Kembali lagi, author yang kesepian ini memohon komentar wkwkw Apakah masih ada yang baca karya ini sampai di sini? Mungkin bisa berikan tanggapan juga??
Sekejap, wajah Lasmi berubah sendu. Dia tidak mampu berkata-kata. Apa yang Rena ucapkan … memang kenyataannya.Kalaupun Yara memang tidak merencanakan pembunuhan terhadap Wulan dan Duman—ibu dan ayah Rena—tapi wanita tua itu memang memiliki andil terhadap akhir yang menimpa keduanya. Andai Yara merestui keduanya, maka mereka tidak akan keluar dari kerajaan. Jika Wulan dan Duman tinggal di kerajaan, maka nyawa mereka mungkin bisa dipertahankan.Mungkin.“Tinggalkan kami berdua.”Suara parau yang berasal dari sang ratu membuat semua orang menoleh. Mereka menatap sosok Yara yang telah kembali mendapatkan ketenangannya.Bhadrika menautkan alis, masih merasa terancam dengan kenyataan bahwa Rena adalah seorang pembunuh bayaran. “Yang Mulia, tapi—”“Aku tidak mengulangi perintahku, Bhadrika,” tegas Yara dengan manik hitamnya.Bhadrika mengepalkan tangannya, tapi dia berakhir menutu
“Jangan konyol,” balas Yara ketus. Wanita tua itu menautkan alisnya, seakan mempertanyakan cara berpikir cucunya. “Kalau ibumu sudah bertunangan, kamu kira aku akan menyetujui permintaan Duman? Di mana harus kutaruh wajahku sebagai pemimpin kerajaan?” Bibir Rena terkatup rapat. ‘Benar juga.’ Dia merasa sedikit malu, terutama karena tatapan yang diberikan Yara padanya. Yara menghela napas ringan, lalu berkata, “Yang jelas, keputusan ayah dan ibumu untuk pergi dari kerajaan adalah karena mereka tidak ingin lagi terganggu dengan kehidupan kerajaan yang rumit.” Rena melihat tangan Yara mengepal kuat. Ketenangan yang sempat ditunjukkan wanita itu menghilang, digantikan dengan kesedihan bercampur amarah mendalam. “Siapa yang menyangka keputusan itu malah membawa malapetaka?” Ekspresi Yara ketika mengatakan hal tersebut membuat hati Rena terasa sesak. Amarah dan kesedihan yang tercetak di wajah sang nenek seakan mencerminkan kebencian mendalam terhadap siapa pun yang telah membunuh Wul
“Pelayan bodoh! Bisa-bisanya kamu menumpahkan air ke bajuku?!” Seraya berdiri dari kursinya, pemilik netra cokelat terang itu menatap ke arah Rena dengan penuh amarah. Wajahnya terlihat buruk selagi jari telunjuk rampingnya tertunjuk ke wajah pelayan baru sang nenek yang hanya memasang ekspresi datar. “Cepat berlutut dan minta maaf!” Titah angkuh sosok tersebut membuat Rena ingin sekali memutar bola matanya. Namun, dia tidak bisa melakukan hal itu lantaran sepasang manik hitam segelap malam tengah mengarah padanya, menyimak setiap perubahan ekspresi dan tindakannya. Hal tersebut membuat gadis yang tengah berpura-pura menjadi pelayan itu merasa jantung di dada berdetak begitu cepat dan ingin melompat keluar! Satu setengah bulan yang lalu, Rena datang untuk mendapatkan jawaban mengenai kematian ayah dan ibunya, lalu dia pun berujung terlibat perjanjian dengan sang ratu Nusantara. Semua seharusnya berjalan dengan lancar, sampai akhirnya Rena bertemu dengan sosok yang sangat tidak dia du
“Jikalau tidak ada hal lain, maka aku pamit terlebih dahulu, Tuan Putri,” ucap Lasmi seraya membungkuk hormat. “Jangan sungkan memanggilku jikalau memerlukan sesuatu.” Terlalu malas untuk membenarkan kembali cara panggilan Lasmi terhadapnya, Rena pun menganggukkan kepala. “Terima kasih, Dayang Lasmi.” Melihat kepergian Lasmi, Rena pun menutup pintu dan berbalik untuk menatap ruangan khusus yang disediakan untuknya. Dia mendapati barang-barangnya telah berada di dekat lemari. “Hah!” Mengenakan pakaian tidur yang diberikan oleh Lasmi, Rena yang sudah membersihkan diri menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Dia merasa setiap sendi dan ototnya sakit karena menghabiskan lebih dari setengah hari dalam perjalanan menuju tempat ini. Selagi berbaring di atas tempat tidur, Rena memikirkan kembali semua hal yang terjadi hari ini. Bertemu dengan sang ratu, mengetahui sebagian kebenaran terkait kematian orang tuanya, dan juga perjanjian kerja sama dengan neneknya sendiri. Ya, setelah pembica
Selama masa latihan, Rena tidak diperkenankan untuk berkeliaran dengan sembarang di istana. Dirinya hanya diizinkan berjalan-jalan di area tempat tinggal khusus pendamping sang ratu yang juga tempat tinggal Lasmi di istana. Demikian, Rena tidak akan bertemu orang lain selain Lasmi dan Bhadrika—yang berkunjung utamanya untuk menemui sang istri—untuk satu minggu penuh. Bahkan Yara berkata tidak akan mengunjungi Rena untuk menghindari kecurigaan orang-orang! “Salah! Tanganmu harus setinggi tulang panggul. Tidak lebih rendah, tidak lebih tinggi!” tegur Lasmi selagi mengajari Rena cara berjalan dan bersikap layaknya wanita istana. Dengan keringat bergulir menuruni pelipisnya, Rena membiarkan piring besi yang berada di atas kepalanya jatuh ke lantai sebelum menghela napas kasar dengan wajah memancarkan amarah. “Kenapa aku merasa menjadi pembunuh bayaran lebih mudah dibandingkan menjadi wanita istana?!” gerutunya dengan suara lantang. TAS! “Ah!” Suara lidi yang menampar keras daging dan
Pagi itu, para pelayan yang melayani Yara, entah yang secara langsung maupun tidak, semua dikumpulkan di lapangan utama istana wanita mulia itu. Mereka berbaris, berkumpul sesuai dengan tugas yang dikerjakan agar sang kepala pelayan mampu dengan mudah mengenali asal mereka. Warna kain yang melingkari pinggang para pelayan juga dapat digunakan untuk mengenali asal departemen mereka. ‘Merah berasal dari dapur, hijau adalah para pengurus taman, biru dari departemen cucian, dan putih ….’ Rena mencoba untuk mengingat kembali hal-hal yang dia pelajari dari Lasmi beberapa waktu belakangan ini. Suatu cara untuk menahan tekanan yang dia rasakan dari tatapan mata para pelayan di hadapannya saat ini. Semua orang memperhatikan dirinya yang tengah berdiri di sebelah Lasmi, menunggu semua pelayan dari berbagai departemen untuk berkumpul di hadapan mereka. Hanya saja, fokus para pelayan itu terarah pada kain yang melingkari pinggangnya. Kuning keemasan. Itu adalah warna kain yang melambangkan pel
PRANGG! Teko tanah liat yang dilempar ke lantai itu pecah dan menciptakan suara nyaring yang memekakkan telinga. Semua orang yang menyaksikan teko berharga itu dilempar dengan mudahnya langsung membelalak dan membeku sesaat sebelum akhirnya menatap sang pelaku. “Apa yang kamu lakukan?!” Pelayan bertubuh agak berisi itu melotot dengan kaget dan marah kepada Rena. Pancaran mata Rena terlihat gelap, tapi sebuah senyuman terlukis di bibirnya. Hal tersebut membuat semua orang yang melihatnya merasa rambut di belakang leher mereka berdiri. Dia terlihat kesal, tapi malah tertawa? Apa jangan-jangan gadis baru ini memiliki gangguan jiwa?! “Kalian yang mulai duluan mencari masalah denganku,” ucap Rena dengan suara tegas. “Demikian, jangan salahkan aku bertindak kejam.” *Beberapa saat yang lalu* “Bisa kulihat Lasmi melatihmu dengan baik,” ucap Yara saat melihat sosok Rena menuangkan air hangat ke dalam baskom dengan tenang. Gadis itu tengah mempersiapkan air yang akan digunakan oleh sang
Setelah memberikan teko berisi teh sesuai permintaan Rena, Mana mempelajari wajah pelayan pendamping baru sang ratu itu. Melihat alis Rena tertaut erat, dia memasang wajah khawatir. Namun, bibirnya terkatup rapat dan tangannya mengepal kuat, bersikeras menahan diri untuk mengatakan apa pun.Di tempatnya, Rena melirik Mana yang terlihat kesulitan untuk beberapa saat. Akan tetapi, karena gadis di hadapan tidak mengatakan apa pun, Rena pun hanya berakhir memasang sebuah senyuman.“Terima kasih sudah melaksanakan tugasmu dengan baik, Mana,” ucap Rena dengan lembut, membuat tubuh Mana membeku, merasa hatinya tertusuk oleh ucapan Rena. Rena memutar tubuhnya sembari menambahkan, “Kamu bisa pergi, aku akan mengantarkan teh ini kepada Yang Mulia.”Baru saja ingin berjalan pergi, Rena dihentikan oleh dua tangan yang menarik lengannya. “D-Dayang Rena, tunggu!” Mana setengah berseru selagi menahan Rena. “J-jangan pergi.” Mendengar ucapan Mana, Rena menghentikan langkahnya dan berbalik. Alis
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p