Halo Kakak semua, maaf di bab sebelumnya ada kesalahan. Saya juga ikut terkejut dan kecewa, kok bisa kacau seperti itu. Saya author meminta maaf, di bab ini kita kasih gratis tanpa koin ya Kakak! Jangan kecewa ya Kak, namanya manusia dan jaringan pasti tak selalu stabil. I love you Kakak.
***************"Iya sayang, kamu hamil." Kali ini Tania yang membuka mulut."Tidak, tidak, ini seharusnya tidak terjadi," ucap Bella dengan wajah yang semakin pucat, matanya membulat dengan tatapan kosong.
"Apa yang kamu katakan Bella? Apa kamu tidak bahagia?" protes Ramel.
"Aku tidak seharusnya hamil," ucap Bella dengan menatap kedua mata Ramel.
"Kenapa Bella? Kenapa?" desak Ramel dengan raut wajah kecewa, "Seharunya kamu bersyukur, di luar sana banyak yang menginginkan anak tetapi Tuhan belum memberikannya," lanjut Ramel.
Bella refleks melepaskan jarum infus dari punggung tangannya, bangkit dari tempat tidur lalu turun.
"Bella," panggil Ramel sambil memeluk wanita cantik itu agar tidak pergi, "Aku tahu kamu tidak menginginkan keturunan dariku, tapi aku mohon! Biarkan dia hadir di dunia ini, dia suci dan tidak tahu apa-apa," lanjutnya.
Bella hanya diam, ia menegakkan kepala untuk menahan butiran bening yang akan jatuh dari kedua mata indahnya. Tak ada sedikitpun niatnya untuk melakukan hal buruk pada kandungannya, Bella bicara seperti itu agar tetap berpisah dengan Ramel karena sudah terikat janji dengan Hendrawan ayah Sarah.
Bella melepaskan kedua tangan Ramel dari tubuhnya lalu berputar menghadap pria tampan itu.
"Bukan aku tidak menginginkannya, hanya saja waktunya tidak tepat," ucap Bella dengan tegas, "Maaf perceraian kita harus tetap dilaksanakan, setelah anak ini lahir aku pasti memberitahumu," lanjutnya.
"Tidak." Tiba-tiba terdengar suara dari pintu.
Ramel, Bella dan Tania refleks memutar kepala ke arah datangnya suara.
"Seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya dalam keadaan hamil, jika kamu tetap ingin berpisah dari Ramel! Tunggu sampai anak itu lahir." Hendrawan bicara sambil melangkah menghampiri Ramel dan Bella.
"Papah, apa-apa ini?" protes Sarah yang baru muncul dari pintu.
Wanita berambut pendek itu tidak terima dengan keputusan ayahnya. Sarah menginginkan Bella dan Ramel tetap melanjutkan sidang perceraian mereka.
"Maaf Sarah, kamu tidak perlu ikut campur dalam masalah Ramel dan Bella." Kali ini Tania yang membuka mulut.
Ia geram melihat wanita yang tidak tahu diri itu. Ingin rasanya Tania berteriak mengatakan kebohongan Bella di depan umum, tetapi ia harus bisa menahan keinginannya itu karena Bella dan Hendrawan sudah membuat perjanjian di atas kertas tertulis.
"Kenapa tidak boleh," sahut Sarah menantang Tania.
"Cukup Sarah, tolong jangan memperkeruh suasana. Aku harap kamu bisa bersifat lebih dewasa dan tidak ikut campur dalam urusan orang lain," ucap Ramel dengan tegas.
"Iya sayang, Ramel benar," timpal Hendrawan dengan lembut, yang membuat Sarah menutup mulut.
"Bisakah aku bicara dengan Bella?" lanjut Hendrawan.
Semuanya ke luar, hanya tinggal Bella dan Hendrawan yang ada di ruangan itu.
"Om tenang saja, aku pasti meninggalkan Ramel." Bella membuka mulut terlebih dahulu.
"Tidak, sebaiknya kamu bertahan sampai anak itu lahir," bantah Hendrawan.
"Terus, bagaimana dengan perjanjian itu?" tanya Bella.
"Dalam hukum agama dan negara, suami tidak boleh menceraikan istrinya dalam keadaan hamil," ucap Hendrawan.
"Aku tahu itu, tapi...."
"Luapkan masalah perjanjian itu, nanti kita bahas lagi setelah kamu melahirkan." Setelah mengatakan itu Hendrawan langsung ke luar.
Bella hanya diam, ia menatap punggung Hendrawan hingga menghilang di balik pintu, sambil kedua matanya meneteskan butiran bening.
"Terima kasih Om, aku tahu kamu ayah yang baik. Sebenarnya kamu terpaksa melakukannya, semua itu hanya karena kasih sayangmu kepada Sarah," ucap dalam hati Bella.
................Tepat pukul 4 sore Bella sudah tiba di kediaman Wijaya, wanita cantik itu terpaksa kembali dan tinggal di sana sampai ia melahirkan. Sebab pengadilan agama pun sudah membatalkan sidangnya."Bi, tolong siapkan kamar tamu untukku," ucap Bella kepada Bibi Mina.
"Enggak usia Bi," sela Ramel.
"Maksud kamu apa?" Bella menatap sinis Ramel.
"Kita akan tetap satu kamar," tegas Ramel.
Sarah seketika menghentak kaki melangkah menaiki tangga. Ia kesal karena Ramel mengajak Bella tinggal satu kamar.
"Aku tidak mau," bantah Bella yang langsung memalingkan wajah.
Tanpa menjawab, Ramel langsung mengangkat tubuh mungil Bella dengan gaya bridal style. Pria tampan itu membawanya ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur.
"Kamu sudah gila,' geram Bella.
"Iya, aku memang gila, benar-benar gila mencintaimu. Aku pun tak tahu sejak kapan rasa cinta itu muncul di hatiku," jawab Ramel yang melangkah ke kamar mandi.
Raungan itupun kembali hening, Bella menarik selimut untuk menutup tubuhnya lalu memejamkan mata berpura-pura tidur.
Tidak lama kemudian Ramel ke luar dari kamar mandi, pria tampan itu hanya melilitkan handuk di pinggang untuk menutup kemaluannya. Kakinya melangkah menuju ruang ganti tetapi matanya tertuju ke arah Bella.
Setelah 10 menit Bella Ramel pun ke luar dari ruang ganti, ia sudah berpakaian rapi dan siap untuk pergi.
"Sayang, aku ke luar sebentar ya?" pamit Ramel sambil mengecup kening Bella.
"Hum," jawab singkat Bella tanpa membuka mata dan mulut.
Ramel baru saja pergi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kasar yang membuat Bella refleks membuka mata.
"Bella, kita harus bicara." Sarah berdiri di bibir pintu dengan posisi kedua tangan terletak di pinggang.
"Aku lelah, jadi aku mau istirahat," jawab Bella. Ia kembali membaringkan tubuhnya.
Tentu hal itu membuat Sarah kesal, ia melangkah menghampiri Bella. Dengan sigap tangannya membuka selimut lalu menarik tangan Bella.
"Kita harus bicara," ucap Sarah dengan tegas.
Bella melepaskan tangannya dengan kasar, "Jangan coba-coba untuk menyentuhku." Bella bicara tidak kalah tegas dari Sarah.
"Ow, kamu menanrangku," ucap Sarah sambil tersenyum seribu arti.
"Kalau iya, kenapa?" tantang Bella.
Sarah mengangkat tangan, satu jarinya ia arahkan ke wajah Bella, "Ingat perjanjian yang sudah kamu tanda tangani Bella," ucapnya mengancam.
Bella yang tidak mau ditindas oleh Sarah! Segera menepis jari tangan Sarah dengan kasar.
"Aku memiliki janji dengan Om Hendrawan, bukan denganmu. Selagi Om Hendrawan yang memberikanku kebebasan! Kamu tidak berhak untuk mengaturku," tegas Bella sambil menatap Sarah dengan tatapan tajam.
"Ke luar dari kamarku," lanjutnya mengusir Sarah.
"Wanita licik, aku akan menghubungi papah," ucap Sarah.
"Ke luar," sentak Bella dengan nada tinggi, bahkan sampai terdengar ke lantai satu.
Sarah langsung pergi dan kembali ke kamarnya, ia meraih ponsel dari atas meja kecil lalu menghubungi ayahnya. Namun jawaban Hendrawan tidak sesuai keinginan Sarah, pria paruh baya itu tidak setuju Bella ke luar dari kamarnya, lalu digantikan oleh Sarah.
"Ahhhhh.." Sarah melemparkan ponselnya ke tempat tidur dengan kasar.
"Papah benar-benar membuatku kesal, untuk apa dia mengeluarkan uang sebanyak itu jika Ramel tetap menganggap aku orang asing," lanjut Sarah bicara kepada dirinya sendiri.
Tapi bukan Sarah namanya jika tidak melakukan sesuatu demi mewujudkan keinginannya. Wanita hamil itu tidak mau makan, pelayan sudah beberapa kali menjemputnya ke kamar untuk makan malam.
"Aku tidak mau makan jika bukan Ramel yang datang kemari."
Tentu pelayan menyampaikan ucapan Sarah kepada Ramel. Awalnya pria tampan itu tidak peduli dan tak berniat sedikitpun untuk menjemput Sarah ke kamarnya. Tetapi karena ucapan Bella, Ramel terpaksa.
"Jemput saja Mas, kasihan kandungannya kalau Sarah tidak teratur makan," ucap Bella dengan datar.
Ramel menghela napas kasar, "Baiklah."
Ramel bangkit dari kursi, melangkah menaiki tangga untuk menjemput Sarah ke kamarnya. Setibanya di pintu, bibir wanita hamil itu terangkat karena tersenyum.
=============Senyum mencibir tidak berhenti dari bibir Sarah, ia sengaja melingkarkan tangannya di lengan Ramel sambil melangkah menuju meja makan."Bi, tolong buatkan sayur bening untukku." Perintah Sarah sambil menjatuhkan bokongnya di atas kursi."Baik Nyonya," sahut Bibi Mina yang langsung bergegas ke dapur."Jangan lupa, jagungnya dibanyakin." Teriak Sarah lagi.Bella hanya diam, matanya berputar untuk melihat wajah Sarah yang begitu menjijikan. Wanita berambut pendek itu benar-benar tidak tahu malu, ia masih saja bersikap sombong di hadapan Bella, padahal Bella sudah tahu siapa ayah dari anak yang ia kandung saat ini."Kenapa melihatku seperti itu, Bella," tegur Sarah."Kamu terlalu cantik," sahut Bella dengan wajah dingin."Oh, terima kasih." Dengan angkuhnya Sarah menjawab Bella.Ruangan itu pun kembali hening, semaunya asik menikmati makanannya masing-masing. Sayur bening permintaan Sarah pun sudah selesai."Kring....kring....kring..." Suara nyaring itu membuat kenyamanan Ramel sedikit
Bella yang terkejut mendengar teriakan Mbok Inem refleks memutar tubuh, begitu juga dengan Sarah. Wanita yang tengah hamil 2 bulan itu segera ingin mendorong punggung Bella dengan kedua telapak tangannya, tetapi kaki kanannya tersandung oleh kaki kirinya sehingga ia terjatuh dan berguling di tangga hingga ke lantai satu."Sarah," teriak Bella.Ia berlari menuruni tangga untuk mengejar Sarah, tanpa memikirkan kandungannya. Begitu juga dengan Ramel, pria tampan itu ke luar dari ruang kerja saat mendengar teriakkan Bella."Bella hati-hati." Ramel justru berteriak untuk mengingatkan istrinya."Telepon dokter, telepon dokter," ucap Bella yang langsung dilaksanakan oleh pelayan."Bella, kamu tidak apa-apa?" tanya Ramel setelah tiba di lantai satu.Pria tampan itu bukannya langsung mengangkat tubuh Sarah yang tergeletak di atas lantai, dengan posisi kedua paha mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Tetapi ia justru mengkhawatirkan Bella yang tadi berlari menuruni anak tangga."Bukan aku
Sebelum menemui Kevin, Ramel terlebih dahulu mengantar Bella ke kediaman Wijaya. Wanita cantik itu sempat bertanya Ramel ingin bertemu dengan siapa, tetapi Ramel menjawabnya dengan berbohong."Bertemu dengan klien," jawab sembarang Ramel."Oh, kamu hati-hati ya?" Ramel sama sekali tidak menjawab, ia memutar tubuh lalu masuk ke dalam mobil. Tanpa ada kecupan di kening dan lambaian tangan, Ramel langsung meminta Lukas untuk menjalankan mobilnya.Setelah 35 menit akhirnya Ramel tiba di sebuah kafe tempatnya untuk bertemu dengan Kevin. Seorang waiters sudah menunggu di pintu utama, wanita itu menuntun Ramel ke sebuah ruangan VIP. Saat pintu terbuka mata Ramel seketika menyipit melihat wanita yang duduk di hadapan Kevin. Wanita itu tidak asing lagi di matanya bahkan sudah sangat dekat dengannya."Oma," panggil Ramel yang membuat keduanya menoleh ke pintu."Ramel, kamu sudah datang," sahut Tania sambil membalas jabat tangan Ramel."Silahkan duduk Tuan Ramel." Kevin mempersilahkan Ramel du
Ramel membuka pintu dengan kasar, berlari menuju balkon. Tanpa bicara ia langsung memeluk Bella dengan erat."Aku mencintaimu sayang, kamu lah separuh hidupku," ucap Ramel.Bella terkejut, didorongnya tubuh Ramel dengan lembut agar pelukannya terlepas."Mas kenapa?" tanya Bella dengan wajah bingung."Aku mencintaimu, aku tidak bisa hidup tanpamu." Ramel kembali memeluk Bella."Ada apa dengan Ramel? Dengan siapa dia bertemu? Kenapa jadi aneh seperti ini?" tanya dalam hati Bella sambil membalas pelukan suaminya."Aku tahu kamu melakukannya demi aku, tetapi bagiku kamulah yang paling berharga. Jadi aku mohon, jangan pernah berpikir bahwa harta adalah segalanya bagiku." Ramel kembali membuka mulut."Mas kenapa?" tanya Bella sambil melepaskan pelukannya.Ramel menarik tangan Bella dengan lembut, membawa wanita cantik itu masuk ke dalam kamar lalu mengajaknya duduk di sofa."Sayang," ucap Ramel sambil menggenggam kedua telapak tangan Bella dengan erat dan penuh perasaan, "Aku sudah tahu seg
Empat bulan telah berlalu, kini kandung Bella sudah memasuki 5 bulan. Selama 4 bulan ini Ramel benar-benar kewalahan menghadapi sikap Bella yang tak menentu. Terkadang wanita cantik itu membencinya, terkadang ia marah-marah tanpa sebab, terkadang pula ingin selalu dimanja."Mas, nanti pulangnya jam berapa?" tanya Bella sambil mengunyah sarapannya."Seperti biasa sayang," jawab Ramel dengan terpaksa.Tentu terpaksa, sebab pria tampan itu tidak suka berbicara saat makan. Tetapi selama 4 bulan ini ia berusaha menyukai ketidak suka itu, hanya untuk menjaga perasaan Bella. Jika tidak! Wanita hamil itu akan marah dan mogok makan, tentu hal itu membuat Ramel khawatir akan kesehatan anaknya yang masih di dalam perut Bella!"Jam berapa?" Bella kembali bertanya."Jam 5 sore sayang," jawab Ramel dengan lembut sambil tersenyum."Pulang lebih cepat ya? Soalnya aku mau makan rujak," ucap Bella."Nanti Mas minta Lukas untuk membelinya," ucap Ramel dengan serius."Oh yaudah, biar pak Lukas yang membe
Suara kicauan burung membuat suasana pagi semakin indah. Seperti biasa, setiap pagi Ramel selalu menemani Bella jalan-jalan di taman. Sepasang suami istri itu mengikuti anjuran dokter agar proses persalinan Bella nantinya semakin mudah. Sebab wanita cantik itu berencana untuk melahirkan normal."Mas, jalannya udah ya? Aku sudah lelah," keluh Bella."Ooo yaudah." Ramel menuntun Bella masuk ke dalam rumah.Bella melangkah menuju meja makan sedangkan Ramel bergegas ke kamar. Pria tampan itu harus segera membersihkan tubuhnya dan bersiap untuk berangkat ke kantor.Sebelum pergi, Ramel terlebih dahulu sarapan bersama istrinya. Walupun sebenarnya ia sudah terlambat ke kantor."Mas pergi dulu ya?" Ramel mengecup kenin dan bibir Bella sekilas."Hati-hati Mas," sambil melambaikan tangan ke arah mobil yang membawa Ramel.Butuh waktu 37 menit untuk Ramel tiba di perusahaan Pratama Grup. Ia baru saja menjatuhkan bokong di atas kursi kerjaannya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu."Masuk,"
Ramel baru saja membuka pintu mobil, tetapi wanita itu tiba-tiba membuka pintu belakang dan langsung masuk."Tolong bantu aku Pak, tolong bantu aku," ucap wanita itu sambil menagis.Tentu Bella dan Ramel terkejut, "Kamu kenapa?" tanya Ramel."Aku mohon jalankan mobilnya, nanti aku jelaskan." Bibir wanita itu berbicara, tetapi matanya tertuju ke arah luar.Di sana terlihat dua orang pria sedang melangkah ke arah mobil Ramel."Ayo Pak, aku mohon," desak wanita itu."Ayo Mas," timpal Bella.Ramel menginjak gas mobil, melaju kencang meninggalkan tempat itu. Setelah berjarak 2 kilo meter Ramel menghentikan mobilnya di parkiran sebuah kafe. Ia menghidupkan lampu, memutar tubuh untuk melihat wanita yang duduk di bangku penumpang."Terima kasih ya Pak, Bu," ucap wanita itu disela-sela tangisan sambil tertunduk tampan melihat lawan bicaranya."Tunggu dulu." Ramel menghentikan wanita itu yang akan membuka pintu, "Apa kedua pria itu mengejar kamu?" lanjutnya bertanya.Wanita itu mengangguk, air
Satu bulan telah berlalu, hubungan Ramel dan Bella semakin romantis bahkan Ramel sering mengajak istri ke kantor."Mas, aku gak jadi ikut ya," ucap Bella yang duduk di kursi meja rias."Kenapa gak jadi sayang?" tanya Ramel, pria tampan itu sedang duduk di sofa sambil memainkan ponsel."Kepalaku tiba-tiba pusing Mas," keluh Bella sambil memijat keningnya.Ramel bangkit dari sofa, melangkah menghampiri istrinya, "Pusing lagi ya?" ucapnya sembari bertanya.Memang akhir-akhir ini wanita hamil itu sering pusing. Ramel sudah beberapa kali mengajaknya untuk periksa ke dokter, tetapi Bella selalu menolak. "Iya Mas," seiring bersama anggukan kepala.Ramel menuntun Bella bangkit dari kursi, lalu membawanya duduk di sisi ranjang."Kita periksa ke Dokter ya?" ajak Ramel dengan nada membujuk."Enggak usah Mas, ini pasti bawaan hamil." Lagi-lagi Bella menolak."Gak ada salahnya kita periksa sayang, mana tahu ada obatnya." Ramel berusaha membujuk Bella."Nanti aja Mas, sekarang aku mau istirahat,"
Ramel tidak membuka mulut, rasa terharu sekaligus sedih membuat bibirnya kaku."Jadi untuk sementara waktu...." Melisa belum selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari lantai dua. Sontak membuat keduanya refleks meninggalkan ruang tamu menuju arah datangnya suara."Tidak, tidak, tidak." Teriakan itu menyambut Ramel dan Melisa."Ibu, ibu, ada apa ibu?" Melisa merangkul ibunya, wajahnya terlihat khawatir.Begitu juga dengan Ramel, pria tampan itu menarik Bella lalu memeluknya dengan erat. Menungkupkan wajah wanita cantik itu di dada bidangnya, sambil mengecup ujung kepala Bella dengan penuh kasih sayang.Setelah Bella sedikit tenang, Ramel mengajaknya duduk di sisi ranjang. Memberinya air mineral sambil berbicara dengan lembut."Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, aku merasakan sesuatu saat memasuki kamar ini," ucap Bella dengan wajah bingung.Ramel tersenyum tipis, "Apa kamu mengingat sesuatu?"Bella menggeleng, "Aku hanya merasa tidak asing dengan kamar ini, padahal
Dua hari telah berlalu, Ramel dan Tania sedang bersiap-siap untuk menemui wanita itu. Selama ini ayah satu anak itu benar-benar sibuk karena kliennya datang dari Singapura. "Kenan, kamu gak jadi ikut?" tanya Ramel saat tiba di meja makan.Dua hari yang lalu pria tampan berusia 17 tahun itu berjanji untuk ikut. Namun pagi ini ia masih terlihat mengenakan baju santai."Enggak Pah," jawab Kenan."Kenapa?" Tentu Ramel bertanya, apa alasan putranya tidak ikut!"Kenan merasa tidak enak badan Pah, kepalaku sedikit pusing.""Yasudah, kamu istirahat aja di rumah." Kali ini Tania yang membuka mulut.Ruangan itupun seketika hening, semua sibuk menikmati sarapannya masing-masing. Setelah itu Ramel dan Tania meninggalkan kediaman Wijaya bersama Lukas sopir kepercayaan keluarga Wijaya.Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, akhirnya mereka tiba. Tania memperhatikan rumah sederhana yang berdiri kokok di hadapannya. "Ayo Oma," ajak Ramel.Keduanya melangkah secara bersamaan, Ramel mengangkat sat
Tepat pukul satu siang, Ramel dan teman-temannya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Villa dan kembali ke kota. Sebenarnya mereka masih memiliki satu tujuan lagi, tetapi Ramel tiba-tiba ada urusan mendadak. Kliennya dari Singapura besok pagi sudah tiba di Indonesia."Mel, dari tadi Melisa kok gak kelihatan ya? Apa dia gak kerja?" tanya Alex sambil membantu Ramel memasukkan barang-barang ke dalam mobil."Dia shift malam, jadi udah pulang tadi pagi," jawab Ramel dengan jujur."Oh, pantas itu anak gak kelihatan," sahut Alex, "Oh iya, kamu tahu dari mana?" lanjutnya."Tadi aku yang mengantarnya pulang." Ramel menceritakan semuanya kepada Alex, ia juga mengatakan merasakan sesuatu saat melihat ibunya Melisa berdiri di depan jendela."Kenapa kamu gak singgah dulu?" Tentu Alex bertanya!"Segan sama tetangganya, soalnya di rumah itu gak ada laki-laki," dalih Ramel."Iya juga sih, tapi Melisa dan ibunya kapan ke Jakarta? Bukannya kamu menawarinya untuk jadi asisten rumah tangga di kediaman W
"Kamu baru lulus sekolah ya?" Ramel kembali bertanya."Iya Om," sahut singkat Melisa."Kalau baru lulus sekolah jangan langsung nikah, lanjut kuliah dulu. Pernikahan itu tidak seindah yang dibayangkan." Ramel seketika menjadi seorang ayah yang sedang menasehati putrinya."Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya jadi tukang masak, lebih baik cari laki-laki yang mapan lalu nikah." Jawaban melihat membuat Ramel dan teman-temannya tercengang.Melisa bicara dengan wajah polos tanpa sedikitpun tersenyum. Wanita cantik berusia 18 tahun itu sungguh-sungguh ingin menikah, terlihat dari sorot matanya saat menatap Ramel.Entah apa yang membuatnya ingin segera menikah, padahal usianya masih sangat muda."Gimana Om? Mau nikah dengan saya?" lanjut Melisa sembari bertanya.Ramel tersenyum mengejek, "Anak zaman sekarang selalu bertindak tanpa berpikir dulu. Kamu pikir pernikahan itu mainan? Lagipula aku tak mungkin menikah denganmu.""Kenapa gak mungkin Om? Yang penting kan, suka sama suka," p
Tujuh belas tahun telah berlalu, selama itu juga Ramel hidup dalam kesendirian, ia membesarkan Kenan bersama Tania yang saat ini sudah menginjak usia 67 tahun. Wanita tua itu sudah sering kali meminta Ramel untuk menikah, tetapi permintaannya selalu ditolak.Tania sudah mencoba menjodohkan beberapa wanita dari golongan atas kepala Ramel, tetapi pria tampan itu sama sekali tidak tertarik. Ia masih berharap Bella hidup dan kembali ke pelukannya."Ken," panggil Ramel yang duduk di ruang tamu bersama Tania.Kenan yang melangkah menuju pintu utama, terpaksa memutar langkah menghampiri ayah dan buyutnya."Iya Pah," sahut Kenan sambil menjatuhkan bokongnya di samping Tania."Besok pagi Papah mau touring ke luar kota, tolong jaga Buyut dan jangan pulang larut malam," pesan Ramel kepada putranya."Baik Pah, Kenan gak diajak Pah?" jawab Kenan sembari balik bertanya."Fokus dengan sekolahmu." Setelah mengatakan itu, Ramel bergegas meninggalkan ruang tamu.Kenan pun berpamitan kepada buyutnya, an
"Pantas saja ini tempat favorit mas Ramel, selain pemandangannya yang indah, suasananya juga terasa tenang," ucap Bella dengan nada lembut dan nyaris tak terdengar.Wanita satu anak itu memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya dari hidung dengan lembut, sambil menikmati sejuknya hembusan angin."Bella."Bella refleks membuka mata saat mendengar seseorang memanggil namanya, ia baru saja akan memutar kepala untuk melihat orang yang memanggilnya, tetapi dua telapak tangan sudah terlebih dahulu mendorong punggungnya dari belakang."Aaaaaahh...." teriak Bella yang terguling ke jurang hingga jatuh ke aliran air terjun.Saat itu juga Ramel terbangun dari tidurnya, seluruh kening pria tampan itu terlihat mengkilat akibat tetesan keringat, sehingga membuat Tania bingung dan terkejut ketika melihatnya ke luar dari kamar."Ramel, kamu kenapa?" tanya Tania yang sedang memberikan susu formula pada Kenan."Bella di mana Oma?" Bukannya menjawab, Ramel justru balik bertanya.
Setelah melepas hasrat sebanyak dua kali, Ramel dan Bella meninggalkan rumah pohon dan kembali ke Villa. Setibanya di sana, Tania langsung mengajak mereka untuk makan siang bersama. Wanita tua itu sudah menyiapkan beberapa menu di atas meja bersama pelayan.Makan siang kali ini sedikit berbeda, biasanya suasana di meja makan pasti akan hening karena tak ada yang boleh berbicara. Tetapi saat ini Ramel, Bella dan Tania menikmati makan siangnya sambil berbincang-bincang."Mel, Bel, malam ini Kenan biar tidur sama Oma aja ya?" ucap Tania sambil mengunyah makanannya.Iya, Ramel dan Bella menamai putranya Kenan Alexander Wijaya."Kenan setiap malam sering minta susu, nanti Oma jadi terganggu," sahut Bella."Enggak apa-apa, Oma gak merasa terganggu kok," ucap Tania.Wanita tua itu sengaja meminta Kenan tidur di kamarnya, agar Bella dan Ramel bisa berduaan menikmati liburannya. Dari awal Tania sudah menolak untuk ikut ke Villa, tetapi Bella memaksa."Yaudah, terserah Oma aja." Kali ini Ramel
Empat puluh hari telah berlalu, hari ini keluarga Wijaya sedang bersiap untuk liburan. Ramel akan memboyong keluarganya ke villa, seperti permintaan Bella waktu itu. Rencananya mereka akan menginap di sana selama satu Minggu."Mas," panggil Bella.Ramel yang melangk menuju pintu, menghentikan langkahnya lalu berputar menghadap Bella."Iya sayang," sahut Ramel dengan lembut."Sebabnya ada yang ingin aku bicarakan, Mas," ucap Bella dengan wajah serius.Ramel melangkah menghampiri istrinya yang duduk di sisi ranjang tepat di samping wanita cantik satu anak itu."Bicara apa sayang? Apa tentang liburan kita?" todong Ramel.Bella menggeleng, "Tidak mas, aku ingin bicara tentang pak Bara dan Mbok Inem," ucapnya.Ramel menghela napas, ia meraih tangan Bella lalu menggenggamnya dengan erat. Walupun Bella belum mengatakan apapun, Ramel sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh istrinya itu.Tentu tentang kejadian beberapa bulan yang lalu, di mana pak Bara dan Mbok Inem tiba-tiba mengkhianatinya
"Kenapa sayang?" tanya Ramel yang langsung memeluk Bella."Mas tega," bisik Bella."Bukan tega sayang, tapi Mas hanya mengikuti saran dari dokter," sahut Ramel yang juga berbisik.Akhirnya Bella mengikuti kemauan suaminya, ia mengijinkan dokter untuk melakukan tugasnya. Bella menggigit ujung baju Ramel untuk menahan rasa sakit yang luar biasa, bahkan lebih sakit dari melahirkan."Sudah Dok, saya gak kuat lagi," keluh Bella, akhirnya wanita cantik itu menyerah."Sebentar lagi ya Bu, tinggal satu jahitan lagi," sahut dokter. Wanita berjubah putih itu sengaja mengajak Bella bicara, untuk mengalihkan rasa sakitnya.Setelah 60 menit berlalu, Bella dipindahkan ke ruang inap begitu juga dengan bayi mungilnya. Wanita cantik itu sudah pasti menempati kamar President Suite.Ramel tak sedetikpun meninggalkan istri dan anaknya. Tatapnya tak lepas dari wajah tampan putranya, bayi mungil itu benar-benar mirip dengannya. Sungguh Ramel tak menyangka memiliki anak diusianya yang masih sangat muda, ia