“Tidak. Tidak mungkin Ayah dan juga Ibuku seperti itu, mereka kan sahabat baiknya orang tua William,” gumam Emily, coba meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, tetap saja dia tidak bisa merasa tenang. Hatinya mulai yakin masih ada sesuatu yang disembunyikan oleh kedua orang tuanya. “Aku harus bisa mencari tahu. Aku harus mengerti situasi yang membingungkan ini, siapa tahu ada hubungannya dengan masa kecil yang tidak aku ingat secara nyata ini.” Setelah trus berpikir sambil menebak-nebak, Emily merasa perutnya lapar dan ada rasa haus. Emily melangkah keluar dari kamarnya dengan raut wajah cemberut. Ponselnya hampir mati, dan charger yang ia butuhkan entah di mana. Setelah menggeledah seluruh kamar dan laci-laci, ia memutuskan untuk mencari pelayan yang biasanya membereskan kamarnya. Ia berjalan menuju teras belakang rumah, tempat para pelayan sering berkumpul“A–aku... sebenarnya, aku lupa arah ke toilet,” ucap Emily, lalu mencoba untuk tersenyum kikuk. Pelayan pun tersenyum, tidak terlihat curiga untungnya. “Kalau begitu, anda bisa ambil arah ke kiri,” ucap pelayan rumah. “Ah, baiklah.”****Emily kembali ke rumah, membawa perasaan puas. Setelah berhasil meletakkan alat penyadap suara yang akan langsung terkoneksi dengan ponselnya, Emily yakin pasti akan membuahkan hasil. Sampai malam itu, tidak ada suara yang mencurigakan. Namun, menjelang tengah malam terdengar obrolan Kelly dan Hendrick yang sepertinya baru pulang kantor. Emily mendengar dengan seksama pembicaraan itu menggunakan headset, merekamnya sebagai bukti nantinya. “Bagaimana? Apa yang Emily katakan tadi, Bu?” tanya Hendrick. “Tidak ada yang spesifik. Wanita itu benar-benar keras kepala, menyebalkan juga. Membujuknya dengan lemb
Emily bangkit dari tempat tidur sambil menahan nyeri di pinggangnya. Seperti biasanya, setiap kali William melakukan hubungan intim dengannya kakinya bahkan sampai gemetaran. “Ck! Orang buta ini benar-benar tidak punya perasaan,” gumam Emily. Hanya bisa menuju ke kamar mandi dengan langkahnya yang kesulitan, pasrah dengan perlakuan William yang bagikan binatang buas. Melihat itu, William pun hanya bisa menahan senyumnya agat tidak timbul. Mengguyur tubuhnya dengan air hangat menggunakan shower, Emily berharap itu dapat membuat tubuhnya rileks. Namun, tiba-tiba saja dia mulai berpikir tidak jelas. “Kalau William bisa segila ini dalam melakukan hubungan badan, kenapa Hendrick selalu menolaknya dulu?” Emily menyipitkan matanya. “Bahkan, setiap kali aku coba menggodanya yang ada dia memintaku untuk menunggu sampai menikah. Hendrick itu sangat menghargai ku, atau dia tida
Emily kembali menatap layar ponselnya dengan perasaan tak karuan. Tubuhnya membeku, dan napasnya tersengal saat video yang terhubung dengan Azura mulai menunjukkan sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya. “Ya ampun... ngeri sekali, ya??” gumam Emily. Pria itu kembali mendekat dan memeluk Hendrick dengan akrab, bahkan mengecup bibirnya berkali-kali dengan santai, seolah itu adalah hal yang biasa mereka lakukan. Hendrick, bukannya menolak, malah membalas ciuman itu dengan penuh kelembutan, membuat Emily makin tercekat di tempatnya. Mereka saling menatap dengan tatapan yang begitu dalam, dan Hendrick dengan lembut mengusap wajah pria itu sambil tersenyum. Adegan itu, yang seharusnya menjadi momen manis bagi mereka, malah membuat Emily dan Azura tambah merinding hingga ke tulang. “Ini… tidak mungkin mereka sampai sejauh itu, kan?,” gumam lagi Emily dengan suara parau. Ia mencoba mencari alasan
Emily duduk di depan laptopnya dengan wajah serius, hanya diterangi cahaya layar yang memantulkan bayangannya di dinding kamar. Tangannya sibuk mengetik sesuatu di akun anonim dengan hati-hati. Seperti sebelumnya, akun itu dilengkapi dengan perlindungan ekstra agar identitasnya tetap tersembunyi.Ditambah lagi diam-diam William juga selalu melindungi aktivitas Emily di media sosial. Dia mengambil napas panjang, menatap video pendek di layar, rekaman Hendrick dengan pacar laki-lakinya siap untuk diekspos. Emily merasa gugup, namun entah mengapa dia juga merasa puas. Dengan sekali ‘klik’, video itu pun diunggah ke platform media sosial, disertai keterangan singkat tanpa menyebutkan nama tokohnya. “Mereka benar-benar pasangan panas tahun ini! Bisakah kalian berikan selamat juga?” Beberapa menit pertama berlalu dengan tenang dan hening. Emily menatap layar, jantungnya berdegup kencang.
Di ruang keluarga mewah milik keluarga Sebastian, ketegangan tengah memuncak. Kelly berdiri dengan wajah merah padam, sementara Sebastian, dengan tatapan penuh amarah, berjalan mondar-mandir sambil menggenggam ponselnya yang masih memutar video singkat itu. “Bagaimana ini bisa terjadi?!” Sebastian menggebrak meja kayu mahal yang berada di depannya. Gelas kristal yang berada di atas meja berguncang seolah ikut merasakan kemarahan sang kepala keluarga tersebut. “Apa yang sebenarnya kau lakukan selama ini, Kelly?! Kau bilang kau dekat dengan Hendrick, tapi kau bahkan tidak tahu anak kita… memiliki kelainan menjijikan seperti ini!” Kelly mendengus tajam. “Kelainan katamu, hah? Jadi sekarang kau menyebut itu kelainan? Hendrick adalah anakmu juga, Sebastian! Kau tidak pernah meluangkan waktu untuknya. Kau sibuk dengan perusahaan, pesta-pesta, dan... wanita-wanitamu!” Kelly mendekat ke meja dan menatap Sebastian dengan tajam. “Ini bukan salahku sepenuhnya!”
Hendrick duduk di dalam ruang kerjanya yang megah, namun malam itu terasa seperti penjara baginya. Ia memandangi layar ponselnya yang terus berbunyi, telepon dari Kelly, pesan dari Sebastian, dan bahkan email dari dewan direksi. Semua orang menuntut penjelasan. Semua ingin tahu apakah benar pria yang ada di dalam video itu adalah dia.“Sial!!! kenapa sih mereka tidak membuatku tenang sama sekali?!” kesalnya. Tangan Hendrick gemetar, dia melempar ponselnya ke meja hingga terdengar bunyi keras.Brak!! Wajahnya memerah karena amarah, rasa malu, dan frustrasi bercampur menjadi satu. Dia memijit pelipisnya, mencoba mengatur napas. Hendrick tahu dia tidak bisa menyangkal kebenaran itu. Sejak remaja, dia memang memiliki ketertarikan kepada sesama pria. Itu adalah kenyataan yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Bukan karena dia malu pada dirinya sendiri, tapi karena dia tahu duni
Malam itu, suasana di kediaman Hendrick begitu tegang. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, sementara koper besar sudah tergeletak di sudut ruangan. Hendrick tahu ia harus pergi, harus menghilang sementara waktu. Publikasi video skandalnya semakin menjadi-jadi, dan ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ia tetap berada di kota ini. Dengan topi, masker, dan jaket panjang yang telah disiapkan, Hendrick berniat menyelinap keluar tanpa ada yang tahu. Namun, Emily dengan akun anonimnya, ia menyebarkan rumor bahwa Hendrick akan meninggalkan rumahnya malam itu untuk melarikan diri dari skandal yang sedang menimpanya.Pesan-pesan itu sengaja dikirim ke sejumlah jurnalis yang terkenal haus berita panas. Emily tahu, Hendrick pasti akan panik begitu menyadari apa yang terjadi.“Hihihi... Hendrick, rasakan dan nikmati ini. Aku tidak akan melepaskan mu!” gumam Emily. “Aku tidak akan me
William melangkah masuk ke kamar. Emily yang duduk di tepi tempat tidur segera bangkit, berniat membantunya. Namun, tidak seperti biasanya, Emily tidak berkata apa-apa. Wajahnya terlihat muram, seolah pikirannya sedang dipenuhi oleh sesuatu yang berat. “Aku pikir kau sudah tidur,” ujar William. “Belum kok. Kau pulang agak terlambat malam ini, ya?” ucap Emily. William duduk di sofa dekat jendela, melepas dasinya dengan gerakan yang perlahan. Tatapannya mengarah pada Emily secara diam-diam yang berdiri di sudut ruangan, menatap kosong ke lantai. “Emily,” panggil William akhirnya, suaranya datar namun juga tegas. “Ada apa? Nada bicaramu tidak seperti biasanya yang bersemangat.” Emily terdiam sesaat, menggigit bibirnya sebelum mengangkat wajah. “Tidak ada apa-apa,” jawabnya singkat, tapi jelas nada suaranya tidak meyakinkan. William mengernyit. “Kau benar-benar buruk dalam menyembunyik
Sudah dua minggu berlalu. Elle kini benar-benar seperti kehilangan harapan. Kabar tentang Lavine sama sekali tidak ada, seolah pria itu lenyap begitu saja dari dunia. Nomor ponsel Lavine tetap tidak bisa dihubungi, bahkan lewat jalur lain pun tidak membuahkan hasil apapun. Rose sempat mencoba menghibur Elle, mengatakan mungkin Lavine pergi untuk alasan pribadi. Tapi di hati kecilnya, Elle tahu ini lebih dari sekadar ‘pergi tanpa pamit.’ Ada sesuatu yang terjadi, tapi entah apa itu. Setiap malam, Elle duduk di ruang tamu apartemennya, menatap layar ponsel yang kosong. Pesan terakhir dari Lavine tetap utuh, tidak bertambah sama sekali. Di kantor, Elle memang tetap tampil profesional. Namun mereka yang mengenalnya dengan baik, seperti Rose dan beberapa staf dekat, bisa melihat ada perubahan di mata Elle. Tatapannya sering kosong, sering kali terdiam lama tanpa ia sadari.
Elle berlari menyusuri bibir pantai, memanggil-manggil nama Lavine dengan suara parau. Pasir basah mengotori kakinya, dan ombak kecil terus menerpa kakinya yang makin gemetar. Malam semakin larut, suasana pantai yang tadinya meriah berubah sunyi dan mencekam. Rose yang mengejar dari belakang segera mengambil ponselnya. Dengan tangan yang bergerak gugup, ia menghubungi pusat keamanan setempat. “Ini darurat!” seru Rose kepada petugas yang mengangkat telepon. “Kami telah kehilangan seseorang. Kami butuh bantuan pencarian segera di sekitar area pantai!” Petugas itu segera mengonfirmasi laporan Rose dan mengerahkan beberapa anggota tim penyelamat yang memang sudah bersiaga di lokasi acara tersebut. Sementara itu, Elle terus mencari, matanya nanar menatap setiap sudut pantai. “Lavine, jawab aku...! Dimana kau sekarang...” Elle hampir menangis. Dia terus berlarian,mencari ke manapun yang bisa di jangkau.
Dengan luka di lengannya yang terus mengalirkan darah, Lavine tetap berusaha tenang. Ia tahu, jika membuat keributan, orang-orang di area barbeque bisa panik dan suasana akan menjadi kacau. Ia menekan lukanya dengan kain yang ia temukan di sekitar tempat sampah, lalu menyusuri lorong belakang penginapan menuju jalan alternatif ke kamarnya. “Badjingan itu... jangan harap kau bisa mengelak kali ini,” batin Lavine. Langkahnya cepat dan sigap meski tubuhnya terasa lemas. Beberapa kali ia berhenti untuk memastikan tidak ada lagi yang mengikutinya. Begitu sampai di kamar, ia langsung mengunci pintu dan menahan napas sejenak, berusaha memproses apa yang barusan terjadi. Sebelum melakukan yang lain, ia cepat mengambil ponselnya, menghubungi Jordi. “Jemput aku sekarang. Seseorang mencoba untuk membunuhku. Aku di pantai...” Setelah selesai menghubungi Jordi, Lavine membuka laci dan mengambil kotak P3K yang tersedia di kamar itu, l
Lavine terbahak-bahak melihat bagaimana Elle terus-menerus mual sambil memegangi perutnya yang sakit. Cara Lavine mengendarai boat sebelumnya memang sangat ekstrem dan tidak stabil, membuat Elle kewalahan menahan rasa pusing dan mual. Elle menoleh dengan wajah kesal, lalu memukul lengan Lavine pelan. “Kau sengaja ya melakukan itu, biar aku muntah?” gerutunya. Lavine hanya tertawa makin keras sambil mengangkat tangan, pura-pura minta maaf. “Sumpah, aku cuma ingin memberikan sebuah pengalaman seru!” katanya, masih dengan nada menggoda. “Tapi, sepertinya terlalu seru untukmu, ya? Hahaha.....” Elle menghela napas panjang, lalu duduk kembali sambil menenangkan perutnya. “Pengalaman seru katamu... aku hampir mati mabuk laut,” gumamnya pelan. Lavine hanya bisa tersenyum geli, menatap Elle yang masih cemberut tapi dalam hatinya justru terlihat manis saat marah-marah seperti itu.
Elle tersenyum kecil tanpa sadar, matanya mengikuti setiap langkah Lavine yang berjalan dengan santai mendekatinya. Pria itu tampak sangat berbeda dari biasanya, setelan santainya kali ini justru membuatnya terlihat semakin menarik. Celana pendek berwarna netral, kemeja polos berlengan pendek yang sedikit tergulung di lengan, serta rambutnya yang berantakan ditiup angin, semua itu berpadu sempurna dengan kacamata hitam yang bertengger di wajahnya. Elle menggelengkan kepala pelan, berusaha menepis pikirannya sendiri yang makin tidak karuan belakangan ini. “Apa yang sebenarnya aku pikirkan, sih? Bisa-bisanya aku memiliki perasaan aneh ini?” gumamnya di dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memalingkan pandangannya, berharap detak jantungnya bisa kembali tenang. Tapi dari sudut matanya, ia tahu, Lavine menyadari pandangan yang tertuju padanya sejak tadi. Lavine tersenyum lebar saat akhirnya bisa d
“Kenapa kau tidak membalas pesan dariku?” Lavine menghela napas. “Takutnya kau cuma terpaksa mengajak saja, jadi aku tidak membalas pesan mu.” Elle pun berdecih sebal. “Sejak kapan kau peduli sekali dengan pendapatan ku? Bukanya kau hobi melakukan apa yang ingin kau lakukan tanpa peduli pendapat orang lain?” Mendengar itu, Lavine pun terkikik sendiri. “Ya ampun... Sekarang ini kau sudah sangat memahami ku, ya? Duh... jadi tersanjung. Kau pasti banyak memperhatikan ku belakangan ini, ya?” Elle menghela napas dengan ekspresi wajahnya yang sebal. “Gila kau ini. Mau atau tidak? Ada banyak kegiatan seru yang akan dilakukan dengan para staff kantor. Aku juga sudah menyiapkan door prize, loh...” Lavine tersenyum, sejak tadi terus mengamati ekspresi wajah Elle yang seperti berharap padanya. “Baiklah...” Setelah selesai berbicara dengan Elle, Lavine masuk ke dalam mobilnya dengan gerakan malas. Jordi, yang sudah menunggu di b
Sore itu, langit tampak mendung ketika Lavine melangkah keluar dari gedung apartemennya. Dengan jas hitam dan kemeja yang sedikit terbuka di bagian atas, ia tampak seperti biasa, sangat santai, tapi menyimpan ketegangan yang jelas tidak akan tampak di permukaan. Di dalam mobil, Jordi menyetir tanpa banyak bicara. Lavine duduk bersandar, menatap keluar jendela sambil mengetukkan jari ke paha dengan irama acak. “Kira-kira kali ini dia ingin membahas apa lagi ya? Bisnis? Atau mungkin ada hubungannya dengan Elle? Hah! Tidak sabaran juga, aku jadi ingin cepat sampai.” katanya setengah bercanda, setengah kesal. Jordi melirik dari kaca spion. “Mungkin Tuan Ramon mulai sadar siapa yang sebenarnya punya andil besar dalam banyak hal akhir-akhir ini, Tuan.” Lavine hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ironi. “Hah! Kalau dia sadar, mungkin itu karena dia kepepet. Bukan karena dia benar-benar melihat.
Rayn meninggalkan gedung perkantoran MJW dengan perasaan yang begitu menyesakkan. Pembicaraannya dengan Elle tidak berakhir seperti yang diinginkannya. Begitu sampai di dalam mobil, Rayn yang sangat kesal itu tidak lagi bisa menahan diri. Bukk!!! Dipukulnya kemudi mobilnya beberapa kali untuk melampiaskan amarah. “Badjingan!!!” teriaknya. “Kenapa... kenapa kau harus bisa melampaui ku, anak brengsek? Jelas-jelas yang mengalir di dalam tubuhmu adalah darah kotor dan rendahan, darah seorang pelacur yang menjijikan! Kau harusnya hidup dengan segala hinaan, berani sekali kau mengambil posisi yang harusnya menjadi milikku?!” Rayn merasa sudah benar-benar dikalahkan. Tatapan mata Elle saat bicara padanya tadi seolah telah menunjukkan bahwa Rayn bahkan tidak bisa lebih baik daripada Lavine. Grettt... Tangan Rayn terkepal erat. Matanya yang masih menyalak marah itu mulai bersia
Esok harinya, di gedung MJW. Elle menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya, memandangi Rose dengan ekspresi datar. “Kau yakin itu dari Rayn? Kakak tirinya Lavine?” tanyanya pelan. Rose mengangguk. “Ya, dikirim langsung atas nama Tuan Rayn. Dikirim pagi-pagi sekali, bahkan sebelum staff lengkap datang, Nona.” Elle menarik napas dalam, sedikit tidak nyaman. Dia tahu Rayn bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Elle kemudian berdiri dan melangkah ke luar ruangannya. “Ayo, aku ingin lihat sendiri seperti apa lukisan yang dia berikan padaku,” ucapnya dingin. Sesampainya di lobi, matanya langsung tertuju pada lukisan besar yang diletakkan rapi di atas meja resepsionis. Pigura mewah, warna-warna kuat, dan goresan yang jelas menunjukkan keahlian pelukisnya. Namun, tidak ada yang membuat Elle terpikat walaupun dia sampai memicingkan matanya. “Cantik, tapi sayangnya sama sekali tidak menyentuh,” gumamnya,