James menggendongku ketika melewati jalan setapak yang dikelilingi sorgum. Aku bahkan belum melihat Gandum. "Jauh sekali, James," keluhku santai."Bagus sekali, aku yang menggendong, malah kau yang mengeluh," cecarnya tak suka. Aku hanya tergelak lalu melingkarkan tangan dilehernya."Alice, jangan terlalu erat. Aku bisa mati sebelum sampai," "Baguslah, dengan begitu aku bisa bebas," celetukku asal. "Bebas kau bilang?" "Hmmm,,, bebas dari belenggu cinta yang terus membayangiku. Hahahaha" "Lucu sekali Alice," kata James sambil menurunkanku.Kami sudah sampai di ladang Gandum yang siap panen. Dan benar saja, seseorang membuatku terkejut saat kepalanya menyembul diantara gandum yang bergoyang heboh. "Nak, cari siapa?" kata seorang wanita paruh baya. "Lucy, kami mencarinya," James yang menjawab dengan tidak nyaman. "Oh, sebentar aku panggilkan," Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya lalu menekan tombol lambat-lambat."Hallo? Lucy? Ya ada yang mencarimu. Titik koordinat ku tentu saja
"kau senang?" tanya James yang sedang mengeringkan rambutku menggunakan handuk. "Sangat senang, tapi...""Apa? Ada yang lupa untuk kau lakukan dikamar mandi tadi?" Nada bicaranya berharap. "Tidak ada," James terlihat kecewa tapi melanjutkan menyisir rambutku. "Bolehkah aku tau nama orang tuamu?" tanyaku sedikit ragu. Reaksi James biasa saja. "Maksudku, aku akan menjalankan misi berbahaya. Tentu saja aku harus tau siapa yang akan ku hadapi"."Aku tidak pernah menyembunyikannya darimu", jawabnya santai."Lalu?""Kau tidak pernah bertanya," Aku berpikir sejenak, dia benar juga. "Jadi katakan saja siapa namanya," ***Liburanku di Alaska hanya berlangsung selama seminggu, setelah itu kami kembali ke Boston. Rencana dimulai sejak aku masuk kuliah lagi. Scott, tetap masuk kuliah bersama Betty. Tapi kali ini Betty bersikap seolah neneknya tidak pernah menyanderaku. Dia terlihat lebih ceria dan menyapa siapa saja yang dilewatinya. Sungguh perubahan cukup besar dari seorang Betty. Aku j
Aku membuat satu garis panjang menggunakan kapur ajaib yang kubawa dari kampung. Meskipun aku tidak tau apakah serangga disini akan mempan dengan itu. Tapi yang aku harapkan bukan kecoa atau semut yang mati. Melainkan menjaga Agar Scott tidak bisa menguping acara kami. Itupun tidak membuatnya kesal. Scott malah tampak sangat bersyukur dengan menyalakan tv yang menayangkan siaran balap motogp yang membosankan. Hanya area itu dan dapur yang dapat dia masuki. Selebihnya adalah teritoriku. Betty memilih piyama satin merah cerry yang menjadi hadiah dari Frans saat aku baru pindah. Belum ku sentuh sama sekali karena warnanya begitu menyala. Aku pernah mencoba piyama itu dan merasa harus menguncir dua rambutku dan menggunakan lipstik merah tua. Sejak itu kusimpan didalam lemari paling bawah dan tak tersentuh. Entah bagaimana Betty dapat menemukan itu. Setelah membuat roti lapis daging asap dobel keju. Juga cokelat panas, beberapa drama korea, dan banyak camilan. Akhirnya pesta piyama di
Acara pesta piyama berpindah keruang tengah. Aku dan Betty membuat sandwich tambahan. Sementara Scott berbelanja beberapa camilan lagi ke supermarket dekat rumah. James datang sekitar satu jam kemudian. Membawa bungkusan besar yang harumnya membuatku lupa sandwich yang kami buat barusan. Dia memeluk lalu menciumku lama sekali, hanya bagian pucuk kepala. "Boleh aku pinjam tanganmu sebentar?" tanyanya dengan wajah menggoda,Aku mendongak menatapnya, "untuk apa?""Mengganti pakaian?" cengirannya hampir membuatku lupa rencana. "Kau memang nakal, tapi ayo akan kubantu," kataku menyetujui. Betty pura-pura buta dan tuli. Menggigiti sandwichnya dengan khidmat sambil menonton. Untung saja Scott sudah pulang saat aku mendorong James masuk ke kamar. "Nah, mana piyamanya?" tanyaku tak sabar."Apa kau tidak tertarik membuka pakaianku saja lebih dulu? Aku tidak suka buru-buru," "Ayolah James, kau tau kesepakatan kita dan jangan menyiksa diri sendiri," James mengerucutkan bibirnya, "hanya k
Aku terjatuh dengan suara gedebuk keras. Saat membuka mata, rupanya aku terjatuh diatas matras yang sudah bulukan. Membuat hidungku gatal. Cepat-cepat beranjak dari sana, disusul suara dua gedebuk lainnya. Jelas Scott terjun sambil memeluk Betty. "Nah, ayo ikuti aku. Jangan sampai tersandung," ujar Scott setelah menyalakan senter kepala dan memimpin didepan. Betty menggandengku dan kami berjalan cepat karena banyak hewan berbisa yang lewat. "Kasihan sekali Luna harus dikurung ditempat ini," gumam Betty pada diri sendiri. Scott mendengus, "kalian lihat saja nanti," Rasanya lama dan jauh sekali. Mungkin karena kami berjalan di lorong tikus yang sempit, pengap dan gelap. Aku berpikir kejam sekali James sampai harus mengurung Luna ditempat seperti ini. Hingga kami menemukan cahaya diujung jalan yang bercabang. Suaranya bising sekali, diiringi musik dan gumaman rendah orang-orang. Aku berlari kecil menuju pintu besi, ada sedikit lubang untuk mengintip kesisi lain. Aku menganga tak
Scott mengemudi dengan kecepatan tinggi. Membuatku paham alasan dia memilih mobil sport. Tapi itu juga membuatku semakin merasa gugup. Hari hampir pagi saat kami sudah masuk jalanan Boston, Massachusetts. "Semoga saja dia belum bangun," gumamku berdoa. " Aku yakin belum," kata Scott meyakinkan. "Jangan terlalu yakin," "Lihat saja," Scott menyalakan layar tv kecil di dashboard Disana terlihat James sedang tertidur telentang dengan mulut terbuka. Aku yakin dia sedang mengorok. "Bagus kalau begitu, tapi apa wanita di lorong itu tidak akan memberitahu James?" " James tidak mau berbicara langsung dengan orang-orang yang ada disana, apalagi wanita," "Kenapa?" "Aku rasa kau lebih tau alasannya," "Aku tidak tau," jawabku menahan senang dihati. "Terserah"Betty tertidur, dia kelihatan lelah sekali. Jadi aku tidak membangunkannya saat kami sampai dirumah. Scott yang
Mencari keberadaan selotip saja butuh waktu lebih dari satu jam. Membuatku kesal setengah mati. Tapi aku berusaha sabar supaya dapat menyambung potongan kertas itu dengan benar. Setelah mengabaikan ponsel yang bergetar tiada henti, aku mulai menyusun potongan kertas dengan beberapa bercak darah itu. Semakin gemetar saat beberapa informasi mulai terungkap. Entah siapa yang membuang potongan kertas ini disini, tapi aku merasa ini bukan sebuah kebetulan. Dan informasi yang kudapat membuat air mataku menetes perlahan. Setidaknya, meskipun belum lengkap sepenuhnya aku sudah mengetahui apa isi sobekan kertas itu. "Astaga, ini mengerikan sekali," gumamku dengan tubuh bergetar. Tiba-tiba saja pintu dibanting terbuka. Membuatku terlonjak tapi tak lupa langsung menyelipkan kertas itu dibawah karpet. "Hei, kenapa kau menangis?" James langsung datang memelukku. Aku hanya menggeleng lemah. Tanpa aba-aba, James menggendongku la
Meski gayaku percaya diri, tak urung lutut ku lemas juga. James masuk lebih dulu, sementara aku duduk diruang tunggu. Agensi ini memiliki nama besar. Menaungi banyak artis ternama. Aku merasa bagai semut berjalan dibawah kaki gajah. Tapi jika dipikir, bagus juga jadi semut kan?"Nona Alice?" "Ya?" aku langsung berdiri dengan gugup. Menahan kaki yang semakin gemetar habat. "Silahkan naik kelantai 3," kata seorang resepsionis berambut pirang yang cantik. "Baik," Aku masuk lift, lalu berhenti di lantai 2. Ada seorang pria jangkung, putih dengan garis wajah petak yang tegas. Hidung bagai dipahat dari pualam. Aku berpura-pura memerhatikan ponsel, tidak ingin bicara dengan siapapun. Dia berdehem, dan ikut bersandar disebelahku, "ke lantai tiga?" tanyanya manis sekali. Tentu aku tidak ingin pingsan. "Ya," jawabku singkat. " Apa kau tidak mengenaliku, Alice?" Aku langsung m
Semua hal di dalam dunia menjadi indah jika kita mensyukuri apa yang sudah dimiliki. Namun Aldrick hanya memiliki sebagian sebagian besar yang diinginkan kebanyakan orang. Uang bukan sesuatu yang benar-benar menggiurkan jika kau memiliki seisi Bank. Tapi Aldrick bersyukur dia memiliki Nut. Meskipun sebelum ini Aldrick tidak pernah bertanya siapa ibunya, tapi dia juga tidak menampik akan rasa penasaran terhadap sosok ibunya. Meski begitu, selera Aldrick tentang perempuan juga tidak main-main. Mungkin karena itu dipengaruhi oleh pengasuh nya sejak bayi, yaitu Bibi Sally. "Kau tau! tidak ada seorang ibu yang ingin melihat anaknya menderita. Semua ibu itu memiliki cinta yang paling besar untuk anak-anak mereka. Anak adalah hidupnya, dan dia rela menukar hidupnya untuk kebahagiaan anaknya," Dulu, Aldrick tidak mengerti ucapan yang selalu di ulang-ulang oleh Bibi Sally. Namun belakangan, Aldrick sudah mengetahui maknanya. Hingga ia memutuskan untuk
Nut terheran-heran. Sejak tadi Aldrick terus memandang ke jendela dan tersenyum seperti orang gila. Bahkan dia tidak memberi tahu Nut, siapa yang dia kunjungi di Brick Lane tadi. Namun Nut tidak ingin mengganggu apapun yang membuat tuannya tampak bahagia. Dia bersimpati pada gadis yang membuat Aldrick tampak berbeda. Binar matanya yang kelam menunjukkan cahaya meski sedikit. Mobil berhenti didepan rumah yang berdempetan rapi. Setiap rumah di cat dengan warna-warna cerah , menambah keindahan kawasan di Notting Hill itu.Aldrick membeli rumah di Chepstow Villas ini sejak tahun lalu, saat perjumpaannya dengan Alice. Dia memiliki harapan yang cerah begitu mengunjungi kawasan yang selalu ramai wisatawan itu. Rumah dengan warna cat biru pastel. Disebelah rumah berwarna pink. Dia mengira rumah itu kosong dan akan manis sekali jika yang menempatinya itu seorang gadis. Selain lingkungannya yang bagus, Chepstow dekat dengan Westbourne Grove, y
" Menurutmu, apa yang membuat Thomas datang kemari?" tanya Aldrick pada Nut"Aku fikir, kita harus membiarkannya masuk untuk dapat tahu tujuannya tuan," Nut menyarankan."Benar juga, tapi bukankah sangat beresiko untuk kita?" Aldrick merasa cemas, jari-jarinya tak berhenti mengetuk-ngetuk sofa Nut mengangguk setuju, "tapi anda sudah punya bukti-bukti siapa korban sesungguhnya tuan. Anda bisa saja mati jika aku tidak ada disana saat itu," Aldrick mau tak mau harus mengambil resiko jika ingin namanya kembali bersih. Meskipun dia sendiri tidak keberatan sama sekali jika namanya tercoreng. Itu hanya masalah seorang gadis, bajingan manapun pernah mengalami hal yang lebih parah. Mengingat kembali bagaimana pertemuannya dengan Bella saat kunjungannya ke amerika, Aldrick menemukan Bella belia yang manis dan lugu. Saat itu, Bella masih menjadi salah seorang mahasiswi di Washington University, Seattle. Dia memang memiliki perawakan yang nyaris sempurna. Bella memiliki potensi yang bagus se
"eehhh tuan?" Nut melirik Aldrick yang terlihat gugup. Tangannya menggenggam tangan Nut sangat erat. "Ada apa Nut?" tanya Aldrick kesal, "Apakah tuan gugup?" Nut masih memandangi tangan bosnya itu. Aldrick menyadari posisi itu dan langsung melepasnya. Seraya merapikan jasnya yang sudah licin, Aldrick berjalan menuruni tangga dengan sikap pongah seperti biasa. Nut mendengar Clint sedang bergosip mengenai sikap bos mereka akhir-akhir ini. Dia hanya dapat melempar pandangan mematikan pada mereka. "Bagus sekali Clint, kau bisa mengurusi pacarmu selama bos sedang sibuk hari ini," Nut berkata dengan sinis. Membuat senyum konyol Clint menghilang dari wajahnya yang bulat. Nut merasa puas dapat membungkam mulut Clint yang mirip perempuan. Bagaimana pun, Nut sangat menghormati Aldrick dan akan membelanya mati -matian. "Selamat datang Tuan Beufort!" Seru salah seorang pria berjas abu-abu dengan dasi hitam putih, perutnya tampak memberontak dalam Jas yang kesempitan itu. Al
"tuan, pesawat sudah siap" ujar seorang pria bertubuh tinggi berkulit hitam. Dia memasang wajah datar seperti biasa. "Oke, Nut?" Aldrick melirik ajudannya yang berambut ungu. "Segera tuan," jawab Nut langsung bergerak mundur. Mereka masuk kedalam pesawat jet pribadi milik Aldrick yang berinterior mewah dengan segala fasilitasnya. Dua wanita muda jangkung, mengenakan dress seksi langsung berdiri begitu melihat kedatangan Aldrick. Mereka menyambutnya dengan senyuman merekah, dihiasi bibir ungu tua , yang satunya merah cerah. Selera fashion mereka juga tampak aneh. Aldrick hanya melenggang duduk di sofa empuk, mengabaikan dua wanita aneh yang sedari tadi minta perhatiannya. "Aku heran, apa tidak ada wanita lain dengan selera yang lebih berkelas?" gerutunya dalam hati. Tapi Aldrick tidak suka mengoceh. Dia yakin, para pegawainya sudah berusaha melakukan yang terbaik. Lagi pula, dua wanita itu tidaklah jelek. Dengan perawakan montok depan belakang, kulit putih mulus, rambut tergerai
"kita akan mulai dari Aldrick," kataku muram, membuat James mendesah tak senang. Wajah James berpaling dariku saat aku mencoba meminta penjelasan desahannya itu. Dia mencoba menarik nafas berat beberapa kali hingga akhirnya memusatkan perhatian ke tengah percakapan. " Kau tau aku bukan sedang minta pendapat," kataku menambahkan dengan nada mendesak. "Aku tau," jawab James tak kalah suram. " Oke, lalu apa rencanamu?" Scott tampak ingin menengahi ketegangan antara aku dan James. Tanpa pikir panjang, aku menjelaskan semua rencana yang sudah ada di kepalaku sejak beberapa minggu terakhir. Entah bagaimana tiba-tiba saja pikiranku semakin jernih, dan rencana-rencana yang semula tampak berkabut kini terlihat titik terangnya. James hanya mendengarkan dengan diam. Biasanya dia akan mengomentari dengan decakan atau gumaman tak senang, tapi kali ini dia hanya membisu. "James?" Thomas menepuk bahu James yang kelihatan sedang melamun. "Ya?""Bagaimana?" "Rencananya cukup bagus, dan untun
"eh hai Thomas!" aku menyapa dengan wajah yang dibuat seceria mungkin karena bertemu dengannya lagi. "Alice, you good?" tanya Thomas dengan suara lembutnya. "Yah, aku baik saja. Sebenarnya, aku yang ngotot mau langsung pulang, bukan James," Wajah Thomas datar, sementara James menunggu reaksinya. Aku sampai keringat dingin, memikirkan rencanaku yang hancur berantakan jika sampai mereka berdua tidak bisa berbaikan. "Yeah, aku tau kau akan membelanya," jawab Thomas pahit. Aku jadi salah tingkah dan menundukkan pandangan. Tiba-tiba saja kursi rodaku bergetar. Suara cekikikan juga tercekat dari orang yang menahan geli. Benar saja, Thomas dan James sedang menertawai aku. Tentu saja gantian aku yang cemberut. Meski dalam hati senang bukan main melihat mereka berbaikan. Akhirnya, kami berada dalam satu mobil yang sama. Thomas sebagai sopir, dan James duduk disebelahnya. Aku menikmati pemandangan malam yang mulai dingin. Sebenarnya, ingin sekali aku bertanya tentang kejadian mengerika
AliceAliceAliceAku mendengar namaku dipanggil. Dalam kegelapan dan kehampaan aku mencoba menarik diriku dari dalam jurang itu. Rasanya sulit sekali, bernafas pun terasa berat. Seandainya saja, "Sayang, bangunlah. Aku disini," suara James yang lembut dan penuh kekhawatiran memanggil.Entah bagaimana, setiap sel di dalam tubuhku merespon suaranya. Seketika ada energi baru yang membantuku bangkit. "Hei" sentuhan lembut tangannya yang dingin memaksaku membuka mata. Aku mengerjap perlahan. Rasanya mataku lengket dan berat. Apakah itu sembab? Hingga kelopak mata pun terasa berat.Melihat senyuman indah itu, aku langsung menangis. Mencoba bangkit dari tidur yang melelahkan. Aku memeluk James teramat erat hingga aku mendengarnya mengerang. "Apa yang sakit?" tanyaku spontan saat teringat dia baru saja ditembak. James kembali memelukku, erat dan hangat. Tempat ternyaman setelah bahu ayah. Kembali aku menangis tersedu-sedu, melihat sekelilingku yang ramai. Tapi aku terlalu kalut untuk
"jangan, tolong jangan Jamesku" raunganku semakin lemah, lebih berupa bisikan putus asa. Sementara James sedang melakukan pertukaran dengan Roran, tim medis datang untuk menjemput wanita hamil itu. Tapi Roran tidak punya belas kasih, bukannya memberikan wanita hamil itu, dia malah menembak James. Dia berteriak kesakitan, membuatku mati rasa. Pandanganku jadi kabur . Setengah mati aku menahan diri agar tetap terjaga, tapi pikiranku tak mampu menahan rasa sakit yang bergejolak. James yang tertembak, tapi aku yang lumpuh. Ingin rasanya aku berlari, tapi aku hanya dapat merangkak. Mencoba menggapai cintaku yang sedang kesakitan.***Hening dan gelap. Rasanya dingin sekali. Aku berdiri di persimpangan jalan yang suram dan dipenuhi daun berguguran. Terkejut saat sekelebatan orang-orang mulai berlarian. Aku dimana? Entahlah, pikirku lelah. James! Dimana James?Aku dengan panik berlarian kesana kemari mencari jejaknya. Berteriak sekuat tenaga memanggil namanya, tapi aku menjadi bisu.