Hmm, Evelyn tuh mau ngapain sih :") Terus siapa kira-kira pria yang mendadak muncul dan buka pintu mobil?
“Apa yang kamu lakukan di sini, Curut Kecil?” tanya sebuah suara dalam yang merdu itu. Mendengar dirinya dipanggil ‘Curut Kecil’, Rena pun memasang wajah jelek. “Siapa yang kamu panggil curut, hah?!” bentaknya dengan suara nyaring, membuat sopir yang duduk di jok depan mengernyit. Di sisi lain, wajah pria yang baru hadir itu terlihat biasa saja, sama sekali tidak terganggu. Namun, dia menjulurkan tangan dan mendorong tubuh mungil Rena ke samping, menggusur gadis itu sebelum akhirnya duduk dengan santai dan menutup pintu. “Dominic!” teriak Rena dengan emosi menggebu, kesal karena dirinya dengan kasar didorong ke samping. Dengan mata melotot, gadis itu bertanya dengan nada membentak, “Apa kamu tidak bisa masuk dengan lebih normal?!” Alih-alih menjawab, netra hitam segelap malam milik Dominic terarah pada Rena. Pria itu memandang gadis tersebut selama sesaat, lalu menyunggingkan sebuah seringai sebelum akhirnya mendengus. ‘Dia mendengus?! Apa maksud dengusan itu?! Apa dia merendahkan
Dentuman musik yang keras dan juga sinar lampu samar yang menghiasi bar membuat Evelyn merasa sedikit pening. Sudah begitu lama sejak dirinya mengunjungi tempat seperti ini, terutama setelah dia meninggalkan Calpa.Mengikuti salah satu penjaga pintu bar yang tadi menyambutnya, Evelyn berjalan menyusuri tempat yang telah diisi oleh sejumlah wanita berpakaian seksi dan pria berpenampilan rapi itu. Kalau bukan karena informasi dari Anna Hall, mungkin dia akan mengira orang-orang tersebut hanyalah anggota kalangan atas yang menghabiskan waktu di bar mewah itu. Namun, berdasarkan penjelasan desainer sekaligus informan Adam tersebut, Evelyn pun tahu bahwa mereka adalah bagian dari kelompok mafia Pentagram Merah.Dugaan kasarnya, tangan orang-orang berpenampilan menawan itu pasti pernah dilumuri darah orang lain.“Bos, ada tamu,” ujar sang penjaga pintu bertubuh kekar saat berhenti di depan sebuah meja dan sofa panjang, tempat seorang pria dengan dua wanita duduk dan terlihat sibuk.Pria yan
“Aku memang ingin menyingkirkan wanita itu.” Ucapan Evelyn membuat Hansen yang berhadapan langsung dengan wanita itu langsung mendengus mengejek. Dia menyisir rambutnya dengan frustrasi sembari berkata, “Nyonya, aku merasa bahwa dirimu tidak mengerti tentang apa yang sedang kamu bicarakan.” “Aku sangat mengerti dengan apa yang kubicarakan, Hansen,” tegas Evelyn. “Akan tetapi, kurasa dirimulah yang tidak mengerti dengan arah pembicaraan kita.” Tatapan tajam dari netra Evelyn membuat Hansen mengerutkan kening, kembali serius. Kenapa sepertinya … wanita di depannya ini sering berhadapan dengan situasi seperti ini? Tidak ada sedikit pun ketakutan yang Evelyn tunjukkan sejak detik dia melewati pintu masuk bar tersebut. Sewaktu Hansen meminta anak buahnya menyelidiki tentang latar belakang Evelyn, dia hanya menemukan bahwa wanita itu pernah menjadi seorang sekretaris di Calpa. Bahkan ketika kembali ke Nusantara dan bekerja untuk Eden Entertainment, posisinya masih seorang sekretaris. La
“Sampai kapan kamu akan berada di sini?” tanya Rena dengan ketus. Kentara jelas dirinya tidak senang dengan keberadaan Dominic di sebelahnya. “Tidakkah pemilik Grup Grey memiliki jadwal yang ketat? Kenapa kamu bisa bersantai di sini selagi bermain Chocolate Crush?’ sindirnya dengan tatapan sinis. Dominic yang sedang menyilangkan kakinya dan bermain permainan ponsel dengan satu tangan melirik Rena selama sesaat. Kemudian, pria itu dengan cepat mematikan dan memasukkan benda pipih itu ke dalam kantong. Setelah memasukkan ponselnya, tiba-tiba Dominic mencondongkan tubuhnya dan mengurung Rena dalam kungkungannya. Saking terkejutnya, gadis tersebut refleks melompat mundur ke belakang, menabrak pintu dengan kencang dan menekan tombol untuk menaikkan dinding partisi. Melihat dinding partisi perlahan terangkat, juga sopir yang melirik dari spion sembari menghela napas—berpura-pura tidak melihat apa-apa, Dominic menyunggingkan sebuah senyuman. “Hmm, sepertinya curut kecilku kesepian, itukah
“Demikian, kamu ingin membalas Helen menggunakan cara yang sama dengan yang dia gunakan terhadapmu, melalui Pentagram Merah,” ucap Dominic menutup penjelasannya. Mendengar kalimat terakhir Dominic, Evelyn terdiam di tempatnya. Detik berikutnya, wanita itu tertawa begitu keras, mengejutkan sang kakak yang tidak pernah melihatnya memberikan reaksi seperti itu. “Kenapa kamu tertawa?” tanya Dominic dengan alis kanan meninggi. “Aku tahu aku tidak salah,” tegasnya lagi. Seiring tawanya mereda, Evelyn pun membenarkan, “Kakak setengah benar, tidak sepenuhnya salah.” Wanita itu tersenyum kepada Dominic yang terlihat kaget, sedikit tak percaya masih ada bagian yang tidak tepat dalam ucapannya. “Aku memang ingin membalas Helen melalui Pentagram Merah. Akan tetapi, tidak dengan mengambil nyawanya,” jelas Evelyn seiring pancaran matanya berubah sendu. “Bagaimanapun, aku sudah bersumpah untuk tidak melumuri tanganku dengan darah orang lain lagi.” ‘Lagi …,’ batin Dominic dengan wajah datar, tahu
“Apa Adam mengetahui hal ini?” Pertanyaan Dominic membuat Evelyn menceritakan apa yang telah dia katakan pada Adam, bagaimana dia tidak ingin mencari tahu tentang Rosa. Hal tersebut membuat Dominic menyisir rambut dengan jari-jarinya, sedikit frustrasi. “Evelyn, kamu … kamu mungkin berhasil menipu semua orang, tapi ….” Dominic menyandarkan kepalanya di kursi mobil dan menutup matanya, mencoba untuk berpikir. “Kalau Adam tahu mengenai apa yang kamu lakukan di belakangnya, dia akan marah besar.” Sial. Dominic merasa sangat kacau. Dia masih tidak menyukai Adam, lebih karena kenyataan sifat mereka tidak cocok. Akan tetapi, kalau hubungan Adam dan Evelyn hancur, maka Dominic tahu bahwa adiknya itu akan sedih. Tentunya, dia tidak menginginkan hal tersebut untuk terjadi! Mengesampingkan egonya dan berharap sang adik mencapai kebahagiaan yang layak, Dominic pun bertanya, “Kamu akan memberitahukan hal ini pada Adam, bukan?” Walau terdengar seperti sebuah pertanyaan, tapi Evelyn tahu bahwa
“Jangan sembarangan!”Sebuah seruan bergema dalam ruangan kantor mewah milik kepala Keluarga Smith yang terhormat.“Tidak mungkin adikku melakukan hal seperti itu!” Pemilik ruangan, yang tak lain dan tak bukan ialah Tom Smith, menampakkan sikap tersingung ketika mendengar ucapan tamunya. “Bahkan jika Helen memiliki emosi yang tidak stabil, tapi adikku itu bukanlah seorang pembunuh!” tegasnya dengan penuh keyakinan.Namun, bahkan di hadapan keyakinan yang begitu kuat, pandangan dingin tamu Tom sama sekali tidak mencair. Pria dengan kaki jenjang yang disilangkan itu memandang kepala Keluarga Smith tersebut dengan netra birunya.“Jadi, aku berbohong?” Suara dalam milik sang tamu membuat tubuh Tom bergetar. “Itu maksudmu?”Dengan usaha untuk tenang, Tom pun menyandarkan punggungnya di sofa. “Adam, bukan begitu maksudku.” Dia menghela napas, terlihat frustrasi karena tetap harus menjaga sikap ketika berhadapan dengan pewaris Keluarga Dean itu. “Kamu membenci Helen karena kamu menganggap di
‘Mungkinkah, Tom Smith memiliki hubungan dengan … kematian Rosa?’ tanya Adam dalam hati. Namun, walau ingin mengetahui alasannya, tapi Adam tahu bahwa kepala Keluarga Smith itu tidak akan memberitahunya apa pun. Dengan kesimpulan tersebut, akhirnya pewaris Keluarga Dean itu memutuskan bahwa ini saatnya menutup percakapan. “Sebagai kerabat dekat ayahku, aku datang kemari untuk memberikan Paman sebuah kesempatan.” Adam melanjutkan dengan tatapan tajam terarah kepada Tom. “Demi keberlangsungan Grup Smith, akan jauh lebih baik untuk mempertahankan status netralmu dengan diriku.” Kalimat Adam membuat Tom membeku. Kesempatan? Tom ingin sekali tertawa mendengar kata itu terlontar dari bibir Adam. Tidak perlu orang cerdas untuk tahu bahwa apa yang baru saja pewaris Keluarga Dean itu katakan merupakan sebuah ancaman! ‘Jika ingin keluarga dan perusahaanmu selamat, maka apa pun yang terjadi di antara Helen dan diriku, jangan ikut campur. Kalau memungkinkan, kendalikan adik gilamu itu.’ Itu ad
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p