Di luar kamar, Valdi tetap berdiri di balkon, memandangi pintu kamar yang kini tertutup rapat. Valdi berjalan menuruni tangga menuju lantai satu, di mana suasana dapur tampak hidup. Celine, Mayang, Sarah, dan Kamala duduk mengelilingi meja bar dapur, bercengkrama dengan ringan, meskipun ketegangan yang baru saja terjadi antara Valdi dan Anya masih membekas di udara.
Melihat Valdi yang memasuki ruangan dengan wajah yang masih sedikit tegang, Celine langsung bersuara, "Yah, manyun lagi..." katanya dengan nada menggoda, berusaha meringankan suasana. Tatapan Celine terarah langsung ke Valdi, penuh keakraban dan sedikit lelucon.
Valdi menatap Celine sebentar, bibirnya melengkung dalam senyuman kecil yang lemah. Sebelum dia sempat mengatakan apa-apa, Mayang menghampirinya dengan sepiring spagheti yang masih hangat di tangannya.
"Kamu terlalu forsir aku, Valdi... aku capek," Anya mengakui, suaranya pelan namun tegas. Matanya menatap jauh, seolah kembali ke masa ketika semuanya mulai runtuh di antara mereka."Aku butuh ruang, butuh waktu buat diri sendiri. Tapi setelah beberapa lama... aku sadar, nggak ada yang bisa kaya kamu. Seperti ada yang hilang," lanjutnya dengan napas berat, suaranya mulai bergetar.Valdi terdiam, kata-kata Anya menggema di dalam pikirannya. Dia mengerti rasa capek yang dirasakan Anya, tapi dia tidak pernah menyangka kalau ketidakmampuannya memberikan ruang justru membuatnya kehilangan seseorang yang begitu berarti.Anya menarik napas panjang, menahan emosi yang kembali bergejolak. "Aku pikir, dengan pergi aku bisa lebih tenang, bisa menemukan diriku lagi. Tapi kenyataannya... aku nggak bisa. Semua orang yang da
Pagi masih gelap ketika Valdi terbangun. Tubuhnya secara naluriah meraih ke sebelah, berharap menemukan Anya di pelukannya. Namun, yang dia rasakan hanyalah dinginnya kasur yang kosong. Tidak ada kehangatan, tidak ada sosok Anya di sisinya.Dia membuka mata perlahan, menatap langit-langit dengan perasaan yang campur aduk. Kekosongan di sebelahnya membuat Valdi menghela napas panjang. Dia memalingkan kepalanya ke samping, memastikan Anya sudah pergi tanpa memberinya peringatan. Rasa kantuk masih melingkupi dirinya, tapi rasa ingin tahu lebih kuat, menariknya untuk meraih ponsel di meja samping tempat tidur.Lampu notifikasi berkedip-kedip, memberitahukan adanya pesan yang belum dibaca. Dengan gerakan malas, Valdi meraih ponselnya. Jam di layar menunjukkan pukul 4.17 pagi. Terlalu dini bagi kebanyakan orang, tapi Anya bukan kebanyakan orang. Ada pesan dari Anya.
"Mas...," desah Sarah lagi, kali ini suaranya penuh dengan kebutuhan yang tak bisa disembunyikan. Tubuhnya menggeliat di bawah Valdi, merasakan kehangatan yang kini menyelimuti mereka berdua.Perlahan, Valdi mulai bergerak, memasukan lagi batangnya ke dalam lubang kenikmatan Sarah dalam gerakan yang penuh kelembutan namun dibalut dengan intensitas yang membara. Tangannya menyusuri pinggang Sarah, menariknya lebih dekat, lebih dalam, memastikan setiap gerakan membawa kenikmatan yang maksimal bagi mereka berdua. Di bawah Valdi, Sarah merintih, tubuhnya yang mungil bergetar setiap kali Valdi masuk lebih dalam, lebih kuat.Kedua tangan Sarah masih erat melingkar di leher Valdi, bibirnya mencari-cari ciuman yang liar, napasnya terengah-engah. Valdi menatap wajah Sarah yang kini penuh gairah, bibirnya menyentuh telinga Sarah, berbisik pelan, "enak?"
Valdi menunduk sedikit, berpikir sejenak sebelum menjawab dengan nada yang tenang."Selama yang dibutuhkan, mungkin," jawabnya, tidak terlalu pasti namun juga tidak ragu.Anya mengernyit, sedikit bingung dengan jawaban Valdi. "Maksudnya?" tanyanya lagi, mencoba mendapatkan penjelasan yang lebih jelas.Valdi menarik napas panjang, tangannya masih membelai lembut rambut Anya. "Ya, selama dibutuhkan. Contohnya Mayang. Kamu tahu dia anaknya Bu Retno, kan?" ucapnya, suaranya sedikit lebih rendah, lebih pelan.Anya memutar kepalanya sedikit, menatap Valdi dengan alis berkerut. "Bu Retno? Pembantu kita dulu yang meninggal karena COVID?" tanyanya, mencoba menghubungkan fakta yang baru saja disebutkan Valdi."Iya," jawab Valdi s
Valdi melesatkan mobilnya masuk ke jalan tol, malam itu gelap dan sepi. Lampu-lampu jalanan yang suram menjadi satu-satunya cahaya yang menemani perjalanan mereka. Angin malam terasa dingin, namun suasana di dalam mobil berbeda—ada ketegangan yang perlahan mulai terbentuk, meskipun tak terucap.“Kamu udah telepon ke nenek kalau kita mau ke sana?” tanya Valdi, matanya tetap fokus ke jalan di depan.“Udah, Mas,” jawab Mayang dengan suara lembut. Namun, raut wajahnya menunjukkan sedikit kebingungan. “Tapi... kenapa nggak besok aja kita berangkat? Malam gini kan capek, Mas.”Valdi melirik ke arahnya sekilas, senyum kecil tersungging di wajahnya. “Kenapa coba?” jawabnya sambil menahan tawa, suaranya rendah tapi penuh dengan maksud tersirat.
Setelah menempuh perjalanan panjang, Valdi akhirnya tiba di Ciwidey. Waktu masih menunjukkan pukul 12 pagi, malam begitu tenang, hanya terdengar angin yang berhembus lembut di luar jendela mobil. Di sebelahnya, Mayang masih tertidur di jok penumpang, wajahnya terlihat damai dan polos.Valdi melirik ke arah Mayang, memperhatikan bagaimana rambutnya sedikit berantakan namun tetap membuatnya terlihat cantik. Ada sesuatu dalam ketenangan tidurnya yang membuat Valdi tersenyum. Seolah-olah, di tengah semua kekacauan hidup mereka, Mayang adalah satu-satunya yang bisa menghadirkan ketenangan.Valdi memutuskan untuk berhenti di sebuah hotel berbintang, berniat bermalam di sana hingga pagi. Dia tak tega membangunkan Mayang yang masih terlelap. Dengan hati-hati, Valdi membopong tubuh Mayang yang ringan keluar dari mobil. Dia memeluknya erat, membawanya melewati lobi hotel
Valdi, yang sebelumnya duduk tenang di pojok ruangan, kini memutuskan untuk angkat bicara. "Maaf, Pak Haji, perkenalkan, saya Valdi. Sekarang, saya bertindak sebagai wali dari cucu Ibu Endah," ucapnya dengan nada tenang tapi penuh ketegasan, menyusupkan dirinya ke dalam percakapan.Pak Haji Hamdani menatap Valdi, terlihat sedikit terkejut namun tetap tenang. "Oh, baik, Pak Valdi," jawabnya dengan anggukan sopan."Kalau boleh tahu, Pak Haji, kenapa Bapak mau menjual tanah ini?" tanya Valdi, nadanya datar namun menuntut jawaban yang jelas.Pak Haji menghela napas panjang, seakan menahan beban yang berat. "Haduh... sebetulnya saya juga tidak mau menjualnya, Pak Valdi. Tapi situasi COVID ini bikin keadaan jadi runyam. Banyak biaya yang harus dikeluarkan. Mau gimana lagi," katanya, terdengar sedikit frustrasi.
Mayang akhirnya menghampiri Valdi, duduk di sebelahnya sambil menatap Valdi dengan tatapan maut, seolah menuntut penjelasan.Valdi hanya tersenyum melihatnya. "Kenapa, Mayang?" tanyanya lembut, namun Mayang tetap diam, hanya menatap dengan ekspresi tidak puas.Valdi tertawa kecil, lalu menoleh kembali ke Pak Haji. "Pak Haji, biarin aja, siapa tahu jodohnya nanti sama orang sini. Kalau memang berjodoh sama saya, biar yang di atas yang atur, nggak usah dipaksakan," katanya dengan nada yang ramah namun tegas.Pak Haji tersenyum, tampak sedikit lega. "Oh, baik, baik. Ya saya sih hanya mencoba, siapa tahu berjodoh. Untuk kebaikan anak saya juga, hehehe," ucapnya dengan nada bercanda.Valdi membalas senyumnya. "Nanti pas pelunasan, saya bawa anaknya," tambah Pak Haji lagi.
Bisikan itu membuat Valdi tersenyum semakin lebar, matanya menatap dalam ke arah Mayang yang kini semakin dekat dengannya. Mereka saling pandang, dan dalam tatapan itu, tidak ada lagi kata-kata yang dibutuhkan.Namun, Valdi mencoba untuk tetap tenang. Dia tersenyum nakal sambil memegang lembut dagu Mayang, sedikit menunduk untuk membisikkan sesuatu di telinganya."Sabar ya," katanya dengan nada menggoda. "Kita makan dulu, biar tenaganya banyak."Mayang tertawa kecil, menggigit bibirnya seolah-olah menahan godaan yang makin sulit ia abaikan."Ihhh, Mas… selalu aja bikin Mayang nunggu," katanya sambil memukul pelan lengan Valdi dengan manja.Setelah Valdi dan Mayang sepakat untuk makan di hotel saja, mereka s
Mayang akhirnya menghampiri Valdi, duduk di sebelahnya sambil menatap Valdi dengan tatapan maut, seolah menuntut penjelasan.Valdi hanya tersenyum melihatnya. "Kenapa, Mayang?" tanyanya lembut, namun Mayang tetap diam, hanya menatap dengan ekspresi tidak puas.Valdi tertawa kecil, lalu menoleh kembali ke Pak Haji. "Pak Haji, biarin aja, siapa tahu jodohnya nanti sama orang sini. Kalau memang berjodoh sama saya, biar yang di atas yang atur, nggak usah dipaksakan," katanya dengan nada yang ramah namun tegas.Pak Haji tersenyum, tampak sedikit lega. "Oh, baik, baik. Ya saya sih hanya mencoba, siapa tahu berjodoh. Untuk kebaikan anak saya juga, hehehe," ucapnya dengan nada bercanda.Valdi membalas senyumnya. "Nanti pas pelunasan, saya bawa anaknya," tambah Pak Haji lagi.
Valdi, yang sebelumnya duduk tenang di pojok ruangan, kini memutuskan untuk angkat bicara. "Maaf, Pak Haji, perkenalkan, saya Valdi. Sekarang, saya bertindak sebagai wali dari cucu Ibu Endah," ucapnya dengan nada tenang tapi penuh ketegasan, menyusupkan dirinya ke dalam percakapan.Pak Haji Hamdani menatap Valdi, terlihat sedikit terkejut namun tetap tenang. "Oh, baik, Pak Valdi," jawabnya dengan anggukan sopan."Kalau boleh tahu, Pak Haji, kenapa Bapak mau menjual tanah ini?" tanya Valdi, nadanya datar namun menuntut jawaban yang jelas.Pak Haji menghela napas panjang, seakan menahan beban yang berat. "Haduh... sebetulnya saya juga tidak mau menjualnya, Pak Valdi. Tapi situasi COVID ini bikin keadaan jadi runyam. Banyak biaya yang harus dikeluarkan. Mau gimana lagi," katanya, terdengar sedikit frustrasi.
Setelah menempuh perjalanan panjang, Valdi akhirnya tiba di Ciwidey. Waktu masih menunjukkan pukul 12 pagi, malam begitu tenang, hanya terdengar angin yang berhembus lembut di luar jendela mobil. Di sebelahnya, Mayang masih tertidur di jok penumpang, wajahnya terlihat damai dan polos.Valdi melirik ke arah Mayang, memperhatikan bagaimana rambutnya sedikit berantakan namun tetap membuatnya terlihat cantik. Ada sesuatu dalam ketenangan tidurnya yang membuat Valdi tersenyum. Seolah-olah, di tengah semua kekacauan hidup mereka, Mayang adalah satu-satunya yang bisa menghadirkan ketenangan.Valdi memutuskan untuk berhenti di sebuah hotel berbintang, berniat bermalam di sana hingga pagi. Dia tak tega membangunkan Mayang yang masih terlelap. Dengan hati-hati, Valdi membopong tubuh Mayang yang ringan keluar dari mobil. Dia memeluknya erat, membawanya melewati lobi hotel
Valdi melesatkan mobilnya masuk ke jalan tol, malam itu gelap dan sepi. Lampu-lampu jalanan yang suram menjadi satu-satunya cahaya yang menemani perjalanan mereka. Angin malam terasa dingin, namun suasana di dalam mobil berbeda—ada ketegangan yang perlahan mulai terbentuk, meskipun tak terucap.“Kamu udah telepon ke nenek kalau kita mau ke sana?” tanya Valdi, matanya tetap fokus ke jalan di depan.“Udah, Mas,” jawab Mayang dengan suara lembut. Namun, raut wajahnya menunjukkan sedikit kebingungan. “Tapi... kenapa nggak besok aja kita berangkat? Malam gini kan capek, Mas.”Valdi melirik ke arahnya sekilas, senyum kecil tersungging di wajahnya. “Kenapa coba?” jawabnya sambil menahan tawa, suaranya rendah tapi penuh dengan maksud tersirat.
Valdi menunduk sedikit, berpikir sejenak sebelum menjawab dengan nada yang tenang."Selama yang dibutuhkan, mungkin," jawabnya, tidak terlalu pasti namun juga tidak ragu.Anya mengernyit, sedikit bingung dengan jawaban Valdi. "Maksudnya?" tanyanya lagi, mencoba mendapatkan penjelasan yang lebih jelas.Valdi menarik napas panjang, tangannya masih membelai lembut rambut Anya. "Ya, selama dibutuhkan. Contohnya Mayang. Kamu tahu dia anaknya Bu Retno, kan?" ucapnya, suaranya sedikit lebih rendah, lebih pelan.Anya memutar kepalanya sedikit, menatap Valdi dengan alis berkerut. "Bu Retno? Pembantu kita dulu yang meninggal karena COVID?" tanyanya, mencoba menghubungkan fakta yang baru saja disebutkan Valdi."Iya," jawab Valdi s
"Mas...," desah Sarah lagi, kali ini suaranya penuh dengan kebutuhan yang tak bisa disembunyikan. Tubuhnya menggeliat di bawah Valdi, merasakan kehangatan yang kini menyelimuti mereka berdua.Perlahan, Valdi mulai bergerak, memasukan lagi batangnya ke dalam lubang kenikmatan Sarah dalam gerakan yang penuh kelembutan namun dibalut dengan intensitas yang membara. Tangannya menyusuri pinggang Sarah, menariknya lebih dekat, lebih dalam, memastikan setiap gerakan membawa kenikmatan yang maksimal bagi mereka berdua. Di bawah Valdi, Sarah merintih, tubuhnya yang mungil bergetar setiap kali Valdi masuk lebih dalam, lebih kuat.Kedua tangan Sarah masih erat melingkar di leher Valdi, bibirnya mencari-cari ciuman yang liar, napasnya terengah-engah. Valdi menatap wajah Sarah yang kini penuh gairah, bibirnya menyentuh telinga Sarah, berbisik pelan, "enak?"
Pagi masih gelap ketika Valdi terbangun. Tubuhnya secara naluriah meraih ke sebelah, berharap menemukan Anya di pelukannya. Namun, yang dia rasakan hanyalah dinginnya kasur yang kosong. Tidak ada kehangatan, tidak ada sosok Anya di sisinya.Dia membuka mata perlahan, menatap langit-langit dengan perasaan yang campur aduk. Kekosongan di sebelahnya membuat Valdi menghela napas panjang. Dia memalingkan kepalanya ke samping, memastikan Anya sudah pergi tanpa memberinya peringatan. Rasa kantuk masih melingkupi dirinya, tapi rasa ingin tahu lebih kuat, menariknya untuk meraih ponsel di meja samping tempat tidur.Lampu notifikasi berkedip-kedip, memberitahukan adanya pesan yang belum dibaca. Dengan gerakan malas, Valdi meraih ponselnya. Jam di layar menunjukkan pukul 4.17 pagi. Terlalu dini bagi kebanyakan orang, tapi Anya bukan kebanyakan orang. Ada pesan dari Anya.
"Kamu terlalu forsir aku, Valdi... aku capek," Anya mengakui, suaranya pelan namun tegas. Matanya menatap jauh, seolah kembali ke masa ketika semuanya mulai runtuh di antara mereka."Aku butuh ruang, butuh waktu buat diri sendiri. Tapi setelah beberapa lama... aku sadar, nggak ada yang bisa kaya kamu. Seperti ada yang hilang," lanjutnya dengan napas berat, suaranya mulai bergetar.Valdi terdiam, kata-kata Anya menggema di dalam pikirannya. Dia mengerti rasa capek yang dirasakan Anya, tapi dia tidak pernah menyangka kalau ketidakmampuannya memberikan ruang justru membuatnya kehilangan seseorang yang begitu berarti.Anya menarik napas panjang, menahan emosi yang kembali bergejolak. "Aku pikir, dengan pergi aku bisa lebih tenang, bisa menemukan diriku lagi. Tapi kenyataannya... aku nggak bisa. Semua orang yang da