Aldrick ternyata masih duduk ditempat yang sama, juga terus melambaikan tangannya padaku dengan sikap norak. Aku melihat beberapa wanita menghindarinya, mata mereka terlihat jengkel pada Aldrick yang sekarang malah berdiri. Dia pria yang nyentrik, tidak peduli dengan pendapat orang lain terhadapnya. Orang seperti dia sangat sulit dipengaruhi. Tiba-tiba saja aku mendapat ide agar dapat membantu James. Meskipun ini ide yang buruk dan sangat berbahaya. James pasti akan mengamuk. Tapi biarlah aku akan melakukannya lebih dulu.Saat pergantian pakaian ke empat kali, aku sengaja berkedip pada Aldrick yang terlihat takjub. Entah apa yang sedang ia amati dari tempat duduknya. Banyak sekali tamu yang memakai baju-baju seksi. Aldrick bersiul melihat kedipan mataku. Tampak bersemangat hingga ia pergi dari kursinya. Sudah memancingnya aku malah jadi gemetar. "Halo cantik," Aldrick membungkuk dengan sopan. Meski tampangnya serampangan tapi dia tau cara menghargai wanita. Aku tersenyum, memaka
Memalukan sekali, kami mirip sepasang suami istri yang bertengkar di gereja. Seorang biarawati paruh baya menatap bingung karena sama sekali tidak mengerti bahasa tumbuh-tumbuhan yang kami gunakan. Akhirnya, aku menarik tangan James agar kami bisa pulang ke hotel. Dia masih merajuk karena aku tetap pada kemauanku. Apakah sampai di hotel kami lantas berpelukan dan berbaikan? Oh tentu tidak. James tipe pria yang tidak pernah bisa ditolak. Semua yang terjadi harus berdasarkan kemauannya. Dia ingin aku tetap aman. Sementara di keningku sudah di cap harga yang tertera. "Kepalang basah James, siapa tau aku bisa dapat informasi untukmu," "Apanya yang basah?" mata James langsung berharap."Dasar otak mesum!" dengan geram ku getok kepalanya dengan botol air mineral. "Aku bertanya apa yang basah? Apakah itu bisa disebut mesum?" "Jangan nyolot! Dan jangan alihkan pembicaraan. Aku harus jadi mata-mata untukmu," " Alice,,," James mulai merengek, dia lebih tau aku lebih keras kepala darinya
Scott terus saja membela James, hingga membuatku malas menanggapinya. "Alice?" "Hmmm?" "Apa kau benar-benar mencintainya?" Aku diam, bukan merasa bimbang. Aku sangat tau bagaimana dan betapa aku mencintai James. Terlepas dari semua pesona dan kekayaannya. "Maaf, jika pertanyaanku membuatmu merasa risih," " Hari ini, adalah hari dimana kau banyak bertanya!" gerutuku Pura-pura merengut. Scott tergelak, " Sekarang aku tau kenapa James tergila-gila padamu. Kau memang menggemaskan. Hahahaah!" "Hentikan Scott, kau yang mirip orang gila. Kemana Scott pendiam dan dingin itu?" Dia jadi diam. Aku melihat melalui kaca, sorot mata Scott berubah jadi gelap. Dia sedang menimbang sesuatu yang tidak dapat kutebak. Melihat keluar jendela, banyak sekali apartemen terbengkalai. Mobil usang berdebu dipinggir jalan. Juga jalanan yang lengang. Aku jngin bertanya pada Scott, tapi dia masih larut dalam pikirannya. "Scott," "Ya, Alice?" Aku menggigit bibir, "Pernahkah kau melihat James b
Aaaaaaaaaaaaaa mpppppphhhhhh"Sssstttttt, diam kau ini kenapa Alice?" Aku hanya terus meronta sampai sadar karena gigi panjang mengerikan itu hanya gigi palsu. Akhirnya hening, mataku kini membelalak tak percaya melihat orang yang sedang mendekap mulutku. Sementara mobil sudah melaju, kami pun berpelukan lama sekali. Aku sampai harus memeriksa setiap inci wajahnya untuk memastikan penglihatanku. "Oliv!" Kami berpelukan lagi, "enggak mungkin ini kamu. Aku gak bisa percaya mataku," "Kami harus percaya, Alice. Aku sudah disini," katanya serius. Tidak ada jejak bercanda sama sekali disana. Seketika aku sadar ada yang tidak beres. "Ada apa? Katakan?" pintaku mendesak. Tapi ponselku berdering lagi. "Alice! Oh tuhan apa kau baik-baik saja?" James terdengar sangat panik. Aku membayangkan wajahnya dari sini. "Baik James, itu hanya," Oliv menyuruhku diam. Aku mengangguk. "Oscar baru saja menjemputku, kita akan bertemu di rumah,"James sepertinya buru-buru."Oke," Aku tak habis pikir. Ke
Selama tiga hari kami belum keluar rumah. Oscar bertugas menjadi bapak rumah tangga akhir-akhir ini. Entah darimana dia mendapatkan seorang istri yang keibuan sekali. Sarah, dia wanita dewasa yang penuh kasih sayang. Tuturnya lembut juga terlihat sangat mencintai keluarga. Aku sampai melongo saat dia bersikap manis sekali terhadap Oscar. Kepura-puraan mereka tidak dapat dideteksi hingga aku percaya bahwa mereka benar-benar sepasang suami istri. Seperti pagi ini, aku melihat Oscar sedang membelah kayu untuk perapian. Sementara Sarah menuangkan teh digelasnya. Dia melayani Oscar sepenuh hati.James memelukku dari belakang, menemaniku yang sedang berdiri didapur. "Kau iri?" tanya James sambil menciumi leherku. "Untuk apa?""Melihat mereka?" jawabnya mengedikkan dagu ke arah Oscar dan Sarah yang sedang menikmati roti dan teh di halaman belakang. Aku hanya mendengus. James membalik tubuhku hingga kami berhadapan. "Terimalah lamaranku dan kau akan mendapatkan semua impianmu sayang,"
"Bagaimana kalau,,,""Apa?" tanya James sok jaim."Sudahlah, sepertinya lebih baik mengabaikan ku daripada menuruti kemauanku bukan?" aku berlalu, hendak keluar kamar.Sengaja ku langkahkan kaki perlahan untuk menunggu James menahan ku. Sampai..."Apa maksudmu Alice? Apa kau hendak mempermainkanku?" Senyum puas tersungging di bibirku, seperti emak-emak yang berhasil menawar barang dengan separuh harga. Tanpa berbalik, aku berpura-pura tak peduli. "Bukan mempermainkan-mu sayangku, aku hanya sedang negosiasi. Jika ingin mendapatkan hidup yang layak, bukankah aku harus ikut berjuang?" "Jangan bertele-tele, kau membuatku frustasi!" "Sudahlah James. Jika kau bahkan tidak mau melibatkanku dalam mengambil tindakan untuk apa kau mau aku menikmati hidup bahagia?" " Sudah ku katakan itu sangat berbahaya Alice! Apa kau tidak tau aku hampir gila karena Oliv terluka?" Percakapan ini, tidak seperti yang aku bayangkan. Bukan negosiasi seperti yang aku harapkan. James malah marah karena ini. "
Semua orang telah berkumpul disebuah ruang bawah tanah rumah Oscar. Biasanya, tempat itu digunakan untuk berjaga-jaga jika terjadi bencana angin topan. Meskipun aku sendiri tidak tau apakah wilayah ini termasuk yang sering terjadi. Sarah telah menyediakan waffle juga kopi. Lalu dia pergi ke luar ruangan, mungkin dia merasa bukan ranahnya untuk dapat ikut berdiskusi.Aku menggigiti waffleku yang tinggal separuh. Menunggu kedatangan James yang tak kunjung muncul. Aku bertanya-tanya apakah dia ketiduran disuatu tempat?"Kau harus tetap berpikiran netral setelah mengetahui fakta-faktanya, Alice. Itu akan mempengaruhi pandanganmu dalam mengambil keputusan," ujar Oliv dengan penuh penekanan. "Netral?" keningku berkerut, dengan jantung berdebar menunggu James datang. "Kau gugup?" rupanya James sudah ada dibelakangku. Padahal aku tidak melihatnya masuk. Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya. Lalu sekilas melihat dinding yang baru saja tertutup. Aku yakin itu sebuah pintu rahasia.
"Kau senang?" tanya James dengan cengiran khasnya. Aku suka melihat itu. "Sangat!" kataku seraya terus melakukan aktifitas favoritku. "Kau memang aneh Alice, disaat banyak aktifitas menyenangkan diluar sana, kau lebih memilih bersamaku disini," erang James dengan nafas tertahan. Aku masih terus memeganginya, menahannya agar tidak banyak bergerak. Dengan tatapan curiga aku memelototinya. "Selama aku tidak bersamamu, siapa yang melakukan ini untukmu?" tanyaku garang. "Aku melakukannya sendiri Alice," Jawabnya sambil memutar bola matanya jengah. "Dengan apa?" "Tentu saja dengan alat khusus, kau pikir aku tahan membiarkannya begitu saja?" Keluh James sedikit mengerang lagi. "Ouch Alice, pelan-pelan sayang," "Apa itu sakit?" aku menatap tepat didepan mukanya yang memerah. Dia menggeleng. "Hanya geli sedikit, kau semakin pandai melakukannya," Pujinya bangga. Aku mengerling nakal, "tentu saja dengan banyak latihan" "Kau melakukannya dengan siapa?" "Diriku se
"jangan, tolong jangan Jamesku" raunganku semakin lemah, lebih berupa bisikan putus asa. Sementara James sedang melakukan pertukaran dengan Roran, tim medis datang untuk menjemput wanita hamil itu. Tapi Roran tidak punya belas kasih, bukannya memberikan wanita hamil itu, dia malah menembak James. Dia berteriak kesakitan, membuatku mati rasa. Pandanganku jadi kabur . Setengah mati aku menahan diri agar tetap terjaga, tapi pikiranku tak mampu menahan rasa sakit yang bergejolak. James yang tertembak, tapi aku yang lumpuh. Ingin rasanya aku berlari, tapi aku hanya dapat merangkak. Mencoba menggapai cintaku yang sedang kesakitan.***Hening dan gelap. Rasanya dingin sekali. Aku berdiri di persimpangan jalan yang suram dan dipenuhi daun berguguran. Terkejut saat sekelebatan orang-orang mulai berlarian. Aku dimana? Entahlah, pikirku lelah. James! Dimana James?Aku dengan panik berlarian kesana kemari mencari jejaknya. Berteriak sekuat tenaga memanggil namanya, tapi aku menjadi bisu.
"sial!" James mengumpat dan berlari kebawah badan pesawat. Sontak semua pembajak keluar dari pesawat sambil membawa senjata mereka. Thomas bergegas masuk kedalam kabin kembali dan mengevakuasi para penumpang. Hatiku mencelos saat James terus dikejar-kejar para pembajak itu. Aku mengerti kenapa Thomas sengaja menyebut nama James, karena hal itu memancing para pembajak mengejarnya dan mengabaikan penumpang lain. Untungnya, tim SWAT yang sudah siap siaga segera berlari mengejar James dan membentuk barikade untuk menghalangi para pembajak itu. Tapi mereta tak gentar, seakan tak takut mati atau mereka tau petugas itu tidak akan langsung menembak mereka.James malah lebih dulu menyelamatkan wanita tua yang sedang bersamanya. Aku ketar-ketir memikirkan siapa gerangan wanita itu. Tiba-tiba saja seseorang berlari menghampiri James, dan kusadari itu adalah Scott. Dia langsung menutupi wanita tua dengan jaket dan memeluknya erat. Sebuah mobil SUV yang tadi menguntitku menghampiri mereka dan
Scott tidak mau bertutur sapa dengan Thomas. Dia bilang, hal itu akan lebih baik bagiku. Dia hanya ingin bertindak dibelakang layar. Tidak secara terang-terangan mendukung rencanaku. Aku manut saja dengan apa yang dikatakan Scott. Dia lebih berpengalaman soal ini dibanding aku. Setidaknya Scott mau menerima tekadku untuk bekerja sama dengan Thomas. "Kau harus memikirkan cara yang bagus untuk membujuk James. Dia akan pulang sekitar jam sepuluh malam""Oke," Dengan bekal arahan dari Scott, aku mengatur rencana agar James mau menerima pendapatku. Dan dengan beberapa bumbu tambahan berupa bujuk rayuan. Aku tau ini tidak akan mudah. ***Jam sembilan malam, aku berangkat ke bandara internasional untuk menjemput James. Ini akan menjadi kejutan, karena James meminta Scott yang menjemputnya. Keadaan sangat kondusif sampai aku berhenti di lampu merah. Sebuah mobil SUV mencurigakan yang aku tau sejak dari rumah sakit terus mengikutiku. Kepalaku jadi panas memikirkan kemungkinan adanya ora
"Olive" bibirku bergetar, tanpa suara menyebut nama gadis yang sedang terbaring lemah disana. Segera kuhampiri dia, untuk memastikan mungkin aku salah lihat. Tapi kekecewaan mengaliri setiap sel di tubuhku. Itu memang Olive, dia sedang tertidur atau entah kenapa. Matanya terpejam dengan lebam disekitar matanya, juga dibeberapa bagian wajahnya. Aku menoleh kebelakang, tempat Scott sedang diam memperhatikan reaksiku. "Apa yang terjadi?" tanyaku singkat, tak mampu mengucap lebih panjang lagi." Kecelakaan, aku tidak bisa menceritakan detailnya padamu," suara Scott dipenuhi perasaan bersalah. Jadi aku hanya mengangguk. Tak ingin membuatnya semakin sedih. "Olive," kucoba memanggilnya, dan dia membuka mata perlahan. Tersenyum, hal pertama yang dia lakukan ketika sadar aku didepan matanya. "Hai," sapa Olive dengan suara parau. Aku memeluk tubuhnya dan menangis disana. Hampir saja mengutuk keadaan yang sedang kami alami. "Hei, tenanglah. Aku baik-baik saja," Olive mengusap lembut kepa
Karena James masih di Arizona, aku mengajak Thomas kembali kerumah sakit. Dia harus sering-sering menjaga Bella. Apalagi disaat kondisi kejiwaan sangat mengkhawatirkan."Terima kasih," ucap Thomas saat kami sedabg duduk berhadapan disisi Bella. "Jangan sering bilang begitu, nanti tidak ada artinya lagi," jawabku tersenyum. "Tentu, akan ku ingat," "Apakah Bella sudah makan?" "Sudah, dan dia terpaksa diberi obat tidur agar bisa istirahat,"Aku hanya bisa mendesah mendengar hal itu. Kasihan sekali Bella, harus merasakan guncangan mental yang begitu hebat. Aku pernah dengar tentang Babyblues. Dan kurasa, Bella sedang mengalaminya. Bukan hanya bayinya, tapi kondisi Bella lebih mengkhawatirkan lagi. Thomas sempat berpikir untuk memberikan bayi Bella pada orang tua yang siap mengambilnya, tapi dia tidak tega jika suatu saat Bella menginginkan bayinya. "Ini memang pilihan sulit, disatu sisi kita menginginkan kehidupan yang layak untuk bayinya, tapi Bella juga membutuhkan waktu untuk se
"sayang," "Apa? Siapa ini?" tanya James terkejut diseberang telepon. "Kau sudah lupa aku hah?" kataku bersungut-sungut. "Bukan begitu, tapi Alice tidak memanggilku begitu," jawab James mengelak dengan sok bijak. "Baiklah, Apakah kau sedang sibuk?" "Jelas sekali sayangku, aku sangat santai saat ini""Kau dimana?" "Di Arizona," "APA?" aku memekik di telepon. Dan yakin James sedang menjauhkan ponsel dari telinganya."Ya, aku sedang santai di Arizona. Menikmati sengatan matahari dikulitku sambil melihat pemandangan proyek yang indah sekali," jawab James sarkas. "Lucu sekali," gerutuku kesal. "Ada apa sayang?" tanya James melembutkan nada bicaranya. Aku tersenyum. "Tunggu sebentar, pacarku sedang membutuhkanku. Ya, kau urus saja dulu itu," kata James tak sabar pada seseorang yang sedang bersamanya. "Apa kau pulang malam ini?" tanyaku genit,"Oh tentu aku pulang jika upah yang kudapat setimpal, sayangku," "Jangan banyak berharap sayaang, aku punya rencana yang sangat bagus untuk
Aku menyapa kakak Thomas dengan senyuman malu. Matanya menyiratkan keterkejutan, tapi Thomas menggeleng pelan."Oh ku pikir," katanya tertawa kecil. "Hai, aku Alice," kataku mengulurkan tangan. Dia menjabat tanganku lemah. "Bella. Kalian serasi sekali kau tau," Aku tertawa hambar, melirik Thomas yang juga cekikikan. "Dia hanya bisa dijadikan teman, kak," kata Thomas lembut. "Benarkah? Apakah kau sudah menikah ,Alice?" "Belum,""Kalau begitu masih ada kesempatan yang terbuka," "Kau akan mengerti kalau kuberitahu nama kekasihnya, kak," Bella menaikkan satu alisnya. "James Peterson," Satu nama yang membuat air muka Bella berubah. Tapi dia berhasil menguasai dirinya kembali. Menyunggingkan senyuman yang entah artinya apa. "Well, kalau begitu kau harus berhati-hati dik," "Hmmmm... Sedang aku coba lakukan. Tapi gadis ini sulit sekali kutolak," Bella tertawa keras, sambil memegangi dadanya yang terlihat sakit. "Kalian berbicara seolah aku tidak ada disini," kataku memasang waja
Pagi ini berlangsung menyenangkan. Karena si pria megalomaniak itu sudah pergi ke kantor lebih dulu. Aku akhirnya bisa mandi dan sarapan dengan tenang. Beberapa pesan tak penting dari James hanya kubaca sekilas tanpa membalasnya. Aku tak ingin mengganggu pagi yang menyenangkan ini. Hari ini, Scott tidak bisa ikut ke kampus. Dia sedang ada tugas rahasia sejak beberapa hari yang lalu bersama Olive. Aku bahkan tidak dapat menghubungi Olive. Kupikir mereka sedang menyelidiki kapal selam perang milik rusia. Aku memutuskan akan mengendarai mobil sendiri saja. James sudah lama memberiku salah satu mobilnya yang sama sekali belum aku sentuh. Mungkin ini saat yang tepat untuk memanfaatkannya. Setelah membuka garasi yang menghabiskan seperempat bangunan itu, aku mencari -cari kunci mobilku yang tergantung apik dalam kotak kaca. Tak disangka, saat menemukan mobilku, sudah ada kertas yang berisi pesan dari James. "Hati-hati sayang. Aku tau kau akan menggunakannya suatu saat," Begitulah p
Meski gayaku percaya diri, tak urung lutut ku lemas juga. James masuk lebih dulu, sementara aku duduk diruang tunggu. Agensi ini memiliki nama besar. Menaungi banyak artis ternama. Aku merasa bagai semut berjalan dibawah kaki gajah. Tapi jika dipikir, bagus juga jadi semut kan?"Nona Alice?" "Ya?" aku langsung berdiri dengan gugup. Menahan kaki yang semakin gemetar habat. "Silahkan naik kelantai 3," kata seorang resepsionis berambut pirang yang cantik. "Baik," Aku masuk lift, lalu berhenti di lantai 2. Ada seorang pria jangkung, putih dengan garis wajah petak yang tegas. Hidung bagai dipahat dari pualam. Aku berpura-pura memerhatikan ponsel, tidak ingin bicara dengan siapapun. Dia berdehem, dan ikut bersandar disebelahku, "ke lantai tiga?" tanyanya manis sekali. Tentu aku tidak ingin pingsan. "Ya," jawabku singkat. " Apa kau tidak mengenaliku, Alice?" Aku langsung m