Monggo jangan malu-malu like dan votenya. Yang paling ditunggu juga ada ... komentar kalian~ Lebih kaget kecelakaannya, atau author apdet 3 bab dalam sehari? :)
“Evelyn!!” Teriakan Adam terdengar jelas di telinga Evelyn. Suara tulang remuk yang bertabrakan dengan benda tumpul serta klakson nyaring dari berbagai arah bergema di telinga wanita tersebut. Dentuman kala tubuh dan kepalanya menabrak jalanan keras membuat pandangan wanita itu membuyar dan rasa sakit yang luar biasa sekejap menyelimuti tubuhnya. Kepala Evelyn terarah pada kendaraan yang baru saja menabraknya, melihat sosok pengemudi malang yang terlihat panik dengan apa yang baru saja terjadi. Akan tetapi, satu hal yang mengejutkan menarik perhatiannya. ‘Kenapa …?’ batin Evelyn, manik hitamnya terpaku pada satu sosok yang tergeletak tidak jauh darinya. Darah mengalir menuruni wajah sosok tersebut, sedangkan netranya menatap lurus ke arah wanita itu. “Eve … lyn …,” panggil orang itu, pandangannya terlihat sedih, seakan tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Air mata terlihat mengalir dari pelupuknya, menandakan bahwa pria itu sungguh-sungguh tidak bermaksud agar mereka jadi sep
Perawat tersebut pun masuk ke dalam sebuah ruangan dengan lampu indikator berwarna merah atas pintunya. Ruangan nomor satu dan dua menyala, menandakan bahwa tindakan bedah sedang dijalankan. Tidak mampu melakukan apa pun, Adam hanya bisa mengepalkan tangannya. Dia menyisir rambutnya dengan frustrasi. Sama sekali tidak dia pedulikan pandangan orang sekeliling yang menatapnya penuh ketertarikan, bukan hanya karena wajahnya yang rupawan, tapi lebih kepada penampilannya yang berantakan serta kemeja putihnya yang dipenuhi bercak darah. Entah berapa lama Adam berada di ruang tunggu operasi. Dia hanya terduduk diam dengan tubuh membungkuk dan tangan menopang kepalanya, matanya tertutup seakan sedang berdoa kepada Langit untuk menyelamatkan Evelyn. Tiba-tiba, sebuah suara mengalihkan fokus Adam. “Pak, minumlah sedikit,” ujar seseorang, membuat Adam mengangkat pandangan. Terlihat sosok Julian menyodorkan sebotol air kepada atasannya itu. Adam menerima botol air yang Julian sodorkan, dia bah
Suara mesin EKG—pendeteksi detak jantung—terdengar bergema di ruang inap rumah sakit VIP ibu kota. Di atas ranjang, terlihat seorang wanita terbaring dengan banyak memar di sejumlah sisi tubuhnya. Perban juga tampak membalut kepalanya. Tak lama, bola mata dalam kelopak wanita tersebut bergerak, menunjukkan bahwa kesadaran perlahan kembali ke dalam tubuhnya. Bulu mata lentik milik sang wanita bergetar sesaat sebelum akhirnya kelopak matanya terbuka. Sembari mengerjap untuk menyesuaikan matanya dengan cahaya dalam ruangan, wanita itu membatin, ‘Aku … di mana?’ Dia merasa ruangan bercahaya redup itu sangat asing. Manik mata wanita itu menyapu sekeliling, lalu berhenti pada satu sosok yang tertidur di pinggir ranjangnya. Sosok tersebut menggenggam tangannya, memberikan rasa hangat yang menenangkan. Melihat wajah pria itu, sang wanita tahu bahwa pria tersebut begitu lelah sehingga tidur dalam posisi yang begitu tidak nyaman. Namun, karena pergerakan wanita tersebut, pria yang tertidur l
“Kamu bilang apa?” Evelyn membelalak mendengar ucapan Adam. “Andre … kenapa?” Dia meremas tempat tidur, mencoba melampiaskan keterkejutan dalam hatinya. Selesai mendapatkan jawaban perihal anak-anaknya tadi, Evelyn lanjut bertanya tentang apa yang terjadi setelah kecelakaan. Adam menjelaskan bagaimana Julian langsung memanggil ambulans dan membawa Evelyn serta Andre ke rumah sakit. Teringat akan Andre yang mencoba melindunginya, Evelyn pun bertanya perihal kondisi pria tersebut. Dia sudah bersiap untuk yang terburuk. Akan tetapi, dia malah mendapatkan berita yang mengejutkan. “Andre selamat, tapi dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi,” ulang Adam dengan wajah dingin. Berita itu membuat Evelyn menundukkan kepalanya. ‘Dia … cacat?’ Alis wanita itu tertaut erat. ‘Semua karena … berusaha menolongku?’ Sungguh mudah bagi Adam untuk paham apa yang ada di pikiran Evelyn. Pria itu pun memanggil, “Evelyn,” membuat wanita itu menoleh. “Jangan bersikap bodoh dan menyalahkan dirimu sendiri.
Netra biru Adam terarah pada sosok Evelyn yang memandangnya serius. Pria itu mengalihkan tatapan, enggan untuk menjawab. Namun, tidak menjawab bukanlah solusi. Adam yakin bahwa Evelyn akan semakin curiga dan tidak percaya padanya kalau dia hanya diam.Akhirnya, bibir Adam pun terpisah dan suaranya terdengar berkata, “Aku memang tidak menargetkan Risa.” Dia pun memandang Evelyn dengan saksama. “Aku menargetkan Reyhan.”Evelyn mengerjapkan matanya, sedikit kaget dengan informasi yang Adam berikan. “Kenapa?”Sejauh yang Evelyn tahu, walau Reyhan sangat kejam kepada dirinya, tapi kepala Keluarga Aditama itu tidak pernah menyinggung Adam. Bahkan ketika di malam pesta Keluarga Diwangkara, saat hampir semua Keluarga Diwangkara—termasuk Risa—dengan terbuka menyerang Evelyn dan Adam, tapi pria itu tidak bicara banyak. Evelyn yakin bahwa hal tersebut dilandasi kekhawatiran Reyhan bahwa dirinya akan menarik perhatian negatif dari sang pewaris Adam Dean.Lalu, kenapa? Apa alasan yang Adam miliki
“Kamu … mendekatiku dengan sengaja?” tanya Adam dengan alis tertaut. Ekspresi pria itu kentara menggelap. Hal yang paling dia takutkan telah menjadi kenyataan.Tidak sedikit pun Evelyn mengalihkan pandangannya dari sosok pria di hadapan. “Ya, dan tidak,” jawabnya dengan sedikit ambigu. “Aku tidak berniat untuk dekat denganmu seperti … ‘ini’.” Matanya melirik ke bawah, pada tangan Adam yang menggenggam tangannya.Ucapan Evelyn membuat Adam melepaskan tangan wanita itu, refleks menjauh. Akan tetapi, tindakannya tidak membuat Evelyn marah ataupun sedih. Wanita itu hanya kembali menatap Adam dengan pandangan lembut.“Kenapa?” tanya Adam dengan rahang mengeras. “Apa tujuan utamamu untuk mendekatiku? Pertanggungjawaban?”Pria itu yakin alasan Evelyn tidak sesederhana itu. Kalau tujuan wanita itu adalah untuk meminta pertanggungjawabannya, kenapa di awal Evelyn terlihat ingin k
“Baj*ngan!” Makian dan suara benda dibanting keras terngiang di ruang tertinggi gedung perusahaan Aditama. Terlihat sosok Reyhan dengan wajah merahnya menatap ke arah lantai dengan pandangan kosong. Serpihan gagang telepon yang baru saja dia banting berserakan di lantai. “Bisa-bisanya semua mitra bisnis membatalkan kerja sama! Apa mereka gila?!” geram Reyhan. Sejumlah bawahan presiden direktur Grup Aditama itu berdiri di depan meja kebesaran pria tersebut sembari mengernyitkan wajah, terlihat takut dengan sikap sang atasan. Mereka saling bersitatap, seakan berkomunikasi bahwa perusahaan Keluarga Aditama sepertinya akan mencapai akhir perjalanannya. Seraya menundukkan kepala, Reyhan diselimuti amarah menggebu-gebu. “Ini semua pasti ulah tua bangka Keluarga Diwangkara itu!” geramnya. “Dia pasti melakukan ini semua karena cucunya itu menjadi cacat dan tidak berguna!” Makian Reyhan membuat para bawahan semakin menundukkan kepala. Dalam hati, mereka berkata, ‘Lebih tepatnya, ini semua
“Mama!” Seruan ceria dua orang bocah membuat Evelyn yang terbaring di tempat tidurnya tersenyum. “Lili! Liam!” panggil Evelyn ke arah dua bocah kecil yang berlari ke arahnya. Melihat Lili berusaha naik setelah menanggalkan sepatunya, wanita itu pun meraih sang putri dan menariknya ke dalam pelukan. “Bagaimana hari kalian? Asyik?” tanyanya sembari mencium pipi kenyal sang putri. Liam yang berdiri di pinggir tempat tidur ibunya berkata, “Liam dan Lili serta ibu guru dan teman-teman sekelas buat seribu burung bangau dari origami [1] untuk Mama!” Bocah itu menunjukkan hasil karya bersama teman dan guru kelasnya dengan bangga. “Semoga Mama cepat sembuh!” Melihat putranya itu mengangkat rencengan lipatan burung bangau kecil yang tergantung pada tali, Evelyn terkesima. Dia meraih benda tersebut dan berkata, “Terima kasih, Sayang.” Wanita itu melanjutkan, “Sampaikan pada ibu guru dan teman-teman kalian besok bahwa Mama sangat berterima kasih untuk doa mereka juga.” Nila yang berada di ruan
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p