“Maafkan saya, Tuan Adam,” ucap Paul sembari membungkuk berkali-kali di hadapan Adam. “Saya tidak menyangka hal seperti ini bisa terjadi.” Sekarang, Adam, Evelyn, beserta dua anak mereka telah berada di ruangan kepala sekolah. Paul merasa sangat malu dan bersalah karena masalah seperti itu bisa terjadi di sekolahnya, terlebih ketika dia tidak mampu menyelesaikan hal seperti itu dengan tegas karena takut menyinggung salah satu dari orang kalangan atas itu. Terduduk di sofa yang sama dengan keluarganya, Adam berkata, “Carla Rickson.” Dia tahu nama itu dari Paul tadi. “Apa anaknya bersekolah di sini?” Paul menghela napas, tahu pertanyaan ini akan datang. “Benar, Tuan. Putra Nyonya Rickson dan juga putri Nyonya Smith bersekolah di sini,” jelasnya. Dalam hati, dia membatin, ‘Sedangkan Nona Reinhard, entah apa yang wanita muda itu lakukan mengikuti dua orang lainnya ke sini.’ Alis kanan Adam terangkat. “Smith?” ulangnya. Sekejap, dia pun langsung teringat dengan wanita yang terakhir kali
*Beberapa saat lalu*Di gedung sayap Barat kediaman Keluarga Dean, terlihat seorang pria paruh baya berdiri tegap di hadapan sebuah foto besar yang menghiasi dinding ruangan pribadinya. Seorang wanita bernetra cokelat terang dengan rambut hitam yang disanggul ke atas terlihat sedang tersenyum indah dalam foto tersebut. Gaun berwarna putih yang membalut tubuh rampingnya membuat kecantikan wanita tersebut semakin bersinar.Dari cara pandangnya saat menatap foto, kentara bahwa pria paruh baya itu begitu mencintai wanita tersebut.“Diandra,” sebut pria yang tak lain dan tak bukan adalah Henry Dean. Netra birunya menunjukkan kerinduan yang mendalam kala menatap wajah mendiang istri pertamanya. “Apa ini caramu menghukumku?” tanyanya lirih.Benak Henry dipenuhi percakapannya dengan Noah pagi tadi, bagaimana ayahnya itu yakin bahwa Evelyn memiliki hubungan dengan seseorang dari masa lalu mereka. Hal tersebut mengakibatkan segala macam ingatan pedih yang telah terpendam kembali muncul ke permu
Celotehan Tom membuat Henry melemparkan pandangan mematikan kepada Helen. Sepertinya, wanita itu memantik api keributan dengan cara yang paling dasar, menyinggung harga diri dari sang kepala Keluarga Smith. “Ada apa ini?” Sebuah suara tenang nan tegas terdengar berkumandang, menarik perhatian semua orang yang hadir di depan kediaman. Sosok Noah terlihat memasang wajah serius dan tidak senang. “Tuan Smith,” panggilnya. Melihat sosok Noah, ekspresi Tom pun sedikit melunak. “Tetua Dean,” sapanya dengan hormat. Kepala Noah mengangguk sedikit, lalu dia bertanya, “Apa kiranya alasanmu berkunjung hari ini? Aku tidak ingat telah menerima berita kedatanganmu.” Itu adalah sebuah sindiran, mengindikasikan bahwa Tom sama sekali tidak diundang di kediamannya hari ini. “Selain itu, aku bisa mendengar suaramu dari lantai dua.” Di tempatnya, Helen pun mendecakkan lidah. Karena Noah telah ikut campur, dia yakin kalau Tom akan berusaha untuk menahan sedikit amarahnya. Lagi pula, kakaknya itu mengido
“Siapa Rosa?” Adam sudah tahu pertanyaan itu cepat atau lambat akan dilontarkan oleh Evelyn, seperti sekarang. Baru saja Liam dan Lili dibawa pergi untuk diurus oleh pelayan, wanita itu langsung mengunjungi kamar tidurnya tanpa ragu. “Bukan siapa-siapa,” jawab Adam dengan suara rendah sembari mengurai ikatan dasinya. Dia sudah memutuskan untuk tetap di rumah hari ini. Alis Evelyn tertaut, merasa Adam sedang menutupi sesuatu. “Pria tadi … Tuan Smith, siapa dia?” Dengan dua kancing teratas kemejanya telah terbuka, Adam kembali menjawab sembari melepaskan jam tangannya, “Tom Smith, kepala Keluarga Smith, kakak tertua Helen.” Dia melirik Evelyn sesaat sebelum berkata, “Usianya sama dengan ayahku, tapi sedari dulu dia terkenal sebagai seseorang yang … tidak begitu cemerlang. Sepertinya ... umur juga sudah mempengaruhi penglihatan dan ingatannya jauh lebih cepat dari orang seumurannya.” Penjelasan yang terlontar dari ucapan Adam membuat Evelyn termenung. Dia merasa ucapan pria itu
“Tuan Adam,” sapa Charles ketika melihat sosok sang tuan muda berjalan menuju gedung sayap Barat. Melihat Charles sedang menyiram tanaman dengan santai—mungkin suatu cara bagi kepala pelayan Keluarga Dean itu untuk meluangkan waktu—Adam menganggukkan kepala, membalas sapaannya. Namun, dia menghentikan langkahnya, lalu menatap pria tua itu. “Kepala Keluarga Smith,” sebut Adam, “dia sudah pulang?” Netra biru pria itu menyapu pemandangan sekeliling, memastikan keberadaan orang yang baru saja dia sebut. Charles tersenyum. “Tuan Smith mengundurkan diri saat menyadari bahwa adanya kesalahpahaman,” jelasnya dengan lembut. Sebuah dengusan terdengar dari sisi Adam. Pria itu tahu bahwa Charles memperhalus segalanya, termasuk ucapannya yang mengandung makna tajam. Kalimat Charles memiliki makna bahwa Tom Smith sadar bahwa adiknya tengah berulah, dan hal tersebut membuat dirinya kesal sehingga meninggalkan kediaman Dean dengan malu. “Apa Kakek bersama ayahku?” tanya Adam, memastikan. Kepala
“Kali berikutnya kamu mencoba mencari masalah dengan orang-orangku lagi, akan kupastikan kamu menyesal telah melakukannya.”Mendengar ancaman tersebut, seluruh tubuh Helen bergetar. Sejak terakhir kali melihat Adam, entah kenapa dia merasa aura yang mengelilingi pria tersebut menjadi lebih gelap dan mengerikan. Sesuatu dalam diri pria itu seakan dibangkitkan ketika seseorang berusaha menyentuh keluarganya kecilnya!Yakin bahwa Helen memahami ancamannya, Adam pun menjauhkan dirinya dari wanita itu. “Sadarlah bahwa satu-satunya hal yang membuat ayahku bertahan denganmu adalah Daniel.” Pria itu berbalik, berniat untuk meninggalkan tempat tersebut dan segera menemui sang ayah. “Namun, kalau suatu hari nanti dirimu melewati batas kesabarannya, percayalah bahwa pria tua itu akan membuangmu tanpa berpikir dua kali.”Melihat kepergian Adam, Helen merasa tubuhnya lemas. Dia hampir saja terjatuh kalau bukan karena berpegangan pada meja nakas ruang tamu. Saat kesadarannya kembali, rasa malu pun
Rosa, sosok yang belakangan ini sering disebut oleh sebagian besar orang di kediaman Dean memang bernama panjang Rosa Smith. Wanita tersebut memiliki latar belakang sebagai putri tunggal dari mendiang Jack Smith, paman dari Tom dan Helen Smith. Demikian, hal itu menjadikan wanita tersebut sebagai sepupu kedua orang tersebut. Berbeda dari Tom dan Helen yang ayahnya merupakan putra kesayangan sang kakek, ayah Rosa merupakan putra yang enggan diakui tetua Keluarga Smith itu lantaran hanya mampu mencoreng nama baik keluarga. Berjudi, berpesta, dan bermain wanita, tiga hal favorit yang paling sering Jack lakukan sehingga dia berakhir mendapatkan Rosa. Ya, Rosa merupakan keturunan yang tidak diinginkan dan juga dicela oleh Keluarga Smith. Teringat dengan sosok Rosa yang selalu menampakkan senyuman bahkan di tengah keterpurukannya, seluruh ketenangan Henry luruh. “Apa maksudmu?” tanya pria tersebut dengan suara setengah menggeram, antara menahan amarah atau merasa tertekan dengan tudingan
"Selamat datang kembali, Tuan,” sambut segerombolan pria berjas hitam di depan sebuah hotel mewah berbintang lima Capitol. Tubuh yang membungkuk rendah sembilan puluh derajat menunjukkan bahwa pria yang baru saja tiba merupakan seseorang berkedudukan paling tinggi dalam hirarki kelompok mereka. Dari mobil hitam mewah berkilap itu, satu kaki jenjang menapak di jalan diikuti dengan satu kaki jenjang lainnya. Tubuh tinggi yang dibalut jas dan kemeja hitam itu terlihat begitu kontras dengan kulitnya yang seputih salju. Rambut hitam milik sang pria yang dibiarkan berantakan memberikan kesan menawan dan menantang di saat yang bersamaan. “Di mana Selena?” Dengan suara dalam dan merdunya, pria itu berucap. Netranya yang segelap malam terlihat menyapu pemandangan sekeliling. Hanya ketika pandangannya mendarat pada satu sosok wanita bertubuh molek dengan rambut pirang barulah pria tersebut berhenti mencari. “Ah, di sana kamu rupanya.” Selena membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. “Selama
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p