Marco mengangkat tubuh mungil gadisnya ke atas meja dapur. Dikebaskannya semua yang ada di atas meja dengan satu lengannya yang bebas.
Lelaki itu memeluk tubuhnya dengan erat, sementara Cassandra melingkarkan sepasang kakinya ke pinggang pamannya.Marco seperti kesetanan. Hasratnya tak mampu lagi diredamnya. Kepalanya terasa sakit, tak mampu lagi menahan keinginannya untuk merasakan untuk yang kedua kalinya sorga dunianya. Batangnya mengeras dengan sempurna, membuat celana yang dipakainya terasa begitu sesak.Cassandra meraih gesper sabuknya. Ditariknya cepat sabuk yang melingkar di pinggangnya untuk membebaskan sesuatu yang tersembunyi di balik celana itu.Marco menghela napas. Ia berusaha kembali menguasai dirinya. Tapi Cassandra seakan tak ingin memberinya kesempatan untuk itu.Cassandra melingkarkan sabuk itu di lehernya dan menariknya hingga kembali mendekat dengannya. Dengan rakus ia mengecup Marco sementara kedua tangannya mul“Maksud Kakak?” Marco menatap Irfan dengan rasa terkejut. Ia masih tak bisa mempercayai ucapan kakaknya. Belasan tahun lamanya, lelaki di hadapannya itu menyimpan sebuah rahasia besar yang tak pernah diketahuinya. Irfan mengibaskan tangannya. “Ah … sudahlah. Lupakan ucapanku barusan,” sahutnya, mengelak dari pertanyaan Marco. “Marco, bantu aku mencari dia. Cassandra harus segera kita temukan!” “Tapi Kak, kemana kita harus mencarinya?” Irfan mengarahkan jari telunjuknya ke kepalanya. “Pikirkan itu, seandainya kamu adalah dia … kemana kamu akan pergi?” Irfan menatap arloji di pergelangan tangannya. “Aku harus segera ke bandara. Aku tidak ingin ketinggalan pesawatku.” Dengan cuek, lelaki setengah baya itu pergi dari ruang kerja Marco. Ia tak peduli dengan berbagai pertanyaan yang masih memenuhi pikiran adik kandungnya itu. Marco mengantarkan kepergian kakaknya dengan tatapan matanya. Ia masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Mana mungkin Cassandra bukan putri Kak Irfan?”
Diremasnya kertas yang ada di dalam genggamannya dengan perasaan marah. “Berani sekali bocah itu mengajak Cassandra kabur dari rumah!” geramnya. Tanpa berpikir lebih lama, Marco setengah berlari keluar dari rumah itu. Kini ia tahu, kemana dia harus mencari keponakannya itu. ***“Kamu yakin?” tanya Fritz sekali lagi. “Iya. Dan sebaiknya kita pergi sekarang, sebelum pikiranku berubah.” Cassandra memasang kembali benda bulat itu dikepalanya. Dikencangkannya tas ransel di punggungnya.Fritz tersenyum penuh kemenangan. Bagaimana tidak, gadis yang disukainya menerima ajakannya untuk kawin lari! Ajakan yang sebenarnya berawal dari keisengannya saja. Lelaki itu menutup kaca helm teropongnya setelah melihat lembaran kertas di tangannya. Sebuah lembaran bertuliskan sebuah alamat yang diberikan oleh Cassandra beberapa saat lalu. Fritz memacu kuda besinya di atas jalanan beraspal. Baginya jarak ratusan kilometer bukan suatu masalah asal gadis yang disukainya membalas perasaannya. Sesekali l
Cassandra menatap perempuan yang muncul dari dalam rumah. Perempuan berusia paruh baya itu memicingkan matanya seolah tak dapat melihat dengan jelas siapa tamu yang datang. “Tante Mona?” tebak Cassandra langsung saat perempuan itu telah berdiri di hadapannya. Ia menatap foto di tangannya dan perempuan yang disapanya itu bergantian. “Iya. Aku Mona. Tapi … siapa kalian?” sahut Mona sembari menatap Cassandra dan Fritz secara bergantian. Cassandra menunjukkan foto yang dipegangnya. Sebuah foto yang memperlihatkan dua orang remaja wanita yang terlihat sangat akrab. Mona dan Marini, ibu kandung Cassandra.Mona meraih foto itu. Dipasangnya kacamata yang menggantung di lehernya, lalu diamatinya foto lamanya tersebut. “Benar ini aku dan ….” Mona menatap Cassandra dengan kening berkerut. “Apa kamu putrinya?” Cassandra menganggukkan kepalanya. Ditatapnya perempuan setengah baya itu dengan penuh harap. Sepasang matanya yang berkaca-kaca memperlihatkan keharuan di hatinya. Seperti melihat sos
“Marco.” Zissy mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. “Apa kamu yakin kita nggak salah jalan?” Hatinya menciut saat melihat jalanan yang dilaluinya tak selebar semula. Jalanan itu semakin menciut dan terjal. Bukan hanya itu, medan tak beraspal itu bahkan memperlihatkan jurang di salah satu sisinya dan itu cukup membuat nyalinya menciut untuk terus maju. “Seharusnya kita berada di tempat yang tepat. Kamu bisa lihat titik itu, kan?” sahut Marco menunjuk pada layar GPS nya. “Tapi … nggak mungkin mereka ke tempat terpencil seperti ini. Tak ada rumah, tak ada toko atau apapun. Bahkan jalanannya rusak seperti ini,” omel Zissy. “Apa jadinya jika mobil kita mogok, kehabisan bensin atau … lebih parah lagi jika tiba-tiba ban kita meletus atau ada ….”“Kenapa kamu jadi paranoid?” tegur Marco. Lelaki itu menghentikan kendaraannya. “Turun saja kamu di sini. Aku juga tidak pernah memintamu untuk ikut mencari keponakanku!” “Tidak!” tolak Zissy. “Aku akan ikut kemanapun kamu pergi.” Marco me
“Maafkan Tante,” ucap Mona. “Tante nggak sanggup buat ceritain semua itu.” “Sebenarnya aku sudah mengetahui semuanya. Cuma … aku ingin mendengar penjelasan Tante tentang hal ini,” desak Cassandra. “Jadi … Tante nggak perlu ngebohongin Sandra lagi.”“Sandra, Tante nggak bohong,” elaknya cepat. “Marini mencintai Irfan. Sama seperti Irfan mencintainya. Bahkan semua teman di sekolah kami menyebut mereka Romeo dan Juliet masa kini.”“Lalu siapa Haris?” cecar Cassandra. “Bagaimana Tante menjelaskan hubungan Haris dengan mama?”“Semua itu salah Tante. Haris tak seharusnya muncul di antara mereka,” tuturnya. “Percayalah apa yang Irfan katakan. Kamu adalah putri mereka. Abaikan tentang keberadaan Haris.” “Tapi Tante?” “Haris cuma angin yang melintas di antara hubungan mereka.” Mona menghela napas. Ia berdiri dari kursi bambunya. “Tante akan siapkan makan malam buat kalian.”Lagi-lagi Cassandra melongo dibuatnya. Ia tak mendapatkan informasi apapun tentang identitas Haris. Bagaimana mungkin
Lelaki itu sangat kuat. Tenaganya sungguh tak seimbang jika dibandingkan dengan Cassandra. Gadis itu sama sekali tak berkutik di dalam dekapannya.Sayup terdengar dari kejauhan, suara Fritz memanggil namanya. Suara itu menggugah Cassandra untuk berteriak meminta bantuan. Namun saat ia hendak berteriak, tangan lelaki itu dengan sigap membungkamnya. Dengan tenaganya yang kuat, lelaki itu mampu menyeret Cassandra yang meronta ke balik rimbunnya semak di tepi jalanan sepi itu. Suara derik kerikil terdengar saat Fritz melangkah mendekat. Namun mulut Cassandra terkunci oleh tangan besar lelaki itu. Ia menjejak apapun yang ada di sekitarnya untuk menunjukkan keberadaannya. Tapi semuanya sia-sia. Fritz memang melihat semak itu bergerak. Tapi justru karena itu ia berlari menjauh. Kegelapan terlalu menakutkan bagi lelaki muda itu. Apapun bisa menjadi ancaman baginya.Kini tak ada lagi harapan bagi Cassandra. Menyesal pun tak akan ada gunanya. S
Fritz tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah mereka. Bukan hanya rambutnya yang berantakan. Pakaiannya juga tampak kacau dan beberapa lebam terlihat di lehernya. Lelaki muda itu segera menutup pintu kamarnya dengan wajah gelisah ketakutan. Namun sesaat kemudian, ia baru menyadari kehadiran Marco di dalam kamar itu. “Hei! Kenapa dia ada di sini?” protesnya dengan kesal. Baru saja ia merasa mimpinya menjadi kenyataan, tiba-tiba saja lelaki itu seolah memaksanya untuk bangun. Ia merasa kehadiran Marco hanya seperti wasit di antara sepasang kekasih. Dan itu terasa sungguh menyebalkan.“Om Marco nyusul kemari karena perintah papa,” sahut Cassandra datar. “Sekarang katakan padaku, kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu?” “Eh … itu. Tadi sewaktu aku mencarimu, tau-tau ada perempuan gila yang menyerangku. Dia tiba-tiba mendekapku dan menciumiku,” omel lelaki muda itu. “Dia melecehkan aku.” Cassandra mengerutkan keningnya. Ia cukup merindi
Marco memeluknya dan terus memagut bibir gadisnya dengan penuh hasrat. Ia melepaskan semua kerinduan yang membuncah di dadanya. Menekan perasaan cintanya, terasa begitu menyiksa bagi lelaki itu. Sesaat Cassandra teralihkan. Ia merasakan gelenyar perasaan yang berbeda. Perasaan yang ingin dinikmatinya lebih lama. Ia balas memagut sementara kedua tangannya melingkar di leher Marco. Dirasakannya tangan besar itu menggerayangi tubuhnya. “Non Sandra!” Tiba-tiba suara Bik Sum terdengar dari dalam rumah. “Non, dimana?”Marco menarik tubuh gadis itu masuk ke dalam air, sengaja untuk menghindar dari pandangan Bik Sum. Apa jadinya jika wanita itu mengetahui hubungan aneh di antara keduanya.“Non Sandra dimana sih?” Bik Sum mengedarkan pandangannya ke sekeliling halaman samping. Tidak ada tanda-tanda nona majikannya berada di sana. Ia menggaruk kepalanya dan berbalik ke dalam rumah. “Apa masih di
Sepasang insan itu menikmati kebersamaan mereka. Tak ada lagi kecemasan dalam pikiran mereka. Semua keraguan dan kecemasan yang beberapa hari terakhir dirasakannya, menghilang dalam sekejap. Keduanya seakan berlomba untuk saling memuaskan satu sama lain dalam degup irama jantung yang sama kencangnya.“Om,” desah suara itu memanggil kekasihnya. Marco menghentikan hentakannya. Ia menatap wajah lelah istrinya yang telah dipacunya beberapa menit berlalu. Dikecupnya bibir merahnya dengan senyuman mengembang. “Sampai kapan kamu akan memanggilku seperti itu?” godanya. “Apa kamu ingin semua orang menganggapmu sugarbaby ku?” Cassandra menarik sudut bibirnya, memberikan seulas senyuman manjanya. “Suamiku. Atau sayangku. Mana yang lebih baik menurutmu?” Marco memautkan jari jemari ke tangan istrinya. Sepasang matanya seakan tersenyum lembut bersama dengan bibirnya.“Keduanya terdengar sexy, asal keluar dari bibirmu,” bisiknya. Lelaki itu kembali mencumbu istrinya, menyerangnya dengan gelit
Marco terkesiap saat melihat Cassandra di depan pintu. Ia tidak menduga Cassandra harus terlibat dalam masalah ini. Seharusnya semua rencananya berhasil, jika saja Dave tidak dengan sengaja membawa istrinya ke tempat itu. Ia bahkan dapat melihat senyum lelaki itu saat mengikuti langkah Cassandra masuk ke dalam kamarnya. Namun Marco tidak ingin semua rencananya berantakan. Ia segera menutup pintu sesaat setelah Dave masuk. Dan pertunjukan utama pun dimulai. Cassandra melihat seorang gadis, kedua tangannya terikat menjadi satu dan Rexy sedang berdiri tepat di hadapannya. “Om Rexy? Dan kamu … bukankah kamu Shereen? Apa yang kalian bertiga lakukan di kamar ini?” Tentu saja Cassandra kebingungan melihat keberadaan mereka di tempat itu. Semua pikiran buruk tentang perselingkuhan suaminya, langsung dimentahkan karena kehadiran Rexy. “Tidak, bukan seperti itu pertanyaannya, Sandra,” sahut Rexy. “Seharusnya kamu minta Dave menjelaskan semuanya. Bagaimana ia tahu Marco ada di hotel ini
“Ngapain kamu bawa aku kemari?” Cassandra menatap curiga lelaki di sampingnya. Ia mulai gelisah. Perasaannya makin tak tenang saat lelaki itu memutar kemudinya memasuki lobi hotel berbintang empat itu. “Seperti yang aku katakan. Aku punya janji minum dengan Indra, interior desainer yang aku ceritakan tadi,” sahut Dave dengan tenangnya. Cassandra menatap lelaki itu dengan sudut matanya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik lelaki yang dikenal dengan sifat buruknya – pemain wanita.Dave tersenyum tipis saat mengetahui Cassandra menatapnya penuh kecurigaan. “Apa?” tanyanya sembari tertawa terkekeh. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari bahwa teman kamu yang satu ini terlihat tampan?” Cassandra mengalihkan perhatiannya. “Iya, sebenarnya kamu cukup tampan. Tapi –” “Tapi? Tapi apa?”“Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah?” ungkap Cassandra karena tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lebar. “Karena aku sedang menunggu seseorang. Se
“Aku akan segera pulang setelah melakukan survey lokasi.” Marco mengatakan dengan jelas alasan kepergiannya kepada istrinya. “Hanya satu malam, Sayang.” “Tapi ….” Cassandra mendecak kesal. “Aku benci tidur sendirian, Om.”“Aku janji, seandainya nanti semuanya selesai tidak terlalu larut, aku akan langsung kembali,” sahut Marco. Cassandra mengerucutkan bibirnya. Seandainya saja Marco mengajaknya, ia pasti mau ikut bersamanya. Tapi ia malu untuk terlihat posesif terhadap suaminya. “Baiklah. Kabari aku setelah kamu sampai di tujuan,” pinta Cassandra. Marco menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan istrinya. “Tentu saja,” ucapnya. Ditatapnya wajah manis perempuan yang ada di dalam pelukannya. Rasa hangat pelukan Marco, membuat perasaan gelisah di hati Cassandra memudar. Hatinya seharian ini memang merasa tak tenang, seperti merasakan sebuah firasat buruk tentang suaminya. Namun ia tak bisa menemukan sesuatu yang tak seharusnya. Bahkan dia percaya suaminya tak akan pernah
Shereen mengunci pintu ruang kerja Marco. Dengan liar kedua tangannya mengunci ciumannya dari belakang tengkuk Marco. Perempuan itu memeluk Marco dan melumat bibir lelaki itu dengan penuh hasrat.“Hentikan Shereen,” lirih lelaki itu. Marco meraih pinggang ramping gadis itu dan menyentakkannya agar ia melepaskan pelukannya.Tak bisa disangkal, sebagai seorang pria normal tentu saja penampilan dan sentuhan sensual gadis itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Marco seakan dibawa ke sebuah petualangan baru yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. “Bukankah ini menyenangkan?” bujuk gadis itu. “Hentikan semua omong kosong ini. Aku sudah punya–”“Istri? Aku tidak menyuruhmu menikahiku,” sambung Shereen yang tak mau mendengar sebuah penolakan. “Aku cuma ingin seseorang ada di sisiku ketika aku kesepian. Ada seseorang yang peduli padaku saat aku kesakitan.”“Keluarlah.” Marco menyingkirkan sepasang tangan yang masih enggan lepas dari lehernya itu. “Keluarlah sebelum aku memanggil sek
Cassandra berjalan selangkah demi selangkah mendekati Marco. Sepasang matanya menatap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya. Tatapan dingin yang membuat jantung Marco seakan hampir berhenti berdetak. “Mati aku! Apa dia tahu sesuatu? Sepertinya Shereen tidak main-main dengan ancamannya.”Dengan kedua tangannya, Cassandra mendorong tubuh Marco, hingga membuat tubuh lelaki yang tidak siap menghadapinya itu limbung dan jatuh terjengkang. Marco menelan kasar salivanya. Panik! Itu yang saat ini dirasakannya. Apalagi saat melihat Cassandra yang seakan tak mau melepaskannya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bagian tengah tubuhnya. Bagian yang masih berdiri menantang itu, kini berada dalam genggaman tangan Cassandra. Sentuhannya bahkan membuat jagoan Marco itu semakin mengeras. “Tadi … kamu kenapa?” tanya Marco ragu, “apa ada yang salah?”Cassandra menggelengkan kepalanya. “Aku cuma nggak nyaman aja, ruangannya terlalu sempit dan … keras.” Marco menghela napas lega. Ia ta
Aroma jasmin menguar di ruangan yang terasa hangat itu. Suara air yang mengalir memenuhi bak mandi, menyamarkan debaran jantung keduanya. Marco dapat merasakan betapa lembut dan lembabnya kulit kekasihnya, saat tangannya menyentuh tubuhnya. Ia dapat merasakan hasratnya yang membara saat tubuh mereka bersentuhan. Marco menangkup sepasang tangannya di dada kekasihnya, merasakan sensasi kenyal yang mempermainkan hasratnya. Lelaki itu mendaratkan kecupannya di leher jenjang istrinya, merasakan denyutan nadi yang seolah menjerit saat disentuhnya. Suara desah lolos dari bibir Cassandra. Dengan pasrah, ia menyandarkan kepalanya ke dada suaminya dan memberikan keleluasaan baginya untuk menikmati tubuhnya. Ia sungguh menikmati permainan tangan suaminya dan sentuhan basah di lehernya menciptakan percikan-percikan yang membangkitkan hasratnya. Lelaki itu memutar tubuh kekasihnya. Ditatapnya wajah cantik yang tak pernah bosan dilihatnya itu. “Aku mencintaimu Sandra, cuma kamu. Biar apapun ya
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar terkejut ketika menyadari dirinya berada di tempat yang sama sekali asing baginya. Ia mencoba mengingat kejadian terakhir yang tersimpan di memorinya. Suara gemericik air, menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendirian. Lelaki itu semakin terkejut ketika melihat beberapa foto yang terpampang di dinding ruangan itu. “Om sudah sadar rupanya.” Suara itu terdengar seiring dengan pintu kamar mandi yang terbuka. “Sher!” Marco menyadari bahwa dirinya berada di dalam apartemen Shereen, seorang model terpilih perusahaannya. Ia masih ingat bagaimana gadis itu menelponnya dengan ketakutan. Gadis itu tersenyum lebar. “Aku tahu Om akan datang. Aku tahu, Om akan meninggalkan istri Om buat aku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. “Persis seperti yang Dave katakan.”“Dan yang lebih penting, alam seakan mendukung niatku. Om pingsan tepat di depan pintu apartemenku.”Marco segera bangkit dari sofa, tempatnya terbaring tadi. Ia menatap gadi
Shereen mengulurkan tangannya. Mendengar tawaran yang menguntungkan seperti ini, tentu saja tidak mungkin disia-siakan olehnya. Bukan karena ia tidak menginginkan kompensasi pembatalan kontrak bernilai ratusan juta itu, tapi ia sadar jika ia membatalkan sebuah kontrak bernilai besar seperti ini akan membuat namanya juga menjadi buruk. Tidak akan ada lagi orang yang berani menawarkan kontrak apapun kepadanya. Selain itu, firasat Shereen mengatakan bahwa Marco akan menuruti apapun keinginannya. Marco sudah berada di dalam genggaman tangannya. “Om yakin?” tanya gadis itu. “Om akan melindungi aku, menjaga aku dalam setiap kegiatan yang akan aku lakukan?” Marco menganggukkan kepala menyetujui ucapan Shereen, walau ia tahu itu tidak mungkin dilakukannya. Pekerjaannya cukup banyak, dan waktu sepanjang dua puluh empat jam bahkan tidak akan cukup jika harus ditambah dengan tugas sebagai seorang bodyguard. Tapi ia tetap menganggukkan kepalanya, yang terpenting gadis di hadapannya tidak mem