"Mama juga berpikir seperti itu," timpal Tania dengan wajah serius, "Atau sebaiknya kita bawa Amel ke Dokter psikiater?" lanjutnya bertanya."Nanti kita bicarakan ini dengan Papah." Tentu Bryan tidak berani membawa Amel tanpa izin dari Ayahnya.Tania dan Bryan kembali masuk ke dalam kamar, Tania duduk di ranjang untuk menemani Amel. Sedangkan Bryan melangkah menuju balkon, setibanya di sana matanya langsung tertuju ke sebuah benda yang terletak di lantai. Bryan menunduk untuk meraihnya dari sana, "Anting siapa ini? Apa ini milik Amel." Bryan bicara kepada dirinya sendiri.Ia memasukkan anting itu ke dalam saku celananya, lalu masuk ke dalam kamar. Bryan yang penasaran dengan pemilik benda kecil itu, lantas melangkah menuju tempat tidur.Bibirnya berbicara dengan Tania, tetapi matanya memperhatikan telinga Amel yang terbaring di atas ranjang. Tetapi Amel sama sekali tidak memakai anting-anting, telinga wanita cantik itu terlihat polos tanpa perhiasan.Bryan yang masih penasaran, te
Malam semakin larut Amel belum juga tidur, sedangkan Bram sudah tertidur pulas di sampingnya. Mata Amel selalu tertuju ke balkon, ia sengaja tidak menutup pembatas kaca agar ia melihat wanita berambut panjang yang akhir-akhir ini selalu muncul di sana. Amel berencana, akan menunjukkannya kepada Bram, agar suaminya itu percaya. "Sudah jam tiga," keluh Amel setelah melihat benda bulat yang terletak di atas meja di samping tempat tidur.Amel bangkit dari tidurnya, duduk dengan posisi bersandar di sandaran tempat tidur. Ia yakin wanita itu pasti muncul lagi. Namun waktu sudah menunjukkan pukul 6 lewat 10 menit, yang ditunggu tak menapakkan wujud."Setiap ada Papah, kenapa wanita itu tidak muncul ya?" tanya dalam hati Amel."Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Bram sambil membuka mata dengan suara khas bangun tidur.Bram menarik tangan Amel, memaksa untuk kembali berbaring. Dikecupnya kening wanita cantik itu sambil tangan kekarnya memeluk dengan erat."Bagaimana sayang, apa tidurmu nyaman?
Setelah 60 menit duduk di balkon, akhirnya Amel dan Dokter kembali ke kamar. "Tuan, apa kita bisa bicara sebentar?" ucap Dokter."Tentu saja." Sebelum pergi, Bram terlebih dahulu menitipkan Amel kepada Bryan.Ia meminta putranya untuk menemani Amel sampai ia kembali. Dan hal itu tidak ditolak Bryan, justru pria tampan itu memang sudah berniat untuk bicara secara berduaan dengan Ibu sambungnya."Silahkan duduk." Bram mempersilahkan Dokter untuk duduk, setelah tiba di ruang tamu lantai dua."Terima kasih Tuan." Dokter duduk di hadapan Bram, "Begini Tuan, sebaiknya Nyonya Amel dibawa ke Dokter Psikiater," lanjutnya."Maksudnya?" Bram merasa terkejut."Halusinasi Nyonya Amel harus segera ditangani ahlinya. Waktu duduk di balkon, beliau mengatakan melihat seseorang di kursi taman, saat aku melihatnya! Tidak ada siapa-siapa di sana. Mungkin seperti itulah yang terjadi kepada beliau selama satu bulan terakhir ini. Jadi Tuan harus segera mengambil tindakan." Bram menghela napas kasar menden
Satu malam Bram tidak bisa tidur, begitu juga dengan Amel. Sepasang suami istri itu hanya diam dan tidak saling bicara. Amel merasa kecewa karena Bram akan membawanya ke tempat yang biasa ditinggali oleh orang yang tidak waras. Sedangkan Bram memikirkan hal yang sama, tadinya ia sudah membulatkan niat untuk membawa Amel. Tetapi setelah mendengar ucapan Bryan, ia menjadi ragu."Mah," panggil Bram dengan lembut.Ia memeluk wanita cantik yang sedang berbaring di sampingnya, dengan posisi memunggunginya."Mah, maafkan Papah ya?" Bram kembali membuka mulut, karena tidak ada jawaban dari Amel.Amel menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan kasar. "Papah gak perlu minta maaf," ucapnya.Bram memutar tubuh Amel menghadap kepadanya, "Papah melakukannya demi kebaikan Mamah. Papah gak tega melihat Mamah selalu ketakutan setiap hari.""Terserah Papah saja," jawab Amel dengan pasrah namun tak rela."Mamah marah ya?" tanya Bram."Tidak, Mamah tidak marah." Dari wajahnya terlihat kekecewaan y
"Ponsel siapa yang berdering?" tanya Bryan. Salah satu pelayan mengangkat tangan ke atas, wajahnya terlihat pucat, keningnya berkeringat dan matanya meneteskan butiran bening. "Sa....sa....saya Tuan," ucap Bibi Mina. "Kamulah penghianat itu," todong Bryan. "Maksud kamu?" tanya Bram kepada Bryan. "Iya Pah, dialah pelakunya. Papa tidak percaya?" tegas Bryan. "Mina ikut denganku." Bram meninggalkan ruang tamu, menaiki tangga menuju ruang kerjanya di lantai tiga dan diikuti Bibi Mina. Sedangkan pelayan lainnya kembali melanjutkan pekerjaannya masing-masing. Kini hanya tinggal Tania dan Bryan. "Yan, kamu tahu dari mana kalau pelakunya Bibi Mina?" Akhirnya Tania membuka mulut setelah semuanya pergi. "Tadi aku melihatnya ke luar dari hutan lindung, sedangkan wanita yang dilihat Amel masuk ke hutan. Sudah bisa dipastikan, Mina lah pelakunya," jawab Bryan. Sebenarnya Bryan tidak melihat Mina ke luar dari hutan, pria tampan itu sengaja berbohong. Bryan tidak mungkin mengatakan yang se
"Sayang, hari ini kita akan berlibur. Alangkah baiknya kita tidak membicarakan tentang Mina," balas Bram, menirukan cara bicara istrinya.Amel tersenyum tipis, "Baiklah Pah," ucapnya.Saat Amel akan bangkit dari sisi ranjang, Bram menarik tangan wanita cantik itu dengan kasar hingga terjatuh di atas tubuh kekarnya."Papah," gerutu Amel dengan wajah malu-malu.Bram mendekatkan bibirnya ke bibir Amel, "Sayang, aku mau kuda-kudaan," ucapnya dengan nada berbisik.Wajah Amel berubah menjadi merah merona karena malu. Masa siang-siang bolong mereka memalukan pertempuran, padahal tadi malam Bram sudah dua kali memasukkan bola ke gawang.Amel mengangguk untuk merespon ucapan suaminya. Hanya dalam hitungan detik bibir keduanya sudah menyatu dan saling bertukar saliva.Pintu yang tidak tertutup rapat membuat suara desahan Amel terdengar hingga ke luar. Untung saja telinga Mbok Inem memiliki pendengaran yang baik, sehingga wanita keturunan Sunda itu tidak sempat mendorong pintu. Justru ia memalin
"Apa kamu meragukan aku?" Bukannya memberi bukti, Tia justru balik bertanya."Tidak, aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri," jawab Bryan.Tia refleks menempelkan bibirnya ke bibir Bryan, sambil memejamkan mata. Sudah 2 bulan keduanya resmi menjadi sepasang kekasih, tetapi ini pertama kalinya bibir mereka bersentuhan. Selama ini Bryan selalu mengecup kening wanita cantik itu, karena Tia selalu menghindar saat Bryan mendekatkan bibirnya. Tia melepaskan bibirnya sambil membuka mata secara perlahan. Ditatapnya mata indah Bryan dengan penuh ketulusan."Apa bukti ini sudah cukup?" tanya Tia dengan nada lembut.Bryan hanya menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Tia. Bibirnya tertutup rapat dengan tatapan seribu arti.Tia menarik napas, ia kembali menempelkan bibirnya ke bibir Bryan. Awalnya pria tampan itu tidak merespon sama sekali, namun saat Tia akan melepaskan bibirnya! Bryan tiba-tiba menahan kepalanya. Pria tampan itu melumat bibir Tia dengan rakus, memainkan lidahnya di d
Tanpa terasa waktu telah berlalu, saat ini benda bulat itu telah menunjukkan angka tujuh. Di luar juga sudah terlihat gelap, sebab matahari telah menyembunyikan cahayanya. Bryan yang sudah menghabiskan makan malamnya, bergegas meninggalkan meja makan. Sedangkan Tania masih duduk di sana.Wanita berambut pendek itu hanya menatap punggung anaknya yang sudah semakin jauh melangkah menuju pintu utama. Biasanya Bryan tidak pernah meninggalkan meja makan sebelum semuanya selesai makan, dia juga selalu berpamitan saat akan meninggalkan meja makan. Namun malam ini anak tampan itu mendadak berubah dan tidak memiliki sopan santun. Tetapi Tania tidak menegurnya, ia berpikir putranya sedang ada masalah karena sejak pagi wajahnya terlihat murung tanpa senyuman."Pak Lukas, apa kameranya sudah diambil?" tanya Bryan kepada Lukas yang sejak tadi sudah menunggu di teras."Sudah Tuan Muda," jawab Lukas dengan hormat.Memang benar, Lukas langsung mencabut semua kamera yang ada di ruang bawah tanah, sete
Ramel tidak membuka mulut, rasa terharu sekaligus sedih membuat bibirnya kaku."Jadi untuk sementara waktu...." Melisa belum selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari lantai dua. Sontak membuat keduanya refleks meninggalkan ruang tamu menuju arah datangnya suara."Tidak, tidak, tidak." Teriakan itu menyambut Ramel dan Melisa."Ibu, ibu, ada apa ibu?" Melisa merangkul ibunya, wajahnya terlihat khawatir.Begitu juga dengan Ramel, pria tampan itu menarik Bella lalu memeluknya dengan erat. Menungkupkan wajah wanita cantik itu di dada bidangnya, sambil mengecup ujung kepala Bella dengan penuh kasih sayang.Setelah Bella sedikit tenang, Ramel mengajaknya duduk di sisi ranjang. Memberinya air mineral sambil berbicara dengan lembut."Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, aku merasakan sesuatu saat memasuki kamar ini," ucap Bella dengan wajah bingung.Ramel tersenyum tipis, "Apa kamu mengingat sesuatu?"Bella menggeleng, "Aku hanya merasa tidak asing dengan kamar ini, padahal
Dua hari telah berlalu, Ramel dan Tania sedang bersiap-siap untuk menemui wanita itu. Selama ini ayah satu anak itu benar-benar sibuk karena kliennya datang dari Singapura. "Kenan, kamu gak jadi ikut?" tanya Ramel saat tiba di meja makan.Dua hari yang lalu pria tampan berusia 17 tahun itu berjanji untuk ikut. Namun pagi ini ia masih terlihat mengenakan baju santai."Enggak Pah," jawab Kenan."Kenapa?" Tentu Ramel bertanya, apa alasan putranya tidak ikut!"Kenan merasa tidak enak badan Pah, kepalaku sedikit pusing.""Yasudah, kamu istirahat aja di rumah." Kali ini Tania yang membuka mulut.Ruangan itupun seketika hening, semua sibuk menikmati sarapannya masing-masing. Setelah itu Ramel dan Tania meninggalkan kediaman Wijaya bersama Lukas sopir kepercayaan keluarga Wijaya.Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, akhirnya mereka tiba. Tania memperhatikan rumah sederhana yang berdiri kokok di hadapannya. "Ayo Oma," ajak Ramel.Keduanya melangkah secara bersamaan, Ramel mengangkat sat
Tepat pukul satu siang, Ramel dan teman-temannya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Villa dan kembali ke kota. Sebenarnya mereka masih memiliki satu tujuan lagi, tetapi Ramel tiba-tiba ada urusan mendadak. Kliennya dari Singapura besok pagi sudah tiba di Indonesia."Mel, dari tadi Melisa kok gak kelihatan ya? Apa dia gak kerja?" tanya Alex sambil membantu Ramel memasukkan barang-barang ke dalam mobil."Dia shift malam, jadi udah pulang tadi pagi," jawab Ramel dengan jujur."Oh, pantas itu anak gak kelihatan," sahut Alex, "Oh iya, kamu tahu dari mana?" lanjutnya."Tadi aku yang mengantarnya pulang." Ramel menceritakan semuanya kepada Alex, ia juga mengatakan merasakan sesuatu saat melihat ibunya Melisa berdiri di depan jendela."Kenapa kamu gak singgah dulu?" Tentu Alex bertanya!"Segan sama tetangganya, soalnya di rumah itu gak ada laki-laki," dalih Ramel."Iya juga sih, tapi Melisa dan ibunya kapan ke Jakarta? Bukannya kamu menawarinya untuk jadi asisten rumah tangga di kediaman W
"Kamu baru lulus sekolah ya?" Ramel kembali bertanya."Iya Om," sahut singkat Melisa."Kalau baru lulus sekolah jangan langsung nikah, lanjut kuliah dulu. Pernikahan itu tidak seindah yang dibayangkan." Ramel seketika menjadi seorang ayah yang sedang menasehati putrinya."Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya jadi tukang masak, lebih baik cari laki-laki yang mapan lalu nikah." Jawaban melihat membuat Ramel dan teman-temannya tercengang.Melisa bicara dengan wajah polos tanpa sedikitpun tersenyum. Wanita cantik berusia 18 tahun itu sungguh-sungguh ingin menikah, terlihat dari sorot matanya saat menatap Ramel.Entah apa yang membuatnya ingin segera menikah, padahal usianya masih sangat muda."Gimana Om? Mau nikah dengan saya?" lanjut Melisa sembari bertanya.Ramel tersenyum mengejek, "Anak zaman sekarang selalu bertindak tanpa berpikir dulu. Kamu pikir pernikahan itu mainan? Lagipula aku tak mungkin menikah denganmu.""Kenapa gak mungkin Om? Yang penting kan, suka sama suka," p
Tujuh belas tahun telah berlalu, selama itu juga Ramel hidup dalam kesendirian, ia membesarkan Kenan bersama Tania yang saat ini sudah menginjak usia 67 tahun. Wanita tua itu sudah sering kali meminta Ramel untuk menikah, tetapi permintaannya selalu ditolak.Tania sudah mencoba menjodohkan beberapa wanita dari golongan atas kepala Ramel, tetapi pria tampan itu sama sekali tidak tertarik. Ia masih berharap Bella hidup dan kembali ke pelukannya."Ken," panggil Ramel yang duduk di ruang tamu bersama Tania.Kenan yang melangkah menuju pintu utama, terpaksa memutar langkah menghampiri ayah dan buyutnya."Iya Pah," sahut Kenan sambil menjatuhkan bokongnya di samping Tania."Besok pagi Papah mau touring ke luar kota, tolong jaga Buyut dan jangan pulang larut malam," pesan Ramel kepada putranya."Baik Pah, Kenan gak diajak Pah?" jawab Kenan sembari balik bertanya."Fokus dengan sekolahmu." Setelah mengatakan itu, Ramel bergegas meninggalkan ruang tamu.Kenan pun berpamitan kepada buyutnya, an
"Pantas saja ini tempat favorit mas Ramel, selain pemandangannya yang indah, suasananya juga terasa tenang," ucap Bella dengan nada lembut dan nyaris tak terdengar.Wanita satu anak itu memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya dari hidung dengan lembut, sambil menikmati sejuknya hembusan angin."Bella."Bella refleks membuka mata saat mendengar seseorang memanggil namanya, ia baru saja akan memutar kepala untuk melihat orang yang memanggilnya, tetapi dua telapak tangan sudah terlebih dahulu mendorong punggungnya dari belakang."Aaaaaahh...." teriak Bella yang terguling ke jurang hingga jatuh ke aliran air terjun.Saat itu juga Ramel terbangun dari tidurnya, seluruh kening pria tampan itu terlihat mengkilat akibat tetesan keringat, sehingga membuat Tania bingung dan terkejut ketika melihatnya ke luar dari kamar."Ramel, kamu kenapa?" tanya Tania yang sedang memberikan susu formula pada Kenan."Bella di mana Oma?" Bukannya menjawab, Ramel justru balik bertanya.
Setelah melepas hasrat sebanyak dua kali, Ramel dan Bella meninggalkan rumah pohon dan kembali ke Villa. Setibanya di sana, Tania langsung mengajak mereka untuk makan siang bersama. Wanita tua itu sudah menyiapkan beberapa menu di atas meja bersama pelayan.Makan siang kali ini sedikit berbeda, biasanya suasana di meja makan pasti akan hening karena tak ada yang boleh berbicara. Tetapi saat ini Ramel, Bella dan Tania menikmati makan siangnya sambil berbincang-bincang."Mel, Bel, malam ini Kenan biar tidur sama Oma aja ya?" ucap Tania sambil mengunyah makanannya.Iya, Ramel dan Bella menamai putranya Kenan Alexander Wijaya."Kenan setiap malam sering minta susu, nanti Oma jadi terganggu," sahut Bella."Enggak apa-apa, Oma gak merasa terganggu kok," ucap Tania.Wanita tua itu sengaja meminta Kenan tidur di kamarnya, agar Bella dan Ramel bisa berduaan menikmati liburannya. Dari awal Tania sudah menolak untuk ikut ke Villa, tetapi Bella memaksa."Yaudah, terserah Oma aja." Kali ini Ramel
Empat puluh hari telah berlalu, hari ini keluarga Wijaya sedang bersiap untuk liburan. Ramel akan memboyong keluarganya ke villa, seperti permintaan Bella waktu itu. Rencananya mereka akan menginap di sana selama satu Minggu."Mas," panggil Bella.Ramel yang melangk menuju pintu, menghentikan langkahnya lalu berputar menghadap Bella."Iya sayang," sahut Ramel dengan lembut."Sebabnya ada yang ingin aku bicarakan, Mas," ucap Bella dengan wajah serius.Ramel melangkah menghampiri istrinya yang duduk di sisi ranjang tepat di samping wanita cantik satu anak itu."Bicara apa sayang? Apa tentang liburan kita?" todong Ramel.Bella menggeleng, "Tidak mas, aku ingin bicara tentang pak Bara dan Mbok Inem," ucapnya.Ramel menghela napas, ia meraih tangan Bella lalu menggenggamnya dengan erat. Walupun Bella belum mengatakan apapun, Ramel sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh istrinya itu.Tentu tentang kejadian beberapa bulan yang lalu, di mana pak Bara dan Mbok Inem tiba-tiba mengkhianatinya
"Kenapa sayang?" tanya Ramel yang langsung memeluk Bella."Mas tega," bisik Bella."Bukan tega sayang, tapi Mas hanya mengikuti saran dari dokter," sahut Ramel yang juga berbisik.Akhirnya Bella mengikuti kemauan suaminya, ia mengijinkan dokter untuk melakukan tugasnya. Bella menggigit ujung baju Ramel untuk menahan rasa sakit yang luar biasa, bahkan lebih sakit dari melahirkan."Sudah Dok, saya gak kuat lagi," keluh Bella, akhirnya wanita cantik itu menyerah."Sebentar lagi ya Bu, tinggal satu jahitan lagi," sahut dokter. Wanita berjubah putih itu sengaja mengajak Bella bicara, untuk mengalihkan rasa sakitnya.Setelah 60 menit berlalu, Bella dipindahkan ke ruang inap begitu juga dengan bayi mungilnya. Wanita cantik itu sudah pasti menempati kamar President Suite.Ramel tak sedetikpun meninggalkan istri dan anaknya. Tatapnya tak lepas dari wajah tampan putranya, bayi mungil itu benar-benar mirip dengannya. Sungguh Ramel tak menyangka memiliki anak diusianya yang masih sangat muda, ia