“Aku harus menjelaskan ini sebenarnya. Tapi, William tidak mengizinkan ku ikut campur lebih banyak. Padahal, semua ini bermula dariku juga,” jawab Emily.
Arthur tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Pria bernama William itu pasti sangat mencintaimu. Sudah bertahun-tahun ditinggal olehmu, dia masih setia menunggumu, dan bahkan langsung mengenalimu yang sudah totalitas dalam menyamar.” Emily tersenyum. “Aku menyesali pola pikirku yang saat itu sangat labil. Tapi, situasi sekarang ini juga masih bisa terbilang tidak baik untuk kami.”Arthur menganggukkan kepalanya, Dia sedikit memahami. “Yah... Anastasia pasti merasa sangat marah dan kecewa. Padahal sudah menghabiskan waktunya untuk mengharapkan cinta dari suamimu, tapi harus berakhir dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan.”Emily menghela napasnya. “William membiarkan wanita itu berada di sekitarnya terus-menerus lemah hampir 4 tahun. Bagaimanapun, William juga bersalah karena tidak berSore itu, kala jam kerja selesai. Emily berdiri membeku di depan pintu utama JB fashion. Jantungnya berdetak begitu kencang saat melihat sosok William berdiri tegap, dan di sampingnya, Elle melompat kegirangan sambil melambaikan tangan. “Ibu!” seru Elle dengan suaranya yang nyaring. Seruan itu menarik perhatian banyak orang. Para pegawai JB fashion yang baru saja keluar dari gedung mulai berbisik-bisik, tatapan mereka tertuju pada Emily yang terlihat bingung Dan panik. Arthur yang berdiri di sampingnya hanya menghela napas pelan. “Suami dan anakmu sudah menunggu. Kenapa kau masih berdiri di sini?” tanyanya dengan santai. Emily menelan ludah. Rasanya seakan seluruh dunia kini memperhatikannya. Dia tidak menyangka William akan datang ke kantor, apalagi membawa serta Elle. Ini sama saja dengan sebuah pengumuman besar bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar hubungan biasa antara dirinya dan William. “Ya ampun
“... William, jangan lupa kalau nyawaku juga akan dipertaruhkan.” Mendengar itu, William pun mengerutkan keningnya. “Kenapa kau mempertaruhkan nyawa? Apa kau pikir aku memintamu pergi ke Medan perang?” Emily terdiam. Melihat bagaimana ekspresi William, jelas saja pria itu tidak memahami apa resiko kehamilan yang hanya akan terjadi pada wanita. Ia pun menghela napas, memeluk tengkuk William dan menjelaskan. “Melahirkan itu benar-benar bentuk penyiksaan yang sakitnya bahkan seperti ingin mati. Apa kau pernah membayangkan bagiamana bisa bayi itu keluar dari vagin*? Bukankah artinya sama dengan menghancurkan vagin*. Walaupun aku melahirkan secara sesar, sakitnya juga luar biasa. Aku harus punya cacat kulit di perutku.” William menelan ludah. Dia memang tidak pernah memikirkan soal itu. Semuanya terlalu cepat. Emily kembali ke sisinya setelah Elle berusia tiga setengah tahun, proses kehamilan yang tidak dia lihat secara langsu
Emily menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum membuka pintu kamar Elle dengan hati-hati. Dalam pikirannya, dia yakin William pasti tertidur di samping Elle. Namun, saat dia melangkah masuk, dia justru menemukan William duduk di tepi tempat tidur, melamun sambil menatap jendela yang sedikit terbuka. Emily mengerutkan kening. Ini bukan pemandangan yang biasa. William bukan tipe pria yang suka melamun, apalagi di malam hari seperti ini. “Kenapa dia melamun begitu?” batin Emily. “William?” panggilnya pelan. Pria itu tidak langsung merespon. Dia masih terdiam, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Emily mendekat, lalu duduk di sampingnya. “Kau kenapa?” tanyanya, mencoba mencari tahu apa yang membuat suaminya terlihat begitu serius. William akhirnya menoleh, menatap Emily dengan mata yang terlihat sedikit lelah. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Aku baru
Hari ini adalah hari terakhir Emily di JB fashion. Ada perasaan lega, tapi juga sedikit kesedihan yang menggelayuti hatinya. Selama dua minggu ini, dia telah bekerja keras bersama Arthur dan tim yang ada di JB fashion untuk menghasilkan desain terbaik, dan kini saatnya mengucapkan selamat tinggal kepada mereka semua. Di dalam ruang rapat utama, presdir JB fashion menatap layar proyektor yang menampilkan desain gaun yang telah mereka buat. “Ini... benar-benar gaun yang sangat mewah dan indah,” puji para anggota rapat. Wajah pria itu penuh dengan kepuasan, senyuman lebarnya menunjukkan bahwa hasil kerja Emily dan Arthur benar-benar sesuai dengan harapannya. Bahkan, lebih dari yang dia ekspektasi kan. “Ini luar biasa,” kata Sang Presdir sambil menoleh ke arah Emily dan Arthur. “Desainnya elegan, pemilihan bahannya sempurna, dan hasil akhirnya benar-benar berkualitas tinggi. Kalian telah bekerja sangat keras, dan aku sangat mengh
Suasana restoran outdoor itu begitu nyaman. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membawa aroma manis dari kebun strawberry yang tidak jauh dari sana. Di salah satu meja, Emily, William, dan Elle duduk bersama menikmati makan siang mereka. Elle dengan wajah penuh semangat, terus menggoyang-goyangkan kakinya di kursi kecilnya. “Ayah, Ibu, kapan kita akan petik strawberry nya?” tanyanya sambil mengunyah makanan kecil di tangannya. William tersenyum, menatap putrinya dengan penuh kasih. “Setelah kita selesai makan, Sayang. jangan terburu-buru,” jawabnya sambil mengusap lembut kepala Elle. Emily tersenyum melihat interaksi mereka. Hari ini benar-benar terasa begitu damai, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan. Udara yang sejuk meskipun siang hari, suara tawa anak kecil dari meja lain, dan aroma makanan yang menggugah selera membuat segalanya terasa begitu sempurna. “Aku ingin cepat ke sana,” gumam gadis kecil itu dengan bib
Langkah kaki seorang wanita menggema di lantai bandara internasional yang sibuk. Sepasang heels berwarna hitam mengiringi setiap jejaknya dengan penuh percaya diri. Begitu ia melewati pintu kedatangan, tangannya yang ramping melepas kacamata hitamnya, memperlihatkan tatapan tajam yang penuh dengan kebencian. Dia adalah Jessica. Jessica tersenyum miring. Matanya berkilat dingin saat menghirup udara kota yang dulu ia tinggalkan dengan penuh kemarahan dan kehancuran. Kini, ia kembali, bukan sebagai gadis lemah yang pernah dirampas segalanya, melainkan sebagai wanita yang siap menuntut balas. Setelah 5 tahun lebih dia pergi, ini adalah saat yang tepat. “Emily...” gumamnya pelan, menyebut nama yang paling ia benci. Hatinya menggelegak setiap kali mengingat kehancuran yang menimpa keluarganya. Ayahnya masih mendekam di penjara, dihancurkan oleh skandal yang berawal dari satu orang yaitu Emily. Sedangka
Azura berdiri di balik dinding dekat kasir, tangannya gemetar saat mengetik pesan untuk James. Ia tidak menyangka akan melihat Jessica di tempat ini, di cafe miliknya. Wanita yang dulu membawa banyak sekali masalah dan salah paham itu tengah duduk dengan ekspresi santai, seolah tidak terjadi apa-apa. “James, Jessica ada di sini. Dia telah kembali. Aku tidak tahu apa rencananya, tapi aku tidak suka firasat buruk yang aku rasakan ini.” Azura menekan tombol kirim, lalu mengintip lagi ke arah meja di ujung ruangan. Jessica masih duduk di sana, menyilangkan kakinya dengan angkuh, menikmati sarapan sembari sesekali tersenyum kecil saat melihat layar ponselnya. “Apa yang dia rencanakan?” gumam Azura di dalam hati. Tidak butuh waktu lama, ponsel Azura bergetar. pesan dari James masuk. “Jangan bertindak gegabah dulu. Aku akan mencari tahu tujuannya. Pastikan dia tidak menyadari keberadaan mu.” Azura menarik napas dalam. Ia tahu James benar, jika Jessica tahu dirinya ada d
Emily tersenyum, dia berlari saat melihat Azura ada di halaman rumah dan langsung memeluknya. Grep!! “Uhhh, aku benar-benar merindukanmu!” ucap Emily, semakin erat dia memeluk Azura. Azura berdecih, tidak membalas pelukan itu. Dia jelas masih merasa kesal dengan Emily meskipun waktu sudah berlalu beberapa tahun. Namun, melihat Emily dalam keadaan sehat seperti sekarang dia juga cukup lega. Menyadari hal itu, Emily pun langsung mengendurkan pelukannya. Ia menatap Azura dengan tatapan manja lalu berkata, “Kau masih marah padaku, ya? Ayolah... Aku benar-benar meminta maaf.” Azura tidak langsung menanggapi ucapan Emily, buat wanita itu makin berulah dengan terus membujuknya. “Ayolah, aku minta maaf. Waktu itu kan aku sudah bilang supaya kau tidak usah ikut, tapi kau tetap memaksa untuk ikut,” ujar Emily. Azura tercengang mendengarnya. “Masih bisa kau menyalahkanku, ya? Kau ini benar-benar tidak
Sore itu, langit tampak mendung ketika Lavine melangkah keluar dari gedung apartemennya. Dengan jas hitam dan kemeja yang sedikit terbuka di bagian atas, ia tampak seperti biasa, sangat santai, tapi menyimpan ketegangan yang jelas tidak akan tampak di permukaan. Di dalam mobil, Jordi menyetir tanpa banyak bicara. Lavine duduk bersandar, menatap keluar jendela sambil mengetukkan jari ke paha dengan irama acak. “Kira-kira kali ini dia ingin membahas apa lagi ya? Bisnis? Atau mungkin ada hubungannya dengan Elle? Hah! Tidak sabaran juga, aku jadi ingin cepat sampai.” katanya setengah bercanda, setengah kesal. Jordi melirik dari kaca spion. “Mungkin Tuan Ramon mulai sadar siapa yang sebenarnya punya andil besar dalam banyak hal akhir-akhir ini, Tuan.” Lavine hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ironi. “Hah! Kalau dia sadar, mungkin itu karena dia kepepet. Bukan karena dia benar-benar melihat.
Rayn meninggalkan gedung perkantoran MJW dengan perasaan yang begitu menyesakkan. Pembicaraannya dengan Elle tidak berakhir seperti yang diinginkannya. Begitu sampai di dalam mobil, Rayn yang sangat kesal itu tidak lagi bisa menahan diri. Bukk!!! Dipukulnya kemudi mobilnya beberapa kali untuk melampiaskan amarah. “Badjingan!!!” teriaknya. “Kenapa... kenapa kau harus bisa melampaui ku, anak brengsek? Jelas-jelas yang mengalir di dalam tubuhmu adalah darah kotor dan rendahan, darah seorang pelacur yang menjijikan! Kau harusnya hidup dengan segala hinaan, berani sekali kau mengambil posisi yang harusnya menjadi milikku?!” Rayn merasa sudah benar-benar dikalahkan. Tatapan mata Elle saat bicara padanya tadi seolah telah menunjukkan bahwa Rayn bahkan tidak bisa lebih baik daripada Lavine. Grettt... Tangan Rayn terkepal erat. Matanya yang masih menyalak marah itu mulai bersia
Esok harinya, di gedung MJW. Elle menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya, memandangi Rose dengan ekspresi datar. “Kau yakin itu dari Rayn? Kakak tirinya Lavine?” tanyanya pelan. Rose mengangguk. “Ya, dikirim langsung atas nama Tuan Rayn. Dikirim pagi-pagi sekali, bahkan sebelum staff lengkap datang, Nona.” Elle menarik napas dalam, sedikit tidak nyaman. Dia tahu Rayn bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Elle kemudian berdiri dan melangkah ke luar ruangannya. “Ayo, aku ingin lihat sendiri seperti apa lukisan yang dia berikan padaku,” ucapnya dingin. Sesampainya di lobi, matanya langsung tertuju pada lukisan besar yang diletakkan rapi di atas meja resepsionis. Pigura mewah, warna-warna kuat, dan goresan yang jelas menunjukkan keahlian pelukisnya. Namun, tidak ada yang membuat Elle terpikat walaupun dia sampai memicingkan matanya. “Cantik, tapi sayangnya sama sekali tidak menyentuh,” gumamnya,
Elle menatap Lavine dengan tatapan tak sabaran, “Bagaimana hasilnya?” Lavine menyandarkan tubuhnya santai di kursi, senyumnya masih mengembang seperti biasa, penuh godaan dan sedikit terlihat malas. “Kau benar-benar terlalu kaku dan serius, Elle,” katanya sambil mendorong gelas es kopi ke hadapan Elle sekali lagi. “Cobalah untuk membuat hidupmu sedikit lebih manis… seperti es kopi ini.” Elle menatap Lavine tajam, ekspresinya tetap dingin, tapi ada sedikit ketertarikan di balik sorot matanya. “Kau ini minum kopi atau gula? Sejak kapan kopi jadi manis? Lagi pula, aku tidak datang ke sini untuk membahas kopi,” jawabnya, suaranya datar namun tegas. “Aku benar-benar ingin tahu tentang hasilnya, Lavine. Fokus ku hanya ke situ saja.” Lavine tertawa pelan, memainkan sendok kecil di tangannya. “Hah, kau ini terlalu serius. Tapi baiklah… soal hasilnya, Zero tidak mudah dilunakkan, kau tahu itu. Apalagi kalau kau sendiri begini? Minum es kopi saja tidak mau. As
Hari itu, Merin dan Ronald datang ke gedung MJW untuk menemui Elle. Resepsionis itu sempat ragu, namun setelah melihat foto yang ditunjukkan Ronald, di mana Elle tampak berdiri di antara mereka dalam pakaian sederhana dan suasana kafe, wajah resepsionis itu langsung berubah. Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk sopan. Meskipun masih ada rasa tidak percaya, dia juga tahu kalau foto itu bukanlah foto editan. Dari pada nanti dia justru melakukan kesalahan, lebih baik diterima saja dulu tamunya. “Baik, tunggu sebentar. Saya akan menghubungi sekretarisnya Nona Elle terlebih dahulu,” ujarnya dengan nada lebih ramah. Ronald menarik napas lega, sementara Merin berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya sibuk memandangi interior kantor MJW yang begitu mewah dan jauh dari bayangan tempat kerja Elle sebelumnya. Tatapan matanya menajam, menyadari bahwa Elle benar-benar hidup dalam dun
Elle tersenyum lemah. “Begitu, ya? Lalu, kenapa kau masih tidak menghentikan ku?” Pertanyaan itu membuat Lavine tersenyum. “Karena meskipun kau memiliki maksud, aku masih bisa merasakan ketulusan darimu.” Elle melanjutkan kegiatannya, menikmati sarapan buatan Lavine tanpa bicara lagi. Tidak ada yang perlu dibahas saat ini. Mereka hanya perlu makan dengan baik, nanti bisa melanjutkan pembicaraannya lagi begitu selesai. Beberapa saat kemudian. Elle melihat jam tangannya, sejenak terdiam sambil berpikir. “Lavine, aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Apa aku boleh bicara yang sebenarnya padamu sekarang?” Lavine yang baru selesai mencuci piring tersenyum. Setelah mengeringkan tangannya, ia pun berjalan mendekati Elle yang masih duduk di meja makan sambil menatapnya dengan ekspresi yang serius. “Baiklah... dari pada bertele-tele seperti katamu tadi, lebih baik bicara den
Malam merayap pelan di balik jendela apartemen milik Lavine. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang begitu tenang. Elle duduk bersandar di sofa, matanya mulai terasa berat. Di sampingnya, Lavine masih tertidur dengan kompres di dahinya, napasnya sedikit berat namun mulai terdengar stabil. Elle melirik ke arah pria itu, memperhatikan wajah Lavine yang biasanya penuh senyum nakal itu kini terlihat begitu tenang dan polos. Untuk sesaat, dia lupa bahwa pria ini sering membuatnya kesal. Yang ada hanya rasa iba dan... entah, sesuatu yang membuat dadanya terasa cukup hangat. “Apa sebenarnya yang kau sembunyikan dariku, Lavine...” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Atau, apa yang sedang kau sembunyikan dari dunia ini?” Elle menghela napas panjang, lalu menyandarkan kepalanya ke senderan sofa. Tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah, matanya tertutup, dan napasnya mulai melambat. Suara detik
Elle duduk di ruang kerjanya sambil menatap layar laptop yang penuh dengan tab pencarian tentang pelukis bernama Zero. Setiap artikel, forum seni, dan catatan pameran sudah selesai ia baca. Namun semuanya hanya berisi spekulasi, gosip samar, atau informasi yang terlalu umum. Tidak satu pun yang bisa mengungkap siapa sebenarnya Zero, atau setidaknya memberi petunjuk yang cukup bisa menuju ke identitasnya. Orang-orang suruhannya juga sudah berusaha, namun hasilnya masih tetap sama. “Bagaimana bisa seseorang sepopuler itu tidak meninggalkan jejak digital sedikit pun?” gumam Elle kesal, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi dengan frustasi. Ia menutup laptopnya dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir. “Kenapa sulit sekali menemukan orang itu? Sekalinya bertemu, dia malah mengatakan sesuatu yang tidak aku pahami. Ah..., aku jadi pusing.” Rose masuk membawa dokumen, namun langsung berhenti saat m
Elle tersenyum. “Putra anda memang cukup gila. Ah, aku tidak jadi membelamu.” Mendengar itu, Lavine pun tersentak kaget. “Hah! Kau ini cepat sekali berubah pikiran? Baru juga sedetik aku merasa terharu oleh sikapmu, kau ini benar-benar menggemaskan. Aku jadi ingin segera menikahimu, deh.” “Bahkan keong juga akan berpikir lagi saat tahu kalau akan dinikahi mu,” balas Elle. Lavine terkekeh. “Keong? Kau benar-benar banyak keterlaluannya, ya? Ngomong-ngomong, pergi makan yuk! Aku lapar sekali, tapi tidak ada uang untuk membeli makan.” Ucapan Lavine barusan membuat Rayn dan Ramon mengerutkan kening. Jelas Lavine dan Elle cukup dekat sebelumnya. Rose hanya berdiri diam di belakang Elle. “Kalian... sejak kapan saling kenal?” tanya Ramon yang tidak bisa menahan rasa penasarannya. Elle menoleh, dia hampir saja lupa dengan keberadaan Ramon dan juga Rayn. “Sejak