Hari itu, langit cerah seolah turut merayakan sebuah kisah baru yang akan segera dimulai.
Setelah melewati berbagai luka, kesalahpahaman, kemarahan, dan air mata, akhirnya Robert dan Azura berdiri berdampingan di altar, tepat di tanggal yang seharusnya menjadi milik Arsen sebagai mempelai pria. Robert tampak gagah mengenakan setelan jas berwarna broken white, sementara Azura berdiri anggun dalam balutan gaun pengantin dengan warna senada. Aura ketegasan masih terpancar dari wajahnya, namun sorot matanya tak bisa memungkiri bahwa ada rasa lega dan harapan yang perlahan tumbuh subur di sana. Emily menggenggam tangan William erat, matanya berkaca-kaca melihat kedua orang yang dulu tak pernah bisa akur, kini bersumpah setia di hadapan Tuhan, berjanji untuk selalu bersama dalam suka dan duka. “Siapa sangka? Mereka benar-benar sampai sejauh ini,” bisik Emily pelan. William tersenyum sRobert menatap kosong ke arah dinding, seperti sedang menembus waktu, kembali ke masa yang tidak pernah ia ceritakan pada siapa pun sebelumnya. Tangannya yang tadi menggenggam tangan Azura kini mengepal pelan di atas selimut. Lembab karena berkeringat, bahkan di sekujur tubuhnya. “Ada satu kejadian yang tidak pernah bisa aku lupakan,” katanya pelan. “Waktu itu aku baru sebelas 17 tahun. Tuan Louis mendapat ancaman dari sekelompok orang bayaran yang tidak kami kenal. Mereka dikirim oleh saingan bisnis yang ingin menjatuhkan nama baik keluarga besar Tuan Louis.” Azura mengerutkan kening, tubuhnya menegang mendengar cerita Robert yang kini terasa semakin berat, sesak, dan kelam. “Aku dengar teriakannya,” lanjut Robert. “Waktu itu aku sedang belajar di ruang tengah. Saat aku keluar, aku melihat mereka mulai menyerang. Aku… aku hanya anak remaja, aku ketakutan, tapi aku berlari ke arah Tuan Louis dan mencoba menghalau mereka. Aku tidak mau ora
Emily menjalani kehamilan keduanya dalam suasana yang jauh lebih tenang dan penuh kebahagiaan dibanding kehamilan yang sebelumnya. Kali ini, jelas ia tidak lagi merasa sendirian. William, yang kini sepenuhnya menjadi sosok suami dan ayah yang bertanggung jawab, selalu siaga. Setiap pagi, William tak pernah absen mengelus perut Emily sebelum berangkat kerja, membisikkan kata-kata lembut untuk calon buah hati mereka yang tengah tumbuh di dalam sana. “Jaga Ibu, ya. Ayah pulang akan cepat,” ucapnya sambil mengecup kening Emily. Kehamilan ini benar-benar dirahasiakan dari publik. Mereka belajar dari masa lalu bahwa terkadang, terlalu banyak perhatian dari dunia luar justru membawa ancaman untuk keluarga mereka. Keselamatan keluarga adalah prioritas yang utama. Bahkan dokter yang menangani Emily dipilih dengan sangat selektif, dengan akses yang terbatas dan pengamanan yang super ketat. Sementara itu, Elle yang kini mulai masuk usia sekolah TK menjalani kesehariannya dengan j
Hari-hari William dan Emily kini terasa jauh berbeda. Kehadiran Greyson Ily William, putra kecil mereka, membawa tantangan baru sekaligus kebahagiaan yang tentunya tidak terukur. Mengurus dua anak tentu saja bukanlah hal yang mudah meskipun aktivitas itu dibantu oleh beberapa pengasuh. Elle yang mulai tumbuh besar butuh perhatian emosional, sementara Greyson masih sangat kecil dan sepenuhnya bergantung pada asi Emily. Namun, di tengah semua itu, keluarga adalah sandaran terkuat yang mereka miliki. Orang tua Emily sering datang untuk membantu, terutama ketika malam-malam tanpa tidur mulai melelahkan. Kadang hanya dengan membawakan makanan atau menemani Elle bermain, mereka sudah membuat segalanya terasa jauh lebih ringan. Emily juga merasa nyaman karena meninggalkan bayinya dengan pengasuh membuat Emily tidak pernah bisa tidur nyenyak. Tak hanya itu, Sean dan Anastasia juga kerap mampir. Mereka ingin memastikan Elle dan Greyson tumbuh dikelilingi cinta dan kehangatan. Setia
Seorang gadis menatap layar televisi dengan senyuman yang begitu bahagia. Layar televisi yang tergantung di sudut kafe menampilkan sosok pria berwibawa dalam balutan jas abu-abu tua. Senyumnya yang nampak dingin, namun karismanya begitu kuat. Seorang CEO legendaris yang telah puluhan tahun memimpin salah satu perusahaan terbesar di negeri ini. Namanya menjadi simbol kekuatan dan konsistensi di dunia bisnis. Semua orang mengaguminya, tanpa terkecuali. Pria yang dimaksud adalah William. Gadis itu tersenyum tipis, matanya masih terpaku pada layar. Sorot matanya bukan hanya sekadar kekaguman, tapi ada sesuatu yang lebih. “Elle!” Suara parau memecah lamunannya. Elle tersentak dan segera menoleh ke arah sumber suara. “Iya, Bu?” jawabnya. Wanita paruh baya yang duduk di balik meja kasir tampak kelelahan. Keringat membasahi pelipisnya meski kipas angin terus berputar d
Ronald menatap Merin dengan tatapan yang nampak sedikit kesal. “Bu, tolong jangan berlebihan seperti itu. Elle juga tidak akan pernah mungkin melakukannya ibu tuduhkan.” Merin mencebik kesal. “Kau bela saja dia terus, Ronald. Asal kau tahu, Ibu itu ingin yang terbaik untukmu. Apa kau tahu dia itu siapa? Dia bukan siapa-siapa! Sedangkan Erika, dia itu putrinya manager utama di perusahaan tempat mu bekerja, kan? Erika itu jauh lebih—” “Bu, tolong,” sela Ronald, kali ini lebih keras. “Aku tahu Ibu suka Erika, tapi ini bukan soal itu. Ini soal cara Ibu memperlakukan Elle. Jangan terlalu kasar, dia juga manusia, Bu…” Suasana menjadi hening sejenak. Merin menatap anak lelakinya itu seolah tidak percaya dengan sikap putranya sendiri. “Astaga, kau lebih membela dia daripada ibumu sendiri? Ronald, kau anak kandung yang Ibu lahirkan!” suara Merin gemetar, kini bukan karena marah, melainkan karena perasaan kecewa. Erik
Hari itu langit sedikit mendung, tapi semangat Elle tetap cerah seperti biasanya. Di tangannya ada sekotak buah peach segar favorit Ronald dan juga Merin. Ia pun tersenyum membayangkan Ronald yang akan lahap memakan buah itu. Dengan hati-hati, Elle melangkah menuju rumah sederhana milik kekasihnya, penuh harap bisa sedikit menyenangkan hati keluarga Ronald, terutama sang ibu yang selama ini tak pernah benar-benar menerimanya dengan baik. Saat pintu dibuka, Ronald menyambutnya dengan senyuman hangat. “Kau datang juga akhirnya, Sayang. Aku pikir kau sibuk hari ini,” ucap Ronald, memeluk Elle singkat. “Tadi memang ada hal yang harus aku kerjakan. Untung saja cepat selesai,” jawab Elle. “Syukurlah... padahal ini akhir pekan,” ujar Arnold. “Oh, iya... Aku bawa peach,” ucap Elle sambil tersenyum. “Kalian suka buah peach, kan?” Namun senyum itu tak bertahan lama lagi. Di belakang Ron
Ronald menggelengkan kepalanya, mencoba menenangkan situasi yang mulai terasa canggung dan memalukan. “Tidak. Sayang, bukan begitu maksudku. Aku cuma ingin kau mengerti bahwa semua itu adalah hal yang tidak penting. Bagiku, asalkan darimu tentu saja aku akan bahagia menerimanya.” Dia terus menatap Elle, yang sedari tadi berdiri diam sambil menunduk. Ada rona kecewa di wajahnya, tapi seperti biasa, Elle terlalu kuat untuk sedikit saja menunjukkan bahwa dia terluka. “Aku tidak pernah mempedulikan buah itu mahal atau murah,” lanjut Ronald, suaranya agak serak. “Apapun yang Elle berikan, aku akan makan dengan senang hati. Karena itu datang dari dia.” Elle mengangkat wajahnya perlahan. Matanya bertemu dengan mata Ronald, dan senyumnya yang tipis tak bisa menyembunyikan getir yang mengendap di hatinya. “Terima kasih, Ronald,” kata Elle akhirnya, suaranya datar. “Tapi, ini bukan soal buah. Bukan soal murah
Ronald berdiri tegap di lobi mewah Hotel Aravelle De Louac. Setelan jas abu keperakan membingkai tubuhnya dengan baik, dan sepatu pantofel nya mengilap tanpa cela. Di sebelahnya, Merin mengenakan gaun renda berwarna biru laut dengan tas tangan kecil yang tampak dipakai hanya di acara-acara spesial saja. Wajahnya menegang karena gugup, namun senyum lebarnya terus mengembang karena antusiasme yang tidak bisa disembunyikan. Di tangan mereka, sebuah kotak kado dibungkus dengan kertas berwarna emas pastel dan pita satin merah menyala. Mereka pikir itu cukup pantas untuk acara sebesar ini, setidaknya, itu yang mereka harapkan. Namun, dari tadi, Ronald tidak bisa berhenti melirik ponsel ditangannya. Berkali-kali dia membuka layar, mencari notifikasi, pesan, atau panggilan dari Elle. Tapi nihil. Tidak ada apa pun. Bahkan pesan terakhir yang ia kirim pun belum dibaca olehnya. “Jangan gel
Sore itu, langit tampak mendung ketika Lavine melangkah keluar dari gedung apartemennya. Dengan jas hitam dan kemeja yang sedikit terbuka di bagian atas, ia tampak seperti biasa, sangat santai, tapi menyimpan ketegangan yang jelas tidak akan tampak di permukaan. Di dalam mobil, Jordi menyetir tanpa banyak bicara. Lavine duduk bersandar, menatap keluar jendela sambil mengetukkan jari ke paha dengan irama acak. “Kira-kira kali ini dia ingin membahas apa lagi ya? Bisnis? Atau mungkin ada hubungannya dengan Elle? Hah! Tidak sabaran juga, aku jadi ingin cepat sampai.” katanya setengah bercanda, setengah kesal. Jordi melirik dari kaca spion. “Mungkin Tuan Ramon mulai sadar siapa yang sebenarnya punya andil besar dalam banyak hal akhir-akhir ini, Tuan.” Lavine hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ironi. “Hah! Kalau dia sadar, mungkin itu karena dia kepepet. Bukan karena dia benar-benar melihat.
Rayn meninggalkan gedung perkantoran MJW dengan perasaan yang begitu menyesakkan. Pembicaraannya dengan Elle tidak berakhir seperti yang diinginkannya. Begitu sampai di dalam mobil, Rayn yang sangat kesal itu tidak lagi bisa menahan diri. Bukk!!! Dipukulnya kemudi mobilnya beberapa kali untuk melampiaskan amarah. “Badjingan!!!” teriaknya. “Kenapa... kenapa kau harus bisa melampaui ku, anak brengsek? Jelas-jelas yang mengalir di dalam tubuhmu adalah darah kotor dan rendahan, darah seorang pelacur yang menjijikan! Kau harusnya hidup dengan segala hinaan, berani sekali kau mengambil posisi yang harusnya menjadi milikku?!” Rayn merasa sudah benar-benar dikalahkan. Tatapan mata Elle saat bicara padanya tadi seolah telah menunjukkan bahwa Rayn bahkan tidak bisa lebih baik daripada Lavine. Grettt... Tangan Rayn terkepal erat. Matanya yang masih menyalak marah itu mulai bersia
Esok harinya, di gedung MJW. Elle menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya, memandangi Rose dengan ekspresi datar. “Kau yakin itu dari Rayn? Kakak tirinya Lavine?” tanyanya pelan. Rose mengangguk. “Ya, dikirim langsung atas nama Tuan Rayn. Dikirim pagi-pagi sekali, bahkan sebelum staff lengkap datang, Nona.” Elle menarik napas dalam, sedikit tidak nyaman. Dia tahu Rayn bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Elle kemudian berdiri dan melangkah ke luar ruangannya. “Ayo, aku ingin lihat sendiri seperti apa lukisan yang dia berikan padaku,” ucapnya dingin. Sesampainya di lobi, matanya langsung tertuju pada lukisan besar yang diletakkan rapi di atas meja resepsionis. Pigura mewah, warna-warna kuat, dan goresan yang jelas menunjukkan keahlian pelukisnya. Namun, tidak ada yang membuat Elle terpikat walaupun dia sampai memicingkan matanya. “Cantik, tapi sayangnya sama sekali tidak menyentuh,” gumamnya,
Elle menatap Lavine dengan tatapan tak sabaran, “Bagaimana hasilnya?” Lavine menyandarkan tubuhnya santai di kursi, senyumnya masih mengembang seperti biasa, penuh godaan dan sedikit terlihat malas. “Kau benar-benar terlalu kaku dan serius, Elle,” katanya sambil mendorong gelas es kopi ke hadapan Elle sekali lagi. “Cobalah untuk membuat hidupmu sedikit lebih manis… seperti es kopi ini.” Elle menatap Lavine tajam, ekspresinya tetap dingin, tapi ada sedikit ketertarikan di balik sorot matanya. “Kau ini minum kopi atau gula? Sejak kapan kopi jadi manis? Lagi pula, aku tidak datang ke sini untuk membahas kopi,” jawabnya, suaranya datar namun tegas. “Aku benar-benar ingin tahu tentang hasilnya, Lavine. Fokus ku hanya ke situ saja.” Lavine tertawa pelan, memainkan sendok kecil di tangannya. “Hah, kau ini terlalu serius. Tapi baiklah… soal hasilnya, Zero tidak mudah dilunakkan, kau tahu itu. Apalagi kalau kau sendiri begini? Minum es kopi saja tidak mau. As
Hari itu, Merin dan Ronald datang ke gedung MJW untuk menemui Elle. Resepsionis itu sempat ragu, namun setelah melihat foto yang ditunjukkan Ronald, di mana Elle tampak berdiri di antara mereka dalam pakaian sederhana dan suasana kafe, wajah resepsionis itu langsung berubah. Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk sopan. Meskipun masih ada rasa tidak percaya, dia juga tahu kalau foto itu bukanlah foto editan. Dari pada nanti dia justru melakukan kesalahan, lebih baik diterima saja dulu tamunya. “Baik, tunggu sebentar. Saya akan menghubungi sekretarisnya Nona Elle terlebih dahulu,” ujarnya dengan nada lebih ramah. Ronald menarik napas lega, sementara Merin berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya sibuk memandangi interior kantor MJW yang begitu mewah dan jauh dari bayangan tempat kerja Elle sebelumnya. Tatapan matanya menajam, menyadari bahwa Elle benar-benar hidup dalam dun
Elle tersenyum lemah. “Begitu, ya? Lalu, kenapa kau masih tidak menghentikan ku?” Pertanyaan itu membuat Lavine tersenyum. “Karena meskipun kau memiliki maksud, aku masih bisa merasakan ketulusan darimu.” Elle melanjutkan kegiatannya, menikmati sarapan buatan Lavine tanpa bicara lagi. Tidak ada yang perlu dibahas saat ini. Mereka hanya perlu makan dengan baik, nanti bisa melanjutkan pembicaraannya lagi begitu selesai. Beberapa saat kemudian. Elle melihat jam tangannya, sejenak terdiam sambil berpikir. “Lavine, aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Apa aku boleh bicara yang sebenarnya padamu sekarang?” Lavine yang baru selesai mencuci piring tersenyum. Setelah mengeringkan tangannya, ia pun berjalan mendekati Elle yang masih duduk di meja makan sambil menatapnya dengan ekspresi yang serius. “Baiklah... dari pada bertele-tele seperti katamu tadi, lebih baik bicara den
Malam merayap pelan di balik jendela apartemen milik Lavine. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang begitu tenang. Elle duduk bersandar di sofa, matanya mulai terasa berat. Di sampingnya, Lavine masih tertidur dengan kompres di dahinya, napasnya sedikit berat namun mulai terdengar stabil. Elle melirik ke arah pria itu, memperhatikan wajah Lavine yang biasanya penuh senyum nakal itu kini terlihat begitu tenang dan polos. Untuk sesaat, dia lupa bahwa pria ini sering membuatnya kesal. Yang ada hanya rasa iba dan... entah, sesuatu yang membuat dadanya terasa cukup hangat. “Apa sebenarnya yang kau sembunyikan dariku, Lavine...” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Atau, apa yang sedang kau sembunyikan dari dunia ini?” Elle menghela napas panjang, lalu menyandarkan kepalanya ke senderan sofa. Tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah, matanya tertutup, dan napasnya mulai melambat. Suara detik
Elle duduk di ruang kerjanya sambil menatap layar laptop yang penuh dengan tab pencarian tentang pelukis bernama Zero. Setiap artikel, forum seni, dan catatan pameran sudah selesai ia baca. Namun semuanya hanya berisi spekulasi, gosip samar, atau informasi yang terlalu umum. Tidak satu pun yang bisa mengungkap siapa sebenarnya Zero, atau setidaknya memberi petunjuk yang cukup bisa menuju ke identitasnya. Orang-orang suruhannya juga sudah berusaha, namun hasilnya masih tetap sama. “Bagaimana bisa seseorang sepopuler itu tidak meninggalkan jejak digital sedikit pun?” gumam Elle kesal, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi dengan frustasi. Ia menutup laptopnya dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir. “Kenapa sulit sekali menemukan orang itu? Sekalinya bertemu, dia malah mengatakan sesuatu yang tidak aku pahami. Ah..., aku jadi pusing.” Rose masuk membawa dokumen, namun langsung berhenti saat m
Elle tersenyum. “Putra anda memang cukup gila. Ah, aku tidak jadi membelamu.” Mendengar itu, Lavine pun tersentak kaget. “Hah! Kau ini cepat sekali berubah pikiran? Baru juga sedetik aku merasa terharu oleh sikapmu, kau ini benar-benar menggemaskan. Aku jadi ingin segera menikahimu, deh.” “Bahkan keong juga akan berpikir lagi saat tahu kalau akan dinikahi mu,” balas Elle. Lavine terkekeh. “Keong? Kau benar-benar banyak keterlaluannya, ya? Ngomong-ngomong, pergi makan yuk! Aku lapar sekali, tapi tidak ada uang untuk membeli makan.” Ucapan Lavine barusan membuat Rayn dan Ramon mengerutkan kening. Jelas Lavine dan Elle cukup dekat sebelumnya. Rose hanya berdiri diam di belakang Elle. “Kalian... sejak kapan saling kenal?” tanya Ramon yang tidak bisa menahan rasa penasarannya. Elle menoleh, dia hampir saja lupa dengan keberadaan Ramon dan juga Rayn. “Sejak