“Akhirnya,...” ucap Emily, girang.
Sudah satu minggu berlalu sejak Emily memutuskan untuk memperbaiki guci yang pernah dia pecahkan.Dengan penuh kesabaran, dia menempelkan pecahan demi pecahan menggunakan lem perekat khusus.Meski hasilnya belum sempurna, bentuk guci itu kini hampir kembali seperti semula, meskipun retakan yang membekas di permukaannya tidak bisa disembunyikan. Emily memandangi guci itu dengan senyuman puas. “Setidaknya, aku sudah mencoba memperbaikinya,” gumamnya pelan. Dia berharap William akan menghargai usahanya dan tidak lagi menyimpan rasa kecewa yang mendalam. Dengan hati-hati, Emily membawa guci itu menuju kamar William.Di tengah perjalanan, dia berpapasan dengan kepala pelayan.Emily berpura-pura tidak melihat, malas untuk berdebat.Kepala pelayan itu memperhatikan guci di tangan Emily, lalu menyunggingkan senyum sinis. “Ah, guci itu,” ujar kepala pelayan. “MeskiHari itu cerah, dan mal besar di pusat kota penuh dengan aktivitas. Emily dengan langkah riang menarik tangan Azura, memaksa sahabatnya itu untuk ikut dengannya berbelanja. Azura, yang dari awal menolak keras, akhirnya menyerah setelah Emily terus memaksa. “Aku bilang tadi aku yang traktir, kan? Santai saja, Azura. Anggap saja ini bonus karena kau sudah banyak membantuku belakangan ini,” ucap Emily sambil tersenyum lebar. “Tapi aku tidak suka berutang dalam bentuk apapun, Emily,” sahut Azura sambil berdecak kesal. “Lagipula, aku tidak butuh apa-apa, kok.” Emily melirik Azura dengan senyuman jahil. “Kalau begitu, anggap saja ini hiburan. Kalau kau terus protes dan menolak, aku akan mengatakan kepada semua orang kalau kita ini pasangan lesbi!” Pada akhirnya Azura hanya bisa mendesah panjang. “Kau benar-benar menyebalkan sekali, Emily!” gumamnya sambil mengikuti langkah Emily yang penuh semangat. Setelah bebe
William kembali ke rumah menjelang sore. Meskipun hari ini adalah akhir pekan, tidak ada waktu untuknya beristirahat. Kepala pelayan berjalan mendekati William, menyapa dengan ramah dan hormat. “Selamat datang, Tuan.” William menganggukkan kepalanya. “Emily sudah pulang?” Kepala pelayan menggelengkan kepalanya meski dia sadar William tidak akan melihatnya. “Belum, Tuan. Apa perlu Saya minta orang untuk mencari tahu keberadaan Nyonya muda?” Dengan cepat William langsung merespon, “Tidak perlu. Aku hanya bertanya saja, jangan berlebihan menanggapinya.” “Baik,” sahut kepala pelayan. Ada perasaan heran, namun dia juga tidak berani mengungkapkannya. Bagaimanapun, jika itu orang normal biasa, tentu saja orang seperti Emily sudah dihempaskan dari jauh-jauh hari. Wanita ular yang berbisa mematikan, semua orang pun bisa melihatnya dengan jelas. William berjalan meninggalkan kep
Emily duduk di sofa ruang tengah, menatap kedua orang tuanya dengan wajah dingin. Julia terlihat cemas sambil meremas-remas tangannya. Sementara Johan berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan ekspresi keras dan tegas. “Emily,” Julia memulai, meraih tangan putrinya. Tatapannya penuh permohonan. “Kami hanya ingin segala yang terbaik untukmu. William bukan pria yang tepat untukmu. Lebih baik kau mengakhiri pernikahan ini sebelum semuanya semakin buruk.” “Terbaik untuk siapa?” Emily menarik tangannya perlahan, matanya menyipit, penuh dengan tanda tanya. “Kenapa, Bu? Kenapa kalian begitu membenci William? Bukankah dulu kalian bilang bahwa keluarga kita dan keluarga William adalah teman dekat?” Mendengar itu, Johan berbalik, menatap Emily dengan tatapan tajam. “Karena kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Emily. Kau buta dengan apa yang William lakukan. Kau tidak mengerti bagaimana dia membuat keluarga kita hancur sedikit demi sedi
Malam itu, William dan Emily tidur saling memunggungi. Percakapan terakhir mereka di mobil membuat mereka sendiri merasa aneh. Sedikit kesal, tapi juga sadar itu tidak perlu diungkapkan. Ada perasaan bersalah yang Emily rasakan. Tapi, dia juga tidak bisa memahami perasaan ragu akan hatinya sendiri. Yah, dia akan melakukan apapun untuk kebaikan William. Bahkan, jika itu menyangkut keturunan seperti yang William inginkan. Namun, bisakah hubungan mereka terjalin tanpa membahas perasaan atau memahami perasaan untuk sementara waktu ini? Emily berharap semuanya mengalir seperti air. Biarkan waktu yang akan menjelaskan bagaimana perasaan Emily yang sesungguhnya. “Aku benar-benar tidak bisa tidur,” batin Emily. Biasa untuknya tidur dalam dekapan pria itu. Sama seperti Emily, William sendiri juga tidak bisa tidur. Namun, yang sedang dipikirkan ol
“Ah, tidak ada. Lupakan saja,” jawab William. Emily terdiam. Namun, dia makin penasaran dan bertanya-tanya, sebenarnya apa yang telah dia lupakan? Pada akhirnya, Emily tetap memilih diam. Dia tidak tahu kenapa dia terus kebingungan, merasa ada sesuatu yang membuatnya tidak lengkap. **** William keluar dari mobil dengan tenang, kakinya menyentuh lantai dengan langkah yang penuh keyakinan meski tongkat penuntunnya tetap berada di genggaman. Seperti biasa, Robert sigap membuka pintu dan membantu memastikan William keluar dengan lancar. “Silahkan, Tuan. Berhati-hati lah.” Di belakang William, Emily melangkah turun dari mobil dengan elegan, gaun panjangnya yang anggun memantulkan cahaya dari lampu taman. Setelah itu, Emily segera memeluk lengan William, menempatkan dirinya dengan penuh percaya diri di sisi suaminya. Tanpa banyak ekspresi, William membiarkan kehangatan sentuhan Emily mengiringi langkah mereka menuju pintu utama. Robert mengikuti dari belakang den
William tersenyum samar, lalu berkata dengan suara rendah tapi tajam, “Ayah, hadiah ini adalah benda yang aku pikir paling pas untuk diberikan. Tidak semua hal terlihat seperti yang tampak di permukaan. Kadang, yang kita lihat hanyalah ilusi, sedangkan kebenaran tersembunyi di baliknya.” Pernyataan itu membuat suasana semakin tegang. Tuan Sebastian tidak bisa menyembunyikan kemarahannya, tetapi ia menahan diri untuk tidak membuat keributan di depan para tamu. Sebastian pun berbisik, “Jangan bermain kata-kata, William. Dengar kan aku baik-baik, kau tidak pantas melakukan hal semacam ini!” Sejak tadi, Kelly benar-benar menahan diri. Kemarahan yang ia miliki saat ini akan dia simpan. Namun, janjinya besar untuk membalas dendam itu. Emily, yang mulai memahami situasinya, menyadari bahwa hadiah ini adalah benda yang digunakan William untuk mencemooh Ayahnya. “Tukang selingkuh! Hehehe... mirip aku yang dulu.” batin Emily. Malam itu, patung tersebut menjadi topik utama di a
Robert menatap Hendrick dengan tatapan tajam. Namun, Hendrick sendiri tidak merasa terancam sama sekali. Ia pikir, memang apa yang bisa dilakukan seorang asisten sekretaris seperti Robert? Walaupun memiliki kemampuan yang hebat sehingga berhasil membuat William yang buta itu memimpin perusahaan, tetap saja Robert adalah pria tanpa wewenang. “Tuan Hendrick, anda benar-benar membuat kesabaran Tuan William habis,” ucap Robert, ada ancaman di balik kalimatnya itu. Hendrick tersenyum smirk. “Hah! Wajahnya yang sialan itu saja terlihat takut tadi. Kalau dia marah, dia pasti akan mengoceh di hadapan ku!” Robert setia dengan ekspresi wajahnya yang dingin. “Dan itu adalah masalahnya,” tegas Robert, “kalau saja Tuan William lebih banyak bicara tadi, maka artinya dia masih menahan diri. Tapi, diamnya Tuan William sudah menjelaskan segalanya.” Hendrick tersenyum dengan maksud meremehkan. “Lantas mau apa kau, hem?” R
Pertanyaan kepala pelayan itu membuat Emily terdiam. Cincin itu, beberapa bulan lalu Emily sendirilah yang membuangnya lewat jendela. Alasannya adalah karena dengan William yang tidak mengirimkan uang dengan jumlah yang sama seperti yang dia inginkan. “Nyonya, Tolong kontrol emosi anda. Dokter Elizabeth hanya menemukannya, lalu mengenakan karena dia menyukainya. Jika Anda memang ingin mengambilnya kembali, setidaknya Anda bisa menggunakan cara yang sedikit lebih baik, kan?” ucap kepala pelayan. Emily hanya bisa menggigit bibir bawahnya, mengepalkan tangan. Bagaimanapun, sejak awal ini memang kesalahannya. Andai saja waktu itu dia bisa berpikir panjang, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi. Satu cincin ada di jari William, pria itu tidak pernah melepaskan cincin pernikahannya, dan satu lagi ada di jari Elizabeth. Mau mengatakan ini cuma cincin, tapi hatinya sakit dan tidak bisa menerimanya.
Mendengar itu, Sebastian pun tersenyum sinis. “Kau pikir apa yang akan dilakukan jika sudah sampai di pesisir pantai, hah? Tidak ada kapal yang melintas melewati Pulau ini. Usaha itu hanya akan sia-sia saja.” Kelly tertunduk lesu. Entah Bagaimana caranya dia bisa sedikit berguna untuk Hendrick. Hendrick membuang napas kasarnya. Dia benar-benar sudah pasrah. Bahkan entah sudah berapa kali saja dia mencoba untuk bunuh diri meski gagal karena dia tidak sanggup dengan rasa sakitnya. ****Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya di JB fashion, Emily langsung menuju kantor William. Kedatangannya sudah dikabarkan oleh salah satu pegawai, sehingga ia tidak menemui hambatan apapun.Saat tiba di depan pintu kantor William, Emily mengetuk pintu sekali sebelum langsung masuk. William sudah memperbolehkannya sebelumnya. namun begitu ia masuk, hal pertama yang dicari adalah Elle. “Hari ini kau pulang lebih cepat, ya?”
Pertanyaan dari Robert barusan membuat William tersenyum. “Apa yang berani dia lakukan kalau Elle tidak mau berpisah dariku?” Mendengar itu, Robert pun menganggukkan kepalanya. “Saya berharap, anda tidak akan merasakan yang sama lagi.” William menganggukkan kepalanya. “Kali ini, Aku cukup yakin bisa membuat wanita itu terus menempel padaku.” “Baiklah, Saya berharap seperti itu,” ujar Robert. William mengarahkan tatapan matanya kepada Robert, memperhatikan pria itu dengan apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Pada akhirnya, Ia pun menyampaikan apa yang ingin dikatakannya. “Robert, ini sudah cukup. Apa kau masih harus bersikap sinis kepada Azura?” Ada perasaan aneh yang sulit untuk diungkapkan Robert saat ini. Tapi, dia juga tidak ingin William berpikir terlalu jauh. “Sebenarnya, aku sendiri tidak memperlakukan Nona Azura dengan sinis. Tapi, dia yang melakukan sebaiknya. Saya sudah mencoba untuk lunak
Di ruangan kerja Anastasia, wanita itu dan Emily duduk berhadapan, beseberangan meja. Emily terdiam, menunggu Anastasia memulai pembicaraan. Sejak tadi, wanita itu terus saja mengarahkan tatapan tajamnya kepada Emily. ”Kenapa kau tidak datang ke kantor kemarin?” tanya Anastasia. Jangan tanya apakah tatapan tajamnya sudah mereda, sama sekali tidak. “... Maaf. Ada beberapa hal yang terjadi, namun saya tidak bisa menyampaikannya kepada anda,” jawab Emily. Mendengar jawaban itu, Anastasia pun tersenyum kesal. Ia menggigit bibir, sementara ia sendiri juga tengah mengatur emosinya agar tidak meledak-ledak. “Dengarkan aku baik-baik, Rose. William itu adalah kekasihku. Kenapa kau bisa melakukan semua itu bahkan di hadapanku?” tanya Anastasia. Suaranya memang terdengar datar, tapi jelas penuh tekanan. Emily menunduk sejenak sebelum dia menjawab pertanyaan itu. “Nona Anastasia, Anda juga melihat sendiri dengan sep
Setelah percakapan panjang dan melelahkan itu, akhirnya William pun mengalah. Ia membiarkan Emily menyelesaikan proyeknya di perusahaan JB fashion. Namun, tentu saja, William tidak akan menyerah begitu saja tanpa mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. “Karena aku sudah memberikan persetujuan yang harganya sangat mahal, maka kau harus membayarnya kembali,” kata William dengan tatapan penuh maksud. “Kau harus melayaniku sampai aku tidak bisa bangun besok pagi.”Emily menelan ludah, merasa wajahnya mulai memanas. Ia ingin menolak, tapi ia tahu William tidak akan menerima penolakan apapun. Namun, rencana William gagal total. Elle tiba-tiba masuk ke kamar dengan mata mengantuk, menyeret boneka yang ada di kamarnya tadi. “Ayah...” panggilnya pelan sebelum langsung naik ke tempat tidur dan memeluk William erat-erat. William membeku. Ia menatap bocah kecil itu yang dengan nyaman menempel padanya, lalu melirik Emily yang justru terseny
“William, maaf... Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Aku salah, maafkan aku,” ucap Emily, suaranya gemetar. Benar, dia sama sekali tidak pernah memikirkan soal apa yang dikatakan oleh William barusan. Mendengar itu, William pun membuang napas kasarnya yang terasa begitu berat. “Aku tidak bohong bahwa aku membenci keputusanmu, kau yang begitu sembrono. Apakah yang aku lakukan dan pengorbananku masih belum cukup untuk membuat hatimu teguh berada di sisiku? Kenapa kau mudah sekali terpengaruh oleh ucapan Nenek ku, tapi tidak terpengaruh oleh semua yang aku lakukan?”Emily menggigit bibir bawahnya, merasa semakin bersalah. Kepergiannya bukan hanya menyiksa dirinya sendiri, tapi menyiksa William dan juga, Elle. “Emily, aku tidak bohong bahwa aku bahagia dengan kenyataan kau baik-baik saja. Bahkan, kau juga memberikan putri yang cantik dan cerdas untukku. Tapi, kenapa aku harus menunggu selama ini? Bahkan, kau juga masih ingin kab
William membawa Emily dan Elle pulang ke rumah mereka. Sesampainya di sana, Elle nampak bersemangat karena rumah William besar dan mewah, halamannya luas, ada taman samping juga. “Ini rumah kita, Yah?” tanya Elle, matanya berbinar bahagia. William tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Tentu saja. Bagaimana? Kau suka?” Elle mengangguk cepat, nampak begitu bahagia. “Iya, suka!” Emily tersenyum. Dia tidak menyangka kalau pada akhirnya dia akan kembali ke rumah itu, bertambah anggota keluarga juga. Rasanya, bertahun-tahun meninggalkan William tidak ada perubahan apapun di dalam hidupnya secara signifikan. William menurunkan Elle dari gendongan, membiarkan putri kecilnya itu mengeksplor ruangan. Pelayan yang ada di rumah langsung sigap menemani Elle. Mereka sempat merasa terkejut. Padahal, kembalinya Emily cukup membuat mereka kaget, sek
Emily menunduk sambil menggigit bibir bawahnya. William duduk di hadapannya dengan ekspresi dingin sambil memangku Elle. Bocah itu tidak mau jauh dari ayahnya. “Maaf. Aku hanya takut kau akan membawa Elle pergi dariku,” ucap Emily lagi. Dia sudah coba menjelaskan tadi, tapi tatapan tajam William membuatnya gugup. Emily mengangkat wajahnya, menatap William dan Elle. Hah...? Emily benar-benar keheranan, bagaimana bisa ayah dan anak itu berekspresi sama sambil menatapnya? Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, Kenapa mereka menjadi sangat kompak seperti itu? Akhhh! Emily merasa ngilu dadanya, dia cemburu. “Ayah kenapa tidak boleh membawaku? Aku juga mau ikut Ayah kok, Bu,” ujar Elle dengan ekspresi wajahnya yang polos. William tersenyum tipis, penuh kemenangan. Emily mencebikkan bibirnya, jelas dia merasa makin cemburu. “Baiklah, bisakah kau sebutkan
Emily perlahan berjalan mendekat. Ia pun berbaring di sisi lain tempat tidur. Lelah sekali, tubuhnya juga sakit semua. Tidak butuh waktu lama, Emily juga langsung terlelap. William membuka matanya. Dia menatap Elle dan Emily. Ia mulai membayangkan kehidupan seperti apa yang Emily dan Elle jalani selama ini. Bagaimana bisa Emily membesarkan Elle sendiri namun putrinya itu bisa mengenali Ayahnya bahkan saat tidak pernah bertemu sama sekali sebelumnya? “Setelah dipikirkan lagi, sepertinya, kau juga menjalani hari yang sulit, kan? Kenapa kau harus melakukan semua ini? Tapi... berkat kau pergi, aku pun makin sadar bahwa aku tidak pernah ingin membencimu walaupun aku bertekad. Emily, terimakasih sudah hidup dengan baik-baik saja selama ini. Terimakasih karena kau melahirkan anakku dengan baik dan membuatnya mengenaliku,” ucap William di dalam hatinya. Perlahan, ia pun meraih tangan Emily dan menggenggamnya.
Emily dan William sampai di mansion Tuan Xavier. Kedatangan mereka disambut oleh keluarga dengan ekspresi bingung. Julia dan Johan saling menatap dengan segala pemikiran mereka. Sean membuang napas kasarnya saat melihat Emily dan William di depan pintu. “Sudah kubilang, Emily itu tidak berprinsip. Jauh-jauh dia pergi sampai empat tahun lebih, akhirnya kembali ke William juga, kan?”“Diam! Siapa yang tidak berprinsip?!” kesal Emily. “Aku cuma... dipaksa William saja! Aku juga bukan perempuan yang mudah seperti yang Kakak pikirkan.”Sean tersenyum, menaikkan satu sisi bibirnya. “Ah, lalat sekarat saja tidak mungkin percaya ucapan mu, Emily.”Julia menyikut Sean, melotot, meminta kepada Sean untuk menutup mulutnya. Emily merengut kesal. Yah... apapun yang dia katakan mana mungkin mereka percaya?William menghela napasnya. “Kaki ku sudah pegal berdiri. Kapan kalian akan memberikan jalan untukku?”Mereka