Diego menyetir mobilnya seperti orang gila. Entah sudah berapa kali ia memutari jalan yang sama, jalan yang tidak jauh dari rumah Joyce karena ia meyakini Anna masih di sekitar sana. Namun, Diego tidak kunjung menemukan Anna juga. Diego masuk ke satu persatu restoran yang masih buka dan minimarket yang ia lewati, tapi Anna juga tidak ada di sana. Bahkan, Diego menyetir sampai ke rumah Jeremy yang sudah digembok dari luar. Tidak ada Anna di sekeliling sana juga. "Kau di mana, Anna? Apa yang terjadi? Apa ada orang jahat yang menyakitimu? Sial!" Diego menggeram dengan debar jantung yang memacu makin kencang. Tidak hanya cemas, tapi Diego benar-benar takut terjadi sesuatu pada Anna sampai Diego ingin menangis rasanya saking takutnya. Tangannya yang menggenggam setirnya sudah gemetar saat membaca pesan dari Joyce bahwa Joyce juga belum menemukan Anna. Hingga tidak lama kemudian, sebuah bayangan indah muncul di otaknya. Bayangan antara dirinya dan Anna duduk berdua di taman kenangan m
"Anna, syukurlah kau pulang, Anna! Ya Tuhan, aku sampai gemetar!"Joyce langsung menyambar Anna dalam pelukannya sambil bernapas lega. Setelah berpelukan cukup lama tadi, Diego pun mengajak Anna bicara, tapi Anna terlalu lelah untuk menjawab, Diego mengajak Anna makan, tapi Anna juga tidak punya nafsu makan. Anna hanya ingin tidur karena tubuhnya sangat lemas dan Diego pun membawa Anna pulang. "Kau ke mana saja, Anna? Lain kali jangan mematikan ponselmu!" seru Joyce lagi. "Maafkan aku, baterai ponselku low. Aku tadi merindukan ibuku jadi aku ke rumah lamaku. Aku tidak sadar kalau aku sudah menghilang begitu lama. Maaf ya." Anna berusaha tegar dan tersenyum menatap Joyce walaupun dengan wajahnya yang sudah memucat. "Tidak apa, Anna! Tapi kau pasti kelelahan sekali pergi sejak pagi, lihatlah kau pucat. Kau sudah makan? Kau mau makan? Ya ampun, aku masih gemetar, untung saja Diego menemukanmu. Bagaimana kau bisa menemukannya, Diego?" Diego hanya tersenyum. "Yang penting Anna sudah
Dalam beberapa hari berikutnya, Anna dan Pak Rusli benar-benar sibuk membuat rekaman kesaksian Anna dan semua yang dibutuhkan dalam kasus Jeremy tanpa kehadiran Anna. Sekalipun Pak Rusli masih belum paham benar maksud Anna, tapi Pak Rusli tetap melakukan semuanya dengan baik sampai semuanya selesai."Aku harap dengan atau tanpa aku, Anda bisa berusaha menegakkan keadilan untuk aku dan ibuku, Pak Rusli.""Itu adalah pesan terakhir Bu Martha yang pasti akan aku lakukan, Bu Anna." Anna mengangguk. "Itu juga pesan terakhirku, Pak Rusli." "Maaf, Bu. Tapi aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi pada Anda? Aku harus tahu sebagai pengacara Anda." "Ada hal yang tidak bisa kuceritakan, tapi yang pasti, aku sedang kurang sehat." "Anda sakit apa? Anda sudah ke dokter? Aku sudah bilang Anda makin kurus. Anda harus menjaga kesehatan, Bu Anna." "Terima kasih, Pak. Aku akan berusaha keras menjaga kesehatanku." Anna bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dalam beberapa hari it
Bella terus berpikir keras bagaimana caranya mencegah Diego pergi berlibur bersama Anna. Walaupun Bella belum melakukan apa pun lagi untuk memisahkan mereka, tapi Bella tetap menginginkan Diego kembali bersamanya. "Malam ini pertemuannya akan sampai larut, Diego. Lalu pertemuan dengan klien lain dijadwalkan besok pagi jam tujuh," seru Bella saat akhir pekan tiba. Diego memang sudah memajukan semua jadwal, tapi dengan sengaja, Bella menambahkan jadwal lain agar Diego sibuk akhir pekan itu. "Bella, aku sudah bilang tidak bisa akhir pekan ini kan? Mengapa kau malah menerima janji temu yang lain? Aku tidak bisa!" "Tapi ini demi kepentingan perusahaan dan demi mempertahankan kepercayaan para petinggi perusahaan, Diego. Semua ini juga demi kau. Mereka hanya punya waktu akhir pekan ini." "Tapi aku sudah berjanji aku akan pergi, Bella!" geram Diego. "Pergi kan bisa lain kali, tapi kalau pertemuan kali ini lewat, aku tidak tahu kapan mereka bisa bertemu dengan kita lagi." Bella mengatak
"Aku senang sekali hari ini, Anna. Terima kasih sudah mengajakku berlibur," kata Diego saat akhirnya mereka mendapat kesempatan berdua malam itu. Darren sudah masuk ke dalam villa karena bermain bersama orang tua Joyce, sedangkan Anna dan Diego masih duduk berdua di kursi taman. "Aku hanya ingin Darren dekat denganmu. Malam ini, kau juga bisa tidur dengannya." "Benarkah itu? Apa tidur bersamamu juga? Kita akan tidur seranjang bertiga?" "Tidak, aku tidur dengan Joyce." Diego tergelak. Mengobrol santai dengan Anna seperti ini membuatnya sangat bahagia. Anna sendiri menikmati menatap tawa bahagia itu sejenak, sebelum ia lanjut berbicara. "Diego, kalau nantinya aku mau kau mengasuh Darren, kau tidak keberatan kan? Diego menaikkan alisnya. "Apa mengasuhmu juga, Anna?" "Diego, aku serius!" "Haha, aku juga serius, Anna. Aku mau mengasuh kalian berdua." "Tapi ini bukan tentang aku, Diego. Tentang Darren saja." "Haha, baiklah, tentang Darren. Jadi, jangan khawatirkan apa pun kalau
Tidak lama setelah liburan berakhir, akhirnya sidang pertama Jeremy pun digelar. Anna bersyukur karena ia masih bertahan untuk menghadiri sidang Jeremy walaupun Anna merasa tubuhnya makin lemas dari hari ke hari.Anna pun bersiap pagi itu dengan dress formalnya dan memulas make up di wajahnya. Anna tidak mau terlihat pucat dan tidak mau membiarkan Jeremy melihat kelemahannya. Namun, rencananya itu tidak berjalan mulus saat Anna bercermin dan menemukan bahwa matanya mulai menguning. Salah satu gejala sirosis hati yang makin parah adalah menguning di beberapa bagian tubuh, seperti mata dan wajah. Tatapan Anna goyah dan debar jantungnya memacu kencang. Air matanya mendadak mengalir, tapi ia segera menghapusnya."Ya Tuhan, kupikir obat-obatan itu ada gunanya, tapi mengapa mataku malah menguning? Tidak boleh ada yang melihatnya! Tidak boleh!" Anna segera membongkar obat-obatan yang ia miliki. Ada obat tetes mata di sana dan Anna langsung memakainya. Biasanya saat mata merah, satu atau d
Anna membuka matanya perlahan saat akhirnya ia sadar. Rasanya masih begitu berat membuka mata sepenuhnya, tapi suara-suara di sekitarnya mulai terdengar samar-samar."Anna ... kau sudah sadar?" Suara itu lembut, tapi penuh ketakutan.Anna mencoba menggerakkan jari-jarinya, dan seketika genggaman erat melingkupinya. Kali ini, Anna berhasil membuka matanya sedikit demi sedikit, meskipun pandangannya masih buram. Sosok pria yang berdiri di samping ranjangnya akhirnya mulai terlihat lebih jelas.Diego."Syukurlah kau sudah sadar. Kau tiba-tiba pingsan tadi, Anna." Diego mendesah lega. "Aku ... di mana?" lirih Anna berusaha bicara. "Kau di UGD sekarang. Kami membawamu ke rumah sakit terdekat karena kami sangat panik. Dokter bilang tekanan darahmu rendah dan kau dehidrasi. Mereka harus memberimu cairan infus agar kondisimu stabil."Anna mengerjapkan mata, mengamati selang infus yang tertancap di punggung tangannya. Sejenak, pikirannya masih kosong, sebelum rasa nyeri samar mulai terasa d
Tidak semua pertanyaan mengapa, akan ada jawabannya. Karena itu, Anna tidak lagi bertanya mengapa hidupnya seperti ini karena itu tidak akan mengubah apa pun. Anna sudah memutuskan untuk pergi dan menjemput takdirnya sendirian. Tidak akan ada penyesalan karena Anna tahu apa yang ditinggalkannya akan baik-baik saja. Selama dua hari berikutnya, Anna pun menyibukkan dirinya dengan membuat album kenangan berisi foto-foto Darren. Anna mencetak foto di ponselnya lalu menjadikan album kenangan. Anna juga berdandan dengan baju yang berbeda-beda lalu membuat beberapa video rekaman di ponselnya. Anna menyiapkan video pesan cinta untuk ditunjukkan pada Darren setiap Darren berulang tahun sampai Darren berumur delapan belas tahun. Semua Anna siapkan agar Darren tidak melupakannya. Anna juga menulis surat perpisahan untuk semua orang, sebelum hari itu tiba. Hari di mana Anna akan berpisah dengan semuanya. "Mama menyayangimu, Darren. Kalau kau besar nanti, kau harus selalu ingat kau pernah pun
"Terima kasih untuk bantuan dan perawatannya selama ini!" Anna benar-benar berterima kasih dari hatinya yang paling dalam untuk dokter dan suster yang merawatnya selama berminggu-minggu ia dan Diego menginap di rumah sakit. "Sama-sama, Bu Anna! Kami senang sekali melihat Bu Anna dan Pak Diego bisa keluar dari rumah sakit dalam kondisi yang stabil." "Aku juga senang, Suster. Aku sudah tidak sabar pulang ke rumah. Istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan." "Tentu saja, Bu! Jangan lupa untuk menjaga kesehatan ya." Hari itu akhirnya Anna dan Diego diijinkan keluar dari rumah sakit. Tentu saja mereka harus tetap kontrol rutin dan membatasi aktivitasnya. Mereka masih belum boleh beraktivitas berat dan terlalu lelah karena tubuh mereka masih adaptasi.Biasanya pasien transplantasi butuh waktu beberapa bulan sampai satu tahun untuk bisa beraktivitas normal, tergantung pemulihan masing-masing. Dokter juga sudah menjelaskan bagaimana Anna dan Diego harus beraktivitas di rumah nanti. Mer
"Apa aku sudah cantik, Joyce? Apa ini tidak terlalu menor?" Anna berdandan hari itu karena setelah beberapa hari dirawat, Diego akhirnya akan keluar dari ruang isolasi dan dipindahkan ke kamar rawat inap biasa. Ini akan menjadi pertemuan pertama antara Anna dan Diego secara langsung tanpa ada batasan kaca dan jantung Anna kembali berdebar kencang. Joyce yang melihatnya sampai terus tertawa sendiri. Di umur Anna yang sudah matang, tidak seharusnya Anna heboh sendiri seperti ini, tapi Joyce paham, sangat paham. Bahkan, Joyce ikut tidak sabar menantikan pertemuan itu. "Sudah cantik, Anna! Sama sekali tidak menor! Aku yakin Diego tidak akan berkedip melihatmu!" Anna tergelak mendengarnya dan mendadak tersipu sendiri. Tidak lama kemudian, Darren pun datang bersama Bik Nim dan Retha. "Mama!" "Darren Sayang!" Anna memeluk anak kesayangannya itu. Anna sendiri sudah mulai belajar berjalan, tapi karena tubuhnya masih adaptasi, Anna masih harus memakai kursi roda untuk berpindah tempat.
"Diego sudah sadar, Anna! Diego sudah sadar!"Akhirnya Anna mendengar kabar yang ingin ia dengar. Anna sampai tidak bisa beristirahat sepanjang sisa hari itu karena ia memikirkan Diego-nya. "Kau yakin, Joyce? Kau tidak berbohong kan? Kau sudah melihatnya? Apa itu benar? Diego sudah sadar?" "Diego sudah membuka matanya. Aku bertemu dengan dokter dan suster di bawah." "Ya Tuhan! Syukurlah! Syukurlah Diego sudah membuka matanya." Anna kembali menangis malam itu, tapi tangisan ini tangisan bahagia. "Terima kasih, Tuhan! Terima kasih! Tapi aku mau melihatnya, Joyce! Aku mau melihatnya!" "Sabar dulu, Anna! Kata suster, Diego baru saja membuka matanya malam ini dan dia belum boleh dijenguk oleh siapa pun. Dokter juga harus memastikan Diego stabil setidaknya sampai besok. Besok baru kita bisa melihatnya." "Tapi aku ingin melihatnya sebentar saja." "Sepertinya tidak bisa, Anna. Diego ada di ruang isolasi yang peraturannya sangat ketat. Kita harus bersabar sampai besok. Aku juga akan me
"Maaf, Bu. Waktu kunjungan yang diijinkan oleh dokter sudah habis. Anda harus keluar dulu ya." Seorang suster tersenyum ramah pada Anna yang masih menggenggam tangan Diego."Sebentar lagi saja, Suster. Aku masih merindukannya ...." "Maaf, Bu, tapi aturan di ruang isolasi sangat ketat. Makin lama Anda di sini, resiko pasien akan makin besar." Anna tersenyum lirih sambil terus membelai tangan Diego dalam genggamannya. Anna pun mengangguk dan dengan enggan mengucapkan perpisahannya dengan Diego. "Diego, aku harus pergi dulu karena suster tidak mengijinkan aku terlalu lama. Tapi aku menunggumu. Ingatlah kalau aku menunggumu. Kau harus segera sadar. Kau mengerti?" Anna mencium tangan Diego dan menatapnya lekat, sebelum akhirnya Anna mengangguk menatap suster. Suster pun mendorong kursi roda Anna menuju ke pintu keluar. Namun, belum sempat mereka keluar, suara bip yang lebih cepat dari biasanya terdengar dari monitor di ruangan Diego. "Sebentar, Bu!" Suster langsung berhenti mendoro
"Di mana aku?"Diego berjalan sendirian di tengah taman yang luas. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, seolah-olah ia hanya melayang di atas tanah. Di sekelilingnya, pohon-pohon tinggi menjulang, daunnya berwarna keemasan seakan diterpa cahaya matahari senja yang lembut. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga yang bermekaran. Namun, ada sesuatu yang aneh, tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berdesir di antara dedaunan. Hening. Sepi.Diego menunduk, memperhatikan dirinya sendiri. Bajunya putih bersih, kakinya tidak beralas, tapi ia tidak merasakan dingin atau pun panas. Rasanya kosong, seakan-akan tubuhnya bukan lagi miliknya. Ini ... mimpi? Atau ... apakah ia sudah mati?Tiba-tiba, di kejauhan, Diego melihat sesuatu yang begitu indah. Anna-nya berdiri di bawah sebuah pohon sakura yang sedang berbunga, angin menerbangkan kelopak-kelopak merah muda di sekitarnya. Wajah Anna berseri-seri, tubuhnya tampak sehat, tidak lagi pucat dan lemah seperti tera
"Dokter, tolong katakan padaku siapa yang mendonorkan hatinya padaku! Tolong, Dokter!" Dokter visit sore itu ke kamar Anna dan Anna mendesaknya untuk memberitahu identitas pendonornya, tapi sang dokter yang sudah terikat janjinya kukuh tidak memberitahukan apa pun. "Maaf, ini permintaan dari pendonor untuk identitasnya dirahasiakan." "Tapi pendonornya dari keluargaku kan? Mana dia? Aku mau melihatnya, Dokter! Dia keluargaku kan?" Sang dokter nampak salah tingkah dan melirik suster yang sudah keceplosan itu."Maaf lagi, Bu Anna! Tapi Anda baru saja sembuh, Anna harus tenang dulu!" "Aku tenang, Dokter! Aku sangat tenang. Aku hanya mau tahu siapa yang sudah mendonorkan hatinya padaku, aku harus berterima kasih padanya." "Seperti yang sudah kubilang, kami tidak bisa memberitahukan identitas pendonor. Tolong istirahat, Bu Anna!" Dokter dan suster akhirnya berhasil keluar dari kamar itu tanpa memberitahukan apa pun pada Anna, tapi begitu Joyce masuk, Joyce yang menjadi sasaran Anna.
Empat hari berlalu sejak Anna sadar dan kondisi Anna sudah benar-benar stabil, Anna pun akhirnya dipindahkan ke kamar rawat inap biasa dan semua orang pun bernapas lega karenanya. Anna sudah bisa duduk di ranjangnya walaupun belum bisa terlalu lama karena rasanya masih pegal. Terkadang ada rasa aneh di tubuhnya karena menurut dokter, organ-organ Anna masih beradaptasi lagi. Tapi kondisi Anna sudah sangat aman."Pak Rusli, Anda datang!" sapa Anna saat Pak Rusli menjenguknya untuk pertama kalinya sejak Anna sadar. Sebelumnya, Anna ditempatkan di ruang isolasi yang tidak bisa sembarangan dijenguk, sehingga Pak Rusli baru datang sekarang. "Bu Anna, aku senang sekali melihat Anda sudah sadar. Ini benar-benar mukjizat. Aku sedih sekali saat tahu Anda pergi dan menyembunyikan penyakit Anda." "Semua sudah berlalu, Pak Rusli. Tapi Tuhan baik, Tuhan sangat baik. Tuhan mengijinkan kita memenangkan kasus dengan Jeremy dan Tuhan memberiku kesempatan hidup kedua." "Anda benar, Bu Anna. Tuhan s
Cahaya putih yang menyilaukan menusuk kelopak mata Anna saat ia membuka matanya. Ada sensasi berat di tubuhnya, seolah ia baru saja melewati sesuatu yang sangat besar. Dadanya terasa sesak, dan ada selang oksigen yang membantu pernapasannya. Semua terasa asing, tapi juga … ringan.Anna berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan ruangan di sekelilingnya. Dinding putih, bau antiseptik yang menusuk, serta suara monitor jantung yang berdetak pelan di sampingnya. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa melihat bayangan beberapa orang di sekitarnya. "Anna, kau sudah sadar? Anna ...."Anna mengenali suara Joyce yang penuh kecemasan. Perlahan pandangannya mulai jelas dan benar saja, wajah Joyce terlihat di hadapannya. Sahabatnya itu membungkuk sambil tertawa haru. "Anna ... kau lihat aku? Kau kenal aku kan?" "J-Joyce ...."Anna mencoba berbicara, tapi tenggorokannya kering, suaranya hanya keluar sebagai bisikan. Ia mencoba menggerakkan tangannya dan Joyce langsung menggenggamn
"Bu Martha, aku tahu Anda sudah tenang di sana. Aku tidak akan mengganggu Anda. Aku hanya ingin meminta ... kalau Anda dekat dengan Tuhan, tolong minta keselamatan ... bukan untukku, tapi untuk Anna." "Anna akan dioperasi dan restuilah agar operasi ini berjalan lancar. Maaf waktu itu aku terlambat mengetahui semuanya. Maaf aku tidak sempat menyelamatkan Anda. Tapi kali ini ... aku janji akan menyelamatkan anak Anda." "Aku janji akan membuat anak Anda bahagia. Aku janji, Bu Martha. Aku hanya meminta restu Anda ...." Diego menatap langit penuh bintang malam itu dan berharap Martha bisa mendengarnya. Semua pemeriksaan sudah dielesaikan dalam beberapa hari berikutnya dan Diego dinyatakan siap melakukan operasi transplantasi hati itu. Jadwal operasi pun sudah dibuat dan besok, Diego akan memberikan hatinya untuk wanita yang sangat ia cintai itu. Semua orang sudah merestui, entah terpaksa atau tidak, Diego sudah tidak mau memikirkannya lagi. Diego hanya minta doa agar semuanya dilanca