“Hentikan sandiwaramu, Reyhan Aditama!” Bentakan Evelyn bergema lantang di teras kediaman Adam. “Apa kamu kira aku buta dan tuli sampai tidak mendengar apa yang orang-orang katakan?!” hardiknya. “Kamu bukan ayah kandungku!” Detik itu juga, Reyhan membeku. Matanya membelalak, sangat terkejut dengan ucapan Evelyn. ‘Dia … tahu?’ batin Reyhan, mampu merasakan jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Namun, pria itu berusaha menepiskan kemungkinan bahwa Evelyn tahu kenyataannya. Lagi pula, hanya segelintir orang yang mengetahui hal ini! “Evelyn, jangan bersikap seperti ini, Sayang. Kamu hanya emosi dan mengatakan hal yang tidak-tidak,” tukas Reyhan, masih berusaha melanjutkan sandiwaranya. Evelyn menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Dia tidak menyangka bahwa pria yang selama dua puluh tahun lebih dia hormati ternyata bisa bersikap serendah ini. “Pergi,” tegas Evelyn seraya menutup matanya, tidak ingin lagi melihat Reyhan. “Anggap pertemuan kita yang terakhir ini ada
“Sial, sial, sial!” maki Reyhan berkali-kali di dalam mobil. Tangannya mengepal kuat memikirkan bagaimana Evelyn mengusirnya dari rumah Adam. “Beraninya dia bersikap seperti itu padaku setelah aku membesarkannya!” Sungguh, sebenarnya Reyhan tidak menyangka bahwa Adam Dean akan bersikap begitu protektif kepada Evelyn. Bagaimanapun, satu malam itu terjadi atas dasar kecelakaan, apa yang mungkin membuat pria itu begitu tertarik terhadap wanita rendahan tersebut?! Kecantikannya? Evelyn memang cantik, tapi masih banyak wanita lain di Capitol yang jauh lebih cantik darinya. Kepintarannya? Wanita itu memang pintar, tapi dalam kesempatan apa dia bisa menarik perhatian seorang Adam Dean? Seharusnya kepintaran wanita itu malah membuat pria tersebut waspada! ‘Mungkin … anak-anaknya?’ batin Reyhan, mengingat bahwa Evelyn memiliki sepasang anak kembar dengan Adam. Sudah lama diberitakan bahwa Noah Dean ingin cucu pertamanya itu untuk segera menikah dan memberikan keturunan untuk keluarganya. M
“Saya mengerti.” Tepat ketika Adam mendengar balasan itu, matanya menangkap kemunculan dua buntalan mungil yang berjalan menaiki tangga. Karena kebetulan urusannya telah selesai, pria itu pun mematikan panggilan dan menghadap ke arah dua anaknya itu. “Papa! Papa!” seru Lili sembari berlari ke arah Adam dengan dua kaki pendeknya. Gadis kecil itu mengangkat sebuah keranjang dan berkata, “Lihat apa yang aku bawa untuk Mama!” “Lili, jangan berisik!” hardik Liam dengan ekspresi yang diusahakan untuk terlihat serius dan galak, entah kenapa dia malah terlihat menggemaskan. “Mama lagi tidur!” desisnya ketika mendapati sosok Evelyn tertidur dari celah pintu yang terbuka. Di belakang kedua bocah itu, Nila terengah-engah dengan wajah merah. Pelayan itu terlihat seperti baru saja berkeliling kota untuk mengejar Liam dan Lili. Dia hanya mengangguk pelan untuk menyapa Adam, tidak mampu mengutarakan satu kata pun saking lelahnya. Adam melirik keranjang yang dibawa oleh Lili, ada begitu banyak je
Guys, mau info dulu kalau kemungkinan besar hari ini nggak update. Baru aja author pulang kerja+beberes, mendadak mati lampu :) Mohon maaf dan mohon dimaklumi ya. Kalau nyala di bawah jam 9 author usahakan gas 1 bab minimal >
“Sudah kalian pastikan telah mengangkut semuanya?” Suara Aldi terdengar tegas, memperhatikan sejumlah kotak yang dinaikkan ke dalam bagasi mobil oleh beberapa pelayan. “Boneka favorit Lili, kaos kesukaan Liam. Oh, jangan lupa gaun hadiah pertama Bu Evelyn dari Pak Adam.” Evelyn, yang telah terduduk di dalam mobil dengan Liam dalam pangkuannya, memasang sebuah senyuman tak berdaya, sedikit malu mendengar ucapan Aldi. “Pak Aldi, sudah semuanya. Kalau ada yang tertinggal, bisa kirimkan saja,” ujarnya. “Ya, itu benar,” timpal sosok Julian sembari berdiri di samping mobil yang terparkir di depan tangga menuju teras. Pria itu menjelaskan, “Yang penting semua dokumen penting sudah di tanganku.” Dia melambaikan sejumlah paspor lengkap dengan visa di tangannya. “Kalau ada hal penting yang tertinggal, aku akan menyuruh Julian untuk kembali dengan jet pribadiku dan membawanya ke Capitol,” cetus Adam yang berada di dalam mobil sembari memangku Lili. Mendengar ucapan Adam, semua orang melirik s
Perlu sekitar satu jam bagi rombongan Adam dan Evelyn untuk tiba di bandara. Kedatangan mereka yang diiringi dengan dua mobil hitam yang menampung sejumlah pengawal menarik sejumlah perhatian dari pengunjung bandara. “Astaga, siapa itu?” tanya salah seorang pengunjung wanita ketika melihat sosok Adam turun dari mobil. “Tampan sekali!” pujinya dengan mata berbinar. “Heh, udah punya anak,” celetuk pengunjung lain yang kelihatannya adalah teman pengunjung pertama. “Ih, istrinya cantik banget!” cerocosnya kala melihat Evelyn turun dari sisi mobil yang lain. Decakan kagum terdengar dari pengunjung pertama. “Aduh, itu anak kembarnya cantik sama ganteng banget. Gen orang tuanya kuat sih, ya.” Dia merasa gemas ketika melihat Liam dan Lili turun dari mobil dan diganteng kedua orang tuanya. “Dari keluarga mana, ya?” Mendadak, sebuah suara berucap setengah berseru, “Astaga! Itu Adam Dean!” Dia melirik wanita bertubuh ramping dengan perawakan anggun di samping pria tersebut. “Berarti itu calon
“Pak Adam!” teriak Julian yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Liam tidak ada di dalam!” Ucapan Julian membuat Evelyn dan Adam mematung di tempat. “Apa maksudmu tidak ada, Julian? Liam jelas-jelas masuk ke toilet itu!” tanya Evelyn dengan kerutan dalam menghiasi keningnya. Dia mulai berlari kecil menghampiri Julian dan kamar mandi tersebut. Tanpa memedulikan kemungkinan ada pengguna kamar mandi lain, Evelyn menerobos masuk ke dalam toilet. Adam yang masih menggendong Lili juga mengikuti. Setelah memeriksa semua bilik, jantung Evelyn berdetak sangat cepat. “Liam!” teriaknya, berharap akan mendengar teriakan balasan sang putra. “Liam! Jangan bercanda, Mama akan marah!” bentaknya, mencoba menakut-nakuti Liam kalau bocah itu sedang jahil. Hanya saja, tidak ada balasan sama sekali. “Tidak ada …,” gumam Evelyn, mematung di tengah kamar mandi tersebut. “Sungguh tidak ada ….” Napas wanita itu mulai terengah-engah, kepanikan menyelimuti. Di sisi lain, dengan Lili dalam pelukannya, Ad
“Mari kita lihat, siapa ini?” Mendengar suara itu, mata Ron yang memerah melirik ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Terlihat di dekatnya terdapat seorang pria berambut hitam pekat yang memunggungi dirinya. Pria itu terlihat sibuk memperhatikan isi koper milik Ron yang telah terbuka, menunjukkan sosok Liam kecil yang tidak sadarkan diri sembari meringkuk tidak nyaman di dalamnya. “Hmm ….” Suara senandung sang pria seharusnya memanjakan telinga pendengarnya, tapi dalam situasi Ron, dia merasakan tekanan mengerikan yang membuat bulu romannya berdiri. Ketakutannya itu semakin menjadi-jadi kala melihat pria berambut hitam tersebut menoleh ke arahnya, memamerkan manik hitam segelap malamnya yang menenggelamkan. Kala melihat wajah pria itu dengan jelas, Ron membelalak, mengenalinya. ‘Dia—!’ “Singkirkan dia,” perintah pria tersebut dengan wajah datar saat menyadari Ron mengenalinya. Pandangannya terlihat sangat dingin dan senyuman di bibirnya terlihat begitu kejam. Tidak sempat Ron
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p