acakan namun tetap memberikan kesan rapi. Aura pria cool terpancar jelas dari penampilannya yang sederhana namun menawan. Clara tengah sibuk di meja makan, menyusun hidangan untuk makan malam mereka. Matanya tak bisa berhenti memandang ke arah Alex yang tiba-tiba muncul dengan penampilan yang begitu berbeda dari biasanya. Clara merasa takjub melihat betapa tampan dan kerennya Alex dalam mengenakan outfit tersebut. "Apa yang kau lihat?" tanya Alexander menatap sinis ke arah Clara yang tak mengedipkan matanya. "Tidak ada, saya hanya berpikir tadi, siapakah pria yang berdiri di hadapanku saat ini," jawab Clara jujur sembari menata piring dan gelas di meja makan. Alexander mencoba menyembunyikan senyum tipisnya ketika mendengar komentar jujur dari Clara tentang penampilannya. Ia memang terbiasa mendapat pujian langsung seperti itu dari s
"Baiklah, ikut saya menemui pemilik pelelangan ini!" seru sang pegawai dengan sorot matanya yang kejam meminta pihak pengamanan menyeret tubuh Clara menuju ruangan pemilik pelelangan.Clara merasa takut dan terkejut dengan perlakuan kasar yang diterimanya. Dari kejauhan, Rilla tersenyum sinis melihat nasib malang yang menimpa Clara."Kasian sekali nasibmu, Kak."Pedro, mantan pacar Clara, hanya bisa diam sambil merasakan perasaan kasihan yang mendalam. Ia ingin sekali membantu Clara dari situasi sulit ini, namun gadis itu terlalu sombong untuk menerima bantuan apapun darinya. Pedro merasa rendah di hadapan Clara karena sikap tegasnya itu.Di dalam ruangan pemilik pelelangan, dua orang satpam bertubuh kekar mendorong keras tubuh Clara hingga membuatnya terhuyung ke depan. Untunglah Alexander sigap menangkap tubuh Clara sebelum jatuh ke lantai."Apa yang kalian lakukan padanya!!!" teriak Alexander dengan suara lantang sambil menatap tajam kedua satpam tersebut. Emosi memenuhi wajahnya s
"T-tidak," sahut Clara dengan suara rendah yang gugup, matanya menunduk ke bawah. "Hanya saja, Liontin itu terlalu menyilaukan," papar Clara mencoba untuk tetap tenang dan menutupi kekhawatirannya dan sesekali melirik ke arah liontin tersebut.Alexander menaikkan alisnya merasakan kejanggalan dalam sikapnya, tetapi berusaha untuk tetap tenang ketika dia mulai yakin jika wanita pemilik liontin itu adalah Clara. "Baiklah," ucapnya dengan suara dingin, mencoba untuk menjaga ketegasannya."Ayo kita pergi dari sini," ajak Alexander dengan nada yang sama dinginnya, melirik sekilas ke arah pemilik pelelangan tersebut, seolah-olah tidak ada yang bisa menghalangi langkahnya.Clara menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Baik." Dia merasa seakan-akan terikat pada langkah-langkah tegas Alexander yang berjalan di depannya, tanpa sepatah kata pun yang mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya.Saat mereka melangkahkan kakinya keluar dari ruangan pemilik pelelangan menuju koridor te
Alexander memandang liontin di tangannya dengan senyum tipis di wajahnya, mengajak Clara pergi dari pelelangan tersebut. Hatinya berdebar-debar saat melihat ekspresi Clara yang terlihat begitu muram. 'Ternyata, firasatku benar! Clara tenang saja, aku akan bertanggung jawab dengan apa yang sudah aku perbuat kepadamu,' gumam Alexander dalam hati sambil melirik diam-diam ke arah Clara yang sedang termenung menatap luar jendela mobil.Clara sendiri tenggelam dalam pikirannya sendiri, merenungi segala masalah dan rintangan yang selalu menghampirinya. Dia tidak menyadari bahwa Alexander sedang memperhatikannya dengan penuh perasaan bersalah.Di sisi lain, Rilla tampak kesal kepada Pedro karena gagal mendapatkan liontin impiannya dan ibunya dari tangan Clara sejak dulu. "Kenapa tadi kau tidak menawar lebih tinggi daripada pria itu?" protes Rilla sambil mengguncangkan lengan Pedro.Pedro hanya bisa merespon dengan nada kesal, "Diamlah! Harga liontin itu sudah terlalu mahal."Rilla semakin fru
Mata Alexander yang biasanya tajam, merespon dengan cepat. Meski ekspresinya tetap serius, tapi ada kerutan halus di alisnya, Dia bangkit perlahan, melangkah mendekati Clara dengan gerakan yang mantap namun ringan."Tuan, maafkan saya," ucap Clara dengan suara yang sedikit terengah-engah. "Perut saya... .""Tidak perlu dijelaskan," potong Alexander dengan suara tegas, namun lembut. "Saya akan mengurusnya."Tangan Alexander dengan lembut menuntun Clara ke kursi di dekatnya, memberinya dukungan. Meski wajahnya masih serius, namun matanya memancarkan kehangatan yang tidak terduga saat dia menatap Clara dengan perhatian."Duduklah, Clara," ujarnya dengan suara lembut, tetapi tetap memperlihatkan ketegasan. "Saya akan segera memanggil dokter."Clara merasa heran oleh sikap perhatian Alexander, terlihat pada wajahnya bahwa dia masih berusaha untuk menjaga image dinginnya. Meskipun demikian, Clara bisa merasakan ketulusan dan kepedulian yang tersembunyi di balik ekspresi wajah dan gerakan tu
Alexander kini mengalihkan pandangannya pada dokter wanita tersebut. "Bertha, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Alexander mulai membuka laptopnya kembali.Bertha memandang Alexander dengan penuh keraguan, "Alex, kita bukanlah orang yang baru kenal, kau adalah teman masa kecilku. Aku melihat bagaimana kamu memperlakukannya dengan begitu lembut dan perhatian." Bertha tersenyum sambil mengingat masa kecil mereka bersama di kota kecil tempat mereka dibesarkan. Kenangan-kenangan manis dari masa lalu mulai terlintas di benaknya.Alexander menatap Bertha dengan wajah serius, "Ah, itu hanya tugasku sebagai atasan. Aku harus memastikan kesejahteraan semua staf ku." Namun sebenarnya di dalam hatinya, Alexander merasa gugup dengan perkataan Bertha.'Sial, apakah memang benar wajahku semencolok itu?' desis Alexander, seraya merenungkan bayangan dirinya yang terpantul di laptopnya. Ia mencoba dengan susah payah menyembunyikan kekhawatiran yang menggelayuti dirinya.Bertha memandang Alexander de
Clara merasa risih ketika lelaki tua itu terus memandang ke arahnya. "Kakek, apakah ada yang salah dengan saya?" tanya Clara segera menutupi bagian dadanya dengan sweater yang dia pakai.Kakek Mia memaksakan senyum, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang melanda hatinya. "Tidak. Boleh Kakek melihat kalungmu lebih dekat?"Clara mengangguk sambil mencopot kalungnya dan menyodorkan kalungnya. "Ini, Kek. Ini adalah kalung peninggalan ibu. Ibu selalu bilang ini sangat berharga."Kakek Mia memegang liontin itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. "Di mana ibumu mendapatkannya?"Clara mengerutkan kening, merasa aneh dengan reaksi Kakek Mia. "Katanya ini pemberian dari nenekku. Aku tidak pernah bertemu nenek, dia meninggal sebelum aku lahir. Ibu juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."Kakek Mia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Clara,
"Tentu saja, Clara. Kau merasa keberatan ketika ada wanita lain yang melihat tubuhku," jawab Alexander dengan wajahnya yang tenang."Tapi jangan lakukan hal sekejam itu, Tuan. Kasihan dengan Mia," jawab Clara terlihat sedih."Clara, dia sangat kejam. Dia bahkan akan mencelakai dirimu dan anak kita dengan memberimu racun yang langka. Dia juga menjebakku dan membuatmu bersedih. Kau masih bisa mengasihinya?" protes Alexander heran melihat reaksi istrinya."Aku tidak akan membiarkan Mia menghancurkan hidupku dan membuatmu bersedih, jika aku tidak memberinya hukuman," lanjut Alexander dengan tegas.Clara hanya bisa diam, dia tidak bisa lagi mencegah suaminya. Beberapa hari kemudian, Alexander berdiri di luar gedung tempat Mia disekap. Dia memasuki gedung tersebut dan memastikan jika Markus melakukan tugasnya dengan baik. Benar saja, di sana dia melihat Mia sudah kehilangan penglihatannya."Mia. Ini cukup untuk membuatmu menyesal sudah bermain api denganku, Mia," ujar Alexander dengan nada
"Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar.Clara masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Alexander, pria yang selama ini dianggapnya sebagai sosok baik dan setia, kini terlihat tidur dengan Mia, wanita yang selama ini membuat Clara gelisah. Dia mencoba menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Selma, merasa harus segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah ini. "Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar, mencoba untuk menampik apa yang dia lihat.Selma terdiam sejenak, lalu dengan tegas berkata, "Clara, tetap tenang. Aku akan mengurus ini."Selma bergegas meninggalkan Clara seornagbdiri di rumah sakit, dan segera pergi menuju Penthouse putranya.Ketika Selma tiba di penthouse tersebut dengan wajah tegang dan langkah cepatnya, ia segera masuk tanpa permisi. Dan disanalah dia melihat pemandangan yang membuat hatinya hampir copot dari tempatnya: Alexander tertidur hanya dengan memakai bocer pendek dan Mia baru saja selesa
Clara duduk di meja makan, memegang perutnya yang terasa kram hebat. Wajahnya pucat dan keringat dingin mulai membasahi dahinya. "Aku merasa sangat tidak enak badan," katanya lemah kepada Selma, ibu mertuanya, yang duduk di seberang meja.Selma memandang Clara dengan khawatir. "Kamu kenapa, Clara? Kamu terlihat sangat pucat," ujarnya sambil bangkit dan mendekati Clara. "Sepertinya kamu harus dibawa ke dokter."Saat itu, Mia memberikan segelas air kepada Clara. "Clara, minumlah ini. Mungkin kamu akan merasa lebih baik," katanya dengan senyum simpul.Namun Alexander menampik tangan Mia dan segera menggendong tubuh Clara ke luar untuk diperiksakan oleh dokter. "Aku akan membawanya ke rumah sakit sekarang juga," katanya dengan suara tegas. Mia berusaha membantu mengangkat Clara, namun Selma menolak bantuannya. "Jangan sentuh dia, Mia. Aku sudah mencurigaimu sejak awal." Mia terkejut. "Apa maksud Tante Selma? Kenapa Tante mencurigai aku?" Sepeninggal Clara dan Alexander, Selma menatap Mia
Siang itu, Selma, melangkah keluar dari lift menuju penthouse mewah Alexander. Pintu terbuka, memperlihatkan pemandangan indah kota dari jendela besar di ruang tamu. Namun, yang menarik perhatian Selma adalah suara tawa dari dapur. Dia berjalan mendekat, dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat Mia, dengan apron terikat di pinggangnya, sedang memasak di dapur Alexander."Mia? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Selma dengan nada tegas, matanya menyipit curiga.Mia menoleh dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan. "Oh, Selamat sore, Tante Selma. Saya hanya memasak makan siang. Ada yang bisa saya bantu?"Selma melangkah masuk, menatap Mia dengan sorotan tajam. "Kenapa kamu tinggal di sini bersama Alexander? Di mana Clara?"Mia tersenyum lebih lebar, tetapi matanya tetap dingin. "Clara sedang di kamarnya, apakah Tante tidak tau, jika Clara itu pemalas? Selama satu Minggu Saya disini, Sayalah yang mengurus rumah sementara dia bermalas-malasan."Selma merasa ada yang tidak beres. D
Pada hari pertama Mia tinggal di rumah Alexander, suasana di rumah itu terasa sedikit berbeda. Clara menjadi lebih protektif terhadap Alexander. Dia merasa perlu melindungi saudara laki-lakinya dari segala hal yang mungkin bisa membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Mia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan spesial untuk Alexander. Dia merasa senang bisa memberikan sesuatu yang istimewa untuk orang yang baru saja dia kenal ini. Dengan langkah ringan, Mia bergegas ke dapur dan mulai mencari-cari resep pancake favoritnya yang pernah dia lihat di internet.Sementara itu, Alexander turun dari lantai atas dengan langkah malas. Matanya masih setengah tertutup karena kantuk namun senyum tipis tetap menghiasi wajah tampannya ketika aroma harum pancake menyambut hidungnya begitu masuk ke dapur. Dia melihat Mia dengan tatapan penuh tanda tanya saat gadis itu sibuk mengaduk adonan pancake dengan penuh semangat."Selamat pagi!" sapu Mia riang sambil tersenyum lebar, adonan tepung sed
Clara sedang duduk di ruang tamu yang elegan, tangannya memegang secangkir teh hangat. Senyum lebar tergambar di wajahnya. Markus, asisten pribadi suaminya, Alexander, baru saja meninggalkan ruangan setelah memberi tahu Clara tentang keberhasilannya."Markus, terima kasih banyak. Kamu benar-benar hebat," kata Clara dengan penuh syukur."Senang bisa membantu, Bu Clara," jawab Markus sambil tersenyum sebelum menunduk hormat dan beranjak pergi.Tak lama kemudian, Alexander masuk ke ruang tamu. Dia melihat senyum lebar di wajah istrinya dan merasa ada sesuatu yang berbeda."Ada apa, Clara? Kamu terlihat sangat bahagia," tanya Alexander dengan nada penasaran.Clara menatap suaminya dan tersenyum lebih lebar lagi. "Aku baru saja mendengar kabar baik dari Markus. Dia berhasil menjauhkan Mia dari kamu."Alexander tersenyum tipis, menahan tawa yang ingin pecah. "Oh, jadi itu alasannya? Kamu begitu cemburu pada Mia, ya?"Clara meletakkan cangkir tehnya di atas meja dan menatap Alexander dengan
Clara duduk di ruang tamu, menggigit bibirnya sambil memandang kalender di dinding. Kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan dia merasakan gelombang kecemasan setiap kali memikirkan suaminya, Alexander, di kantor. Terutama sejak Mia, rekan kerja yang licik, semakin gencar menggoda Alexander. Sejak permintaannya menjadi sekretaris pribadi suaminya lima bulan yang lalu ditolak, Clara merasa semakin tertekan dengan situasi tersebut.“Tuan, aku harus bicara denganmu,” kata Clara saat Alexander masuk ke ruang tamu.Alexander menatap Clara dengan penuh perhatian, “Ada apa, Clara? Apa kamu baik-baik saja?”Clara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku ingin kembali menjadi sekretarismu. Aku tahu kamu tidak setuju, tapi aku merasa ini penting.”Dalam benaknya terus terngiang pertemuan singkat antara Alexander dan Mia beberapa hari yang lalu di acara perusahaan. Mereka terlihat begitu akrab dan mesra sehingga membuat hati Clara berbunga-bunga melihatnya. Namun rasa bahagia itu l
Clara duduk di ruang tamu, mengamati suaminya, Alexander, yang sedang membaca laporan keuangan di sofa seberang. Perasaan tidak nyaman menggelayuti hatinya sejak beberapa minggu terakhir. Mia, rekan bisnis perusahaan Alexander, tampak terlalu bersemangat dalam mendekati suaminya.Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sikap Mia tersebut. Ia pun memutuskan untuk menanyakan langsung kepada suaminya tentang bagaimana hubungan kerja mereka dengan Mia."Tuan, bagaimana rekan bisnis barumu? Mia, kan namanya?" tanya Clara pelan.Alexander menatap Clara sejenak sebelum menjawab dengan tenang, "Ya, Mia. Dia cukup efisien dan profesional dalam bekerja."Namun Clara tetap merasakan ketidaknyamanan dalam dirinya. Ia mencoba untuk bertindak biasa saja meskipun hatinya tak bisa tenang."Tidak ada alasan khusus. Hanya penasaran saja," ucap Clara sambil mencoba tersenyum tipis."Kau jangan berpikir yang bukan-bukan, Clara. Kemarin aku dan dia hanya makan malam biasa untuk membahas proyek ke