Sabar, chapter berikutnya tunggu sekitar 30 menit yak wkwk
“Kembalilah padaku, aku masih sangat mencintaimu.” Ketika kata-kata itu meluncur keluar dari mulut Andre, Adam mengepalkan tangannya kuat. Bukan hanya Andre tidak menghormati dirinya sebagai tuan rumah, tapi pria itu dengan gamblang mengabaikan keberadaan dirinya sebagai calon suami Evelyn dan menggoda wanita itu! “Baj*nga—!” Baru saja Adam berbalik dan ingin menghampiri Andre untuk melemparkan sebuah tinju pada pria tersebut, satu sosok berjalan cepat melewati dirinya dan berdiri di depan sang pewaris Keluarga Diwangkara. Mata Adam membesar, tak percaya bahwa Evelyn dengan cepat meninggalkan sisinya. Tenggorokan pria itu seakan tercekat dan dadanya sedikit sesak, apa semudah itu Evelyn meninggalkan dirinya untuk mantan tunangannya itu? Bibir Adam terpisah, suara rendahnya pun terdengar pilu, “Evelyn … kamu—” Sebelum Adam bisa menyelesaikan ucapannya, suara tamparan keras terdengar bergema di teras kediaman pria tersebut. Hal itu membuat pewaris Keluarga Dean itu terbelalak, terl
“Pewaris Keluarga Diwangkara sudah pergi, Pak Adam,” lapor Aldi seraya membungkukkan tubuh kepada Adam. Terlihat pria itu merasa sedikit bersalah karena kejadian beberapa saat yang lalu. Adam yang sekarang terduduk di depan meja kerjanya menganggukkan kepala pelan. “Beri tahu para penjaga untuk tidak membiarkan siapa pun menginjakkan kaki di tempat ini tanpa izin dariku,” titahnya dengan ekspresi dingin. Walau tahu bahwa ada beberapa orang yang mungkin tak bisa ditahan penjaga, tapi melihat emosi Adam yang sedang buruk, Aldi hanya bisa berkata, “Baik, Pak Adam.” Dia akan mencari kesempatan untuk mengonfirmasi daftar orang yang memiliki akses khusus ke dalam kediaman ini kepada Adam di lain hari. “Pergilah,” ucap Adam setelah mendengar jawaban Aldi. Ketika Aldi telah keluar dari ruangan dan pintu kembali tertutup, Julian yang juga berada di dalam ruangan menoleh kepada sang atasan. “Jadi, Pak Adam sungguh akan menikahi Bu Evelyn?” Kantong mata pria itu terlihat gelap, lelah karena h
Piip! Suara Adam menekan tombol matikan panggilan membuat Julian membelalak. “Bapak! Kok dimatikan?!” Dia jelas mendengar Noah menurunkan perintah untuk membawa Evelyn, dan bukannya membalas ucapan kakeknya itu, Adam malah mematikan panggilan tersebut!? “Kalau pria tua itu menanyakan apa pun perihal si kembar dan Evelyn, jawab seadanya. Di luar hal itu, suruh dia menunggu sampai aku menyelesaikan urusan di sini,” perintah Adam dengan tegas. Mendengar perintah Adam, Julian hanya bisa berakhir menganggukkan kepala. Lagi pula, dia tahu masih ada begitu banyak hal yang harus diurus di Nusantara. Helaan napas terlepas dari bibir Julian. ‘Sejak Bu Evelyn bertemu dengan Pak Adam, ada begitu banyak hal yang terjadi,’ batinnya. Dimulai dari kasus Evelyn dengan sang direktur bisnis, penemuan bahwa Evelyn adalah wanita yang menghabiskan malam dengan Adam delapan tahun lalu, perseteruan dengan Nissa Diwangkara yang menguak kenyataan Evelyn adalah mantan pewaris Aditama, sampai dengan perseter
“Pak Julian sudah mau pulang?” tanya Evelyn selagi menghampiri Adam dan Julian yang berbincang dekat pintu masuk rumah. Di tangannya, wanita itu memegang dua kantong yang ingin diberikan pada sang asisten CEO tersebut dan menitipkan satu bingkisan lain untuk Rena. Melihat Evelyn memegang dua kantong bingkisan, Adam mengerutkan kening. “Apa itu?” tanya pria tersebut sebelum Julian bisa bersuara untuk membalas ucapan Evelyn. “Anak-anak membuat kue kering bersama Nila. Karena terlalu banyak, jadi aku ingin berikan sebagian kepada Julian dan Rena,” jawab Evelyn sembari tersenyum. Dia menjulurkannya ke arah Julian seraya berkata, “Semoga Pak Julian su—” Evelyn tidak bisa menyelesaikan ucapannya kala dua kantong tersebut direbut oleh Adam. “Julian dan Rena tidak suka kue kering,” sergahnya. “Biar aku yang makan.” Mendengar hal tersebut, Evelyn mengerutkan keningnya. Dia menoleh kepada Julian. “Pak Julian nggak suka kue kering?” tanyanya, sedikit curiga dengan ucapan Adam lantaran dirinya
Setelah menceritakan semuanya kepada Adam, Evelyn yang sekarang berada di ruang kerja pria tersebut duduk terdiam. Terlihat sosok Adam duduk di sebelah wanita itu dengan satu kaki jenjangnya menyilangi kaki yang lain, dua tangan terlipat di depan dada. “Sekarang, bagaimana?” tanya Adam, menginginkan sebuah solusi dari wanita di sisinya. “Tidak mungkin kita sembunyikan kenyataan bahwa aku ayah kandung mereka, bukan?” Suaranya begitu rendah walau mereka hanya berdua di dalam ruangan. “Beri aku satu hari,” ucap Evelyn, mengangkat pandangannya untuk membalas tatapan Adam. “Aku akan bicara dengan anak-anak besok,” jelas wanita itu. Netra biru Adam menelisik ekspresi Evelyn, tahu bahwa wanita itu takut anak-anak akan berpikir buruk tentang dirinya karena telah berbohong. Sebagai seseorang yang telah membesarkan Liam dan Lili dengan dua tangannya sendiri, Adam paham bahwa Evelyn takut menjadi contoh buruk bagi kedua bocah. Walau dirinya kesal karena dianggap sudah mati oleh wanita itu dan
Pertanyaan Adam membuat senyuman di bibir Evelyn menghilang, sedikit bingung kenapa pria di hadapannya itu mengungkit masalah tersebut. Namun, wanita tersebut merasa tidak ada hal yang perlu ditutupi. “Ya,” jawab Evelyn. “Agar skandal tidak tersebar ke media maupun didengar kalangan atas yang lain, dia menghapus semua bukti.” Wanita itu menggeser pandangan pada langit yang mulai gelap di luar jendela ruangan Adam. “Akan tetapi, rumor tetap tersebar dan reputasiku hancur. Ditambah dengan kehamilanku, Ayah pun mengusirku ke luar negeri.” Selama sesaat, Adam terdiam. Otaknya berputar, mencoba menempatkan diri di posisi Reyhan. Akan tetapi, dia tak elak merasa ada yang mengganjal dari sikap sang kepala Keluarga Aditama itu. “Apa ayahmu memang sekeji itu?” tanya Adam dengan kening berkerut. “Bagaimana bisa dengan begitu mudah dia membuang dan menggantikan dirimu dengan adikmu?” Semakin dipikirkan, Adam merasa bingung kenapa Reyhan tidak mencari tahu siapa yang telah menodai Evelyn, pewa
Di sebuah kafe di tengah kota, terlihat sekumpulan wanita muda sedang berbincang dengan seru. “Apa kamu sudah dengar?” tanya salah seorang wanita muda dengan wajah cerah. “Evelyn Aditama sudah kembali ke Nusantara.” Nada bicaranya terdengar bersemangat, membuat kawan-kawan lainnya bereaksi sama. “Nggak cuma itu, dia datang membawa calon suami luar biasa!” “Oh, iya! Aku sudah dengar!” sahut wanita dengan jepit rambut bunga di salah satu sisi kepalanya, terlihat manis. “Adam Dean dari Capitol, ‘kan?!” Wanita itu menghela napas, membayangkan sosok Adam yang begitu rupawan. “Aku dengar kehadirannya di pesta ulang tahun Rusli Diwangkara begitu menggemparkan.” Seorang wanita lain yang mengenakan lipstik merah terang terlihat memutar bola mata. “Bagaimana nggak menggemparkan? Bukan cuma dia datang dengan si mantan pewaris Aditama, tapi dia juga meminta Nissa dan Risa membungkuk di hadapan Evelyn.” Wajahnya menampakkan ekspresi tidak suka. “Aku penasaran sihir apa yang digunakan wanita jal*
“Itu fitnah, Dre!” balas Risa, masih tidak mengakui kebejatannya. “Masa kamu dengan begitu mudah percaya sama orang lain?! Dia itu cuma mau ngancurin pernikahan kita!” “Orang lain itu kakak kamu! Kakak kandung kamu yang juga mantan tunangan aku!” hardik Andre. Mengatakan hal tersebut, pria itu menyisir rambutnya dengan frustrasi. “Harusnya … aku nggak semudah itu percaya ketika papa kamu bilang Evelyn kabur ke luar negeri dengan pria lain. Harusnya aku—” “Harusnya apa?! Harusnya kamu kejar dia dan nikahin dia, gitu?!” potong Risa dengan tatapan nyalang. Dia tidak percaya bahwa pria yang telah menikahinya selama tujuh tahun lamanya itu tengah menyesali keputusan melepaskan Evelyn. “Selama ini kamu anggap aku ini apa, Dre?!” Diselimuti frustrasi dan dikuasai emosi menggebu, Andre pun membalas, “Kamu itu wanita yang dijodohin keluargaku untuk memperkuat posisi! Kamu sendiri sadar dengan hal itu ketika kamu merebut posisi kakakmu untuk menikah denganku!” Mengingat setiap kalimat yang d
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p