Hmm, kira-kira siapa sebenarnya pembunuh orang tua Rena? Selain itu, apa benar Adikara adalah Dominic terlepas keyakinan Yarena dan segala informasi yang diinfokan Elric?
Suara air yang dituangkan ke dalam gelas menghiasi suasana tenang di saung kecil taman istana.Saat air itu selesai dituangkan, Rena pun berkata, “Terima kasih, Mana.”Ucapan tuan putri itu dibalas anggukan kecil Mana yang kemudian undur diri, meninggalkan Rena duduk berhadapan dengan Adikara di tempat tersebut.“Sudah tidak ada orang,” ucap Adikara secara tiba-tiba, membuat Rena mengalihkan pandangan padanya. “Harusnya sekarang Tuan Putri bisa mengatakan yang sebenarnya, bukan?”Setelah kedatangan Adikara yang tiba-tiba, Rena yang sempat dikejutkan oleh pertanyaan pria itu pun memutuskan untuk membawa putra angkat adipati agung itu ke tengah taman. Bukan hanya untuk menghindari orang lain untuk mendengarkan pembicaraan mereka, tapi juga untuk mempertontonkan kepada semua orang bahwa mereka sungguh tengah berusaha membangun hubungan yang baik sebelum menikah.Rena meraih cangkir tehnya dan meneguk isinya sedikit. “Aku tidak mengerti maksudmu. Aku sama sekali tidak memerintahkan apa pu
Di bawah remang lampu tidur, sepasang manik hijau Rena menatap kosong ke langit-langit kamarnya.“Hei …,” panggil gadis itu dengan wajah datar.“Ya,” balas suara dalam yang terdengar familier itu.Rena menoleh ke kanan, pada sosok Adikara yang terbaring di sisinya dengan mata tertutup.“Kamu yakin melakukan ini bisa membantu membangkitkan ingatanmu?” tanya gadis tersebut dengan wajah tidak terhibur.Rena melihat bulu mata Adikara bergetar seiring kelopaknya terbuka, memamerkan sepasang netra hitam segelap malam yang menenggelamkan.Mata Adikara menatap lurus Rena selagi berkata, “Tidak ada salahnya mencoba.” Pria itu menambahkan, “Lagi pula, Tuan Putri sendiri berkata bersedia membantuku mengembalikan ingatanku.”Mendengar ucapan Adikara, Rena mendecakkan lidah.Itu benar. Alasan dirinya sekarang berbaring berdampingan di tempat tidur bersama Adikara dikarenakan permintaan pria itu siang tadi!Di saung taman istana, Adikara mengajukan permintaan gila untuk tidur bersama dengan Rena. H
Pertanyaan Dominic membuat Rena membeku. Dia memutar ingatannya. Memang benar, sedari awal, tidak pernah sekali pun Adikara mengatakan apa pun perihal dirinya yang hilang ingatan. Selalu orang lain yang menyatakan hal tersebut, seperti Yaksa yang menjelaskan perihal latar belakang pria itu di hadapan publik untuk mengubah keputusan Yarena. Mengingat hal itu, Rena melemparkan tatapan mematikan kepada Dominic. “Apa yang sebenarnya kamu rencanakan …?” Pandangan terhibur terlukis di wajah Dominic. “Seperti yang kuduga dari seorang Yarena Wijaya, kamu begitu tenang bahkan saat menyadari dirimu salah langkah,” goda Dominic dengan seringai penuh kemenangan. Sebuah dengusan terdengar dari sisi Rena. “Dominic Grey, aku tidak sedang bercanda.” Ucapan Rena membuat pandangan Dominic menggelap. “Lalu, kamu pikir aku sedang bercanda?” tanyanya dengan nada bicara dingin. “Kalau memang kamu tidak bercanda, maka katakan padaku apa yang sebenarnya dirimu rencanakan!?” bentak Rena dengan wajah me
“Tuan Putri, apa Anda baik-baik saja?” Pertanyaan Mana menyentak Rena yang tenggelam dalam lamunannya. Wanita itu pun mengangkat pandangan ke arah kaca dan memaksakan sebuah senyuman. “Aku baik-baik saja, Mana.” Setelah mendapati Adikara adalah Dominic tadi malam, Rena tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ada begitu banyak pertanyaan dalam benaknya, dan salah satunya adalah mengenai apa rencana Dominic yang sebenarnya. Seharian, Rena dengan sabar menunggu kabar kedatangan Dominic. Akan tetapi, pria itu tidak kian muncul. Alhasil, setengah hari pun berlalu dengan Rena yang mengurus beberapa hal terkait pemerintahan bersama dengan Yara. Tepat setelah dirinya selesai makan siang bersama sang nenek, Rena sedang berjalan berdampingan dengan Yara menuju aula utama. Namun, dia dihentikan oleh salah seorang pelayan yang menghampiri. “Tuan Putri, Putri Saraswati meminta izin untuk bertemu,” ucap pelayan itu sembari membungkuk. Rena cukup terkejut dengan permintaan itu, tapi dia membalas, “Ba
“Rena! Syukurlah!” Pelukan hangat bisa Rena rasakan menyelimuti dirinya. Darah yang mengalir dari setiap luka yang menghiasi tubuhnya membuat kesadaran Rena perlahan-lahan menghilang. Pandangan buyar Rena mengarah ke dalam ruangan, samar-samar memerhatikan sosok yang telah bersimbah darah dan tak lagi bernyawa digotong keluar oleh sejumlah pengawal. Hal tersebut membuat air mata mengalir turun dari pelupuk matanya. Di dalam hatinya, Rena hanya bisa terus mengulang satu hal, ‘Maafkan aku … maafkan aku ….’ Terus seperti itu sampai akhirnya kesadarannya menghilang. *Beberapa saat yang lalu* “Selamat datang, Putri Mahkota.” Rentetan pelayan yang membungkuk hormat melihat kedatangan Rena dengan serempak memberi salam. Dengan anggukan kecil, Rena bertitah, “Tegapkan tubuh kalian.” Setelah melewati sambutan para pelayan, Rena pun mengikuti Saraswati menyusuri lorong kediamannya. Kediaman tuan putri kedua Nusantara itu tidak semegah yang Rena bayangkan. Mengira bahwa sikap angkuh Adh
“Suamimu dalangnya …,” ujar Rena dengan sedikit menggeram, berusaha keras menahan amarahnya agar tidak meledak. “Dan, kamu masih berkata pembunuhnya tidak di Nusantara?” Dengan hati-hati, Adhisti menjawab, “Dia memang dalangnya, tapi yang kamu cari adalah pembunuhnya, bukan?” BRAK! PRANG! Suara meja yang terbalik dan gelas yang pecah bergema di ruangan itu. Tampak Rena tak bisa menahan emosinya dan berakhir melemparkan meja teh Adhisti sampai menabrak tembok di samping ruangan, menyebabkan gelas dan teko di atasnya pecah kala menyentuh lantai. “Jangan bersilat lidah di hadapanku!” seru Rena dengan mata membara dengan amarah. “Suamimu mengirimkan pembunuh itu dan harus bertanggung jawab atas dosanya!” Adhisti tampak sedikit terkejut dengan tindakan Rena dan juga tenaganya. Namun, reaksi gadis itu telah kurang-lebih diperkirakan olehnya. Demikian, tidak butuh waktu lama sebelum Adhisti kembali tenang. “Dia memang bersalah, aku tidak akan membelanya. Akan tetapi, aku tidak memberita
Mendengar kalimat Adhisti, selama beberapa waktu dunia Rena terasa seperti berhenti. Ada dengung nyaring di telinga kala benaknya berusaha memproses informasi yang baru saja dia dapatkan.Melihat keterkejutan Rena, Adhisti menjulurkan tangannya, berusaha menyentuh tangan gadis tersebut.“Jangan sentuh aku,” ujar Rena dengan ketenangan yang begitu mematikan. Dia pun mengangkat pandangannya untuk kembali menatap Adhisti. “Selain dirimu, siapa yang tahu bahwa Eli Black adalah ayah angkatku.”Adhisti menggelengkan kepala. “Tidak ada.”“Adinasya tahu kamu menyelidikiku, apa yang dia ketahui?”“Hanya bahwa dirimu tumbuh besar di Nusantara dalam keluarga angkat biasa.”Perlahan, Rena pun membungkukkan tubuhnya, menyejajarkan pandangan dengan sosok Adhisti yang masih terduduk di kursinya. Mata gadis tersebut memancarkan aura membunuh seiring dirinya menatap Adhisti dalam-dalam.Adhisti tahu makna pancaran mata gadis itu.Rena … masih mewaspadainya.“Eli Black membunuh ayahku, atas dasar apa a
Mendengar Rena mengatakan hal tersebut, kelima pembunuh itu melirik satu sama lain.‘Sudah kuduga …,’ batin Rena, merasa sedikit lega karena tampak para pembunuh itu ragu.Namun, detik berikutnya, gadis itu harus berakhir kecewa … karena lima pembunuh itu langsung maju serentak!‘Mereka … tidak peduli bila Adhisti mati?!’Tahu ancamannya tak berguna, Rena pun langsung mendorong Adhisti menjauh ke tempat yang aman sebelum lanjut menangkis segala serangan yang diarahkan padanya.‘Kenapa mereka tidak peduli dengan Adhisti!?’ teriak Rena dalam hati.Apa mungkin tebakannya bahwa semua hal ini direncanakan oleh adik ibunya itu salah?!Apa mungkin ada orang lain di balik semua ini?Saat itu, mata Rena melotot. ‘Mungkinkah … Adinasya?!’Walau terus menduga-duga, tapi jawaban tak bisa Rena dapatkan. Oleh karena itu, gadis itu hanya bisa berusaha menjatuhkan para pembunuh di depan mata sebelum bisa tahu kenyataannya!“Ugh!” Beberapa bagian tubuh Rena terkena sayatan dan mulai mengeluarkan darah
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p