Tania mondar-mandir di dalam kamar, ia kesal karena rencananya gagal. Jika ia tahu Bram tidak akan terhasut! Tania tidak akan mengembalikan perhiasan itu kepada Bram.Perhiasan seharga satu milliar lepas begitu saja, padahal ia sudah bersusah payah membujuk Amel untuk mendapatkannya.Sedangkan di tempat lain, Bryan sedang duduk sambil menikmati minuman dingin bersama Rico, di kafe favorit mereka."Ri, teman kamu sudah sampai di mana?" tanya Bryan yang sudah bosan menunggu sejak tadi."Lagi di jalan Yan, tunggu sebentar lagi ya?" bujuk Rico."Dari tadi di jalan terus, apa dia jalan kaki?" Bryan benar-benar kesal.Sudah satu jam mereka menunggu di sana, bahkan kedua pria tampan itu sudah menghabiskan 2 gelas minuman dingin. Namun wanita yang mereka tunggu belum juga muncul."Sebentar lagi pasti sampai kok, tenang saja waktumu tidak akan terbuang sia-sia."Rico baru saja selesai bicara, tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari wanita yang mereka tunggu sejak tadi.[Kakak di
"Mama juga berpikir seperti itu," timpal Tania dengan wajah serius, "Atau sebaiknya kita bawa Amel ke Dokter psikiater?" lanjutnya bertanya."Nanti kita bicarakan ini dengan Papah." Tentu Bryan tidak berani membawa Amel tanpa izin dari Ayahnya.Tania dan Bryan kembali masuk ke dalam kamar, Tania duduk di ranjang untuk menemani Amel. Sedangkan Bryan melangkah menuju balkon, setibanya di sana matanya langsung tertuju ke sebuah benda yang terletak di lantai. Bryan menunduk untuk meraihnya dari sana, "Anting siapa ini? Apa ini milik Amel." Bryan bicara kepada dirinya sendiri.Ia memasukkan anting itu ke dalam saku celananya, lalu masuk ke dalam kamar. Bryan yang penasaran dengan pemilik benda kecil itu, lantas melangkah menuju tempat tidur.Bibirnya berbicara dengan Tania, tetapi matanya memperhatikan telinga Amel yang terbaring di atas ranjang. Tetapi Amel sama sekali tidak memakai anting-anting, telinga wanita cantik itu terlihat polos tanpa perhiasan.Bryan yang masih penasaran, te
Malam semakin larut Amel belum juga tidur, sedangkan Bram sudah tertidur pulas di sampingnya. Mata Amel selalu tertuju ke balkon, ia sengaja tidak menutup pembatas kaca agar ia melihat wanita berambut panjang yang akhir-akhir ini selalu muncul di sana. Amel berencana, akan menunjukkannya kepada Bram, agar suaminya itu percaya. "Sudah jam tiga," keluh Amel setelah melihat benda bulat yang terletak di atas meja di samping tempat tidur.Amel bangkit dari tidurnya, duduk dengan posisi bersandar di sandaran tempat tidur. Ia yakin wanita itu pasti muncul lagi. Namun waktu sudah menunjukkan pukul 6 lewat 10 menit, yang ditunggu tak menapakkan wujud."Setiap ada Papah, kenapa wanita itu tidak muncul ya?" tanya dalam hati Amel."Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Bram sambil membuka mata dengan suara khas bangun tidur.Bram menarik tangan Amel, memaksa untuk kembali berbaring. Dikecupnya kening wanita cantik itu sambil tangan kekarnya memeluk dengan erat."Bagaimana sayang, apa tidurmu nyaman?
Setelah 60 menit duduk di balkon, akhirnya Amel dan Dokter kembali ke kamar. "Tuan, apa kita bisa bicara sebentar?" ucap Dokter."Tentu saja." Sebelum pergi, Bram terlebih dahulu menitipkan Amel kepada Bryan.Ia meminta putranya untuk menemani Amel sampai ia kembali. Dan hal itu tidak ditolak Bryan, justru pria tampan itu memang sudah berniat untuk bicara secara berduaan dengan Ibu sambungnya."Silahkan duduk." Bram mempersilahkan Dokter untuk duduk, setelah tiba di ruang tamu lantai dua."Terima kasih Tuan." Dokter duduk di hadapan Bram, "Begini Tuan, sebaiknya Nyonya Amel dibawa ke Dokter Psikiater," lanjutnya."Maksudnya?" Bram merasa terkejut."Halusinasi Nyonya Amel harus segera ditangani ahlinya. Waktu duduk di balkon, beliau mengatakan melihat seseorang di kursi taman, saat aku melihatnya! Tidak ada siapa-siapa di sana. Mungkin seperti itulah yang terjadi kepada beliau selama satu bulan terakhir ini. Jadi Tuan harus segera mengambil tindakan." Bram menghela napas kasar menden
Satu malam Bram tidak bisa tidur, begitu juga dengan Amel. Sepasang suami istri itu hanya diam dan tidak saling bicara. Amel merasa kecewa karena Bram akan membawanya ke tempat yang biasa ditinggali oleh orang yang tidak waras. Sedangkan Bram memikirkan hal yang sama, tadinya ia sudah membulatkan niat untuk membawa Amel. Tetapi setelah mendengar ucapan Bryan, ia menjadi ragu."Mah," panggil Bram dengan lembut.Ia memeluk wanita cantik yang sedang berbaring di sampingnya, dengan posisi memunggunginya."Mah, maafkan Papah ya?" Bram kembali membuka mulut, karena tidak ada jawaban dari Amel.Amel menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan kasar. "Papah gak perlu minta maaf," ucapnya.Bram memutar tubuh Amel menghadap kepadanya, "Papah melakukannya demi kebaikan Mamah. Papah gak tega melihat Mamah selalu ketakutan setiap hari.""Terserah Papah saja," jawab Amel dengan pasrah namun tak rela."Mamah marah ya?" tanya Bram."Tidak, Mamah tidak marah." Dari wajahnya terlihat kekecewaan y
"Ponsel siapa yang berdering?" tanya Bryan. Salah satu pelayan mengangkat tangan ke atas, wajahnya terlihat pucat, keningnya berkeringat dan matanya meneteskan butiran bening. "Sa....sa....saya Tuan," ucap Bibi Mina. "Kamulah penghianat itu," todong Bryan. "Maksud kamu?" tanya Bram kepada Bryan. "Iya Pah, dialah pelakunya. Papa tidak percaya?" tegas Bryan. "Mina ikut denganku." Bram meninggalkan ruang tamu, menaiki tangga menuju ruang kerjanya di lantai tiga dan diikuti Bibi Mina. Sedangkan pelayan lainnya kembali melanjutkan pekerjaannya masing-masing. Kini hanya tinggal Tania dan Bryan. "Yan, kamu tahu dari mana kalau pelakunya Bibi Mina?" Akhirnya Tania membuka mulut setelah semuanya pergi. "Tadi aku melihatnya ke luar dari hutan lindung, sedangkan wanita yang dilihat Amel masuk ke hutan. Sudah bisa dipastikan, Mina lah pelakunya," jawab Bryan. Sebenarnya Bryan tidak melihat Mina ke luar dari hutan, pria tampan itu sengaja berbohong. Bryan tidak mungkin mengatakan yang se
"Sayang, hari ini kita akan berlibur. Alangkah baiknya kita tidak membicarakan tentang Mina," balas Bram, menirukan cara bicara istrinya.Amel tersenyum tipis, "Baiklah Pah," ucapnya.Saat Amel akan bangkit dari sisi ranjang, Bram menarik tangan wanita cantik itu dengan kasar hingga terjatuh di atas tubuh kekarnya."Papah," gerutu Amel dengan wajah malu-malu.Bram mendekatkan bibirnya ke bibir Amel, "Sayang, aku mau kuda-kudaan," ucapnya dengan nada berbisik.Wajah Amel berubah menjadi merah merona karena malu. Masa siang-siang bolong mereka memalukan pertempuran, padahal tadi malam Bram sudah dua kali memasukkan bola ke gawang.Amel mengangguk untuk merespon ucapan suaminya. Hanya dalam hitungan detik bibir keduanya sudah menyatu dan saling bertukar saliva.Pintu yang tidak tertutup rapat membuat suara desahan Amel terdengar hingga ke luar. Untung saja telinga Mbok Inem memiliki pendengaran yang baik, sehingga wanita keturunan Sunda itu tidak sempat mendorong pintu. Justru ia memalin
"Apa kamu meragukan aku?" Bukannya memberi bukti, Tia justru balik bertanya."Tidak, aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri," jawab Bryan.Tia refleks menempelkan bibirnya ke bibir Bryan, sambil memejamkan mata. Sudah 2 bulan keduanya resmi menjadi sepasang kekasih, tetapi ini pertama kalinya bibir mereka bersentuhan. Selama ini Bryan selalu mengecup kening wanita cantik itu, karena Tia selalu menghindar saat Bryan mendekatkan bibirnya. Tia melepaskan bibirnya sambil membuka mata secara perlahan. Ditatapnya mata indah Bryan dengan penuh ketulusan."Apa bukti ini sudah cukup?" tanya Tia dengan nada lembut.Bryan hanya menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Tia. Bibirnya tertutup rapat dengan tatapan seribu arti.Tia menarik napas, ia kembali menempelkan bibirnya ke bibir Bryan. Awalnya pria tampan itu tidak merespon sama sekali, namun saat Tia akan melepaskan bibirnya! Bryan tiba-tiba menahan kepalanya. Pria tampan itu melumat bibir Tia dengan rakus, memainkan lidahnya di d