Ada yang masih ingat dengan Sera? Sampai di titik ini, apa yang kiranya masih belum terjawab dan perlu diceritakan? Ayo coba ingetin authornya lagi!
“Seraphina Dean,” sebut Evelyn membuat semua orang di dalam ruangan terkejut, sudah begitu lama tidak mendengar nama itu. “Bukankah ini waktu yang tepat baginya untuk kembali?” Noah langsung mengerutkan keningnya. “Jangan libatkan Sera dalam permasalahan ini,” tegasnya. “Sesuai dengan janjiku kepada istriku, Sera tidak akan terlibat dalam permasalahan kedudukan.” Di sisi lain, Adam terlihat memiringkan kepalanya. “Apakah Kakek sudah bertanya?” Dia membuat Noah menatapnya bingung. “Apa maksudmu?” Adam pun memperjelas, “Apa Kakek sudah bertanya pendapat Bibi? Siapa yang tahu apakah sebenarnya Bibi menginginkannya atau tidak, bukan begitu?” “Sudah bertanya atau belum bukanlah masalah sebenarnya.” Kali ini, Henry terdengar angkat bicara. Dirinya dan sang adik tidak memiliki hubungan yang begitu baik, terutama mengingat bagaimana gadis itu menyatakan ketidaksukaannya terhadap sikap Henry. “Sera adalah seorang perempuan.” Mendengar hal ini, Rosa menaikkan alisnya, seakan ingin menyuara
Setelah keributan secara berturut-turut di hari-hari sebelumnya, akhirnya tiba waktu kediaman Dean diselimuti ketenangan. Pagi hari itu, semua pelayan bekerja seperti biasa, mencoba untuk melupakan segala kekacauan yang sempat terjadi. Kalaupun memang rumor mengenai Henry yang akan mundur sebagai kepala Keluarga Dean telah tersebar, tapi tidak ada yang berani membicarakannya secara terbuka. Bahkan bila Seraphina, putri kedua Noah yang hampir tak pernah hadir di rumah itu, yang menggantikan Henry, tidak ada yang mengutarakan apa pun kalau ingin tetap bekerja di sana. Memikirkan hal tersebut, Evelyn yang baru saja keluar dari kamar mandi termenung. ‘Seraphina Dean,’ batinnya dalam hati, teringat akan bagaimana gadis itu berbicara dengan Adam di malam yang lalu. Suaranya yang tegas dan sifatnya yang cuek sungguh mirip dengan calon suaminya, membuat Evelyn merasa Sera merupakan Adam versi wanita. ‘Aku tertarik untuk bertemu dengannya,’ batin wanita itu. Selesai mengenakan pakaiannya, Ev
“Apa kamu siap menjadi istriku, Evelyn?” Pertanyaan Adam sukses membuat Evelyn membeku di tempat. Perlahan, rona merah merayap di wajahnya. Wanita itu berusaha menarik tangannya lepas dari tangan Adam, tapi pria itu tidak melepaskannya. “Apa yang kamu pikir kamu lakukan?!” desis Evelyn dengan suara rendah sembari menoleh ke kiri dan ke kanan. “Masih begitu pagi, tapi kamu sudah kehilangan kewarasanmu?” Sebuah senyuman penuh arti terpampang di wajah Adam, tapi pria itu tidak berkata banyak. “Aku hanya bertanya,” balasnya singkat. “Untuk apa bersikap begitu kaku?” Mata Evelyn membesar, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. ‘Sehari-hari, kamu yang bersikap lebih kaku daripada diriku, oke?!’ gerutunya dalam hati. Namun, karena malas memperpanjang candaan, Evelyn berujung bertanya, “Mengenai Daniel, kamu berkata dia sudah mengetahui semuanya, bukan?” Pertanyaan Evelyn membuat ekspresi cerah Adam kembali berubah datar. “Kenapa kamu menanyakan hal ini?” balas pria itu, meny
“Tuan Adam, kita sudah sampai,” ucap sang sopir setelah menghentikan mobil. Ucapan sopirnya membuat Adam menoleh dan menatap ke luar jendela, pada sebuah gerbang kompleks perumahan mewah. Di saat ini, kening Adam terlihat membentuk kerutan dalam. ‘Jikalau Rosa memiliki rumah di tempat ini, kenapa dia masih tinggal bersama Sienna?’ tanyanya dalam hati, merasa sedikit bingung dan tidak tahu lagi harus berekspektasi apa terhadap alamat yang Rosa berikan. Tepat pada saat dirinya memikirkan hal tersebut, seorang penjaga bisa terlihat keluar dari pos yang berada di depan gerbang. “Mohon maaf, bisa tunjukkan kartu identitas Anda, tujuan kunjungan, dan tempat yang dituju?” tanya sang penjaga ketika sopir Adam menurunkan jendela. Matanya terlihat diselimuti kewaspadaan, jelas menangkap nomor polisi mobil yang berkunjung ini tampak asing. Julian melukis senyum profesional di wajahnya selagi menyerahkan kartu identitas miliknya kepada sang sopir untuk diteruskan kepada penjaga itu. “Kami kema
“Kenapa Rena bisa berada di tempat ini?!” Kala Julian mengutarakan pertanyaan tersebut, netra biru Adam menangkap satu sosok melangkah keluar dari sebuah rumah mewah di kompleks tersebut dan mengejar Rena. Wajah pria tersebut terlihat marah bercampur frustrasi, dia mencengkeram pergelangan tangan gadis itu dengan kuat, membuat Rena meringis. Adam yang sedari tadi membiarkan adanya celah pada jendelanya mendengar jelas sebuah perintah mengejutkan dari sang pria untuk Rena, “Kamu pulang ke Nusantara atau Kakak sendiri yang akan melemparmu ke sana!?” ‘Kakak?’ Julian yang juga bisa mendengar kalimat tersebut menautkan alisnya. ‘Bagaimana mungkin kakak Rena tinggal di—’ “Terus jalan,” titah Adam seraya menutup matanya, memotong pertanyaan dalam benak Julian. “Pak Adam, tidakkah lebih baik bagi kita untuk menyelidiki lebih jauh?” tanya Julian dengan wajah khawatir. Kalaupun dia memiliki hubungan yang baik dengan Rena, tapi kemunculan gadis tersebut di tempat ini membuatnya tak elak memi
“Mommy! Mommy! Lihat, gambar Lili bagus, ‘kan?!” Seruan manis itu membuat Evelyn yang sedang menuliskan sesuatu mengalihkan fokusnya. Dia menoleh ke arah sang putri yang menunjukkan sebuah gambar dari krayon warna-warni. Hanya satu kali lihat, Evelyn langsung tahu apa yang telah Lili gambar. “Apa ini pesta pernikahan, Sayang?” tebak Evelyn dengan senyuman manis. Mata bulat Lili berbinar, lalu dia pun mengangguk penuh semangat. “Ini pernikahan Mommy dan Daddy besok! Ini Lili dan Liam, ada Om Julian, Kak Rena, Tante Elena dan Kakek Kusuma ….” Begitu banyak orang gadis kecil itu sebutkan sampai membuat Evelyn tertawa. Namun, tawa wanita itu terhenti kala mendengar putrinya menyatakan hal mengejutkan. “Dan, ada Kakek dan Nenek juga!” Evelyn tersentak, senyumnya sedikit bergetar. Dia pun bertanya, “Lili sedang bicarakan Kakek Henry dan Nenek Rosa, bukan? Lalu, siapa Nenek yang ini?” Jari telunjuk rampingnya menunjuk gambar yang Lili sebutkan sebagai Rosa. “Ih, bukan!” Lili menggeleng
“Apa ada masalah?” Raffaele menyadari bahwa cara Rosa secara khusus menanyakan Daniel terdengar sedikit mencurigakan, jadi dia menjelaskan, “Mengesampingkan apa yang terjadi pada ibunya, tubuhnya juga tidak dalam kondisi terbaik, bukan begitu?” “Oh … ya.” Evelyn baru mengerti. “Adam berangkat pagi tadi untuk menjemputnya. Dia sempat bilang Daniel yang bersikeras pulang untuk menghadiri pernikahan walau tubuhnya masih cukup lemah.” Evelyn berbincang dengan Rosa dan Raffaele untuk setidaknya lima menit sebelum akhirnya sosok Liam turun dari lantai dua bersama Lili. Terlihat bocah itu memasang wajah datar kala menyapa kakek dan neneknya, membuat Rosa dan Raffaele cukup terkejut dengan betapa miripnya Liam dengan sang ayah. Namun, kala Raffaele memberikan Liam sebuah kotak kecil, hadiah perkenalan dirinya dan Rosa untuk bocah tersebut, wajah Liam diselimuti rasa penasaran yang mendalam. Saat netra birunya mendarat pada isi kotak tersebut, dia seketika terpukau. “Aku mendapatkan patung
*Beberapa saat lalu* “Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya sebuah suara dari seorang wanita yang membuat Adam tak mampu mengalihkan pandangannya. Adam yang sekarang terduduk di ruang tamu kediaman megah Diandra hanya bisa menatap ke arah wanita tersebut dengan saksama. Pandangannya menyusuri setiap lekukan wajah wanita itu, mencoba mencari-cari kebenaran mengenai identitas sosok di hadapan. Semuanya sama, tidak ada yang berubah, terkecuali kerutan tipis yang menghiasi beberapa sisi wajah Diandra. Hal itu wajar saja, terutama mengingat kali terakhir Adam melihat wanita itu sudah lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Karena Adam tidak kian menjawab pertanyaannya dan hanya menatapnya dalam diam, Diandra pun menghela napas dan menuangkan teh di cangkir pria tersebut. Dia menyodorkannya ke arah sang putra dan berkata, “Minumlah, teh itu bisa menenangkanmu.” Adam melirik cangkir teh tersebut untuk beberapa saat, tapi dia tetap terdiam. Pandangan matanya menunjukkan kewaspadaan. Diandra t
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p