“Selamat datang kembali, Tuan Dominic!” Sambutan yang dilontarkan serempak dari puluhan pelayan di depan hotel membuat Rena dan Evelyn terperangah. Tidak hanya itu, kemewahan hotel yang sekarang berada di depan mereka terlihat sulit dipercaya, bak istana yang keluar dari novel fantasi. ‘Inikah Hotel Greymore yang ternama?’ batin Evelyn dengan netra hitamnya menikmati keindahan pemandangan sekeliling. ‘Bahkan hotel Keluarga Kusuma di Nusantara tidak bisa dibandingkan dengan hotel ini.’ Dia pun menatap punggung pria di hadapan. ‘Keluarga Grey … tidak heran dia bisa begitu berani terhadap Adam.’ Tidak, Evelyn meralat pikirannya sendiri. Bahkan dengan kekayaan dan kemampuan memiliki bangunan seperti ini, Dominic masih memilih untuk tidak melewati batas kesabaran Adam. Hal itu menandakan bahwa sebenarnya calon suaminya itu jauh lebih luar biasa dibandingkan hal ini. Sesuatu dalam hati Evelyn memperingati dirinya, mengingatkannya dengan kenyataan bahwa dirinya dan Adam belum mengenal sat
“Ya.” Dominic menjawab dengan penuh keyakinan. Pria itu menatap lurus sosok Evelyn dan melanjutkan, “Demikian, aku memerlukan jawaban atas pertanyaanku yang pertama.” Evelyn terdiam, menelisik netra hitam yang terpampang di hadapannya. Dalam hatinya, wanita itu merasa sulit untuk percaya bahwa Dominic mengetahui sesuatu perihal latar belakangnya. Namun, kenyataan bahwa pria tersebut adalah penguasa dunia bawah membuka kemungkinan itu. Hanya saja … untuk apa Dominic menyelidiki tentang dirinya? ‘Selain itu, kenapa jawaban terkait perasaanku terhadap Adam perlu dilibatkan dalam masalah ini?’ tanya Evelyn dalam hati, sama sekali tidak mengerti jalan pikiran sang penguasa dunia bawah tanah itu. Seakan mampu membaca pikiran Evelyn, Dominic menyilangkan kakinya dan berkata, “Kamu memikirkan pertanyaan yang salah.” “Sebuah pertanyaan diajukan dengan sebuah alasan,” ujar Evelyn. “Tentunya aku harus mengetahui alasannya terlebih dahulu sebelum menjawab,” jelas wanita itu dengan ekspresi se
“Rosa Smith, sepupu dari Helen Grace Smith, adalah ibuku.” Jantung Evelyn berdetak mendengar nama familier itu disebut. Namun, dia sungguh tak menyangka hal selanjutnya yang akan Dominic katakan akan membuat benaknya begitu kacau. “Dia juga ibu kandungmu.” Kala mendengar kalimat pria itu, Evelyn merasa kakinya terlalu lemah untuk menopang tubuhnya. Wanita itu memegang tanganan sofa, lalu mendudukkan diri di sana. Ekspresinya terlihat kosong. “Rosa … ibuku? Kamu … kakakku?” celoteh Evelyn, mengulangi ucapan Dominic yang menurutnya tidak masuk akal. Otak wanita itu berputar, mencoba memikirkan segala kemungkinannya. Kemudian, dia mendengus, memasang sebuah senyuman mengejek. “Apa … kamu kira hidup ini sebuah novel?” Mendengar pertanyaan Evelyn, Dominic mengerutkan keningnya. Sudah dia duga wanita di hadapan tidak akan semudah itu percaya. “Apa buktinya?” tanya Evelyn. Wanita itu menoleh ke arah Dominic, pandangannya terlihat serius. “Dari ratusan juta orang di Nusantara dan Capitol,
“Kamu sama sekali tidak tahu apa yang telah dia lalui!” seru Dominic dengan amarah yang terjiplak jelas di wajah tampannya. Dijual oleh keluarganya sendiri untuk membayar utang, menikah dengan seorang psikopat tak berhati, direndahkan oleh para wanita lain sang suami, sampai kehilangan nyawa tanpa alasan yang jelas. Dominic tidak bisa membayangkan betapa menderitanya sang ibu seumur hidupnya, tapi Evelyn malah menghinanya dengan begitu mudah!? Pria itu tidak terima! Dominic mengepalkan tangannya, lalu menggeram rendah, “Kamu akan menyesal ketika kamu sadar bahwa wanita yang baru saja kamu hina adalah ibu yang melahirkanmu dengan susah payah!” Kemarahan Dominic memang sengaja Evelyn pancing, berharap dengan demikian sandiwara pria tersebut bisa terbongkar dengan lebih cepat. Namun, tidak wanita itu sangka bahwa cara Dominic melampiaskan amarahnya adalah dengan mengingatkan dirinya terkait hubungan darah yang mungkin ada … seakan Rosa Smith sungguh ibu dari Evelyn. ‘Dia … terlihat be
‘Adam … tidak mungkin tahu, ‘kan?’ tanya Evelyn dalam hati, memperhatikan sosok Adam yang hanya terdiam di tempatnya. Wanita itu pun memberanikan diri kembali memanggil, “Adam ….” “Evelyn,” balas Adam pada akhirnya, mengarahkan pandangan pada sosok Evelyn yang berdiri tidak jauh dari Dominic. Pria itu mengulurkan tangannya, meminta Evelyn untuk datang mendekat padanya. “Kemari.” Aura mendominasi dalam suara Adam membuat Evelyn tersentak. Namun, uluran tangan itu terlihat begitu mengundang untuknya, membuat wanita tersebut melangkah tanpa ragu untuk menghampiri pria itu. Melihat Evelyn menuruti perintah layaknya robot, kening Dominic berkerut. Pria itu langsung menarik lengan adiknya itu, menahannya. “Apa kamu budaknya?” maki Dominic dengan sedikit kesal. “Kamu adalah bagian dari Keluarga Grey, bersikaplah sebagaimana mestinya!” tegasnya. Pria itu menatap Adam. Genggaman tangan Dominic pada lengan Evelyn membuat ekspresi Adam semakin buruk. Pria itu mengambil langkah besar dan menc
“Jadi, kamu bermaksud untuk berkata bahwa setelah kecelakaan yang menimpa ibumu, dia … ternyata masih hidup dan berujung melahirkanku?” tanya Evelyn dengan ragu, sulit percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Setelah dirinya meraung penuh amarah dan berniat untuk meninggalkan ruangan, Evelyn akhirnya berhasil membuat Dominic dan Adam memutuskan untuk melakukan gencatan senjata selama beberapa waktu. Kedua pria itu bersepakat untuk mengesampingkan emosi dan berbicara layaknya manusia normal, semua untuk menenangkan amarah wanita tersebut. Itulah kenapa sekarang Adam, Evelyn, dan Dominic terduduk di sofa, membicarakan tentang apa yang mereka ketahui tentang wanita tersebut. Evelyn telah mendengar cerita tentang hubungan ibu dan ayah mereka. Bagaimana Rosa Smith dijual oleh keluarganya untuk membayar utang kepada Lucas Grey, kepala Keluarga Grey yang telah memiliki sejumlah istri pada masa itu. Hal tersebut menyebabkan wanita itu hidup penuh siksaan dan berujung meledak kala meliha
“Lagi pula, alasan diriku berakhir mengetahui tentangmu … adalah karena salah satu orang suruhannya tengah menyelidiki rumah bordil tempat Reyhan membelimu,” jelas Dominic, tidak hanya membuat Evelyn terkejut, tapi juga Adam. Adam mengepalkan tangannya, memaki bawahannya dalam hati karena begitu lalai dalam penyelidikan. ‘Pria ini …,’ geramnya, tidak suka dengan sikap Dominic yang seakan berusaha membentuk jurang antara dirinya dan Evelyn. Mengabaikan pandangan Adam pada dirinya, Dominic menaikkan alis kanannya kala melihat sang adik menatapnya dengan wajah kaget. “Evelyn, ada begitu banyak hal yang pria ini sembunyikan darimu,” tuturnya dengan suara dalam. “Tidak hanya itu, dia juga tidak mampu menjagamu,” imbuh Dominic. “Mengetahui semua hal ini, kamu sungguh ingin menikahinya?” Pertanyaan Dominic membuat tubuh Adam bergetar. Dia berdiri dan menatap pria tersebut dengan tatapan mengancam. “Hubunganku dengan Evelyn bukanlah urusanmu,” geramnya. “Evelyn adalah adikku,” balas Domini
Di tempatnya, Dominic bisa melihat bahwa Adam tidak mampu mengelak. Lagi pula, apa yang dia ucapkan adalah kebenaran. Akhirnya, Dominic pun kembali angkat suara, “Oleh karena itu, aku—" “Cukup.” Sebuah suara berkumandang, membuat Dominic mengalihkan pandangan dengan terkejut. Terlihat Evelyn tengah berdiri dari kursinya untuk kemudian menghadap sosok Dominic. “Hari ini, aku sudah sangat merepotkan dirimu,” ujarnya sembari tersenyum. Kemudian, senyuman itu menghilang, digantikan dengan wajah datar tak berekspresi. “Namun, aku rasa cukup sampai di sini.” Wanita itu mengalihkan pandangan kepada Adam, lalu menggenggam tangan pria itu. “Kita pulang.” Kening Dominic berkerut, tidak menyangka Evelyn akan bereaksi sedemikian rupa. “Apa kamu tidak mendengar semua yang baru saja aku katakan?” tanyanya, dengan cepat berdiri dari kursinya kala melihat adiknya itu menarik Adam melangkah pergi menghampiri pintu keluar. “Pria itu berbahaya untukmu!” Teriakan Dominic menghentikan langkah Evelyn.
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p