*Author menangis terharu di kursi tamu* Huuu, akhirnya ... akhirnya tunangan juga. #PLAK Pembaca: BELOM NIKAH THOR! NIKAHNYA LAMA SUMPAH! Author: Elah ... sabar .... Orang sabar rejekinya besar. Jangan lupa komen, like, dan votenya oke geyss! Wkwkwk. Mau tau feeling kalian lihat mereka akhirnya tunangan~
“Selamat atas pertunangan kalian, Evelyn, Adam,” Terlihat sosok Jenna mengucapkan selamat kepada dua orang muda di hadapannya itu dengan tenang. Beberapa orang selain wanita tua itu juga sebelumnya telah mengucapkan hal yang sama kepada dua bintang acara hari ini.Di sebelah tetua Dean itu, sosok Stacy juga ikut menambahkan, “Kalian terlihat luar biasa malam ini.” Dia menggenggam dan menepuk-nepuk pelan tangan Adam. Sebagai seseorang yang tidak memiliki keturunan, Adam di mata Stacy adalah cucunya.“Terima kasih, Nenek Stacy, Nenek Jenna,” balas Adam dengan sopan. Dia pun melirik ke arah tunangannya itu dan menjelaskan, “Ini merupakan istri dari mendiang kakak pertama dari Kakek.” Dia merujuk kepada sosok Stacy. Lalu, dia mengarahkan tangannya kepada Jenna. “Dan, ini merupakan kakak kedua Kakek.”Evelyn menganggukkan kepalanya, lalu membungkuk hormat kepada kedua tetua itu. “Salam kenal, Nenek Stacy, Nenek Jenna.” Tidak lupa dia menambahkan, “Terima kasih karena telah menyempatkan dir
“Oh, ya ampun?! Sungguh?!” Reaksi Evelyn membuat semua orang juga ikut terkejut. Berdiri di tempat yang ditunjuk Liam … adalah seorang wanita dengan dress putih pendek dengan lengan baju pendek mengembang. Penampilannya malam itu terlihat lebih santai dibandingkan sehari-harinya, sangat menggemaskan dan cocok dengan sikapnya yang ceria. Mengenali jelas orang yang ditunjuk putranya, Evelyn melirik ke arah sang kakak dan bertanya, “Rena? Benarkah? Sejak kapan?” Di tempatnya, Dominic mengangkat tangan. “Aku dan sekretaris kecilmu itu hanya datang bersama, bukan—” Ucapan Dominic mendadak terhenti. Netra hitamnya terkunci pada sosok tamu yang sedang mencium punggung tangan sekretaris pribadi Evelyn itu. Sepertinya, tamu yang tadi berbicara dengan Julian tersebut sedang dengan terbuka menggoda Rena, dan hal tersebut membuat gadis itu merona. Sekejap, netra hitam Dominic pun berubah gelap. Tanpa menanggapi pertanyaan Evelyn, dia langsung meninggalkan kerumunan dan bergegas menghampiri Re
“Apa aku secara tidak langsung telah … menjadi mak comblang mereka?” Mendengar sebuah dengusan, dia melirik Adam yang memasang ekspresi mengejek. “Kenapa kamu memasang wajah itu?” Di sebelah Evelyn, Adam menjawab, “Siapa yang mengira aku akan melihat tampang menyedihkan seperti itu di wajah seorang Dominic Grey?” Detik berikutnya, sebuah suara menyahut, “Jangan lupa bahwa tampang itu juga sempat terpasang di wajahmu kala mengejar Nyonya, Tuan Adam.” Adam menoleh ke sumber suara, berniat untuk memaki orang yang berani mempermainkan dirinya. Namun, saat melihat orang tersebut adalah Julian, dia langsung memasang wajah dingin. “Julian, sepertinya beberapa waktu ini aku terlalu baik padamu,” ujarnya. “Apa kamu merasa kerjaanmu kurang banyak?” ancamnya. Julian yang datang dan langsung diterjang sosok Liam memasang wajah jelek ketika mendengar omongan sang atasan. Dia mengangkat satu tangan, seakan mengisyaratkan dirinya menyerah. “Aku minum terlalu banyak, jadi aku tidak berpikir sebelu
“Night, Mommy! Night, Daddy!” seru Lili dan Liam berbarengan setelah mendaratkan sebuah ciuman di wajah kedua orang tua mereka. Dengan senyuman menghiasi wajahnya, Evelyn yang telah berada di ambang pintu bersama Adam tersenyum dan membalas, “Selamat tidur, Sayang.” Selesai mengatakan hal tersebut, wanita tersebut pun menutup pintu. “Akhirnya, hari ini selesai juga,” gumam Evelyn sembari menghela napas. Adam yang berada di sebelah wanita itu membalas, “Kerja bagus, Nyonya Dean.” Mendengar Adam kembali memanggilnya ‘Nyonya Dean’, Evelyn mengerucutkan bibir dan menyahut, “Apa kamu tidak bisa berhenti memanggilku seperti itu?” Wanita itu lanjut berjalan, mulai menuju ke kamarnya. Pertanyaan itu membuat Adam menundukkan pandangannya untuk menatap wanita tersebut. Kemudian, pria itu tersenyum. “Kenapa?” tanyanya dengan nada menggoda. “Apa yang membuat Nyonya Dean begitu marah?” Tahu pria itu sengaja mempermainkannya, Evelyn pun mendengus dan berjalan cepat sembari mengentakkan kaki. “K
“Evelyn … kamu sungguh ahli menyiksaku,” ujar Adam, membuat ekspresi Evelyn terlihat kebingungan. Namun, ketika merasakan apa yang membuat pria itu mengatakan hal tersebut, wajah wanita itu langsung berubah kaget dan merona sangat merah. “Dasar hidung belang!” maki Evelyn seraya mendorong tubuh Adam menjauh. Dengan cepat wanita itu membalut tubuhnya dengan selimut, seakan melindungi dirinya dari pria di hadapan. Jari Evelyn menunjuk ke arah pintu. “Keluar! Sekarang!” Melihat Evelyn bersikap seperti itu, Adam malah memasang sebuah senyuman nakal. Pria itu menghampiri wanita tersebut, membuntal tubuh rampingnya dengan selimut, lalu menarik Evelyn agar terbaring ke dalam sebuah pelukan. “Sekarang, diam seperti ini,” titah Adam seraya melingkarkan kakinya pada tubuh Evelyn yang dibalut selimut. “Adam!” teriak Evelyn, berusaha lepas dengan terus menggeliat. Namun, digulung seperti kebab oleh tunangannya itu membuat wanita tersebut tidak bisa berbuat banyak. Ketika kelelahan dan mulai me
“Aku tidak tahu apa maksudmu, Adam. Itulah alasan aku bertanya,” tegas Evelyn dengan alis tertaut erat. Netra hitam Evelyn menatap dalam sepasang manik biru Adam yang terarah padanya. “Apa alasanmu menanyakan hal tersebut?” tanyanya. Tidak lupa dia menambahkan, “Jangan coba-coba menyembunyikan sesuatu dariku.” “Andaikan …,” Adam memulai, membuat Evelyn sedikit bingung karena sepertinya pria itu tidak berniat menjawab pertanyaannya secara langsung, “… aku dan seseorang yang kamu cintai berujung berdiri di dua sisi yang berbeda, di mana hubungan kami begitu buruk sampai pada titik salah satu dari kami harus mati, kamu akan berdiri di pihak siapa?” Pertanyaan Adam membuat Evelyn menggeram dalam hati. Pria itu bukan hanya tidak menjawab pertanyaannya, tapi malah membuatnya semakin bingung dengan memunculkan pertanyaan rumit lain. Namun, tahu Adam sedang berusaha untuk bersikap hati-hati agar tidak membuatnya marah, Evelyn pun memutuskan untuk menjawab dengan serius juga. “Aku tidak aka
“Evelyn, aku rasa ibumu masih hidup.”Ucapan Adam membuat Evelyn membeku. Ekspresi santai wanita tersebut seketika berubah tegang. “Apa maksudmu?” tanya Evelyn dengan suara rendah, terdengar serius. “Bagaimana mungkin ibuku masih hidup? Dia … meninggal di malam kebakaran itu, seperti yang telah Kak Dom katakan,” tuturnya. Kemudian, dia mengepalkan tangan kala teringat akan ucapan Adam di Nusantara. “Juga seperti hasil penyelidikanmu sebelum kita ke Capitol.”Nada bicara Evelyn yang terdengar sedikit meninggi membuat Adam mulai ragu menceritakan apa yang dia tahu pada wanita tersebut, takut akan memberikan harapan palsu dan juga menyakiti tunangannya itu. Namun, dia telah bersumpah agar tidak akan menyembunyikan apa pun selama hal tersebut berhubungan dengan Evelyn. Demikian, dia menarik napas dalam dan menyusun katanya dengan saksama.“Kecelakaan yang menimpa Helen beberapa saat yang lalu, kamu ingat, bukan?” ucap Adam.Benak Evelyn berputar, teringat akan hari di mana dirinya mungkin
“Manik hitam segelap malam itu … hanya dua orang di dunia ini yang kukenali memiliki mata segelap itu.” Adam mengangkat kepalanya dan menatap calon istrinya itu lurus. “Dirimu … dan Dominic." Dengan alis bertaut, Evelyn melanjutkan ucapan Adam. Kali ini, dirinya telah kembali tenang. “Demikian, kamu berasumsi bahwa … wanita itu adalah ibuku?” “Ya,” balas Adam. Namun, entah kenapa, keseriusan itu sekejap menguap kala Evelyn menghela napas dan memasang sebuah senyuman tak berdaya di wajahnya. “Ada apa?” tanya pria tersebut, merasa sangat bingung. “Kenapa kamu memasang wajah itu?” “Mari kutanya padamu,” Evelyn memulai, “bahkan kalau wanita itu ibuku, apa yang harus kulakukan?” Pertanyaan Evelyn membuat Adam sukses termenung. Pria itu mengerutkan keningnya, terlihat berpikir keras. “Tidakkah … kamu ingin menemuinya?” “Ketika dia berusaha bersembunyi dariku?” balas Evelyn membuat Adam membeku di tempat. Apabila wanita di dalam foto sungguh ibunya, maka Evelyn sadar jelas bahwa wanit
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p