Drttt...
Sean menatap layar ponselnya yang masih menyala, menunjukkan nama yang sudah lama ingin dia lupakan, namun kembali mengusik hidupnya, dia adalah Helena. Pikirannya langsung teringat pada pesan Emily sebelumnya, peringatan adiknya agar tidak mengorbankan dirinya demi seseorang yang tidak pantas untuk kembali, dan diperlakukan dengan baik lagi. Namun, suara tangis dari seberang telepon membuat hatinya goyah. Dia tetap saja merasa tidak tega. “Aku ada di depan apartemen mu, Sean. Aku tidak tahu harus ke mana lagi...” Suara Helena terdengar bergetar, penuh kepanikan dan keputusasaan. “Apartemen ku sudah tidak aman lagi.” Sean menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan frustasi. Ini adalah masalah yang seharusnya bukan urusannya lagi, tapi dia juga bukan orang yang bisa dengan mudah menutup mata terhadap seseorang yang membutuhkan bantuan, terutama seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Dan selalu sajaAnastasia menatap dua garis merah di alat uji kehamilan di tangannya dengan gemetar. Garis itu tampak begitu jelas, seolah berteriak mengonfirmasi apa yang sebenarnya sudah dia curigai sejak beberapa hari terakhir ini. Napasnya terasa berat, seakan beban berton-ton baru saja diletakkan di pundaknya secara bersamaan. “Ini benar-benar gila...” gumamnya sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Satu malam saja. Hanya satu kesalahan. Dan kini hidupnya akan berubah selamanya. Anastasia bangkit dari duduknya, berjalan mondar-mandir di dalam kamar apartemennya yang luas. Tangannya masih menggenggam alat itu, seakan belum benar-benar percaya dengan kenyataan yang baru saja menghantamnya. Berharap ini mimpi, atau alat jika kehamilan itu rusak. Seharusnya dia tidak terkejut. Siklus haidnya memang terlambat hampir dua minggu, dan beberapa hari terakhir dia sering merasa mual. Tapi tetap saja, meliha
Sean menarik napas panjang, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja dihadapinya. Dengan suara yang lebih tenang, ia akhirnya bertanya, “Lalu, apa yang kau inginkan, Anastasia? Maaf. Aku benar-benar jadi tidak bisa berpikir. Beri tahu saja aku harus bagaimana.” Anastasia terdiam. Pandangannya menjadi kosong, seolah tengah mencari jawaban di dalam pikirannya sendiri. Apa yang harus dilakukannya? Sean memperhatikan wajah wanita itu terlihat jelas bahwa dia jauh lebih terkejut dan kebingungan dibandingkan dirinya. Bahkan, ia juga bisa melihat bagaimana Anastasia sampai tidak bisa berkata-kata. Melihat Anastasia tidak segera menjawab, Sean menghela napas dan berkata dengan nada lembut, “Sekali lagi aku minta maaf... Aku tahu ini pasti sangat sulit untukmu. Aku juga tidak menyangka semuanya akan jadi serumit ini.” Anastasia tersenyum kecil, senyum yang jelas terasa dipaksakan. “Ya... Aku sendiri juga tidak menyangka ini akan te
Malam itu, restoran bergaya klasik dengan lampu-lampu gantung yang temaram menjadi saksi kebersamaan keluarga kecil William. Mereka tengah duduk di meja khusus yang telah mereka pesan sebelumnya. Aroma makanan yang lezat menguar di udara, membuat perut mereka semakin merasakan lapar. Elle, yang sudah menentukan menu sejak awal, tampak bersemangat saat pelayan menyajikan makanannya. Matanya berbinar melihat piring berisi pasta favoritnya dan jus mangga non gula kesukaannya. “Elle, kau suka?” tanya Emily sambil tersenyum. Elle mengangguk cepat. “Iya! Ayah dan Ibu juga suka, kan?” Emily terkekeh, sementara William hanya tersenyum kecil. Tapi ia terus merasakan kagum kepada anaknya itu. “Andai saja aku ada di saat proses Elle ada di dunia ini, kebahagiaan yang kurasakan saat ini pasti lebih besar lagi,” pi
Emily duduk di tepi tempat tidur, jari-jarinya saling bertaut, sementara kepalanya dipenuhi berbagai pikiran yang masih bercampur aduk tak jelas. William duduk di sampingnya, menatapnya dengan lembut, mencoba mencari tahu apa yang ada di benak istrinya. Jelas masih tentang kekhawatiran. “Jadi, mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan tentang pelayan bernama Naila itu?” tanya Emily, meskipun dia sudah tahu jawabannya akan seperti apa. Kepala pelayan yang berdiri di hadapannya mengangguk dengan sopan. “Benar, Nyonya. Selama pengawasan, Naila bekerja dengan sangat baik. Dia bahkan lebih rajin dibandingkan pelayan lain. Tidak ada gerak-gerik yang mencurigakan. Selama pengamatan, begitulah yang saya lihat.” Emily pun menghela napas panjang. Rasanya dia ingin menyangkal, ingin tetap berpegang pada instingnya yang terus memberinya perasaan tidak nyaman. Tapi, bukti yang ada bertolak belakang dengan per
Pagi itu begitu damai terasa di rumah keluarga William. Emily menyiapkan sarapan bersama para pelayan, memastikan bahwa suami dan putrinya mendapatkan makanan terbaik sebelum memulai hari mereka yang penuh semangat. William duduk di meja makan sambil membaca pesan email-nya, sementara Elle, dengan semangat bocah kecilnya, sibuk meniup gelembung sabun dan berlarian ke sana ke mari di sekitar ruang makan. Setelah William berangkat kerja, Emily yang merasa kekenyangan memilih untuk duduk sejenak di sofa, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Sean muncul di layar, membuat konsentrasinya terpecah. “Aku ingin bertemu denganmu hari ini. Ada sesuatu yang sangat penting perlu aku bicarakan dengan mu.” Emily mengerutkan keningnya. Apa yang ingin Sean bicarakan? Dia membaca pesan itu dengan seksama, membiarkan pikirannya sibuk menganalisis berbagai kemungkinan yang terjadi pada pria itu. Sementara itu, Ell
William merasa dunianya runtuh. Tangannya gemetar saat ia menekan nomor demi nomor, menghubungi setiap orang yang mungkin bisa membantu menemukan Elle. Pikirannya bahkan hampir buntu. “James, kerahkan semua orangmu. Cari Elle ke mana pun! Aku tidak peduli berapa biayanya, temukan dia! Bawa dia kembali kepadaku!” suara William bergetar, tetapi penuh ketegasan. Di sisi lain telepon, James mengangguk. “Saya sudah menghubungi semua tim. Kami akan segera menyisir setiap sudut kota, Tuan.” Tidak lama setelahnya, Robert juga menelepon. “Saya sudah meminta bantuan detektif swasta. Mereka sedang menelusuri rekaman CCTV di sekitar rumah anda. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan Nona Elle, Tuan William.” Namun, meski bantuan sudah dikerahkan, William tetap merasa tidak bisa tenang. Di dalam rumah, Emily sudah sadar dari pingsannya, tetapi kondisinya justru semakin buruk. Matanya sembab, wajahnya pucat, dan dia terus mena
Jessica tertawa terbahak-bahak, matanya berbinar penuh dengan rasa kepuasan. Dalam benaknya, dia bisa membayangkan wajah panik Emily dan William saat menyadari bahwa putri kecil mereka telah menghilang tanpa jejak. “Rasakan itu, Emily…” gumamnya, masih tersenyum dengan puas. “Kau pikir bisa hidup bahagia setelah membuatku menderita? Tidak akan pernah! Kau, akan lebih menderita!” Jessica meraih ponselnya, jarinya dengan lincah menekan nomor yang sudah ia simpan sebelumnya. Begitu panggilan tersambung, suaranya berubah menjadi dingin, menekan, dan tegas. “Buang anak itu ke sebuah desa terpencil,” perintahnya tanpa ragu. “Pastikan tempat itu jauh dari internet, kemodernan, dan jauh dari peradaban. Aku tidak peduli bagaimana caranya, yang penting mereka tidak akan pernah menemukannya.” Orang di ujung telepon mengangguk memahami. “Baik, Nona. Kami akan segera mengatur semuanya. Anda akan segera mendapatkan k
Elle masih merintih pelan, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya yang mungil mencoba sedikit untuk menggerakkan tubuhnya, tetapi ikatan di pergelangan tangannya terlalu erat. Rasa sakit menjalar di kulitnya yang lembut. Ketakutannya semakin menggebu saat terdengar jelas suara auman harimau dari kejauhan. “Hah... Ibu... Ayah...” Elle ingin menangis lebih keras, ingin memanggil ayah dan ibunya, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Matanya yang tertutup kain gelap membuat segalanya terasa lebih menakutkan lagi. Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Ada seseorang di sana, berjalan pelan di atas dedaunan yang kering. “Eh, kok ada anak di sini? Anak siapa ini?” batinnya, kebingungan. Pria paruh baya dengan janggut tipis dan pakaian sederhana itu berhenti ketika matanya menangkap sesosok kecil di tanah. Awalnya, ia mengira itu hanyalah sisa mangsa binatang buas, tapi setelah memperhatikan l
Sore itu, langit tampak mendung ketika Lavine melangkah keluar dari gedung apartemennya. Dengan jas hitam dan kemeja yang sedikit terbuka di bagian atas, ia tampak seperti biasa, sangat santai, tapi menyimpan ketegangan yang jelas tidak akan tampak di permukaan. Di dalam mobil, Jordi menyetir tanpa banyak bicara. Lavine duduk bersandar, menatap keluar jendela sambil mengetukkan jari ke paha dengan irama acak. “Kira-kira kali ini dia ingin membahas apa lagi ya? Bisnis? Atau mungkin ada hubungannya dengan Elle? Hah! Tidak sabaran juga, aku jadi ingin cepat sampai.” katanya setengah bercanda, setengah kesal. Jordi melirik dari kaca spion. “Mungkin Tuan Ramon mulai sadar siapa yang sebenarnya punya andil besar dalam banyak hal akhir-akhir ini, Tuan.” Lavine hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ironi. “Hah! Kalau dia sadar, mungkin itu karena dia kepepet. Bukan karena dia benar-benar melihat.
Rayn meninggalkan gedung perkantoran MJW dengan perasaan yang begitu menyesakkan. Pembicaraannya dengan Elle tidak berakhir seperti yang diinginkannya. Begitu sampai di dalam mobil, Rayn yang sangat kesal itu tidak lagi bisa menahan diri. Bukk!!! Dipukulnya kemudi mobilnya beberapa kali untuk melampiaskan amarah. “Badjingan!!!” teriaknya. “Kenapa... kenapa kau harus bisa melampaui ku, anak brengsek? Jelas-jelas yang mengalir di dalam tubuhmu adalah darah kotor dan rendahan, darah seorang pelacur yang menjijikan! Kau harusnya hidup dengan segala hinaan, berani sekali kau mengambil posisi yang harusnya menjadi milikku?!” Rayn merasa sudah benar-benar dikalahkan. Tatapan mata Elle saat bicara padanya tadi seolah telah menunjukkan bahwa Rayn bahkan tidak bisa lebih baik daripada Lavine. Grettt... Tangan Rayn terkepal erat. Matanya yang masih menyalak marah itu mulai bersia
Esok harinya, di gedung MJW. Elle menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya, memandangi Rose dengan ekspresi datar. “Kau yakin itu dari Rayn? Kakak tirinya Lavine?” tanyanya pelan. Rose mengangguk. “Ya, dikirim langsung atas nama Tuan Rayn. Dikirim pagi-pagi sekali, bahkan sebelum staff lengkap datang, Nona.” Elle menarik napas dalam, sedikit tidak nyaman. Dia tahu Rayn bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Elle kemudian berdiri dan melangkah ke luar ruangannya. “Ayo, aku ingin lihat sendiri seperti apa lukisan yang dia berikan padaku,” ucapnya dingin. Sesampainya di lobi, matanya langsung tertuju pada lukisan besar yang diletakkan rapi di atas meja resepsionis. Pigura mewah, warna-warna kuat, dan goresan yang jelas menunjukkan keahlian pelukisnya. Namun, tidak ada yang membuat Elle terpikat walaupun dia sampai memicingkan matanya. “Cantik, tapi sayangnya sama sekali tidak menyentuh,” gumamnya,
Elle menatap Lavine dengan tatapan tak sabaran, “Bagaimana hasilnya?” Lavine menyandarkan tubuhnya santai di kursi, senyumnya masih mengembang seperti biasa, penuh godaan dan sedikit terlihat malas. “Kau benar-benar terlalu kaku dan serius, Elle,” katanya sambil mendorong gelas es kopi ke hadapan Elle sekali lagi. “Cobalah untuk membuat hidupmu sedikit lebih manis… seperti es kopi ini.” Elle menatap Lavine tajam, ekspresinya tetap dingin, tapi ada sedikit ketertarikan di balik sorot matanya. “Kau ini minum kopi atau gula? Sejak kapan kopi jadi manis? Lagi pula, aku tidak datang ke sini untuk membahas kopi,” jawabnya, suaranya datar namun tegas. “Aku benar-benar ingin tahu tentang hasilnya, Lavine. Fokus ku hanya ke situ saja.” Lavine tertawa pelan, memainkan sendok kecil di tangannya. “Hah, kau ini terlalu serius. Tapi baiklah… soal hasilnya, Zero tidak mudah dilunakkan, kau tahu itu. Apalagi kalau kau sendiri begini? Minum es kopi saja tidak mau. As
Hari itu, Merin dan Ronald datang ke gedung MJW untuk menemui Elle. Resepsionis itu sempat ragu, namun setelah melihat foto yang ditunjukkan Ronald, di mana Elle tampak berdiri di antara mereka dalam pakaian sederhana dan suasana kafe, wajah resepsionis itu langsung berubah. Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk sopan. Meskipun masih ada rasa tidak percaya, dia juga tahu kalau foto itu bukanlah foto editan. Dari pada nanti dia justru melakukan kesalahan, lebih baik diterima saja dulu tamunya. “Baik, tunggu sebentar. Saya akan menghubungi sekretarisnya Nona Elle terlebih dahulu,” ujarnya dengan nada lebih ramah. Ronald menarik napas lega, sementara Merin berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya sibuk memandangi interior kantor MJW yang begitu mewah dan jauh dari bayangan tempat kerja Elle sebelumnya. Tatapan matanya menajam, menyadari bahwa Elle benar-benar hidup dalam dun
Elle tersenyum lemah. “Begitu, ya? Lalu, kenapa kau masih tidak menghentikan ku?” Pertanyaan itu membuat Lavine tersenyum. “Karena meskipun kau memiliki maksud, aku masih bisa merasakan ketulusan darimu.” Elle melanjutkan kegiatannya, menikmati sarapan buatan Lavine tanpa bicara lagi. Tidak ada yang perlu dibahas saat ini. Mereka hanya perlu makan dengan baik, nanti bisa melanjutkan pembicaraannya lagi begitu selesai. Beberapa saat kemudian. Elle melihat jam tangannya, sejenak terdiam sambil berpikir. “Lavine, aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Apa aku boleh bicara yang sebenarnya padamu sekarang?” Lavine yang baru selesai mencuci piring tersenyum. Setelah mengeringkan tangannya, ia pun berjalan mendekati Elle yang masih duduk di meja makan sambil menatapnya dengan ekspresi yang serius. “Baiklah... dari pada bertele-tele seperti katamu tadi, lebih baik bicara den
Malam merayap pelan di balik jendela apartemen milik Lavine. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang begitu tenang. Elle duduk bersandar di sofa, matanya mulai terasa berat. Di sampingnya, Lavine masih tertidur dengan kompres di dahinya, napasnya sedikit berat namun mulai terdengar stabil. Elle melirik ke arah pria itu, memperhatikan wajah Lavine yang biasanya penuh senyum nakal itu kini terlihat begitu tenang dan polos. Untuk sesaat, dia lupa bahwa pria ini sering membuatnya kesal. Yang ada hanya rasa iba dan... entah, sesuatu yang membuat dadanya terasa cukup hangat. “Apa sebenarnya yang kau sembunyikan dariku, Lavine...” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Atau, apa yang sedang kau sembunyikan dari dunia ini?” Elle menghela napas panjang, lalu menyandarkan kepalanya ke senderan sofa. Tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah, matanya tertutup, dan napasnya mulai melambat. Suara detik
Elle duduk di ruang kerjanya sambil menatap layar laptop yang penuh dengan tab pencarian tentang pelukis bernama Zero. Setiap artikel, forum seni, dan catatan pameran sudah selesai ia baca. Namun semuanya hanya berisi spekulasi, gosip samar, atau informasi yang terlalu umum. Tidak satu pun yang bisa mengungkap siapa sebenarnya Zero, atau setidaknya memberi petunjuk yang cukup bisa menuju ke identitasnya. Orang-orang suruhannya juga sudah berusaha, namun hasilnya masih tetap sama. “Bagaimana bisa seseorang sepopuler itu tidak meninggalkan jejak digital sedikit pun?” gumam Elle kesal, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi dengan frustasi. Ia menutup laptopnya dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir. “Kenapa sulit sekali menemukan orang itu? Sekalinya bertemu, dia malah mengatakan sesuatu yang tidak aku pahami. Ah..., aku jadi pusing.” Rose masuk membawa dokumen, namun langsung berhenti saat m
Elle tersenyum. “Putra anda memang cukup gila. Ah, aku tidak jadi membelamu.” Mendengar itu, Lavine pun tersentak kaget. “Hah! Kau ini cepat sekali berubah pikiran? Baru juga sedetik aku merasa terharu oleh sikapmu, kau ini benar-benar menggemaskan. Aku jadi ingin segera menikahimu, deh.” “Bahkan keong juga akan berpikir lagi saat tahu kalau akan dinikahi mu,” balas Elle. Lavine terkekeh. “Keong? Kau benar-benar banyak keterlaluannya, ya? Ngomong-ngomong, pergi makan yuk! Aku lapar sekali, tapi tidak ada uang untuk membeli makan.” Ucapan Lavine barusan membuat Rayn dan Ramon mengerutkan kening. Jelas Lavine dan Elle cukup dekat sebelumnya. Rose hanya berdiri diam di belakang Elle. “Kalian... sejak kapan saling kenal?” tanya Ramon yang tidak bisa menahan rasa penasarannya. Elle menoleh, dia hampir saja lupa dengan keberadaan Ramon dan juga Rayn. “Sejak