Hujan yang mendadak turun tanpa perkiraan membuat Naya harus ekstra gerak cepat menuju stasiun LRT. Naya memasukan kedua tangannya ke dalam jaket. Beruntungnya Maria membawa jaket di mobil dan meminjamkan padanya. Hujan di Indonesia memang tidak mudah untuk ditebak.
Sesampainya di stasiun tujuan, Naya segera jalan cepat ke pool travel. Tentu saja jaket pinjaman tidak mampu menghindari air hujan yang sudah membasahi tubuhnya. Dia menyesal menolak tawaran Maria untuk mengantarnya.
“Kamu nggak bawa payung?” tanya Mama sambil memasukan benda-benda di tangannya ke dalam tas di pangkuan.
“Yah, nggak ngira bakal hujan juga, Ma. Bentar, Naya pesan taksi online dulu.”
Tidak ada pembicaraan khusus di antara mereka selama menunggu taksi datang. Begitupun ket
Naya merapikan rambutnya yang sudah memanjang. Dia memulas blush on lebih tebal dan lipstik yang lebih menyala setelah Mama memberi tahu ke mana tujuannya setelah ini. Seharian menemani berjalan-jalan di mall besar yang tentu membuat kaki terasa sakit tanpa membeli barang penting. Sekadar melihat-lihat saja.Sudah waktunya makan malam, Mama membawanya makan malam di sebuah restoran Jepang, jenis restoran yang tidak begitu disukai Mama. Naya mengerutkan kening, bagaimana bisa selera lidah seseorang bisa begitu cepat berubah? Dia berpikir keras.Mama membuka buku menu. “Mau pesan apa kamu?”“Tumben mau makan makanan Jepang gini. Biasa nolak.” Naya mengambil buku menu dari atas meja.“Mama ada janji sama temen di sini. Roy sama istrinya, Bella.”Naya memperhatikan ekspresi wajah wanita di hadapannya, mengapa tidak bilang sejak awal? Naya bingung dan memilih untuk mengangguk.Hampir satu jam, mereka yang disebut oleh Mama tidak juga
"Calon besan…"Tulis Mama dalam kolom caption media sosialnya saat mengunggah foto dengan Bella dan Roy. Naya menghela napas panjang, menutup layar ponselnya. Mama tahu ada Lukas di kehidupan Naya, tapi mengapa lakukan hal konyol seperti ini. Dia tidak mengerti. Naya bangkit dari kasur. Biasanya akhir pekan adalah waktu tepat ia untuk mengembalikan energi. Kali ini tidak, ada Mama yang sejak mulainya matahari terbit tiga jam lalu sibuk membersihkan semua sudut apartemen."Beli di seberang ya, Ma?" tanya Naya setelah mendapati bungkusan styrofoam dengan sebungkus kerupuk di atasnya."Iya, sana sarapan dulu. Hari kita pergi lagi ya ketemu Roy sama Bella." Mama bersiap masuk ke toilet membawa handuk.Naya mengerutkan kening. "Lah? Kan semalam udah?""Ya, kan kapan lagi Mama ketemu mereka. Adrian juga ikut. Semalam kalian nggak banyak interaksi, kan? Adrian pebisnis hebat lho, Na. Dia ambil S2 di Aussie. Beasiswa.""Buat ap
Naya mengaduk kencang seduhan kopi dalam gelas di hadapannya. Rutinitas yang menyenangkan baginya, tapi kini terasa menjenuhkan. Segera dia membawa gelas itu ke balik meja kerja. Ingin sekali secepatnya menyelesaikan pekerjaan, lalu pergi entah ke mana. Menolak pulang cepat ke apartemen.“Lagi mens? Kusut tuh muka.” Maria menggeser bangkunya mendekati meja Naya.Naya mengangkat bahu. Terlalu banyak hal menyebalkan yang harus ia hadapi akhir-akhir ini.“Marahan sama Evan?”Helaan napas yang berat memperlihatkan bahwa Naya sedang tidak baik-baik aja.“Nggak tahu, udah beberapa hari nggak kontakan sama dia.”Maria melihat sekitar, memastikan tidak ada anak kantor lain yang sedang menguping mereka. “Putus? Eh kan katanya lo sama dia nggak pacaran. FWB-an doang, kan? Terus terus?”Naya ikut melirik kondisi sekitarnya. “Ya itu, makin lama gue sadar juga kalau gue sama Evan nggak ada hubungan yang jelas. Pengen banget gue tanya kabar dia, tapi entah kenapa ada aja perasaan aneh yang nahan bu
Ternyata apartemen Lukas tidak begitu jauh dari mall tempat pria itu bekerja. Lukas membantu Naya melepas helm dan menggantungnya di motor. Lega rasanya bisa bertemu Lukas kembali. Naya tidak bisa menahan senyumnya ketika menyadari tangan siapa yang menggenggamnya erat.Lukas menekan tombol '9' dan lift segera menutup pintunya. Bayangan mereka yang terpantul di pintu lift terlihat samar seperti perasaan Naya saat ini."Pake aja sepatunya kalau males buka." Evan melempar jaketnya ke atas kasur yang terletak di tengah ruangan, bersandar pada dinding.Naya menggeleng. "Buka dong, nanti ngotorin."Evan menyalakan AC, membuka kulkas mini di samping kasur. Dua kaleng bir dingin ia taruh di atas meja."Aku kangen banget sama kamu." Evan mempersilakan Naya duduk."Kamu yang ngilang." Naya membuka blazer. "Sibuk?""Lumayan. Mau buka cabang di mall sebelah. Jadi ya lumayan harus bantu urus."Naya mengangguk pelan. "Buka ya?"Dia membuka bir dengan cepat, meminumnya.Evan menaruh kepalanya di ba
Kedua tangan Evan memegang kepala Naya dan membimbingnya. Sementara Naya mencoba menikmati apa yang sedang ia lakukan. Pengalaman pertama Naya, walau di satu sisi ia merasa keberatan.Desahan Evan terdengar jelas. Dia mendorong kepala Naya lembut, menjauhkan wajah mungil perempuan itu dan meminta menyudahinya. Rasa nikmat yang diberikan Naya membuat nafsunya semakin naik.Dia kembali menciumi Naya, tidak terkendali. Kini sudah tidak ada lagi selembar kain pun yang melapisi tubuh mereka. Evan menggendong Naya ke atas kasur sambil tidak melepaskan ciumannya. Dengan cepat memasukan miliknya, mendorong dan menariknya teratur. Naya kehilangan kesadaran. Dia tidak lagi mampu menahan desahannya. Begitu juga dengan Evan. Keduanya menyatu, saling menikmati, seperti dunia hanya milik mereka.Evan mendesah panjang. Seketika Naya merasakan cairan hangat keluar di dalam sana. Mereka mengatur napas masing-masing. "I love you, Naya. So much." Evan mengecup kening Naya lalu perlahan menarik milikny
“Suka?”“Ahh… Aku… Ahhh…”Naya mencengkram sprei kencang, tubuhnya menggelinjang dengan perasaan nikmat. Seolah ada aliran listrik yang keluar dari ujung kaki ke ujung kepalanya. Tubuhnya pun lemas, tapi dia tetap berada di posisinya, mengatur napas.Pelan Evan mengeluarkan miliknya. Mereka sama-sama mencerna apa yang baru saja mereka lakukan. Menikmati perasaan luar biasa nikmat yang terus terbayang. Kedua tangan Evan memeluk Naya, membimbingnya untuk tidur bersama dalam rangkulan, memandangi langit-langit kamar.Puas…. Naya terbayang-bayang satu kata tersebut dalam kepala. Mungkin selama ini yang ia tidak bisa juga dapatkan dari Lukas adalah rasa puas. Selain sikap dingin pria itu padanya dalam satu tahun terakhir, Lukas tidak pernah mau menyentuhnya lebih dari ciuman dan pelukan.Belum lagi keberadaannya yang terasa semakin jauh, semakin tidak Naya kenali. Evan menciumi pipi Naya dan kemudian memberi tanda di leher kiri, tanda berwarna kemerahan.Apakah harus menyudahinya? Menyudah
Sama sekali Naya tidak ingin segera sampai ke apartemen. Sejak tadi, perasaannya sangat tidak tenang. Sampai Naya tidak bisa lagi berkata-kata. Evan memakaikan helm dan jaket oversize berbahan denim pada Naya.Tidak lama saat Evan mulai menjalankan motornya, air mata kembali mengalir di pipi Naya. Membuat Naya langsung memeluk punggung Evan erat. Bagaimana bisa? Ketika ia sudah menetapkan hati untuk memilih hubungan mana yang baginya mendatangkan kebahagiaan, sosok itu justru kembali.Mungkin dua tahun bagi banyak orang terkesan biasa saja. Perjalanan yang tergolong tidak lama, tapi juga tidak sebentar. Mungkin bagi banyak orang konflik batin yang Naya rasakan selama ini tentang hubungannya bersama Lukas hanya sebatas masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah.Tidak, Naya memejamkan mata sesaat. Mengingat bagaimana Lukas pertama kali hadir dalam kehidupannya. Memang rasanya tidak begitu spesial seperti kisah kasih pasangan lain. Tapi Lukas hadir di waktu yang tepat
Sekian detik Naya dan Evan sama-sama diam, tidak tahu mau menjawab apa. Naya menggeleng. “Bu..bukan, Ma…. Ini sahabat dekat Naya di sini. Namanya Evan.” Evan langsung turun dan membuka helm setelah memastikan standar motor sudah ia turunkan. “Evan Rasuli,” sambut Evan menjulurkan tangannya. “Sarah, mamanya Naya.” Mama menyalami Evan.” “Mama dari mana?” Naya mencoba tenang.“Dari mini market. Nggak masuk ke atas?” Mata Evan melirik sekilas ke arah Naya. “Nggak usah tante, cuma mau antar Naya aja.” “Kirain tadi Lukas. Teman sekantor?” Naya menghela napas, bagaimana bisa sang Mama menyebut nama Lukas lebih dari sekali di depan Evan. Walau tentu pria itu sudah paham kondisinya, tapi tetap saja membuat tidak nyaman. “Nggak, tante. Beda kantor cuma tadi sekalian pulang bareng.” “Oh gitu…” “Saya pamit pulang dulu ya, tante. Udah malam juga.” Evan mengangguk-angguk, lalu kembali menjulurkan tangan yang langsung dibalas kembali oleh Mama. “Hati-hati di jalan, Evan.” Senyum lebar Ma
Sambil mengunyah suapan daging bercampur nasi dan sayur, Naya memerhatikan wajah Evan. Ekspresi tenang yang tidak pernah lepas dari pria itu meski sedang dalam situasi tidak mengenakan memang selalu menghipnotis dirinya. Seperti saat ini, bisa saja ia masih menangis, entah menangis bodoh atau menangis karena tidak percaya. Pengkhianat yang justru mendapat pengkhianatan. Tetapi Evan berhasil membuatnya tenang. Pikirannya memang masih berkecamuk, tapi keberadaan Evan membuat ia sadar, berkhianat bisa jadi pilihan yang baik. Apalagi dalam kondisi seperti ini, munculnya persoalan Lukas dan wanita itu, juga fakta yang tiba-tiba saja muncul. Mungkin Tuhan sengaja mempertemukan ia dengan Evan. "Jadi, bisa kan kita lebih dari ini, Na?" tanya Evan sambil menatap mata Naya. Pertanyaan itu membuat Naya hampir mengeluarkan kunyahannya. "Maksud kamu?" "Kita menikah aja ya?" Evan tersenyum, senyuman dengan tatapan mata penuh kesungguhan. "Aku ingin kita benar-benar jadi satu. Nggak ada lag
Sama sekali tidak terbayang, Naya yang baru saja terluka, mendapatkan rasa perih yang sudah pasti akan lama terobati, saat ini mendapat kenikmatan yang membuatnya lupa akan rasa perih teraebut. Sekilas air mata Naya menggenang, kembali mengalir. Namun tangisan itu tidak datang dan langsung menghilang saat nafas juga aroma tubuh Evan kini menguasainya. "Kamu cantik banget, Na. Aku selalu kangen lihat ekspresi kamu kayak gini, suara kamu, desahan..." Evan masih memainkan jarinya. "Aku juga, aku selalu ingin lakuin ini sama kamu. Setiap hari. Ahhh.. Evan...." Naya menggelinjang, sebelum Evan memberi sentuhan dahsyatnya, ia sudah mendapat kenikmatan. Evan tersenyum puas, baginya, berhasil memberi kenikmatan pada Naya adalah satu pencapaian. Apalagi ia belum memainkan miliknya. Evan mengecup tubuh Naya, dari satu bagian ke bagian yang lain. Meninggalkan tanda. "Aahh... Hh.." Naya sangat menikmati. Entah karena ia sedang dalam kondisi sangat tidak baik, lalu mendapat kenikmatan d
Naya sudah mengajukan cuti dua hari ke kantor. Tidak mungkin datang ke kantor dengan mata bengkak, wajah kucel, dan tubuh lemas. Rasanya setengah jiwa masih mengambang entah di mana. Mungkin karena masalah kemarin belum selesai dan ada ujungnya. Sejujurnya, Naya masih penasaran dan ingin bertanya banyak tentang wanita bernama Hana. Wanita yang dijodohkan pada Lukas. Tapi sudah, cukup, Naya merasa bila ia tahu lebih dalam tentang wanita itu dan Lukas sama saja seperti sedang menyayat pergelangan tangan sendiri. Akan terasa sakit, jelas menimbulkan luka, dan bekas yang sulit hilang. Kedua tangan Naya memijat kepala, terlalu banyak nangis membuat kepalanya terasa tidak enak. Nyeri. Dia mengambil ponselnya, ada tiga missed call dari Lukas. Tepat ketika dia sedang membuka aplikasi chat, datang panggilan ke ponselnya. Evan. "Hi.." Nada suara Naya parau. "Aku di lobby. Boleh ke sana?" Informasi itu membuat Naya sedikit terkejut. "Aku lagi jelek," ucap Naya. Bagaimana bisa dia m
Hampir saja Naya menangis saat mendengar kalimat itu. Air matanya telah berkumpul di pelupuk, siap untuk terjun. Dia coba menahannya, membuat dadanya terasa sangat sesak. Ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya. Memang salah menghadapi kenyataan pahit ini dengan mengamuk? Naya masih menahan segalanya. Dia berharap secepatnya sampai di ruman.Pada akhirnya, Tuhan menunjukkan bahwa, semua manusia itu punya bakat buat jahat. Bukan hanya Naya yang berselingkuh dengan Evan, tapi Lukas juga mengkhianati dirinya lebih parah. Jauh lebih dulu, langkahnya lebih cepat. Bahkan sampai tidak terlihat. Yang ada, hanya hasil dari langkah-langkah itu, lubang dalam karena injakan sepatu yang tajam. Naya yang selama ini berusaha menutupi kehadiran Evan ternyata sama saja seperti Lukas yang berusaha menutupi adanya keluarga kecil, beserta kehidupannya yang kalau dipikir menjadi sangat asing. Konyol."Makasih lho." Naya berusaha baik-baik saja, meski tubuh, hati, dan pikirannya terasa remuk."Santai
Entah dari mana rasa sakit itu muncul kembali dalam hatinya. Meski ia belum benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, tapi kecurigaannya terhadap sosok anak kecil dalam pangggilan video yang baru saja dilihat mengarah pada hubungan Lukas dengan wanita bernama Hana.Naya memandangi langit yang mulai terang di luar sana. Dia menghela napas untuk kesekian kalinya. Cara Naya menenangkan diri walau tentu tidak bisa sepenuhnya. "Mau aku antar sekarang?" Tiba-tiba Lukas muncul, wajahnya tampak lebih tenang dari sebelumnya.Naya memegang dan memijat bahunya sendiri. "Kan aku udah bilang nggak usah.""Atau aku aja gimana? Kak Lukas jagain Kak Hana aja. Dia butuh kakak di sampingnya." Eva ikut menawarkan jasa. "Aku bawa mobil."Asing, tentu saja. Naya baru mengenal Eva sekian jam lalu, tapi perempuan yang terlihat lebih muda darinya itu sudah bersedia mengantar pulang. Tetapi sesi seperti ini tidak ingin Naya lewatkan begitu saja. Dia bisa mendapat lebih banyak informasi mengenai Hana dan Luk
Setelah hampir empat jam menghabiskan waktu di perjalanan, tanpa obrolan apapun, mereka sampai ke tujuan. Seorang gadis berambut pendek dengan pakaian casual terlihat berdiri di depan pintu ruang UGD.Naya memerhatikan gadis itu, wajahnya sangat menggambarkan rasa khawatir. Saat mengetahui Lukas telah datang, gadis itu sontak mendekati."Kak, Mbak Hana nggak apa-apa kok kata dokter. Cuma tetap harus dirawat dulu buat dipantau. Lagi nunggu kamar aja."Lukas menoleh ke pintu UGD. "Beneran nggak apa-apa?"Gadis itu mengangguk. "Udah sadar, tapi masih lemes banget.""Kakak dari mana? Kantor?" Dia lanjut bertanya sambil melihat Naya, lalu tersenyum."Dari luar kota. Oh iya, ini Naya." Lukas memperkenalkan Naya."Naya.""Eva. Temannya Kak Lukas?"Naya menelan ludah. Apa yang harus ia katakan? Naya hanya bisa mengangguk."Tadi gimana ceritanya? Dia ngapain? Minum obat asal-asalan atau gimana?" Lukas seolah mengalihkan pembicaraan."Iya, obat tidurnya sendiri. Kata dokter bikin badannya nggak
Lukas menghapus air mata Naya, mengusap kedua pipi Naya lembut. "Maaf, Na. Aku nggak bisa apa-apa. Kamu tahu kan soal keluargaku?"Seketika ingatannya tentang keluarga Lukas yang perfctionist muncul di benaknya. Ayah dan Ibu Lukas selalu menginginkan anak-anaknya sukses dengan jurusan atau bidang pekerjaan sesuai harapan mereka. Seperti Lukas yang mengambil jurusan Hubungan Internasional saat kuliah, berdasarkan permintaan dari orang tuanya.Sejujurnya, Naya sedikit lupa tentang bagaimana ia dulu memiliki perasaan spesial kepada Lukas. Saat awal bertemu, Lukas mengajak Naya berkenalah ketika berada di acara peluncuran toko yang menjual aneka kebutuhan sehari-hari. Toko tersebut milik teman Naya yang juga merupakan teman kuliah Lukas."Jadi, kita benar-benar harus menyudahi hubungan ini? Kamu serius mau putus sama aku? Terus apa artinya 2,5 tahun ini?" Naya berusaha menghetikan tangisnya."Aku sayang sama kamu, Na. Aku nggak mau pisah, tapi gimana? Aku nggak bisa lawan permintaan Ayah d
Yang Naya inginkan sekarang hanyalah Lukas secepatnya sampai. Mengapa? Kenapa? Pria itu menyimpan rahasia apa? Apa selama ini dia berselingkuh? Atau bagaimana? Naya memejamkan mata sesaat. Setelah seharian tadi ia 'ngebolang' sendirian, sambil menunggu Lukas yang akan tiba malam ini, Naya memutuskan beristirahat di hotel.Pukul 18.40.Badan dan pikiran dalam benaknya terasa sangat lelah. Ingin rasanya ia tidur sesaat, melupakan semuanya satu sampai dua jam saja. Tetapi rasa lelah itu justru membuatnya terus membuka mata. Naya malah terus-menerus memutar otak, membayangkan apa yang nanti akan Lukas katakan. Apa hubungannya dengan pria itu memang sudah waktunya harus berakhir? Malam ini? Waktu terus berjalan dan tepat saat pukul 20.46, masuk telepon dari Lukas."Aku di lobby, Na," ucap Lukas singkat.Telepon tetap tersambung meski tidak ada pembicaraan lebih lanjut. Tepat saat pintu lift terbuka, Naya bisa langsung melihat Lukas yang mengenakan sweater hijau gelap dengan celana creamny
Tangan Naya menggenggam erat ponsel, dia memejamkan mata. Naya belum siap mendengar penjelasan dari Lukas."Hm?" Sambut Naya di ponselnya."Kamu di mana? Surabaya? Kenapa nggak hubungi aku dulu?""Kenapa bohong?""Aku nggak ada maksud bohong sama kamu, Na. Aku cuma butuh banyak waktu buat fokus sama kerjaan aku.""Nggak masuk akal. Selama ini aku nggak pernah ganggu kerjaan kamu kok.""Ya aku…""Udah, kamu kenapa? Ada apa? Kamu jujur aja sama aku. Kalau memang kita harus selesaikan hubungan kita, ya udah, kita akhiri baik-baik. Nggak gini caranya!"Naya tidak bisa menahan tangisnya. Dia terus coba mengatur napas dan suaranya yang semakin parau. "Ceritanya panjang, Na. Aku harus jelasin langsung sama kamu. Kamu di mana? Aku jemput kamu sekarang atau malam ini? Aku cari tiket pesawat paling cepat.""Nggak usah. Aku balik sendiri aja. Kamu nggak usah jemput aku."Naya mematikan telepon, melempar ponselnya ke sudut kasur. Rasanya dia tidak ingin lagi mendengar suara pria itu. Ponselnya k