Ada 1 episode lagiii!
Ucapan Adam membuat senyuman di wajah Evelyn seketika menghilang. “Kita … tidak menikah di sini?” Sebenarnya, Evelyn sudah menduga adanya kemungkinan dirinya akan menikah di Capitol. Akan tetapi, dengan adanya Keluarga Kusuma di sini, juga kenyataan bahwa Adam masih memiliki beberapa urusan di negara ini, wanita tersebut mengira bahwa Adam akan merayakan pernikahan mereka di Nusantara. “Kamu keberatan?” tanya Adam, melihat kerutan tipis di dahi Evelyn. “Ingin melakukannya di Nusantara?” Kepala Evelyn menggeleng, senyuman kembali terpasang di wajahnya. “Tidak,” balasnya. “Lebih baik di Capitol untuk menghindari media dan juga orang tidak waras.” Wanita itu jelas sedang merujuk kepada Risa, khawatir adiknya itu akan berusaha untuk melakukan sesuatu untuk membalasnya. Adam terdiam sesaat, lalu bertanya, “Ada rencana khusus tentang model pernikahan yang kamu inginkan?” “Tidak juga,” balas Evelyn, sepasang netra hitam wanita itu terarah kepada Adam, terlihat menatap pria itu dengan sak
A/N: WARNING! PERINGATAN! 18+ ... rasanya ___ “Sekarang, kamu tidak bisa ke mana-mana.” Melihat Evelyn terduduk di atasnya dengan senyuman yang begitu menggoda, Adam bisa merasakan sesuatu dalam dirinya terbangun. Netra birunya memperhatikan wanita itu dengan saksama. Manik hitam yang menghipnotis, bibir yang merona merah, dan lekukan tubuh yang indah membuat pria tersebut merasa tertantang. Tangan Evelyn terulur, jari-jari lentiknya terarah pada dada Adam, menyentuh lembut kulit terbuka pria itu. Hal tersebut membuat seluruh tubuh Adam bergidik dan darahnya berdesir. Tahu apa yang akan terjadi kalau dirinya terus membiarkan Evelyn bertindak sesuka hati, Adam segera menggenggam tangan wanita itu, menghentikan gerakannya yang nakal. “Evelyn, hentikan,” ucap pria tersebut dengan suara rendah. Dia menyentuh pinggang wanita itu, berniat memindahkannya dari atas tubuh. “Kamu sudah mabuk, aku akan antar dirimu kembali ke—” Belum sempat Adam menyelesaikan ucapannya, dia dipaksa menghent
A/N: (Masih) 18+ Yang prefer baca kelanjutan plot, tunggu besok ya~ _____ “Evelyn, kamu mabuk,” ulang Adam, menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan untuk mengendalikan diri selagi berusaha untuk bangun. Namun, tangan Evelyn mendorongnya kembali ke ranjang. “Evelyn!” Reaksi Adam membuat Evelyn terkekeh. Kemudian, bibir wanita tersebut menyapu telinga Adam, turun terus menuju lehernya, membuat Adam melenguh. “Henti—” Saat Adam berusaha menghentikan tindakan Evelyn dengan mendorong kepalanya, wanita itu dengan sigap menahan tangan pria tersebut. Dalam hitungan detik, Evelyn berhasil mengunci pergerakan Adam dengan menahan tangan pria tersebut di atas kepala. Tak hanya itu, entah dari mana dan kapan, wanita tersebut mengikat tangan Adam dengan sebuah dasi. ‘Bagaimana—?!’ Adam kehabisan kata-kata, sama sekali tidak menyangka akan menjadi seperti ini. “Ugh ….” Lenguhan rendah kabur dari bibir Adam kala dia merasa ciuman Evelyn kembali mendarat di tubuhnya. “Evelyn, sadarlah!” Menden
“Urgh,” geraman rendah bisa terdengar keluar dari sosok wanita yang terbaring di atas tempat tidur. Kelopak matanya terbuka, memamerkan manik hitam segelap malamnya yang memukau. “Aku … di mana?” Baru saja dirinya menanyakan itu, Evelyn kembali mengernyitkan dahi lantaran dentuman pada kepalanya terasa begitu menyakitkan. Dia mendudukkan diri, lalu menyapu pandangan sekeliling. Aroma maskulin yang terasa familier menyeruak masuk indera penciumannya, membuat ingatan Evelyn sekejap bergejolak. “Oh … tidak,” gumam Evelyn kala samar-samar mengingat kegilaan yang dirinya lakukan. Seperempat botol yang dia tuangkan untuk menenangkan diri, diikuti dengan rasa menakjubkan kala lidahnya mengecap anggur mahal itu, lalu setengah kegelapan yang menyelimuti kesadarannya. “Apa yang sudah kulakukan?!” pekiknya seraya langsung turun dari tempat tidur. Saat kakinya menapak di lantai, Evelyn melihat atasan pakaian tidur hitam yang tergeletak di lantai. Melihat hal tersebut, tubuh wanita itu membeku.
“Elena?” ucap Adam dengan kening berkerut, tidak terlihat senang melihat sepupunya itu hadir di tengah kediamannya. Dia melirik Julian. “Sungguh? Elena?” ulangnya, mempertanyakan keputusan sang asisten. Melihat reaksi sepupunya, Elena yang baru saja melangkah masuk ke dalam ruang makan langsung berkacak pinggang. “Apa masalahmu? Sudah kukatakan aku akan berkunjung untuk melihat keponakan-keponakanku!” balasnya dengan alis menukik tajam. Di tempatnya, Liam terdiam dan menatap Elena dengan mata bulatnya. Bocah tampan itu seakan terpana dengan aura cerah yang dibawa oleh wanita tersebut. “Mama, Mama, tante cantik itu siapa?” tanya Lili yang lebih vokal dengan rasa penasarannya. Mendengar ucapan Lili, telinga Elena sedikit bergerak. Wanita dengan balutan gaun putih pendek dan rambut setengah diikat itu melangkah menghampiri dua bocah selagi bertanya, “Dan, apakah ini dua keponakanku yang manis?” Mata indahnya yang diserasikan dengan bulu mata lentik terlihat memandang lembut ke ara
“Bu Evelyn Dean,” sapa Anna ketika melihat sosok Evelyn melangkah masuk ke dalam butiknya, tubuhnya hari itu diselimuti gaun hitam yang menonjolkan lekuk tubuh indahnya. Senyum menggoda terpoles di wajah wanita bertubuh molek itu. “Bagaimana kabar Anda?” tanyanya. Evelyn memasang sebuah senyum tak berdaya, merasa aneh dengan cara Anna dalam menyapa dirinya. “Anna,” balasnya. “Kebetulan aku belum menikah, jadi kamu masih bisa memanggilku dengan panggilan Evelyn Erlangga.” Alis kanan Anna meninggi. “Evelyn Erlangga?” Dia yakin bahwa wanita di hadapan merupakan mantan pewaris Keluarga Aditama. ‘Apa dia mengubah nama belakangnya?’ tebak wanita tersebut. Namun, tahu untuk tidak menyelidiki terlalu dalam, Anna pun memasang senyum dan mempersilakan Evelyn masuk. “Lewat sini.” Melangkah ke dalam butik tersebut, Evelyn teringat akan kejadian antara dirinya dan Nissa Diwangkara. Ah! Jangan lupakan keberadaan Risa juga. Hal tersebut membuatnya menoleh kepada Anna. “Aku harap kejadian tera
“Astaga, Anda terlihat sangat cantik!” puji salah seorang pegawai Anna yang membantu Evelyn mengenakan gaunnya. Bahkan tanpa riasan, calon istri sang pewaris itu sudah terlihat bagaikan seorang dewi! Di sebelah pegawai wanita itu, Anna memperhatikan sosok Evelyn. Dia sudah tahu bahwa wanita itu cantik, tapi dengan hasil karyanya, wanita itu menjadi semakin luar biasa. Bisa dikatakan bahwa Evelyn merupakan pelanggan yang paling memuaskan dahaga senimannya lantaran berhasil membuat karyanya semakin bersinar. ‘Haruskah aku menjadikannya modelku?’ pikir Anna. Akan tetapi, pikiran itu hanya bertahan satu detik, sebab dia harus sadar diri dengan siapa dirinya berhadapan. Calon istri pewaris Keluarga Dean. Evelyn membalas pujian tersebut dengan ucapan terima kasih. Jujur saja, dia cukup terkejut dengan betapa pasnya ukuran gaun itu di tubuhnya. ‘Sepertinya, Anna masih menyimpan ukuran dari kunjunganku yang terakhir,’ tebak Evelyn. Baru saja berpikir demikian, Anna malah berujar selagi me
“Tunggu di sini,” ucap Evelyn setelah baru saja turun dari mobil. Dari dalam mobil, Adam memperingati, “Hati-hati.” Peringatan Adam membuat Evelyn tersenyum tak berdaya. Dia hanya mampir sebentar untuk membeli roti, bukan pergi perang. Apa yang membuat Adam begitu waspada? “Tentu saja,” balas Evelyn seraya melangkah menjauh mobil dan menghampiri kafe yang menjual roti favorit kedua bocah kecilnya. Baru saja Evelyn melangkah masuk ke dalam kafe tersebut, pandangannya terpatri pada seorang pria yang terlihat sedang memesan sesuatu kepada barista. ‘An … dre?’ Kemudian, maniknya bergeser pada sosok wanita yang bergelayut manja di lengan pria tesebut. ‘Itu … siapa?’ Yang jelas … wanita itu bukan Risa. Gerakan tubuh yang intim antara Andre dengan wanita tersebut memudahkan Evelyn untuk mengerti perihal hubungan keduanya. Ingin sekali dirinya menepis kemungkinan buruk tersebut, tapi kenyataan yang disuguhkan di depan mata ialah kenyataan. Andre berselingkuh, dan hal tersebut terpampang
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p