Plak.. Oh...Plak ... AhhhPlease sir, ... Emmpphh... James semakin bergairah melihat Clarisa terlonjak-lonjak dalam keadaan tergantung di langit-langit ranjangnya. Pergelangan tangannya memerah dengan seringnya dia menggeliat.James memasukkan bola kembar kedalam Clarisa, lalu menampar Pantat Clarisa secara bergantian hingga memerah. Karena tamparan itu, bola kembar didalam dirinya membuat Clarisa mengerang. Nafasnya terengah-engah dan kepalanya mendongak.James menarik bola kembar itu yang keluar dengan suara plop dan bersamaan dnegan cairan putih lengket. James menyeringai puas. Clarisa tampak lemas dan tergantung tidak berdaya. Dengan cepat James melepaskan ikatan Clarisa dan menjatuhkannya di kasur yang empuk. "Giliranmu memuaskan aku," titah James tidak sabar.Clarisa langsung duduk, membuka kancing celana James. Senjatanya tengah berdiri tegak tidak sabar. Membuat Clarisa menjadi kalap melihatnya.Dia duduk seperti kodok. Mengangkat pantatnya tinggi-tinggi dengan cara yang
"Alice!" panggil seorang pria gagah berani yang menggodaku setiap hari sejak kami bertemu.Aku dengan malas menghentikan langkah, melihat arlojiku dengan tidak sabar menunggunya yang masih berlari menghampiri."Kau terlihat gelisah?" tanya Ethan menatapku."Aku sudah terlambat masuk kelas," gerutuku sambil melangkah cepat. Ethan terus saja mengikutiku sampai kelas, "kau ada acara sore ini?""Ada,""Benarkah? Padahal aku ingin mengajakmu keluar," ujar Ethan dengan kecewa.Aku berbalik menghadap nya dengan serius, "aku bukan anak orang kaya yang bisa pergi jalan-jalan sementara uang jajanku terus bertambah, Ethan," "Oke, aku tau kau sangat sibuk," "Bagus, sekarang enyahlah dari hadapanku," usirku kesal. Ethan mengerling nakal lalu berlari ke kelasnya. Dia benar-benar tidak bisa diusir. Untung saja hari ini kami hanya ada kelas teori. Jadi aku punya banyak waktu untuk persiapan sore nanti.Jujur saja, aku cukup kewalahan disini. Frans sudah pulang sementara aku masih beradaptasi mesk
"Alice! Kau setelah Megan," Aku mengangguk saat koordinator mengatur barisan kami. Aku sudah tidak terlalu gugup karena ini bukan penampilan pertamaku. Runaway dimulai dan kami mulai berjalan keluar backstage. Pandanganku lurus kedepan dengan wajah datar. Mataku menangkap seseorang melambai padaku tapi aku tidak dapat memastikannya. Kami langsung mengganti pakaian secepat kilat, hal yang menjadi alasan seorang model tidak memakai dalaman saat tampil. Kali ini, aku mencoba mencuri pandang dari arah orang yang melambai padaku sebelumnya. Entah kenapa aku sangat penasaran. Aku melihatnya. Dan darah pun surut dari wajahku. Padahal hanya sedetik yang tidak pasti. Apakah aku salah lihat? Atau itu hanya halusinasi? Tapi aku tetap bersikap profesional dan langsung mengganti pakaian ketiga.Kali ini aku berusaha lebih memastikan apa yang aku lihat. Ternyata dia tidak ada disana lagi. Kursinya kosong dan aku merasa lega. Kelegaan itu tak sengaja membuat senyuman sinis lolos dari wajahku.
Aku bersembunyi di dalam walk in closet. Berharap tidak seorang pun siapapun dia dapat menemukan aku disini. Semoga saja dia langsung pergi begitu tidak menemukan aku.Alice!Alice?Alice?Aku mendengar derap langkah sepatunya. Suaranya mengingatkan aku pada seseorang tapi aku tidak dapat mengingatnya. Yang jelas dia bukanlah Frans ataupun Ethan.Aku menggerutu menyesal tidak menerima tawaran Ethan sebelumnya. Jika saja dia mengantar aku pulang. Aku yakin mereka tidak akan berani menguntitku. Setiap pintu dirumahku terbuka lalu ditutup kembali. Diiringi gumaman rendah pria yang sedang mencariku. Aku sangat yakin, tidak akan ada yang menduga bahwa lemari dibawah tangga merupakan walk in closet bukan sebuah gudang. Aku melihat jam ku, waktu berjalan lamban. Tapi bisa ku rasakan suasana rumah semakin senyap. Aksu mendengarnya berbicara melalui telepon dan suara pintu depan tertutup dan terkunci. Aku menghembuskan nafas lega. Karena merasa keadaan cukup aman untuk keluar. Tapi aku putu
Alice!James terus menggedor pintu kamarku. Hari semakin siang dan aku kelaparan. Terlalu gengsi membuka pintu dan takut dia akan menangkapku. Untung saja ponselku ada meja nakas. Dengan tangan gemetaran yang tentu saja karena kelaparan, bukan karena James masih ada dirumahku. Aku menghubungi Frans. "Halo?" seorang wanita yang berbicara, membuatku langsung reflek menutup telepon.Aku berniat menghubungi Ethan tapi takut malah menjadi salah paham. Tapi perutku sudah protes minta diisi. Aku belum makan sama sekali sejak acara semalam. Dan aku sudah diet selama 24 jam sebelumnya.Saat melihat jam di ponsel, aku baru menyadari ada janji temu dengan teman-temanku di kampus. Kami sedang ada tugas bersama di lapangan. Tapi tidak satupun dari mereka yang menghubungi aku.Setelah berpikir lama dan matang. Aku memutuskan akan keluar kamar dan mengabaikan James. Entah apakah ini akan mudah untuk dilakukan. Jujur saja, hatiku bergetar sekaligus perih disaat bersamaan.Perlahan aku membuka pintu
"Kau cemburu?" tanya James sumringah. Aku tidak menjawab, lebih memilih menyelesaikan berkemas. James duduk dengan tenang diranjang dan mengawasi aku dengan wajah konyol.Astaga James! Kau sudah membuat lubang besar dihatiku dan sekarang aku masih bisa terpesona. Ada apa dengan hatiku yang bodoh ini? "Aku bisa mengantarmu sayang," James menawarkan diri. Aku masih punya mobil pemberian mama Rita, untung saja bukan pemberian James. Bagaimana bisa aku kesana kemari tanpa kendaraan pribadi? Tanpa melihat James lagi. Lebih karena malu ketimbang marah. Aku berjalan cepat masih mengenakan piyama ke garasi. James mencoba mencegahku tapi aku keras kepala. Setelah berhasil memasukkan koper dan tas, aku masuk ke kursi kemudi. James menatapku tak percaya dan terlihat pasrah. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi aku sudah tancap gas. "Alice!" Aku tidak peduli. Mengemudi dengan perasaan campur aduk.setengah hatiku menyesal karena merindukan James. Tapi harga diri lebih tinggi dari pada
Luna tampak bahagia menjalani rutinitas barunya sebagai pekerja paruh waktu. Perusahaan itu membuat kebijakan yang meringankan pegawai nya yang masih sekolah. Mereka bisa mengatur waktu kerja dengan jam kuliah mereka. Aku bersyukur Luna mendapatkan pekerjaan di perusahaan seperti itu. Biasanya kau bisa mendapatkan paruh waktu hanya sebagai pelayan restoran atau penjaga toko kelontong. Luna sangat beruntung. Aku akui dia memang cukup cerdas. Setiap hari Luna akan menceritakan perusahaan itu seolah ingin membuatku tertarik bergabung. Tapi tujuanku sekolah bukan itu. "kau tau aku ingin membangun karirku sendiri Luna, jadi sepertinya akan butuh waktu lama untuk memikirkan peluang itu," kataku disuatu sore saat kami baru pulang dari kampus.ya, aku tidak menampik ketertarikan terhadap pengalaman kerja yang akan aku dapatkan. Tapi aku belum tertarik. Sesungguhnya aku menikmati menjadi seorang model. Seandainya James tidak terlibat di sana, aku tidak akan mengundurkan diri. Belum lagi m
"Alice," Aku mematung saat James memanggil namaku dengan lantang. Darah berdesir hingga membuat wajahku panas dan memerah. Dengan perlahan aku menoleh lebih karena kesopanan."Ya?""Sudah lama kita tidak berjumpa, bisa makan siang bersama nanti?" tanya James sedikit menekan setiap kata-katanya.Aku menghela nafas, "tapi aku datang bersama teman-temanku, tidak mungkin meninggalkan mereka," "Aku tidak bilang kita hanya berdua, Alice," senyuman James mengembang begitu lebarnya.Aku menutup setengah wajahku karena malu. Benar juga ya? Bukankah dia bilang makan bersama bukan makan berdua?.Astaga.. Astaga!!!Aku jadi salah tingkah, semua mata tertuju padaku. Untungnya teman-temanku bukan tipe penggosip. Untuk menjaga harga diri, aku mencoba tersenyum kecut."Itu yang aku maksud tuan Peterson, aku hanya menguji keroyalanmu," kilahku percaya diri.James mengerling padaku, "tentu saja nona muda, kau mendapatkan apa yang kau inginkan," Mr. Rubber menatapku dengan mata melotot. Dia memang ti
"James? Kau kenapa?" Alice yang sedang meneguk air dari botol minum tampak panik, dan menghampiri kekasihnya. "Tidak apa, " James hanya menyambut dan memeluk Alice. "Wajahmu pucat, apa kau melihat hantu?" James mendengus, sejak kapan hantu dapat menakutinya. Yang dia takutkan ada didepan matanya. "Kenapa kau pulang tidak mengabari aku?" Sekarang mata James menelisik curiga. "Oh anu," Alice melepaskan pelukannya dan berjalan mundur. "Jangan main-main denganku. Apa kau tak tau aku sudah setengah gila?" James merasa seluruh tubuhnya memanas. Alice malah menjauhinya. Tiba-tiba saja Alice berlari ke tangga dan menuju loteng. Entah apa yang ada dipikiran Alice, tapi James semakin dikuasai emosi. Bagaimana tidak? Dia pulang tanpa mengabari, itupun Scott yang memberitahunya. Saat di bandara, dia juga bersama Aldrick yang James benci. Sekarang malah berlari menjauh tanpa memberi penjelasan apapun. James berjalan dengan perasaan berang. Memijakkan kakinya dengan langkah lebar-lebar. Ha
Pria paruh baya itu tidak mengatakan apapun, tapi dari tatapan matanya James langsung mengerti siapa dia. Mereka akhirnya berbagi tongkat berjalan masuk ke dalam bandara. "Bagaimana, apa kau sudah melihat kedatangannya?" Bisik James tak sabar. "Aku melihatnya , apa kau sudah mulai rabun?" "Cih, dasar tidak sopan!" ,James menggerutu tapi matanya jelalatan mencari. "Jangan lihat ke arah kirimu, nanti mereka curiga" James mengangguk, menahan kepalanya agar tidak melakukan hal sebaliknya. Sulit sekali melakukan itu karena dia benar-benar merindukan Alice. "Lihat itu, pria dengan setelan hawai yang norak?""Kenapa? Siapa mereka?"" Kau tidak mengenali mereka?" James tidak memperhatikan mereka, dia sibuk mencari-cari kesempatan menoleh ke arah Alice. Tapi mereka sudah pergi. "Ayo kita pergi saja, nanti kita tertinggal jauh" pinta James tak sabar. "Astaga! Dia pasti akan pulang kerumah, tenang saja""Darimana kau tau?" James mendelik marah. Dia takut Aldrick berlaku licik. Membawa k
Baron dikurung dalam rumah sakit jiwa selama beberapa bulan, membuatnya jera dan berhenti dengan kebiasaan buruknya itu. Jadi, saat James menemuinya di bawah tanah saat ini pun, Baron sudah menjadi orang yang berbeda. Bukan Baron yang suka menculik anak-anak remaja untuk di lecehkan. "Bagaimana kabarmu, bung?" tanya James seraya duduk tepat berhadapan dengan Baron. Dengan wibawa yang berbeda, Baron menyambut hangat uluran tangan James yang menyapanya. "Aku baik, terima kasih sudah membantuku," "Justru aku yang harus berterima kasih, Baron. Kau sudah memberiku banyak informasi penting," Baron tersenyum tulus, lalu membuka laci meja kerjanya. Dia mengambil sebuah map cokelat lalu memberikannya pada James. "Informasi lain untukmu, kau akan terkejut mengetahui orang-orang yang terlibat didalamnya," Baron tampak khawatir."Apa mereka mencurigaimu?" "Tidak, aku anggota lama. Hanya saja tidak pernah aku benar-benar mengurusi data-data seperti itu. Setiap anggota jaringan berhak tau s
"ayo!" Baron ditarik paksa oleh James. Mereka sudah sampai di sebuah gedung yang mirip rumah sakit. Baron mencari-cari nama rumah sakit itu tapi mereka sudah berada di halamannya. "Mau kemana kita?" tanya Baron ketakutan. Yang ada dipikirannya adalah..."Suntik mati!" Jawab James tanpa menoleh. Garis wajahnya begitu tegas dan kejam, membuat Baron semakin trauma. "Kumohon, jangan suntik mati" rengek Baron memelas, "aku akan lakukan apapun tapi jangan suntik mati aku" "Kau rupanya takut mati juga? Apa kau takut tidak dapat kesempatan mencoba obat barumu?" "Apa?""Obat baru yang kau beli dari seorang dokter kandungan" "Darimana kau tau itu?"James menghentikan langkah dan menatap tajam Baron, "tentu saja aku tau semua perbuatan mu, bahkan semua daftar psk juga gigolo yang kau sewa!" Baron bungkam, dia tidak dapat mengelak apapun lagi. Sudah pasti James bisa mendapatkan informasi apapun dari manapun. Selama ini, Baron merasa bahwa dia adalah seorang mafia yang disegani di bawah ko
Hari -hari James menjadi lebih sulit setelah dia pulang ke Boston. Terus mengecek email dan meminta semua orang untuk melapor setiap satu jam sekali. Gedeon yang paling aktif. James sempat tersedak saat sedang meneguk tehnya. Cara Gedeon cukup cerdik. Dia menggunakan media sosial untuk mengunggah setiap aktifitasnya di Farm Girl sebagai pegawai baru. Alice menyadarinya tentu saja, tapi dia terus tersenyum saat diajak ber selfie oleh Gedeon. Terkadang Alice menunjukkan sarapannya, atau melambai saat dia sedang berjalan melewati Farm Girl di petang harinya. Itu mengobati rindu James meski hanya sedikit. Sebagian besar pekerjaannya sudah di alihkan pada semua tangan kanan dan sekretasinya, namun kehadirannya di kantor sangat dibutuhkan. Pengaruh James yang cukup besar tidak hanya untuk perusahaannya saja, namun beberapa saham yang dimilikinya di beberapa negara bagian lainnya. Seperti satu hari itu, James berangkat menggunakan
"Dia pergi kekawasan Notting Hill kak," Scott melaporkan situasi terkini Aldrick Beufort pada James yang sedang berjaga-jaga di dekat sebuah gedung. James terus merasa gelisah sejak kepergian Alice bersama Thomas. Dia melihat bagaimana pandainya Thomas mengatur emosi, mimik wajah juga ucapannya. Orang seperti itu sangat berbahaya jika kita tidak bertindak hati-hati. Jadi, alih-alih membiarkan Alice melakukan petualangan nya sendiri, James malah mengatur rencana untuk kekasihnya. "Cari tau apa yang dia lakukan disana, dik," titah James tegas, dia tidak mau membuang kesempatan apapun untuk Alice. "Baik," Scott mematikan sambungan .James lalu pindah ke sebuah kafe diseberang gedung itu. Mengawasi setiap gerak-gerik mencurigakan. Mendapati Alice keluar bersama Thomas dan beberapa gadis yang tampak akrab dengannya. "Apa dia mendapat teman baru?" pikir James menaikkan satu alisnya. Dia sangat tau bagaimana Alice. Dia me
"ehemmmm" Aldrick langsung mengalihkan pandangan pada gadis mungil dibelakangnya. Matanya sinis juga mencela. Tapi bibirnya terkatup rapat. Alice bersikap santai, dia tersenyum lebar lalu duduk disebuah kursi dekat jendela. Angin menyibakkan rambutnya yang tergerai panjang. Ingin sekali Aldrick merapikan rambut itu. "Eh kok sudah bisa senyum? Sudah sembuh?" Celetuk Aldrick membuat Alice nyengir."Belum, tapi karena musiknya sudah mati, jadi gigiku tidak terlalu berdenyut seperti tadi," "Oh maafkan keegoisanku madam," Aldrick meminta maaf sambil membungkuk dengan sikap hormat. "Hahahah! Aku merasa jadi lebih tua," "Oh maaf, nona. Aku lupa kau belum menikah atau apakah sudah?" sindiran penuh rasa penasaran. "Tentu saja belum," Alice tersenyum manis sekali, sampai rasanya Aldrick akan membutuhkan suntik insulin. "Baiklah, aku akan mengambilkan minum untukmu" diberikannya obat pereda nyeri itu,
Semua hal di dalam dunia menjadi indah jika kita mensyukuri apa yang sudah dimiliki. Namun Aldrick hanya memiliki sebagian sebagian besar yang diinginkan kebanyakan orang. Uang bukan sesuatu yang benar-benar menggiurkan jika kau memiliki seisi Bank. Tapi Aldrick bersyukur dia memiliki Nut. Meskipun sebelum ini Aldrick tidak pernah bertanya siapa ibunya, tapi dia juga tidak menampik akan rasa penasaran terhadap sosok ibunya. Meski begitu, selera Aldrick tentang perempuan juga tidak main-main. Mungkin karena itu dipengaruhi oleh pengasuh nya sejak bayi, yaitu Bibi Sally. "Kau tau! tidak ada seorang ibu yang ingin melihat anaknya menderita. Semua ibu itu memiliki cinta yang paling besar untuk anak-anak mereka. Anak adalah hidupnya, dan dia rela menukar hidupnya untuk kebahagiaan anaknya," Dulu, Aldrick tidak mengerti ucapan yang selalu di ulang-ulang oleh Bibi Sally. Namun belakangan, Aldrick sudah mengetahui maknanya. Hingga ia memutuskan untuk
Nut terheran-heran. Sejak tadi Aldrick terus memandang ke jendela dan tersenyum seperti orang gila. Bahkan dia tidak memberi tahu Nut, siapa yang dia kunjungi di Brick Lane tadi. Namun Nut tidak ingin mengganggu apapun yang membuat tuannya tampak bahagia. Dia bersimpati pada gadis yang membuat Aldrick tampak berbeda. Binar matanya yang kelam menunjukkan cahaya meski sedikit. Mobil berhenti didepan rumah yang berdempetan rapi. Setiap rumah di cat dengan warna-warna cerah , menambah keindahan kawasan di Notting Hill itu.Aldrick membeli rumah di Chepstow Villas ini sejak tahun lalu, saat perjumpaannya dengan Alice. Dia memiliki harapan yang cerah begitu mengunjungi kawasan yang selalu ramai wisatawan itu. Rumah dengan warna cat biru pastel. Disebelah rumah berwarna pink. Dia mengira rumah itu kosong dan akan manis sekali jika yang menempatinya itu seorang gadis. Selain lingkungannya yang bagus, Chepstow dekat dengan Westbourne Grove, y