"Astaga, sudah jam berapa ini?" Rubby terlonjak dari tidur ketika dirinya terbangun. Dengan buru-buru, Rubby meraih jam weker di atas meja kecil di samping tempat tidur. "Jam dua pagi?" gumam Rubby, dia menyandarkan punggungnya pada kepala tempat tidur sambil mengusap kepalanya frustasi. "Sudah larut begini tapi Elvano bahkan tidak menemuiku atau mencari keberadaanku," lirih Rubby bergumam. Rubby membuang pandangannya ke arah Amora yang masih terlelap, sontak alis Rubby mengerut. "Kenapa Amora sampai jam segini belum bangun?" Rubby meletakkan tangannya di dahi Amora. Deg! Rubby terkejut ketika suhu tubuh Amora naik. Dahi anaknya begitu terasa sangat panas. "Ya Tuhan, Nak, kamu demam, sayang!" panik Ruby, Ruby segera menggendong tubuh Amora. "Papa...," panggil Amora dengan suara lemah saat Rubby membawa tubuh Amora keluar dari kamar. "Nanti ketemu papa ya, sayang. Mama bawa kamu ke rumah sakit," jawab Rubby sambil melangkah panik. Di luar kamar, ruangan tampak begitu gelap, la
"Jadi ... Pas waktu Paman berciuman itu karena Olivia sudah merencanakan semuanya? Apakah Paman sudah menemukan Olivia di mana?" tanya Rubby dengan wajah bersalah karena sudah menuduh Elvano yang bukan-bukan."Sudah diamankan oleh pihak berwajib, kamu boleh bertanya langsung dengannya. Jujur, ya, Rubby. Aku sama sekali tidak mempunyai pemikiran untuk menduakanmu ataupun ingin menyakiti hatimu." Mendengar penuturan Elvano, Rubby menundukkan kepalanya, dia tahu jika dirinya salah. Mungkin karena dia tidak bisa memberikan keturunan kepada Elvano hingga Rubby begitu sensitif dan gampang marah ketika Elvano dekat dengan wanita lain. "Maafkan aku, Paman. Karena aku benar-benar takut kehilanganmu. Jadi, aku cemburu," ungkap Rubby mencoba mengakui kesalahannya. Elvano meraih dagu Rubby. Memaksa wanita itu untuk menatap wajahnya. Dengan mata berbias pelangi, Rubby memberanikan diri menatap intens ke dalam mata Elvano. "Monster kecil, saat aku mencari kamera pengawas, ternyata kamera pengaw
"Duh, Ayah. Bagaimana ini? Kenapa Olivia harus ditahan? Apakah separah itu kesalahan yang dilakukan oleh Olivia?" Soraya tampak cemas, dia gelisah saat menerima telepon jika Olivia ditangkap karena kasus pencurian aset saham yang sudah direncanakan oleh Olivia bersama Paman Smith. Kini, Soraya dan Almero tengah melaju menuju ke arah kantor polisi. "Aku itu sudah curiga dari awal. Kenapa anakmu itu tidak pernah pulang dan tidak lagi meminta uang. Dia tentu bekerja sama dengan orang lain. Aku baru sadar saat Elvano datang dan mencari Olivia karena Olivia sudah mencuri data perusahaan Patrice!"Soraya memandang Almero dengan mata penuh kekhawatiran. "Tapi, Al, Olivia tidak mungkin melakukan itu. Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."Almero mengangguk serius. "Kita akan mencari kebenarannya, Soraya. Tapi bukti Elvano cukup kuat. Elvano memiliki data yang membuktikan keterlibatan Olivia dalam rencana pencurian aset saham."Mobil melin
"Gio, bagaimana hasilnya? Apakah semuanya berjalan dengan lancar?" tanya Vina saat dia baru selesai memberikan sarapan kepada Vincent, putranya. Gio yang hendak bersiap-siap pergi ke perusahaan pun menghentikan langkah kakinya dan menunggu Vina menghampirinya. "Cup!" satu kecupan singkat Gio berikan kepada Vina. Pria itu merangkul pinggang Vina lalu menarik pinggang istrinya itu. "Baby boys kemana?" tanya Gio. "Dibawa oleh pengasuh. Hari ini aku ingin menjenguk Amora. Kasihan, ya. Gara-gara masalah keluarga, Amora jadi sakit karena merindukan Elvano. Apakah kamu juga akan seperti itu, Gio?" tanya Vina. Karena Vina begitu tahu bagaimana bejatnya Sergio dulu. "Kau ingin menyindirku, Sayang? Apakah semua perjuanganku belum bisa mbuatmu percaya jika aku telah berubah, hah?" Vina terkekeh mendengar ucapan Sergio, Vina menarik dasi Sergio hingga wajah mereka menempel. Vina mengecup bibir Sergio dengan lembut, melakukannya berulang-ulang.Sergio menarik rapat tubuh Vina, dia melepaskan
"Permisi!" Andre yang tengah menulis beberapa laporan pun mengangkat wajahnya saat ada suara. Wajahnya seketika berubah saat melihat kehadiran Gina. "Paman Dokter, apakah kamu sibuk?" tanya Gina dengan hati-hati. "Menurutmu?" jawab Andre begitu dingin. Gina menggigit bibir bawahnya saat mendengar jawaban Andre. Wanita itu masih berdiri mematung di ambang pintu tidak berani masuk karena mendapatkan respon yang kurang baik dari Andre. "Maafkan aku, Paman Dokter," ucap Gina pelan. "Sudah? Jika sudah selesai, pergilah. Jangan berdiri di pintu ruangan. Karena kau akan menghalangi pasien yang akan masuk!" cetus Andre.Gina tampak cemas. Dia tahu bahwa Andre masih membencinya, dia datang menemui Andre karena ingin memperbaiki hubungannya dengan pria berkacamata yang sedang duduk di kursi kerja. "Paman Dokter, aku ... aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Gina berbisik.Andre meraih pena yang ada di atas meja, lalu menatap Gina dengan tatapan tajam. "Katakan apa, huh?" tanya Andre dengan
"Yey! Athilnya Mola bisa sehat!" Amora yang baru keluar dari rumah sakit setelah tiga hari dirawat kini berlari memasuki kediaman Elvano. Elvano dan Rubby saling merangkul pinggul menatap kecerian anak mereka dengan senyum yang lebar. "Nak, jangan lari-lari. Kalau jatuh bagaimana? Apa Amor mau ke rumah sakit lagi?" teriak Rubby. Elvano merapatkan pinggul Rubby dengan tubuhnya. "Nama juga anak-anak. Lowbat kalau sakit doang. Nah, rencananya kita mau liburan kemana untuk merayakan kesembuhan Amor?" tanya Elvano. Rubby membuang pandangannya ke samping menatap Elvano. "Paman maunya kemana? Kalau aku sih, lebih baik ke pantai. Karena selain bisa berenang, bisa juga mengajak Amor membuat istana pasir," jawab Rubby. Elvano tampak menimbang usul Istri kecilnya itu. "Oh ... Tidak buruk. Jadi, kita deal ke pantainya? Ajak Andre dan Sergio juga. Agar liburan kita kali ini ramai." "Deal! Aku akan langsung mengajak mereka," ucap Rubby. "Oke, minggu depan, ya! Karena aku harus menyelesaikan
"Simth, aku sudah mengetahui semua kejahatanmu. Apakah kau benar-benar ingin merebut Patrice dari Elvano? Apakah kamu sadar, jika perbuatanmu itu membuat perusahaan merugi?" hardik Lawrence. Kini, pria sepuh itu menemui Simth di sel tahan. Lawrence menatap anak keduanya itu dengan tatapan menusuk saat Simth hanya dapat tertunduk menggunakan baju tahanan dan kedua tangan diborgol. "Ayah, aku hanya iri dengan Elvano. Dia itu hanya cucumu lantas, mengapa kau lebih memilih dia dibandingkan aku yang jauh lebih tua untuk mengurus perusahaan?" keluh Simth. "Bukankah semua sudah masing-masing? Kau mendapatkan perusahaan cabang karena aku berpikir karena Elvano adalah anak muda yang mempunyai inovasi untuk mengembangkan perusahaan. Jika kau ingin profit yang mengesankan, kau juga harus bekerja keras di perusahaanmu. Patrice berjaya karena Elvano. Namun kenapa kalian sendiri yang ingin menjatuhkan perusahaan ini?" tanya Lawrence penuh selidik. Simth menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu,
Lisa yang mengerti, segera berdiri dari duduknya. Dia tahu jika Andre kini sedang membutuhkan privasi berdua dengan mantan pacarnya. "Dokter, aku permisi, ya! Semoga sukses," ucap Lisa sambil tersenyum kepada Andre. Senyuman yang diberikan oleh Lisa seakan menghipnotis dunianya. Dia tidak rela jika wanita itu pergi. Sebab, dia baru melihat senyum paling tulus dan ikhlas dari wanita itu. "Lisa," panggil Andre. Lisa yang sudah melangkah pun menoleh. Wanita itu tidak bertanya, dia hanya menunggu apa yang akan dikatakan oleh Andre. "Dimana ruanganmu?" tanya Andre. "Untuk kanker otak," jawab Lisa yang kemudian berlalu. Hati Andre perih mengetahui jika Lisa mengidap kanker otak. Namun, semangat wanita itu membuat Andre tergugah dirinya merasa begitu malu saat orang lain berjuang untuk hidup lebih lama, sementara dirinya masih berkeluh kesah. "Kanker otak?" gumam Gina ketika dia mendengar ucapan wanita yang tengah menemani Andre. Gina mencengkram kotak kue yang bawa dengan kuat. "To