"Iya... Iya, Sayang! Jangan menangis, ya Sayang. Daddy akan membuatkan susu untukmu." Sergio mencoba menenangkan buah hatinya yang sedari tadi menangis. Setelah membuatmu susu, Sergio memberikan susu angat tersebut kepada bayi Vincent. Namun Bayi itu menepis botol dot yang diberikan oleh Sergio. Dilanda kebingungan, Sergio bergegas menghampiri Vina di depan kamar mandi. "Vina, bisakah kau cepat mandinya? Vincent menangis. Mungkin dia pup!" seru Sergio panik. Baby Vincent terus menjerit di dalam gendongan Sergio. Hal tersebut membuat Gio menjadi bingung harus berbuat apa. "Gio! Coba ganti Popoknya Vincent. Mungkin Vincent tidak betah dengan popok yang basah!" Vina berteriak dari dalam kamar mandi. Sebagai orang tua yang baru mendapatkan anak pertama, Sergio tampak kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia mencoba menggendong Vincent dengan posisi yang nyaman dan melakukan gerakan-gerakan lembut untuk menghiburnya. Namun, tangis Vincent semakin menjadi-jadi dan Sergio semak
Elvano, Rubby, Sergio, Vina, dan Andre kini berkumpul di ruangan bar kediaman Elvano yang sudah dihiasi dengan lampu-lampu berwarna-warni dan bunyi musik menghiasi suasana. Mereka saling bercanda dan tertawa riang."Gio, buntutmu tidak ikut?" tanya Elvano saat menghampiri temannya itu. "Baby Vincent sama pengasuhnya dulu. Mommy sama Daddynya mau pacaran!" sahut Sergio. "Lalu, Amora? Tidak kamu ajak berpesta?" Sergio balik bertanya. "Dia sudah tidur. Kalau masih bangun, tentu aku atau Rubby tidak akan ada diruang ini untuk melakukan pesta persahabatan," jawab Elvano."Tidak terasa, kita sudah menjadi orang tua, ya?" ucap Sergio. Elvano mengangguk, pandangannya dia buang ke arah Andre yang kini sedang merayu wanita. "Hanya teman kita yang satu itu, sepertinya dia tidak akan membuka hatinya lagi kepada wanita setelah dicampakkan oleh Vina," ujar Elvano. Sergio tertawa, namun dalam hatinya merasa bersalah. Beruntungnya Sergio jika menemukan sahabat seperti Andre yang mau berlapang dad
Andre duduk di sebuah kafe sambil menikmati secangkir kopi sambil melihat-lihat isi Ipadnya. Sejak malam pesta itu, Andre mencoba menjaga jarak dari teman-temannya. Karena dirinya merasa asing saat dua sahabatnya itu sudah memiliki anak yang lucu-lucu. "Hadeh... Sepertinya, hanya aku yang paling menyedihkan di antara mereka," gumam Andre sambil menyerumput kopi yang tampaknya sudah tidak panas lagi. Plak! Sebuah tamparan terdengar di dalam cafe di mana Andre berada. Kejadian tersebut memicu para pengunjung kafe mengalihkan pandangan mereka ke arah wanita itu. "Kamu sengaja menaruh kacang di dalam makananku? Apa kamu ingin aku mati!" hardik seorang wanita kepada wanita lain yang duduk di hadapannya. "Gina, maafkan aku. Aku lupa jika kamu alergi kacang," ucap wanita yang mendapatkan tamparan sambil memegangi pipinya. "Kau benar-benar sengaja—aduh, tubuhku!" wanita yang bernama Gina sontak menggaruk tubuh, leher dan wajahnya secara bergantian. Kulitnya tiba-tiba mengeluarkan ruam-r
"Loh, kenapa? Umur Amora dan Vincent hanya beda beberapa tahun. Apa salahnya kita jodohkan?" ujar Sergio. Andre berjalan ke arah Sergio dan Elvano yang masih sibuk dengan bahan-bahan barbeque. "Mana mau Rubby dan Elvano menjodohkan Amora kepada anakmu, huh? Elvano takut jika Vincent akan menjadi Casanova seperti dirimu, Gio!" ujar Andre. "Aaaaa!" disaat Andre sedang berbicara, Amora menyuruh Andre membuka mulutnya karena Amora hendak menyuapi sebutir coklat di mulut Andre. Andre menoleh ke arah Amora yang masih berada di dalam gendongannya. "Terima kasih, Sayang!" ucap Andre lalu membuka mulutnya. Tangan mungil Amora dengan hati-hati memasukkan butir coklat yang dia pegang ke dalam mulut Andre. Rubby dan Vina yang duduk di pinggir kolam renang tersenyum melihat adegan manis antara Andre dan Amora."Rubby, kamu benar-benar memiliki putri yang cantik. Walaupun Amora hanya anak adopsi, lambat laun, wajahnya mirip seperti Elvano dan dirimu," ucap Vina saat memandang ke arah Amora dan
"Aku akan memeriksa keadaanmu terlebih dulu," ucap Andre dengan raut wajah panik."Silakan masuk, Dokter Andre," Gina mempersilakan Andre untuk masuk.Andre segera melangkah masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, lirikan matanya tidak sengaja menangkap toples selai kacang yang penutupnya sedikit agak longgar."Silakan duduk, Dokter," ucap Gina.Andre mengabaikan apa yang dia lihat, kemudian mempersiapkan alat-alat medisnya dan mulai memeriksa keadaan Gina. "Apakah kamu ingin bunuh diri?" tanya Andre dingin sambil tangannya melepaskan alat tensi darah.Gina tercengang dengan apa yang dikatakan oleh Andre. "Ma-maksud Dokter?" tanyanya dengan tatapan polos.Tek!Andre menyentil dahi gadis itu. "Jangan berpikir kalau aku bodoh. Kamu sengaja memakan selai kacang lagi? Mana ada orang bodoh seperti kamu yang menyiksa diri sendiri untuk memintaku datang?" cerca Andre yang sedikit kesal dengan sikap Gina.Gina tersenyum kikuk sambil menggaruk kepalanya. "Ma-maafkan aku, Paman Dokter. Aku me
"Olivia, apa kamu tidak ingin mencari pengganti Toni? Lihat Rubby, walaupun wanita itu mandul dan tidak akan pernah melahirkan anak, dia begitu bahagia dengan suami konglomerat seperti Elvano. Dan lihat dirimu yang menyedihkan ini?" Olivia yang sedang sarapan pagi itu di kediaman Almero pun menghentikan sendoknya. Wanita itu menatap tajam ke arah Soraya. Sudah beberapa kali ibunya terus menerus menyinggungnya perihal jodoh. "Bu, aku sedang tidak ingin membicarakan masalah ini. Ibu tahu? Aku sedang sibuk menyusun skripsi ku. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal semacam itu," jawab ketus Olivia. Soraya memutar bola matanya malas mendengar ucapan putrinya. Sejak meninggalkan kediaman Anderson, Soraya, Almero dan Olivia menetapkan di sebuah perumahan elite. Dan sejak itu pula, Soraya meminta Oliva untuk berhenti berkuliah karena putrinya itu sudah tidak akan pernah menjadi penerus jadi untuk apa membuang waktu menjadi sarjana
"Anda siapa? Kenapa kita harus bertemu di hotel seperti ini?" Olivia bertanya saat ia menemui pria misterius yang menelponnya. Pria paru baya yang duduk di kursi kulit mengenakan handuk kimono itu berjalan ke arah Olivia yang duduk di pinggir ranjang. Olivia tampak gelisah saat pria tua itu mendekatinya dengan ekspresi cabul yang pria itu berikan kepada Olivia. "Tenang Olivia, aku tahu masalah yang kamu hadapi sekarang. Apakah kau ingin seperti kakak tirimu, Rubby? Jika demikian, aku bisa mengabulkannya," ucap pria itu yang kini sudah duduk di samping Olivia. Dengan sedikit menggeser tubuhnya, Olivia menatap ragu kepada pria tua yang jelas belum dia ketahui namanya itu. "Maaf, Om. Kalau boleh tahu, Om siapa? Kenapa anda berpikir jika aku ingin seperti Rubby?" tanyanya dengan hati-hati. Bibir pria itu tampak melengkung, memberikan senyuman penuh maksud dan tujuan. "Bukankah kau terusir dari keluarga Anderson?" Olivia tertunduk, dia me
Setelah memandikan peluh dari aktivitas kenikmatan yang telah mereka lakukan, pria yang masih menyembunyikan nama dan identitasnya itu menatap ke arah Olivia dengan kepuasan atas apa yang pria itu terima dari Olivia. "Kamu lumayan liar di atas ranjang, Olivia," ucap pria itu sambil menggunakan pakaiannya kembali. Olivia yang masih menutupi tubuhnya dengan selimut tebal menatap ke arah pria paruh baya itu dengan wajah datar. "Ku harap, anda tidak lupa dengan kesempatan yang telah kita berdua buat," ucap Olivia. Pria itu duduk di atas ranjang sambil mencengkram lembut pipi Olivia, pria itu menatap ke dalam mata wanita itu. "Aku bukan pria yang mudah lupa dengan janji, Olivia," ucap pria itu dengan nada memprovokasi.Olivia menggigit bibirnya, mencoba untuk mengendalikan kekesalannya. Ia menarik selimut lebih erat ke tubuhnya, mencoba menghilangkan rasa tidak nyaman yang muncul setelah apa yang terjadi beberapa waktu yang mereka berdua lakukan.