Waduh, apa pria ini akan jadi ancaman untuk Adam dan Evelyn? Terus, kenapa rasanya reaksi Adam berlebihan di akhir ya??? Coba tebak di kolom komentar guyss!
“Jauhi putraku!” seru Adam seraya menarik Liam menjauh dari pria berpakaian olahraga itu. Tidak hanya pria asing itu, tapi Liam dan Evelyn juga sedikit terkejut dengan kedatangan Adam. Bukan hanya karena kedatangan pria itu yang tiba-tiba, tapi juga karena amarah yang terlukis jelas di wajah dan suara lantang yang dia lontarkan. “Adam?” panggil Evelyn dengan mata bulatnya sedikit membesar. Dia tidak menyangka akan melihat pria itu di sini. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya. Sekilas Adam lirikkan pandangan kepada Evelyn, menarik wanita itu mendekat ke arahnya. “Menjemputmu dan anak-anak,” jawabnya singkat sebelum mengalihkan tatapan kepada si pria asing, masih terlihat sangat waspada. Pria berpakaian olahraga itu melirik Evelyn, lalu kembali pada Adam. Dia melirik si kecil Liam, lalu kembali lagi pada Adam. Kemudian, menyadari kemiripan antara bocah kecil itu dengan Evelyn serta Adam, pria tersebut menutup mulutnya yang menampakkan sebuah senyuman. “Jadi, rumor perihal Adam Dean
Di dalam mobil, Liam dan Lili memperhatikan sosok Adam yang berada di kursi pengemudi. Sepertinya, kedua bocah tersebut masih sedikit bingung dan terkejut dengan kejadian beberapa saat lalu.Sementara itu, duduk di sebelah Adam, Evelyn hanya bisa terdiam. Wanita itu terlihat memikirkan sesuatu.Karena merasa kening Adam sedikit berkerut, Evelyn pun tak kuasa bertanya, “Kamu marah?” Netra hitam segelap malam milik wanita tersebut terpatri pada wajah pria di sebelahnya. “Wajahmu tidak terlihat baik sejak bertemu dengan pria bernama Dominic tadi.”Manik biru Adam bergeser sesaat ke arah Evelyn, menatap ekspresi khawatir wanita itu. Hal tersebut membuat aura dinginnya jauh berkurang.“Lain kali, kalau bertemu dengannya, larilah ke arah yang lain,” ujar Adam. “Dia pria yang berbahaya,” imbuhnya singkat.Evelyn menautkan alis, merasa sedikit bingung dan terkejut. Walau awalnya sempat merasa Dominic adalah pria yang baik, terlebih karena pria itu sempat membantunya tadi, tetapi kala Adam men
Detik pertanyaan itu keluar dari mulut Liam, Adam dan Evelyn membeku. Ibu dua bocah itu melempar pandangan pada Adam, memperhatikan raut wajah pria itu sedikit mengeras. ‘Apa yang harus kami katakan?’ batin Evelyn, merasa terjepit situasi. Belum sempat Evelyn mengatakan apa pun, dia mendengar sebuah suara memanggil, “Liam, Lili.” Dia menoleh dan menatap si sumber suara, Adam. “Apa kalian menginginkan seorang papa?” Detik pertanyaan tersebut mengudara, Liam dan Lili mengerutkan kening. Keduanya saling menatap, merasa sedikit aneh dengan pertanyaan itu. Liam pun mengalihkan pandangan kepada sosok ibunya. Manik birunya yang bulat terlihat menatap Evelyn dengan saksama, menangkap adanya pandangan khawatir. “Yang penting ada Mama,” jawab Liam dengan tegas. “Kalau punya papa bisa buat Mama senang, aku mau punya papa.” Di sebelahnya, Lili menjawab dengan sedikit berbeda. “Kalau bisa punya papa, Lili mau. Soalnya kalau ada papa, Mama nggak akan dihina orang lain lagi,” sahut gadis kecil
Ucapan Liam membuat Evelyn mengerutkan kening. “Apa maksudnya? Mama tidak mengerti.” Lili, yang juga sudah berhenti tertawa, memasang senyuman. “Mama, semenjak hari kedua tinggal di rumah Om Adam, Lili dan Liam sudah sering dengar omongan kakak-kakak pelayan,” ucap gadis kecil itu. “Mereka bilang kalau Liam dan Lili itu anak Om Adam.” Perlahan, senyuman itu terlihat begitu sendu. “Mereka bilang Lili dan Liam anak yang hadir tanpa pengetahuan Om Adam dan sebenarnya tidak diinginkan.” Netra biru Adam berubah gelap mendengar hal tersebut. Pria itu mengepalkan tangan dan berujar, “Siapa yang mengatakan hal tersebut?!” Tidak menginginkan anak-anaknya? Apa orang-orang itu bercanda?! Adam rela melakukan apa saja agar bisa bersama Liam dan Lili! Dia bahkan sempat berpikiran untuk merampas kedua bocah tersebut dari tangan Evelyn dulu! Senyuman Lili mengembang ketika melihat amarah di wajah sang ayah. Gadis kecil itu turun dari kursi sembari menarik Liam menghampiri sosok Adam. “Papa …,” pa
Melihat pemandangan di hadapannya, Evelyn tak kuasa terkesiap. Lekukan otot tegas yang tidak dibalut sehelai benang terpampang jelas di depan mata. Diserasikan dengan bulir-bulir air yang masih menetes dari ujung rambut pria di dalam ruangan, penampilan pria tersebut pun membuat wanita itu yakin bahwa Adam baru saja selesai membersihkan diri. Dengan handuk di sekeliling pinggang, Adam terlihat sibuk mengeringkan rambut dengan handuk kecil di atas kepalanya. Suara terkesiap yang Adam dengar membuat pria yang membelakangi Evelyn itu dengan cepat berbalik. “Evelyn?” Kening pria itu berkerut. “Kenapa kamu yang membawa itu?” Dia langsung menghampiri wanita tersebut dan meraih nampan dari tangan Evelyn. “Di mana Aldi?” tanyanya. Tidak sedikit pun Adam sadari bahwa penampilan dirinya membuat Evelyn merasa sedikit gugup. Akan tetapi, wanita itu berusaha untuk terlihat santai. “A-Aldi bilang kamu hanya minum ketika merayakan sesuatu,” ujar Evelyn, sedikit bingung harus mendaratkan pandangan
Ucapan Adam membuat senyuman di wajah Evelyn seketika menghilang. “Kita … tidak menikah di sini?” Sebenarnya, Evelyn sudah menduga adanya kemungkinan dirinya akan menikah di Capitol. Akan tetapi, dengan adanya Keluarga Kusuma di sini, juga kenyataan bahwa Adam masih memiliki beberapa urusan di negara ini, wanita tersebut mengira bahwa Adam akan merayakan pernikahan mereka di Nusantara. “Kamu keberatan?” tanya Adam, melihat kerutan tipis di dahi Evelyn. “Ingin melakukannya di Nusantara?” Kepala Evelyn menggeleng, senyuman kembali terpasang di wajahnya. “Tidak,” balasnya. “Lebih baik di Capitol untuk menghindari media dan juga orang tidak waras.” Wanita itu jelas sedang merujuk kepada Risa, khawatir adiknya itu akan berusaha untuk melakukan sesuatu untuk membalasnya. Adam terdiam sesaat, lalu bertanya, “Ada rencana khusus tentang model pernikahan yang kamu inginkan?” “Tidak juga,” balas Evelyn, sepasang netra hitam wanita itu terarah kepada Adam, terlihat menatap pria itu dengan sak
A/N: WARNING! PERINGATAN! 18+ ... rasanya ___ “Sekarang, kamu tidak bisa ke mana-mana.” Melihat Evelyn terduduk di atasnya dengan senyuman yang begitu menggoda, Adam bisa merasakan sesuatu dalam dirinya terbangun. Netra birunya memperhatikan wanita itu dengan saksama. Manik hitam yang menghipnotis, bibir yang merona merah, dan lekukan tubuh yang indah membuat pria tersebut merasa tertantang. Tangan Evelyn terulur, jari-jari lentiknya terarah pada dada Adam, menyentuh lembut kulit terbuka pria itu. Hal tersebut membuat seluruh tubuh Adam bergidik dan darahnya berdesir. Tahu apa yang akan terjadi kalau dirinya terus membiarkan Evelyn bertindak sesuka hati, Adam segera menggenggam tangan wanita itu, menghentikan gerakannya yang nakal. “Evelyn, hentikan,” ucap pria tersebut dengan suara rendah. Dia menyentuh pinggang wanita itu, berniat memindahkannya dari atas tubuh. “Kamu sudah mabuk, aku akan antar dirimu kembali ke—” Belum sempat Adam menyelesaikan ucapannya, dia dipaksa menghent
A/N: (Masih) 18+ Yang prefer baca kelanjutan plot, tunggu besok ya~ _____ “Evelyn, kamu mabuk,” ulang Adam, menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan untuk mengendalikan diri selagi berusaha untuk bangun. Namun, tangan Evelyn mendorongnya kembali ke ranjang. “Evelyn!” Reaksi Adam membuat Evelyn terkekeh. Kemudian, bibir wanita tersebut menyapu telinga Adam, turun terus menuju lehernya, membuat Adam melenguh. “Henti—” Saat Adam berusaha menghentikan tindakan Evelyn dengan mendorong kepalanya, wanita itu dengan sigap menahan tangan pria tersebut. Dalam hitungan detik, Evelyn berhasil mengunci pergerakan Adam dengan menahan tangan pria tersebut di atas kepala. Tak hanya itu, entah dari mana dan kapan, wanita tersebut mengikat tangan Adam dengan sebuah dasi. ‘Bagaimana—?!’ Adam kehabisan kata-kata, sama sekali tidak menyangka akan menjadi seperti ini. “Ugh ….” Lenguhan rendah kabur dari bibir Adam kala dia merasa ciuman Evelyn kembali mendarat di tubuhnya. “Evelyn, sadarlah!” Menden
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p