Di dalam ruangan interogasi, Toni duduk di kursi dengan mata yang ketakutan, menyadari bahwa kejahatannya akan segera terbongkar. Penyidik berdiri di depan Toni dengan aura otoritas yang kental, bersiap untuk mengorek informasi penting dari dirinya."Baik, Toni, kita tahu kamu terlibat dalam penculikan dan penganiayaan Rubby. Kami juga menduga bahwa masih ada rencana jahat lainnya yang kamu dan kelompokmu rencanakan. Sekarang, saatnya kamu berbicara sejujurnya. Siapa saja yang terlibat dan apa tujuan kalian?" tanya Penyidik, penyidik itu menatap dengan tatapan serius.Toni menegakkan dagu, berusaha untuk tetap sombong dan tak tergoyahkan. "Aku tak tahu apa-apa! Ini semua salah wanita itu!"Penyidik menghela napas, tidak terpengaruh oleh usaha Toni. "Kau ini mengelak apalagi, Toni. Kami punya bukti, Toni. Kami memiliki kesaksian dari Rubby dan juga Elvano beserta timnya yang menangkapmu. Kita bisa melakukan ini dengan cara yang mudah atau sulit. Terserah kamu ingin memilih yang mana."
"Hmmm ...!" Rubby mengeram, dia merasa sekujur tubuhnya terasa begitu nyeri saat Rubby mencoba menggerakkan tubuhnya. "Aaa ... Tubuhku." Rubby meringis. Saat Rubby berbalik, dia sedikit terkejut saat melihat Elvano dengan wajah yang begitu lelah kini sedang tertidur sambil memeluk tubuhnya erat. Rubby menatap lekat wajah pria yang tertidur begitu lelap. Dan seutas senyum pun terlukis di wajah Rubby. "Paman lelah, ya? Maaf, jika aku membuat Paman cemas dan membahayakan Paman," ucap Rubby, tangannya mengusap pipi Elvano dengan penuh kasih.Merasakan ada sentuhan lembut di pipinya, Elvano membuka mata, kedua kontak mata itu saling bertatap. "Monster kecil!" Elvano segera bangun dengan cepat saat melihat Rubby sudah sadar. Tentu dia sangat bahagia. "Sayang, apa ada yang sakit? Dimana? Apakah kamu ingin sesuatu?" rentetan pertanyaan Elvano layangkan. Rubby menggeleng lemah. "Tidak, aku hanya ingin Paman di sini, aku takut. Paman temani aku, ya!" pinta Rubby dengan suara lirih tapi terde
"Jadi, pekerjaan apa yang akan kau tawarkan, Devan? Aku sungguh ingin mendapatkan pekerjaan paruh waktu untuk kebutuhanku. Di sisi lain, aku juga tidak ingin beasiswaku dicabut!" ucap Vina, saat dia menemui Devan teman kampusnya di sebuah kedai kopi. Di dalam kedai itu, tampak ramai seperti biasanya. Apalagi, kedai tersebut berdekatan dengan kampus, membuat tempat minum kopi ini tidak pernah sepi pengunjung. "Tenang saja, Vina," balas Devan sambil menggigit kue lemon yang mereka pesan. "Aku tahu pekerjaan paruh waktu yang sempurna untukmu, dan tidak akan mengganggu studimu. Ada toko buku dekat kampus yang sedang mencari karyawan paruh waktu. Aku rasa kamu akan menikmati bekerja di sana."Vina menyeruput kopinya, wajahnya mulai cerah. "Kedengarannya menarik! Aku memang sering ke toko buku tersebut. Boleh aku minta informasi lebih lanjut tentang pekerjaan itu?""Tentu," jawab Devan. "Nanti aku akan kirimkan detail pekerjaan dan kontak manajer toko kepadamu. Ngomong-ngomong, bagaimana
"Sampai siang begini, kemana Vina? Apakah dia tidak mengambil pembayaran saat dia ikut partisipasi?" gumam Gio saat dia berada di ruang kerjanya yang berada di perusahaan. Sergio sudah memberitahukan Vina, jika dia akan mendapatkan bayaran. Namun sampai saat ini, Vina belum juga menunjukkan batang hidungnya. Sergio meraih ponselnya dan mencoba menghubungi wanita itu. Beberapa kali Sergio menelpon, hanya ada nada penghubung tanpa Vina mau menjawab panggilannya. "Umm ... Tadi pagi, dia keluar dari kediaman Elvano. Jangan-jangan, dia pergi ke kampus. Sepertinya, aku harus segera menemuinya di kampus. Mungkin saja, dia membutuhkan uang ini." gumam Sergio. Sergio segera beranjak dari kursi kebesarannya. Dia memutuskan untuk pergi menemui Vina. Sebrengsek-brengseknya Sergio, dia masih tahu diri tentang jasa orang lain. ****"Ayah, kau tahu tempat tinggalku dari siapa—"Plak! Satu tamparan telak Vina dapatkan dari Ayahnya. Mengakibatkan pipi Vina berpindah arah akibat tamparan dari tela
"Aku akan melunasi apa yang sudah kau berikan, aku tidak ingin ada hutang di antara kita!" ketus Vina saat dia berada di dalam mobil yang kini sedang melaju. Sergio melirik ke arah Vina dengan ekor matanya. "Ck, uang yang aku berikan kepada Ayahmu itu, bukanlah uang yang sedikit. Kau bekerja sampai mampus pun tidak dapat menggantikan uang tersebut." Vina menyunggingkan bibirnya dengan bola mata memutar malas. Paling seratus juta, yakin? Dirinya sampai seumur hidup tidak dapat membayar hutang tersebut. 'Tuan yang satu ini memang terlalu pede!' Vina membatin. "Harga seorang wanita seperti ini memangnya berapa? Sudah tahu, kan, aku wanita murahan? Jadi aku masih sanggup bayar—""1 Milyar!" potong Sergio dengan cepat. Vina terperangah, dia terkejut lalu menoleh. "Haaa! Are you Serious?" Vina masih syok dengan apa yang dia dengar. "Menurutmu?" Vina menelan salivanya dengan susah payah. Bagaimana bisa dia membayar hutangnya kepada Gio dengan jumlah sebesar itu? Membayar hutang-hutang
"Coba kamu lihat, baca dan pahami isi dari kontrak kerja ini. Setelah membacanya, segera tanda tangan!" Sergio melempar sebuah map ke arah Vina yang berdiri di depan kerjanya. Vina menatap map di atas meja kaca itu tanpa ingin mengambilnya. Dia menatap Sergio yang sedang duduk di depannya itu sambil menggigit bibir bawahnya gelisah. 'Untuk apa dia menyuruhku membacanya? Padahal semuanya dia yang memutuskan. Dasar pria otoriter!' gerutu Vina dalam hati. Melihat Vina hanya berdiam diri sambil menggigit bibir bawahnya, dia mengangkat satu alisnya. "Aku menyuruhmu untuk membacanya, Elvina! Bukan menyuruhmu untuk menggodaku dengan terus menggigit bibir bawahmu itu!" cetus Sergio. Vina mendelik. Apa yang dia dengar? Siapa yang menggoda? Dia hanya kesal dan canggung. Memang itu reaksi Vina jika dirinya merasakan gugup. "Cih, siapa yang menggoda? Kau yang tergoda, hah? Kau kan selalu cabul kalau bertemu denganku! Idih ... Malah melempar batu sembunyi tangan!" ketus Vina sambil memainkan b
Di sudut mata Olivia, terlihat pintu ruangan terbuka perlahan. Ketika Elvano masuk, wajahnya yang datar dan tanpa ekspresi membuat Olivia semakin ketakutan. Hal ini tentu saja menambah beban pikiran Olivia mengenai apa yang telah terjadi.Elvano duduk di sisi yang berlawanan dengan Olivia di meja itu. Bersiap untuk mulai menanyai Olivia perihal penculikan Rubby, Elvano menatap matanya yang tampak ketakutan."Baiklah, Olivia. Aku akan langsung ke intinya. Kamu tahu mengapa kamu berada di sini, bukan?" tanya Elvano dengan nada tegas dan dingin. Walaupun tak bernyali untuk menjawab, Olivia terpaksa mengangguk lemah.Olivia merasa tertekan, lalu menelan ludah. "A-aku t-tidak tahu. Tiba-tiba saja a-aku diangkut kesini, tanpa mengetahui apa kesalahanku," kata Olivia dengan nada ketakutan."Dari informasi yang aku dapat, kamu terlibat dalam kasus penculikan Rubby. Aku ingin tahu apa motivasi dibalik perbuatanmu, dan siapa yang bekerja sama denganmu dalam hal ini?" ujar Elvano, masih menatapn
"Kamu darimana, Olivia?" Suara berat itu menghentikan langkah Olivia yang berjalan sambil menundukkan kepalanya. Masih dengan perasaan takut, Olivia mengangkat wajahnya menatap ke arah sang Ibu yang sedang duduk di sebuah sofa."Habis mengerjakan tugas, Bu," jawabnya. Soraya memencingkang matanya mendengar jawaban putrinya itu. Dia pun berdiri menghampiri Olivia. "Apakah kau sudah bertemu dengan Rubby di kampus?" tanya Soraya. Olivia menggeleng. "Ti---tidak, tolong, Bu. Kita tidak perlu mencari masalah lagi dengan Rubby. Bukankah Anderson sekarang sudah menjadi milik kita?" Soraya mendorong dahi Anaknya itu. "Menjadi milik kita? Dasar anak bodoh! Aku bersusah payah menyingkirkan Emily dan kau ingin ini semua sia-sia? Ayah dan Ibu ingin mengundang Elvano dan Rubby untuk makan malam bersama. Jika kau bertemu dengan anak itu, sampaikan niat baik kami kepada mereka!" cetus Soraya, dia memutar tubuhnya berlalu meninggalkan Olivia yang masih berdiri sendirian. "Hais ... Apa ibu ini tida
Di ballroom hotel, Rubby, Elvano, Vina dan Sergio. Dua pasangan suami istri itu sedang menunggu dengan antusias. Mereka membawa anak-anak mereka, Amora dan Vincent, di gendongan mereka. Mereka ingin melihat Lisa dan Andre yang akan menikah tidak sabar melihat penampilan ratu dan raja untuk hari ini.Elvano, memeluk tubuh istrinya dari belakang. "Monster kecil, kita pernah melewati banyak halangan. Mulai dari sebuah ikatan kontrak hingga berjanji untuk bersama selamanya. Maaf, jika selama ini aku belum bisa membahagiakanmu," bisak Elvano ketika dia melihat dekorasi pernikahan Andre dan Lisa yang tampak begitu mewah. Rubby menggendong Amora yang sedang tertidur pun menjawab, "Kita sudah berkomitmen, Paman. Pernikahan yang kita lakukan di dekat pantai juga cukup manis dan berkesan untukku. Dan sekarang, aku bahagia memilikimu, Paman. Semoga kebahagiaan kita terus terjaga hingga akhir hayat kita." Elvano mengecup lembut pipi Monster Kecilnya. "Terima kasih, Monster Kecil. Karena sudah m
Pagi itu, matahari bersinar terang di langit biru. Di ballroom hotel, dekorasi pernikahan sudah siap. Bunga-bunga putih dan merah muda menghiasi meja dan kursi tamu. Di panggung, ada pelaminan yang megah dengan tirai-tirai putih dan lampu-lampu berkilau. Di sana, Andre dan Lisa akan mengucapkan janji suci mereka sebagai suami istri.Di ruang rias, Lisa duduk di kursi roda dengan gaun pengantin putih yang indah. Rambutnya yang pendek dihiasi dengan mahkota bunga. Wajahnya yang pucat tampak berseri-seri dengan senyum bahagia. Hari ini, ia akan menikah dengan Andre, dokter yang telah menemaninya selama ia menderita kanker otak. Andre adalah cinta pertama dan terakhirnya. Ia tidak peduli jika hidupnya tidak akan lama lagi. Yang penting, ia bisa merasakan cinta sejati dari Andre.Lisa menatap wajahnya di pantulan cermin dengan senyuman yang selalu terbit dibibirnya. "Hari ini adalah hari yang paling aku tunggu-tunggu. Aku akan menikah dengan Andre, pria yang paling aku cintai di dunia ini.
Rubby dan Vina berjalan masuk ke gedung pernikahan yang megah dan mewah. Mereka adalah sahabat dari Lisa, mempelai wanita yang akan menikah besok dengan Andre. Mereka datang untuk membantu mengurus persiapan acara, seperti dekorasi, catering, dan undangan."Wow, lihat itu!" Vina menunjuk ke langit-langit yang dipenuhi dengan balon berwarna-warni. "Ini pasti ide Lisa. Dia suka sekali balon.""Ya, dia memang anak kecil yang besar." Rubby tertawa. "Tapi aku suka dekorasinya. Simpel tapi manis. Seperti Lisa dan Andre.""Mereka memang pasangan yang serasi. Aku senang mereka akhirnya menemukan jodoh masing-masing." Vina menghela napas. "Aku harap mereka bahagia selamanya.""Amin." Rubby mengangguk. "Eh, tapi kita juga harus bahagia, lho. Kita punya suami yang sayang dan anak-anak yang lucu.""Iya, iya. Kita juga beruntung." Vina mengakui. "Tapi kadang aku kangen masa-masa kita masih single dan bebas.""Ha, ha. Kau masih ingat malam terakhir kita sebelum menikah?" Rubby mengingatkan. "Kita b
"Aku pasti bisa!" Seru Andre mencoba menyemangati dirinya sendiri. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum menekan bel rumah Lisa. Dia merasa gugup dan deg-degan, karena hari ini Andre akan menemui orang tua Lisa untuk meminta restu pernikahan mereka. Setelah lamaran yang Andre lakukan beberapa hari yang lalu, Andre memutuskan untuk menemui orang tua Lisa menyampaikan perihal pernikahan yang akan dilangsungkan. Setelah mendapatkan izin, akhirnya Lisa hanya menjalani rawat jalan. Beberapa saat kemudian, pintu rumah terbuka, dan Andre disambut oleh seorang wanita paruh baya yang ramah. Dia adalah ibu Lisa. "Andre, selamat datang. Kami sudah menunggumu," kata ibu Lisa. Wanita paruh baya itu memeluk Andre erat. "Ayo, Nak. Masuk! Ayah Lisa sudah menunggu." wanita tersebut mengajak Andre masuk ke dalam rumah setelah melepaskan pelukannya. "Terima kasih, Bu. Maaf jika saya mengganggu," kata Andre sopan."Tidak mengganggu sama sekali. Ayo, masuk. Suamiku dan Lisa sudah menunggu di ruang
"Paman, apakah Andre dan Lisa akan bahagia? Atau ... Ada di antara satu yang akan menghilang di antara mereka?" tanya Rubby. Saat ini, Rubby dan Elvano sudah kembali ke kediaman setelah merayakan acara lamaran Andre dan Lisa. Rubby, mengelus-ngelus jakung suaminya itu dengan manja. Elvano yang sedang memainkan helaian rambut istrinya itu pun menjawab, "kita do'akan mereka yang terbaik. Semoga, saat Lisa menikah dengan Andre, penyakit Lisa diangkat oleh Tuhan." Rubby mengangguk, dia membenamkan wajahnya di dada Elvano. "Paman, apakah cintamu tetap utuh untukku?" tanya Rubby. Elvano medekap tubuh monster kecilnya semakin erat ke dalam pelukan. "Satu saja aku belum bisa membahagiakannya, bagaimana bisa cintaku dapat terbagi?"Rubby merasakan getaran baik dari tubuh Elvano dan mengabaikan gejolak dalam hatinya. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Elvano dengan mata sayu. "Terima kasih, paman. Aku merasa sangat beruntung memiliki paman sepertimu."Elvano tersenyum, menepuk ringan pipi
"Yey! Selamat untuk kalian berdua!"Setelah Andre selesai melamar Lisa, para sahabatnya yang merupakan bagian dari rencana keluar dari persembunyian mereka. Mereka merasa senang dan gembira seperti Andre karena rencana tersebut sukses dilakukan. Sergio, Elvano, Vina, dan Rubby bergabung dengan Andre dan Lisa. "Wah, bro, selamat, ya! Semoga acara ke depannya lancar seperti jalan tol bebas hambatan!" ucap Elvano sambil mengulurkan tangannya ke arah Andre. Andre tersenyum bahagia, dia tidak menyangka jika momen tersebut terlaksana juga. Andre pun menyambut uluran tangan Elvano. "Thanks, ya! Tanpa kalian acara lamaran ini mungkin tidak akan berjalan dengan lancar," ucap Andre. Sergio menepuk-nepuk pundak Andre dengan gembira. "Jadi, kita sudah tidak akan berebutan wanita lagi ya, Ndre. Semoga bahagia!" ucap Sergio dengan semangat. Andre mengalihkan pandangannya ke arah Sergio. "Thanks bro. Aku merasa bersyukur memiliki kalian," jawab Andre. Sergio dan Elvano pun memeluk tubuh Andre.
Vina, Rubby, Sergio, dan Elvano berjalan menuju taman yang akan mereka dekorasi untuk acara lamaran Andre dan Lisa. Mereka membawa berbagai peralatan seperti balon, lilin, bunga, dan spanduk bertuliskan "Will You Marry Me?"."Ayo, cepat-cepat! Kita harus selesai sebelum Andre dan Lisa datang. Ini adalah hari yang sangat penting bagi mereka," ucap Vina sambil menggenggam erat sejumlah balon warna-warni. Rubby menimpali dengan senyum ceria, "Tentu saja, Vina. Kita akan membuat taman ini menjadi tempat yang tak terlupakan bagi keduanya."Sergio membuka kotak berisi lilin-lilin indah. "Kita perlu menyusunnya dengan rapi. Lilin-lilin ini akan memberikan sentuhan romantis saat malam tiba," kata Sergio seraya meletakkan lilin-lilin di meja yang telah mereka siapkan.Elvano menggantungkan spanduk dengan hati-hati. "Semua harus terlihat sempurna. Andre dan Lisa pasti akan terkejut dan bahagia melihat usaha kita," ujarnya penuh semangat.Saat mereka sibuk merapikan dekorasi, Vina menyelipkan p
"Andre!" Lisa berteriak saat melihat kekasihnya itu menampar pipi Gina. Andre sudah cukup sabar menghadapi sikap Gina selama ini. Seumur hidup, baru kali ini Andre mendaratkan tangannya kepada wanita. Dada Andre tampak naik turun, sedangkan Gina, tertunduk memegangi pipinya yang terasa perih. Gina tidak menyangka jika dirinya akan mendapatkan tamparan dari Andre. "Gina, selagi aku masih punya kesabaran, tolong tinggalkan ruangan ini," ujar Andre. Gina mengangkat wajahnya, menatap Andre dengan mata berkaca-kaca. "Paman, kau lebih memilih wanita kanker itu daripada aku, hah?! Selama kita berhubungan, kau tidak sekasar ini! Kenapa kau menamparku?!" ujar Gina di sela tangisnya. Lisa, wanita yang terkena kanker otak itu pun mencoba untuk bangun, dia mengusap punggung Andre, pria yang kini sedang dilanda amarah. "Ndre, kuasai dirimu," bisik Lisa lemah. Andre memijat pelipisnya sebelum menjawab, "Gina, hubungan kita sudah berakhir." Andre pun berlutut di hadapan Gina. Hal tersebut me
Dua bulan kemudian..."Apakah Kamu sekarang merasa lebih baik?" tanya Andre ketika pria itu menemani Lisa di taman belakang rumah sakit. Setelah mengambil keputusan yang berat, akhirnya Lisa diterbangkan ke Jakarta. Setelah menjalani perawatan intensif dan mencari dokter kanker yang bagus, kondisi Lisa pelan-pelan membaik. Walaupun kini kepala wanita itu telah botak akibat kemo. Namun, kecantikannya masih bisa terpancar dari wajahnya yang pucat. Lisa tersenyum lebar, "Terima kasih, Andre. Aku memang merasa lebih baik sekarang."Andre mengambil tempat di samping Lisa dan mengamati wajahnya. Meskipun terlihat lelah, Lisa tetap terlihat cantik dengan alis mata yang rapi dan senyum manis di bibirnya."Apa kabar yang lain?" tanya Lisa sambil menatap Andre.Andre mengedarkan pandangannya ke sekitar taman, "Semua orang baik-baik saja." "Syukurlah jika mereka semua baik-baik saja." "Kamu jangan terlalu lama-lama di luar, ya. Nanti kalau kamu kena angin dan sakit lagi bagaimana?" ucap Andr