Mobil melaju lebih lambat. Hanya ada suara dari radio yang sejak tadi sudah tidak lagi menarik bagi Naya. Yang dia lakukan adalah menghapus air mata. Ingin sekali Naya berhenti menangis, tapi sesak di dadanya membuat ia tidak mampu melakukannya.Sesekali Lukas melirik bayangan Naya dari spion tengah, dia tidak bisa menutupi perasaan paniknya. Mobil pun menepi tepat di depan minimarket dekat gedung apartemen Naya.Lukas melepas seatbelt. "Tolong, Naya. Aku nggak mau kayak gini. Kamu sendiri yang mengiyakan. Kamu mau nunggu aku, kan? Aku juga mau lebih serius dari ini. Aku nggak mau putus. Nggak kayak gini."Naya masih sibuk mencoba hentikan tangis.Tangan Lukas menarik pelan tangan Naya, menggenggamnya erat, menaruhnya di dada. "Tolong, Na.. Nggak gini.""Please, percaya sama aku. Sama hubungan kita. Tunggu aku, tunggu sampai aku siap nikahin kamu."Anggukan pelan, Naya hanya bisa melakukan itu saat ini. Mengangguk sambil mengatur emosi dalam dirinya. Ingin sekali Naya mengucapkan kat
Naya mengambil handuk, siap keluar dari kamar mandi. Setelah lelah dengan apa yang ia hadapi hari ini, Naya memilih menghabiskan waktu lebih lama di bawah kucuran shower. Memang jauh lebih baik kalau Lukas sama sekali tidak muncul di hadapan Mama, pikirnya.“Bukannya nggak kasih restu, tapi ya mereka udah sama-sama matang. Heran, anak zaman sekarang tuh.” Suara Mama langsung terdengar saat Naya menarik pintu. Wanita yang tahun ini menginjak usia 50 sedang berbicara di ponselnya.Naya menutup kembali pintu, memutuskan untuk mendengar pembicaraan Mama dari kamar mandi. Dia yakin Mama sedang curhat tentang hubungannya bersama Lukas.“Ya, gimana? Jerry aja ya dulu kalau nggak dipaksa nikah sama orang tuaku ya terus aja sibuk jaga ruko.” Hati Naya tersentak saat nama Papa disebut. “Umur emang nggak ada yang tahu. Nanti pas dia nikah, Jerry aja udah nggak bisa kan ada di samping buat dampingin? Gimana kalau aku juga gitu? Aku cuma pengen Naya cepat berkeluarga, dapat suami yang tepat. Mau m
Suara Perempuan Setelah memasukan semua barang, memastikan tidak ada yang terlupa, Mama meminta Naya untuk duduk di atas koper. Walau tidak terlalu lama di Jakarta, Mama banyak membeli barang. Berhasil, koper sudah tertutup sempurna. Ponsel Mama bergetar membuat aktivitas mereka terhenti. “Bentar lagi turun.” Mama mematikan panggilan dan dengan terburu-buru membereskan tas kecilnya. “Ada Roy sama keluarganya di bawah.” Naya menaikan alis. “Lho? Mau diantar mereka ke pool? Kirain mau naik taksi online.” “Sekalian pamitan.” Segera Naya mengantar Mama ke bawah sambil membawa koper berukuran sedang di tangannya. Seperti yang dikatakan, Bella sudah menunggu di lobby. Termasuk anaknya, Adrian. Naya dan Mama berpelukan, ada air mata yang tertahan di mata mereka. Tetapi seperti biasanya, baik Naya, atau juga Mama sama-sama tidak jago dalam mengungkapkan perasaan. Ada rasa sedih di hati kecil Naya, bercampur rasa rindu untuk bisa lebih lama bersama Mama. Seperti dulu. Lengkap bersama Papa
Berkali-kali Naya menghubungi Lukas, tapi tidak ada lagi jawaban. Chat pun tidak dibaca. Apa yang sebenarnya terjadi? Naya memejamkan mata, mendekap ponselnya di dada. Dua tahun adalah waktu yang cukup baginya mengenal Lukas dan selama dua tahun itu ia paham betul seberapa penting menjaga privacy bagi pria itu.Dan siapa? Mengapa perempuan yang setengah jam lalu mengangkat panggilan itu tertawa? Apa ponsel Lukas hilang? Terjatuh? Dicuri?Oh! Mungkin perempuan tadi adalah rekan kerja Lukas. Naya mengatur napasnya, berusaha berpikir lebih positif.Atau…. Naya memejamkan matanya lebih kencang, menghapus pikiran anehnya. Apa dia berselingkuh juga? Apa selama ini Lukas memiliki pacar lain di luar sana seperti Naya? Tiba-tiba sekian banyak gambaran perempuan cantik muncul di kepalanya. Membuat Naya merasa mual sendiri.Mungkin saja, apapun bisa terjadi, kan? Naya menghela napas panjang. Toh, selama ini Naya tidak pernah membayangkan kalau ia akan mengkhianati pacarnya dan having sex yang ti
"Naya," ucap Naya berulang sambil menyalami satu-persatu anggota band Blackjack.Dari keempat membernya, terlihat jelas sekali siapa vocalist di antara mereka. Drew, pria bertubuh tidak begitu tinggi dengan kulit sawo matang. Di kedua lengannya dipenuhi tato yang gambarnya campur aduk. Rambutnya panjang, melebihi panjang rambut Evan dan diwarnai kebiruan."Siap kalian?" Evan bertanya sambil merangkul pinggang Naya."Siap dong! Yang nonton juga kagak banyak." Ari, sang bassist yang sejak tadi tampak paling siap dari mereka semua memandangi isi cafe.Evan membawa Naya keluar dari backstage, masuk ke dalam kerumunan penonton, berdiri di dekat stage. Tidak lama, anggota Blackjack muncul dan disambut suara riuh penonton. Suara kencang gitar diiringi pukulan drum menggema.Semua yang ada di ruangan mengikuti lagu demi lagu yang Blackjack bawakan, meski nama grup mereka cukup dikenal bagi para penggemar musik underground."Suara Drew unik," bisik Naya pada telinga Evan sambil setengah berter
Ketika mobil taksi yang ia pesan sampai, Naya segera menggerakan kaki ke arahnya. Dia tidak punya cukup tenaga untuk menoleh pada Evan dan mengucapkan 'aku pulang duluan'. Yang Naya ingat hanya lah pergi secepatnya.Menyadari gerakan Naya yang tiba-tiba mau memasuki sebuah mobil, Evan segera menarik tangannya cukup kencang. Membuat Naya terkejut, hampir kehilangan keseimbangan. "Lho? Kamu mau ke mana?" Kedua mata Evan berusaha mengamati siapa yang ada di dalam mobil."Aku pulang duluan aja deh, Van. Tiba-tiba capek." Naya membuka pintu mobil yang kemudian ditutup oleh Evan. Kening Evan mengernyit. Lirikan matanya penuh kebingungan."Iya, aku mau pulang aja. Nggak enak badan.""Kamu sakit, Naya? Pusing? Demam?" Evan coba menebak sambil menaruh punggung tangannya di kening Naya."Nggak enak badan aja. Udah sana itu temenin temen kamu itu. Nanti kemaleman." Senyum dan nada suara yang dikeluarkan Naya sangat menggambarkan kalau apa yang baru saja ia katakan tidak disertai ketulusan."Ko
Naya memilih meja dengan dua kursi. Tidak tahu kenapa dia memilih coffee shop satu ini dan meminta driver mengganti tempat tujuan. Hanya saja saat di jalan Naya mengingatnya karena tidak begitu jauh dari apartemen. Yang jelas, dia belum mau membuang emosinya di apartemen.Segelas ice latte mendarat di hadapannya. Naya menyeruput sedikit demi sedikit. Sambil coba tenangkan diri dan melupakan sejenak soal Evan dan Aninditha, Naya memutar video di ponselnya. Beberapa kali panggilan Evan masuk, tapi dia memilih untuk menghiraukannya. Chat dari Evan pun tidak ingin ia buka."Ngapain? Sendiri?" Suara seorang pria yang Naya kenal terdengar menyapanya dari meja belakang. Naya menoleh, "Lho?"Sang pemilik suara beranjak berdiri, menarik bangku di hadapan Naya, dan duduk di atasnya."Jakarta tuh sempit banget ya." Naya tertawa kecil sambil berpikir, dari sekian banyak tempat, bisa bertemu dengan Adrian."Beneran sendirian?""Ya menurut kamu?" Naya menyeruput kopinya kembali."Ya udah, gue teme
“Katanya, kalau ada bulu mata rontok tuh berarti ada yang lagi kangen.” Sambil menyalakan mesin mobil, Adrian memperhatikan Naya yang sedang berusaha mengambil bulu mata di pipinya.Naya berdecak. “Kata siapa, sih? Bohong itu.”“Dih, kagak percaya. Si Lukas tuh kayaknya, bulu mata kerinduan Lukas sama lo.”Rindu? Gimana bisa rindu, tapi jarang banget memberi kabar? Naya berbicara dalam hati. Normalnya manusia akan berusaha selalu terkoneksi di mana pun, kapan pun, saat jauh dari orang yang mereka sayangi. Terlebih statusnya pacar. Rasanya wajib untuk selalu memberi kabar, meski salah satu di antaranya sibuk.Selepas Lukas kembali ke Surabaya, semua berjalan seperti biasa. Seolah Naya harus lagi-lagi kehilangan pria itu. Kehilangan yang tidak benar-benar hilang.Adrian membawa mobilnya ke sebuah gerai penjual durian yang terkenal di Jakarta. Aroma durian langsung menusuk rongga hidung, saat pintu mobil dibuka. Naya dan Adrian duduk di salah satu meja di tengah gerai setelah memilih seb
Sambil mengunyah suapan daging bercampur nasi dan sayur, Naya memerhatikan wajah Evan. Ekspresi tenang yang tidak pernah lepas dari pria itu meski sedang dalam situasi tidak mengenakan memang selalu menghipnotis dirinya. Seperti saat ini, bisa saja ia masih menangis, entah menangis bodoh atau menangis karena tidak percaya. Pengkhianat yang justru mendapat pengkhianatan. Tetapi Evan berhasil membuatnya tenang. Pikirannya memang masih berkecamuk, tapi keberadaan Evan membuat ia sadar, berkhianat bisa jadi pilihan yang baik. Apalagi dalam kondisi seperti ini, munculnya persoalan Lukas dan wanita itu, juga fakta yang tiba-tiba saja muncul. Mungkin Tuhan sengaja mempertemukan ia dengan Evan. "Jadi, bisa kan kita lebih dari ini, Na?" tanya Evan sambil menatap mata Naya. Pertanyaan itu membuat Naya hampir mengeluarkan kunyahannya. "Maksud kamu?" "Kita menikah aja ya?" Evan tersenyum, senyuman dengan tatapan mata penuh kesungguhan. "Aku ingin kita benar-benar jadi satu. Nggak ada lag
Sama sekali tidak terbayang, Naya yang baru saja terluka, mendapatkan rasa perih yang sudah pasti akan lama terobati, saat ini mendapat kenikmatan yang membuatnya lupa akan rasa perih teraebut. Sekilas air mata Naya menggenang, kembali mengalir. Namun tangisan itu tidak datang dan langsung menghilang saat nafas juga aroma tubuh Evan kini menguasainya. "Kamu cantik banget, Na. Aku selalu kangen lihat ekspresi kamu kayak gini, suara kamu, desahan..." Evan masih memainkan jarinya. "Aku juga, aku selalu ingin lakuin ini sama kamu. Setiap hari. Ahhh.. Evan...." Naya menggelinjang, sebelum Evan memberi sentuhan dahsyatnya, ia sudah mendapat kenikmatan. Evan tersenyum puas, baginya, berhasil memberi kenikmatan pada Naya adalah satu pencapaian. Apalagi ia belum memainkan miliknya. Evan mengecup tubuh Naya, dari satu bagian ke bagian yang lain. Meninggalkan tanda. "Aahh... Hh.." Naya sangat menikmati. Entah karena ia sedang dalam kondisi sangat tidak baik, lalu mendapat kenikmatan d
Naya sudah mengajukan cuti dua hari ke kantor. Tidak mungkin datang ke kantor dengan mata bengkak, wajah kucel, dan tubuh lemas. Rasanya setengah jiwa masih mengambang entah di mana. Mungkin karena masalah kemarin belum selesai dan ada ujungnya. Sejujurnya, Naya masih penasaran dan ingin bertanya banyak tentang wanita bernama Hana. Wanita yang dijodohkan pada Lukas. Tapi sudah, cukup, Naya merasa bila ia tahu lebih dalam tentang wanita itu dan Lukas sama saja seperti sedang menyayat pergelangan tangan sendiri. Akan terasa sakit, jelas menimbulkan luka, dan bekas yang sulit hilang. Kedua tangan Naya memijat kepala, terlalu banyak nangis membuat kepalanya terasa tidak enak. Nyeri. Dia mengambil ponselnya, ada tiga missed call dari Lukas. Tepat ketika dia sedang membuka aplikasi chat, datang panggilan ke ponselnya. Evan. "Hi.." Nada suara Naya parau. "Aku di lobby. Boleh ke sana?" Informasi itu membuat Naya sedikit terkejut. "Aku lagi jelek," ucap Naya. Bagaimana bisa dia m
Hampir saja Naya menangis saat mendengar kalimat itu. Air matanya telah berkumpul di pelupuk, siap untuk terjun. Dia coba menahannya, membuat dadanya terasa sangat sesak. Ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya. Memang salah menghadapi kenyataan pahit ini dengan mengamuk? Naya masih menahan segalanya. Dia berharap secepatnya sampai di ruman.Pada akhirnya, Tuhan menunjukkan bahwa, semua manusia itu punya bakat buat jahat. Bukan hanya Naya yang berselingkuh dengan Evan, tapi Lukas juga mengkhianati dirinya lebih parah. Jauh lebih dulu, langkahnya lebih cepat. Bahkan sampai tidak terlihat. Yang ada, hanya hasil dari langkah-langkah itu, lubang dalam karena injakan sepatu yang tajam. Naya yang selama ini berusaha menutupi kehadiran Evan ternyata sama saja seperti Lukas yang berusaha menutupi adanya keluarga kecil, beserta kehidupannya yang kalau dipikir menjadi sangat asing. Konyol."Makasih lho." Naya berusaha baik-baik saja, meski tubuh, hati, dan pikirannya terasa remuk."Santai
Entah dari mana rasa sakit itu muncul kembali dalam hatinya. Meski ia belum benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, tapi kecurigaannya terhadap sosok anak kecil dalam pangggilan video yang baru saja dilihat mengarah pada hubungan Lukas dengan wanita bernama Hana.Naya memandangi langit yang mulai terang di luar sana. Dia menghela napas untuk kesekian kalinya. Cara Naya menenangkan diri walau tentu tidak bisa sepenuhnya. "Mau aku antar sekarang?" Tiba-tiba Lukas muncul, wajahnya tampak lebih tenang dari sebelumnya.Naya memegang dan memijat bahunya sendiri. "Kan aku udah bilang nggak usah.""Atau aku aja gimana? Kak Lukas jagain Kak Hana aja. Dia butuh kakak di sampingnya." Eva ikut menawarkan jasa. "Aku bawa mobil."Asing, tentu saja. Naya baru mengenal Eva sekian jam lalu, tapi perempuan yang terlihat lebih muda darinya itu sudah bersedia mengantar pulang. Tetapi sesi seperti ini tidak ingin Naya lewatkan begitu saja. Dia bisa mendapat lebih banyak informasi mengenai Hana dan Luk
Setelah hampir empat jam menghabiskan waktu di perjalanan, tanpa obrolan apapun, mereka sampai ke tujuan. Seorang gadis berambut pendek dengan pakaian casual terlihat berdiri di depan pintu ruang UGD.Naya memerhatikan gadis itu, wajahnya sangat menggambarkan rasa khawatir. Saat mengetahui Lukas telah datang, gadis itu sontak mendekati."Kak, Mbak Hana nggak apa-apa kok kata dokter. Cuma tetap harus dirawat dulu buat dipantau. Lagi nunggu kamar aja."Lukas menoleh ke pintu UGD. "Beneran nggak apa-apa?"Gadis itu mengangguk. "Udah sadar, tapi masih lemes banget.""Kakak dari mana? Kantor?" Dia lanjut bertanya sambil melihat Naya, lalu tersenyum."Dari luar kota. Oh iya, ini Naya." Lukas memperkenalkan Naya."Naya.""Eva. Temannya Kak Lukas?"Naya menelan ludah. Apa yang harus ia katakan? Naya hanya bisa mengangguk."Tadi gimana ceritanya? Dia ngapain? Minum obat asal-asalan atau gimana?" Lukas seolah mengalihkan pembicaraan."Iya, obat tidurnya sendiri. Kata dokter bikin badannya nggak
Lukas menghapus air mata Naya, mengusap kedua pipi Naya lembut. "Maaf, Na. Aku nggak bisa apa-apa. Kamu tahu kan soal keluargaku?"Seketika ingatannya tentang keluarga Lukas yang perfctionist muncul di benaknya. Ayah dan Ibu Lukas selalu menginginkan anak-anaknya sukses dengan jurusan atau bidang pekerjaan sesuai harapan mereka. Seperti Lukas yang mengambil jurusan Hubungan Internasional saat kuliah, berdasarkan permintaan dari orang tuanya.Sejujurnya, Naya sedikit lupa tentang bagaimana ia dulu memiliki perasaan spesial kepada Lukas. Saat awal bertemu, Lukas mengajak Naya berkenalah ketika berada di acara peluncuran toko yang menjual aneka kebutuhan sehari-hari. Toko tersebut milik teman Naya yang juga merupakan teman kuliah Lukas."Jadi, kita benar-benar harus menyudahi hubungan ini? Kamu serius mau putus sama aku? Terus apa artinya 2,5 tahun ini?" Naya berusaha menghetikan tangisnya."Aku sayang sama kamu, Na. Aku nggak mau pisah, tapi gimana? Aku nggak bisa lawan permintaan Ayah d
Yang Naya inginkan sekarang hanyalah Lukas secepatnya sampai. Mengapa? Kenapa? Pria itu menyimpan rahasia apa? Apa selama ini dia berselingkuh? Atau bagaimana? Naya memejamkan mata sesaat. Setelah seharian tadi ia 'ngebolang' sendirian, sambil menunggu Lukas yang akan tiba malam ini, Naya memutuskan beristirahat di hotel.Pukul 18.40.Badan dan pikiran dalam benaknya terasa sangat lelah. Ingin rasanya ia tidur sesaat, melupakan semuanya satu sampai dua jam saja. Tetapi rasa lelah itu justru membuatnya terus membuka mata. Naya malah terus-menerus memutar otak, membayangkan apa yang nanti akan Lukas katakan. Apa hubungannya dengan pria itu memang sudah waktunya harus berakhir? Malam ini? Waktu terus berjalan dan tepat saat pukul 20.46, masuk telepon dari Lukas."Aku di lobby, Na," ucap Lukas singkat.Telepon tetap tersambung meski tidak ada pembicaraan lebih lanjut. Tepat saat pintu lift terbuka, Naya bisa langsung melihat Lukas yang mengenakan sweater hijau gelap dengan celana creamny
Tangan Naya menggenggam erat ponsel, dia memejamkan mata. Naya belum siap mendengar penjelasan dari Lukas."Hm?" Sambut Naya di ponselnya."Kamu di mana? Surabaya? Kenapa nggak hubungi aku dulu?""Kenapa bohong?""Aku nggak ada maksud bohong sama kamu, Na. Aku cuma butuh banyak waktu buat fokus sama kerjaan aku.""Nggak masuk akal. Selama ini aku nggak pernah ganggu kerjaan kamu kok.""Ya aku…""Udah, kamu kenapa? Ada apa? Kamu jujur aja sama aku. Kalau memang kita harus selesaikan hubungan kita, ya udah, kita akhiri baik-baik. Nggak gini caranya!"Naya tidak bisa menahan tangisnya. Dia terus coba mengatur napas dan suaranya yang semakin parau. "Ceritanya panjang, Na. Aku harus jelasin langsung sama kamu. Kamu di mana? Aku jemput kamu sekarang atau malam ini? Aku cari tiket pesawat paling cepat.""Nggak usah. Aku balik sendiri aja. Kamu nggak usah jemput aku."Naya mematikan telepon, melempar ponselnya ke sudut kasur. Rasanya dia tidak ingin lagi mendengar suara pria itu. Ponselnya k