'Astaga! Sudah jam berapa ini? Aku bisa terlambat menghadiri wawancara kerja hari ini. Bagaimana aku akan diterima bekerja, kalau untuk menghadiri wawancara kerja saja aku sampai datang terlambat,' batin Karin.
Ia pun bergegas menuju kamar mandi, lalu mandi di bawah air pancuran. Selesai mandi Karin pun mengambil kemeja berwarna putih dan rok dengan panjang di atas lutut. Ia lalu mematut dirinya di depan cermin besar, yang ada di dalam kamarnya. Ia hanya mengenakan make up tipis dan lip tint, agar wajahnya tidak terlihat pucat.
Selesai sarapan, dengan menyandang tas kecil di pundaknya. Karin pun berjalan ke luar dari apartemennya menuju ke halte bis.
Tak lama berselang, bis yang ditunggunya datang. Karin pun duduk di dalam bis dengan perasaan yang tegang dan gugup. Hari ini ia akan menjalani wawancara, untuk lowongan sebagai sekretaris yang dilamarnya. Sesekali ia melihat jam tangannya, untuk memastikan ia tidak datang terlambat.
Begitu bis yang ditumpanginya berhenti di halte, yang letaknya tidak jauh dari perusahaan yang akan ditujunya. Rasa lega, menghinggapi hati Karin, karena ia tidak terlambat. Masih ada waktu baginya, untuk bersiap nantinya sebelum menjalani wawancara.
Ia terlalu bersemangat, dengan wawancara yang akan dijalaninya pada hari ini. Ada harapan besar, yang ia inginkan dari wawancaranya nanti. ‘Aku harus mendapatkan pekerjaan itu, karena ini bisa jadi merupakan jawaban dari masalahku selama ini,’ gumam Karin dalam hati.
Dengan terburu-buru, Karin keluar dari dalam bis dan berjalan cepat menuju gedung tempatnya akan menjalani wawancara. Sesampainya di dalam gedung tersebut Karin pun bertanya, di mana ruangan pimpinan tersebut berada.
Menurut informasi yang didapatnya ia akan menjalani wawancara langsung, dengan sang pimpinan perusahaan tersebut. Duduk di depan ruangan dengan dinding yang di car warna putih, rasa gugup itu semakin terasa.
Sebuah suara terdengar menyebut namanya dan mempersilakan kepadanya untuk masuk ke dalam ruangan, yang pintunya tertutup rapat.
"Nona Karin Arvantie?" panggil seorang wanita yang mengenakan setelan profesional. Ekspresi jutek terpasang di wajahnya, membuat jantung Karin berdegup kencang ketika dipanggil. "Giliranmu," ucapnya saat menangkap keberadaan orang yang dipanggil.
Karin pun berdiri dari kursinya dan melangkah masuk ke dalam ruangan. Bulir-bulir keringat menghiasi dahi Karin, menunjukkan jelas kegugupannya menghadapi wawancara kerja yang segera menantinya. Ini merupakan pengalaman pertama Karin menjalani wawancara pekerjaan.
Diabaikannya sorot tatapan tidak suka dari wanita itu, ia akan menghindari wanita dengan raut wajah jutek, yang dengan jelas memperlihatkan aura tidak suka kepadanya. Diketuknya pintu yang tertutup rapat di depannya dan setelah dipersilakan masuk ia pun membuka pintu tersebut.
Saat masuk ke dalam ruangan, pandangan Karin terarah pada seorang pria yang terduduk di depan sebuah meja dengan kertas menutupi wajahnya. Rambut hitam pria itu ditarik ke belakang, terlihat sangat rapi. Tubuhnya yang dibalut kemeja putih tetap kentara kekar di mata Karin, terlebih karena lengan kemeja itu digulung mencapai siku. Dengan dua kancing kemeja bagian atas yang dibuka dan memperlihatkan sedikit rambut di dadanya.
"Permisi, Pak," panggil Karin sembari berdiri di sebelah kursi yang disediakan untuknya, tidak berani duduk sebelum dipersilakan.
Mendengar suara wanita tersebut, pria di hadapan pun menurunkan kertas yang sedang dia pegang. Detik itu, juga Karin membeku. Jantungnya langsung berdetak kencang, berhadapan dengan wajah tampan.
Tatapan tajam yang diberikan netra hitam itu begitu menghanyutkan. Ditambah guratan alis tebal dan rahang tegas, wajah pria tersebut patut Karin akui sebagai pria tertampan yang pernah dia lihat secara langsung. Bahkan, bila Karin menonton televisi pun, sepertinya agak sulit menemukan pria setampan itu!
"Duduk." Suara dalam pria tersebut menggetarkan hati Karin, membuat wanita itu tanpa berpikir langsung bertindak sesuai arah. "Perkenalkan dirimu," titahnya tegas, membuat Karin entah kenapa merasa sedikit jengkel.
'Dia ... belum memperkenalkan diri, 'kan?' batin Karin.
Memang, tanpa diberi tahu, Karin sebenarnya sudah bisa menebak siapa pria di hadapannya. Pria itu tidak lain adalah Ryan Atmaja, CEO Atmaja Corp. yang sedang mencari seorang sekretaris, pekerjaan yang sedang Karin incar. Rumor mengatakan bahwa pria itu memang sangat tampan, tapi juga dingin dan kejam. Itulah alasan kenapa tidak ada sekretaris pribadi yang bertahan bekerja untuknya lebih dari tiga bulan.
Ah, Karin lupa. Tidak hanya itu, pria tersebut juga sering dikabarkan sebagai seorang playboy yang senang mempermainkan wanita.
Namun, bahkan dengan rumor dan berita-berita tentang Ryan, masih banyak wanita yang bersedia mencoba menjadi sekretaris pribadi pria tersebut. Lagi pula, bayaran dan benefit yang ditawarkan sangatlah menggiurkan!
Sebelum melamun terlalu lama, Karin pun langsung memperkenalkan dirinya, "Nama saya Karin Arvantie, saya merupakan lulusan universitas ternama di kota ini dengan predikat cumlaude."
Selagi Karin memperkenalkan dirinya, wanita itu merasa netra hitam tersebut tidak berpindah dari wajahnya. Ada sesuatu dari pandangan Ryan yang membuat darah Karin berdesir. Namun, wanita itu berusaha untuk tetap tenang dan profesional, menunjukkan sisi terbaiknya agar bisa mendapatkan posisi yang dia inginkan itu.
‘Kenapa ia terus menatapku dan membuatku menjadi resah? Apakah ada yang salah dengan penampilanku? Seharusnya tadi aku mematut diriku dahulu di dalam toilet, sebelum masuk ke dalam ruangan ini,’ gumam Karin dalam hatinya.
Selesai memperkenalkan diri, Karin terkejut dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir Ryan. “Apakah kita pernah bertemu?" Dengan manik terpaku pada sosok Karin, Ryan menambahkan, "Wajahmu terlihat tidak asing di mataku?”
'Apa ini ... cara baru untuk merayu wanita?' batin Karin dalam hati, teringat rumor bahwa pria di depan adalah seorang playboy. Karena ditatap dengan tajam dan begitu intens oleh Ryan, dia mengepalkan tangannya untuk menahan kegugupannya. Hanya dengan sebuah senyuman tipis, wanita itu pun membalas, "Kalau kita pernah bertemu, saya rasa saya tidak akan melupakan pria seperti Anda, Pak.”
Ryan berdiri dari kursinya, mengitari meja sebelum akhirnya bersandar di sana. Dua tangan terlipat di depan dada, sebuah senyuman terlukis di bibirnya. "Pintar menyanjung," balasnya, entah itu sindiran atau pujian. "Apa yang membuatmu melamar ke perusahaanku?"
Pertanyaan Ryan membuat Karin menggigit bibir, sedikit kesulitan dengan pertanyaan yang diajukan. Namun, dengan cepat wanita itu menjawab, "Pengalaman, gaji, dan juga jenjang karir. Saya yakin Atmaja Corp. adalah tempat yang tepat untuk mendapatkan yang terbaik untuk tiga hal tersebut."
Netra Ryan terarah pada bibir Karin yang memerah karena sempat digigit. "Begitukah?" Pria itu berjalan menghampiri wanita di kursi itu, menyebabkan senyuman profesional Karin sedikit bergetar dan tubuhnya menempel pada sandaran kursi. Dengan dua tangannya mendarat di tanganan kursi Karin dan wajah hanya berjarak beberapa inci dari wajah wanita tersebut, sudut bibir Ryan pun terangkat. "Apa kamu yakin kamu kemari bukan karena diriku?"
“Apa maksud bapak berkata seperti itu? Saya benar-benar hanya menginginkan pekerjaan menjadi sekretaris bapak dan bukannya yang lain. Saya tidak akan merendahkan diri saya, hanya agar supaya diterima bekerja," ucap Karin dengan tegas. Ia tidak mau, kalau dirinya sampai dianggap sebagai seorang wanita yang mudah dirayu demi uang dan jabatan. Ryan menyunggingkan senyum sinis ke arah Karin. “Mengapa saya tidak percaya dengan apa yang kamu katakan! Saya merasa ada yang kamu sembunyikan dari saya.” Ia lalu merendahkan badan nya, hingga wajahnya sejajar dengan wajah Karin. Bahkan, hembusan napas keduanya terasa. Karin menjadi semakin gugup, ditambah tatapan mata Ryan yang begitu tajam dan membius dirinya. Tatapan mata, yang seakan ingin menga mjaknya pergi ke tempat tidur. “Bapak mungkin tidak percaya dengan apa yang saya katakan, karena pengalaman bapak sebelumnya. Namun, saya tidak berbohong dengan apa yang saya katakan tadi.” Karin mencoba untuk mendorong Ryan menjauh, meskipun kesanny
“Nanti, kalau kamu ke luar dari sini. Pergilah ke ruangan yang ada di seberang lift. Katakan kepada wanita yang berada di ruangan itu, kalau kamu diterima untuk bekerja di sini.” Dengan dingin Ryan mempersilakan kepada Karin untuk keluar dari ruangannya, tanpa melihat ke arahnya, seakan sudah tidak sabar Karin keluar dari ruangannya. Karin yang sudah hendak ke luar dari ruangan Ryan, membalikkan badannya. “Baik, pak! akan saya katakan.” Ke luar dari ruangan Ryan, Karin langsung menuju ruangan yang tadi dikatakan oleh bosnya. Berdiri di depan pintu yang terlihat kokoh, Karin pun mengetuk pintu tersebut. Setelah dipersilakan untuk masuk, barulah ia membuka pintu tersebut. Karin duduk di hadapan seorang wanita dengan penampilan rapi dan kaku. Ia menatap menyelidik ke arah Karin. “Siang, bu! Nama saya Karin dan saya disuruh oleh pak Ryan untuk melapor kepada ibu, kalau saya sekarang sudah menjadi sekretarisnya,” terang Karin.
'Syukurlah aku tidak bangun kesiangan, walaupun aku semalaman menangis karena teringat dengan almarhumah Ibuku, tetapi mengapa tadi malam aku bermimpi tentang pria yang seharusnya kupanggil Ayah? Apakah ini merupakan pertanda, kalau pria itu sebenarnya mencariku? Kenangan masa lalu yang coba kusimpan rapat kini kembali hadir semenjak aku menjadi sekretaris Ryan,' batin Karin. Dirinya langsung saja menyalakan oven dan memanggang roti di dalamnya. Ia lalu mengoles roti tersebut dengan selai kacang dan sesudahnya menyantapnya dengan nikmat. Dilihatnya jam tangan sudah menunjukkan pukul 07.15 pagi. Masih ada waktu setengah jam baginya untuk sampai ke kantor. Selesai sarapan, dengan terburu-buru Karin ke luar dari apartemennya. Ia pun berjalan menuju halte bis dan ia tidak menunggu lama. Bis yang menuju ke tempat kerjanya datang, lalu berhenti di depan halte tempatnya duduk. Dirinya pun memilih duduk di bagian tengah yang masih kosong. Sesekali ia meli
“Terima kasih, atas tawaran bapak. Namun, saya lebih suka untuk berganti pakaian di toilet karyawan saja, pak!” sahut Karin, sambil berlalu pergi dari ruangan Ryan. Mana mungkin ia berani berganti pakaian di kamar mandi bosnya. Terlebih lagi, dengan bosnya yang secara terang-terangan coba merayunya. Ryan berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke tempat Karin berdiri. Ia lalu berkata dengan suara pelan. “Apakah kau berani mengambil kunci ini, agar bisa ke luar dari ruanganku?” Karin memejamkan kedua matanya, ditariknya napas dalam-dalam. Rasanya ia hendak memaki bos nya ini, yang sudah membuat dirinya menjadi seakan terkurung di kndang Singa. Dittadahkannya tangannya ke arah Ryan. “Tolong berikan kunci pintunya, pak!” Ryan justru meraih jemari Karin dan meletakkan tepat di saku kemeja yang dikenakannya. “Aku tidak melarangmu, untuk mengambilnya secara langsung. Hanya saja ada syaratnya, kalau kamu mau aku yang menyerah
“Aku sudah memperingatkan kepadamu, kalau aku tidak suka mempunyai kekasih yang cerewet dan pencemburu tanpa alasan yang jelas. Kurasa, ini saatnya hubungan kita berakhir sampai di sini. Silakan, cari pria lainnya, yang bisa kau atur dan curigai sesukamu!” Tegas Ryan, sambil menatap dingin kekasihnya, yang ia anggap terlalu ingin tahu, dengan apa yang dilakukannya. Kekasih Ryan menatap tidak percaya kepada Ryan, yang bersikap egois. “Apa maksudmu berkata, seperti itu? Apa kau memutuskan diriku? Dasar brengsek, kau Ryan! Seenaknya saja kamu memutuskan diriku dan ini semua pasti karena wanita tadi, bukan?” Bentak kekasih Ryan, sambil mengguncang tubuhnya, dengan kencang. “Pak, tolong berhenti!” Perintah Ryan kepada sopirnya. Dan langsung saja dituruti oleh sopirnya itu. Begitu mobil sudah berhenti. Ryan melirik kepada wanita, yang baru saja ia putuskan. “Sopirku akan mengantarkanmu sampai ke tempat tujuan. Dan satu hal lagi, kau tidak peru takut aku
'Astaga! Setelah dengan seenaknya ia mengatakan hal itu, langsung pergi begitu saja!' batin Karin emosi. Karina menatap tidak percaya punggung Ryan, yang berjalan keluar dari restoran, setelah ia memberikan ultimatum kepada Karin. Tersadar dari lamunannya Karin pun berdiri dan beranjak keluar dari restoran. Ia tidak membayar tsagihan makan siangnya, karena Ryan yang sudah membayar tagihan tersebut. Hampir saja Karin menabrak punggung Ryan, ketika ia baru saja keluar dari pintu restoran. “Kenapa Bapak berdiri di situ? Siapa yang Bapak tunggu?” Ryan membalikkan badan dan melihat ke arah Karin dengan dingin. “Jangan besar kepala, saya tidak mungkin menunggu kamu!” Karin mengangguk. “Iya, benar apa yang Bapak katakan. Permisi, Pak saya duluan ke kantor.” Karin pun berjalan kembali menuju ke arah perusahaan tempatnya bekerja. Akan tetapi baru beberapa langkah ia berjalan Ryan menegur dirinya. “Apa yang kamu lakuka
'Astaga! Pintu mobil itu terbuka dan pria yang ada dalam mobil itu berjalan kemari!' batin Karin, ia melihat ke sekelilingnya berharap ada yang lewat. Rasa gugup Karin semakin menjadi terlebih lagi ketika dari dalam mobil dengan kaca gelap itu. Turun seorang pria yang mengenakan pakaian serba hitam menghampiri Karin. “Malam, Mis! Silakan masuk ke dalam mobil!” perintah orang itu singkat. Tangan Karin meraba tas yang ia sandang di bahunya. Ia pun berhasil menemukan apa yang ia cari semprotan merica. Akan tetapi, sebelum ia sempat menggunakannya pria dengan pakaian hitam itu berkata lagi, “Tuan Ryan menunggu Anda di dalam mobil!” Seakan mengerti namanya disebut kaca mobil diturunkan, sehingga terlihatlah Ryan di baliknya. “Cepat masuk! Jangan sok menolak. Kamu tidak pernah tahu apa yang akan kamu temui, kalau nekat tetap berada di halte ini. Bisa saja ada pemabuk yang akan memperkosamu. Daripada diperkosa oleh pema
"Siapa kau yang sudah berani berkata, seperti itu? Kau hanyalah wanita murahan yang membuatku merasa muak dengan sentuhanmu!" Ryan mencekau dagu wanita yang sudah berani mengatainya. Ryan memandang dua orang petugas keamanan itu dengan santai dan tidak ada rasa takut sama sekali. “Mau apa kalian? Apa kalian akan mengusirku dari sini? Kalau kalian sampai berani menyentuh tubuhku akan kubuat kalian menderita di jalanan dan tidak akan ada seorang pun yang menerima kalian bekerja!” Dirinya diam sebentar menunggu reaksi dari kedua orang petugas keamanan tersebut. “Bagus! Kalian memahami apa yang kukatakan. Pemilik kelab malam ini saudara sepupuku, katakan kepadanya kalau Ryan merasa kecewa dengan pelayanan yang ada!” Usai mengatakan hal itu Ryan berjalan keluar dari ruang VIP tersebut. Petugas keamanan yang tadi terlihat garang, membiarkan saja Ryan melewati mereka. Keduanya memang teringat dengan wajah Ryan, yang memang benar saudara dari
“Maaf, Tuan Ryan! Seperti yang Anda baca begitulah hasil pemeriksaan dari kesuburan Tuan! Ternyata benturan yang tuan alami berpengaruh terhadap kesuburan Tuan,” ucap dokter tersebut. Lebih lanjut lagi dokter itu mengatakan, kalau Ryan sangat kecil kemungkinannya bagi Patrick untuk bisa membuat pasangannya menjadi hamil. Karin yang duduk di samping Ryan menjadi terdiam. Ia urung membaca hasil tes miliknya. Pada saat tangannya hendak meraih tangan Ryan, pria itu menepisnya dengan pelan serayang mnyunggingkan senyum yang tampak sedih. “Kau langsung saja ke kantor aku ingin sendirian dahulu! Nanti kita bertemu di apartemen, setelah aku merasa lebih tenang.” Tidak menunggu jawaban dari Karin, Ryan berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut. Karin meminta maaf, kepada dokter yang memeriksa mereka atas sikap kasar Patrick yang pergi begitu saja. Setelahnya ia keluar dari ruangan dokter tersebut dengan perasaan tidak
“Ibu, kau mengejutkan kami! Apakah kau tidak ingin menyapa kami dengan hangat?” Tanya Ryan. Ibu Ryan memberikan senyuman hangat untuk Ryan, tetapi ia menatap curiga kepada Karin. Melihat sorot mata Ibunya yang tampak tidak suka melihat Karin, Ryan meminta kepada Ibunya, agar mereka berbicara di dalam saja, sambil duduk santai. Dengan anggun Ibu Ryan memutar badan, lalu berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Ryan dan Karin. Mereka semua pun duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu rumah tersebut. Seorang pelayan datang menghampiri, dengan membawa sebuah baki yang berisikan minuman juga kue, kemudian pelayan itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. “Katakan Ryan ada perlu apa kamu mengatakan datang mengunjungi Ibu?” Tanya Ibu Ryan. Ryan meraih jemari Karin yang tersemat cincin pertungan darinya. “Aku akan menikah dengan Karin!” Mata Ibu Ryan melotot ia merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Katakan
“Mengapa kau menyandingkan dua potret ini berdampingan? Apakah kau ingin mengatakan kepadaku, kalau usia anakmu jauh lebih lama berada dalam kandungan tunanganmu, dibandingkan anakku?” Tanya Karin lirih. Hatinya merasa sakit melihat kedua potret tersebut. Tidakkah Ryan sadar dengan apa yang dilakukannya? Mengapa ia begitu tega. Ryan meraih jemari Karin bermaksud untuk menenangkan wanitanya tersebut. Namun, Karin menepis dengan kasar tangan Ryan. “Bukankah kita akan terbuka dan bersama memecahkan masalah! Baiklah, aku akan mengatakan kepadamu mengapa aku meletakkan potret itu secara bersamaan.” Ryan sedikit kecewa, karena Karin menolak dirinya. Walaupun demikian ia merasa ada harapan, karena Karin tampak mendengarkan apa yang dikatakannya. “Aku melakukannya, karena aku ingin kau mengetahui, bahwa pernah hadir dua buah hati yang sama-sama kucintai, meskipun mereka berasal dari Ibu yang berbeda.” Ditatap
“Kalau begitu, katakan kepadaku, apakah semua yang barusan kau katakan benar?” Tanya Karin dengan dada yang terasa sakit. Ryan tersenyum mengejek ke arah Karin dengan dingin ia berkata, “Terserah apa yang kau pikirkan saja, karena aku jujur pun tidak kau percaya!” Ia berjalan meninggalkan Karin, tetapi Karin dengan cepat menarik tangannya. Ia meminta kepada Ryan untuk tidak pergi dahulu, sebelum masalah mereka tuntas. Dijawab Ryan dengan perkataan, kalau dirinya memerlukan udara segar, biar bisa berfikir dengan jernih. Karin mengatakan, kalau ia akan ikut menemani Ryan. Dan, kalau Ryan menginginkannya untuk diam ia akan melakukannya. Jawaban yang diberikan Ryan hanya anggukan kepala saja. Ia terus berjalan, tetapi berhenti sebentar untuk mengambil jaketnya dan Karin dari gantungan baju. Ketika Karin berada dekat dengannya ia memasangkan jaket tersebut ke badan Karin, setelahnya ia meneruskan langkahnya
“Kau mengejutkanku! Aku hanya ingin menuntaskan apa yang menurutku menjadi ganjalan dalam hubungan kita!” sahut Karin lemah. Kepalanya menunduk ke bawah, karena merasa bersalah sudah mengkhianati kepercayaan dari Ryan, yang baru saja mereka bangun. Terdengar suara helaan napas Ryan berat, Karin pun memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan ia menyesal sudah datang ke sini tanpa memberitahu Ryan. Ia bisa melihat dengan jelas kekecewaan di mata Ryan. Setelah selama beberapa saat tidak ada yang membuka suara Ryan memecah keheningan itu. “Kau sadar bukan, kalau yang kau lakukan itu membuat apa yang coba kita perbaiki menjadi rusak!” Dengan ragu-ragu Karin menyentuh tangan Ryan. Ia meminta maaf, sudah membuat pria itu merasa sedih dengan datang kembali ke pemakaman orang-orang yang pernah ia cintai dalam hidupnya. Dengan kasar Ryan melepas tangan Karin dari tangannya. Ia lalu berjalan memasuki areal pemakaman terse
“Untuk apa, kau mencari tahu tentang seseorang yang sudah lama terkubur?” Tanya Luke. Ia pun duduk di atas tempat tidurnya. Karin mengatakan, kalau ia hanya ingin mengunjunginya saja. Ia ingin meletakkan bunga di nisan tersebut, karena Ryan pernah mengatakan di sana juga anaknya dikuburkan. Terdengar suara tarikan napas di ujung sambungan telepon, juga selimut yang disibak. Setelah diam selama beberapa saat Luke, kemudian mengatakan di mana letak makam tersebut. Ucapan terima kasih langsung saja terlontar dari bibir Karin. Sekarang ia hanya mencari waktu yang tepat saja, untuk pergi ke sana tanpa sepengetahuan Ryan. Ia tidak tahu, apakah Ryan akan marah atau mengijinkan dirinya ke sana. Hanya saja, ia tidak mau mengambil resiko. Ia akan melakukannya secara diam-diam.**** Tiga hari kemudian, Ryan sudah diperbolehkan kembali ke rumah. Dan Ryan bersikeras untuk kembali ke kota asal mereka saja. Ia merasa sudah cukup
“Mengapa kau melakukan hal itu? Bukannya kau dan Ryan bersahabat dan kau sendiripun sudah berjanji untuk membantunya!” Karin menatap Luke tidak percaya. Luke memberikan senyum menenangkan kepada Karin. Ia mengatakan sengaja melakukannya, untuk memberikan waktu bisa beristirahat, karena kalau ia cepat-cepat mendatangi Ryan di rumah sakit yang ada ia akan kehilangan waktu untuk dirinya sendiri. Karin yang tadinya terkejut menjadi memahami dengan apa yang dikatakan Luke. Memang semenjak ia bersedia memberikan kesempatan kedua untuk Ryan. Ia berubah menjadi manja dan tidak mau ditinggal Karin. Luke mengajak Karin untuk meninggalkan pondok menuju rumah sakit, tanpa perlu mengabari Ryan terlebih dahulu, untuk memberikan kejutan kepadanya. Dalam perjalanan Luke mengatakan kepada Karin, kalau ia tidak ikut masuk menjenguk Ryan, karena ia akan langsung kembali ke kantor, Gosip tentang apa yang menimpa Ryan sudah banyak beredar, sehing
“Aku sedang dalam keadaan yang tidak ingin melakukan apapun pada saat itu,” ucap Ryan. Ia memandang Karin, dengan tatapan sedih. Melihatnya membuat Karin menjadi sadar betapa mereka berdua sudah melalui hal yang terburuk dalam hidup mereka. Semoga saja, hal itu merupakan badai yang terakhir. Karin mendekati Ryan, lalu menggenggam jemarinya dan meletakkan ke pipinya. Semua memang sudah ada waktunya, mungkin waktu sekarang ini masa mereka mendapatkan ujian. Namun, semua pasti akan ada akhirnya. Mereka berdua hanya harus percaya hal itu. “Kau tidak perlu takut kepada Ibuku, karena ia tidak mungkin membencimu selamanya,” ucap Ryan. Melihat Ryan yang sudah memejamkan mata Karin melepaskan genggamannya di jemari Ryan. Ia bermaksud keluar sebentar untuk mencari udara segar. Namun, didengarnya suara Ryan yang meminta kepadanya untuk tidak pergi. Karin langsung berbalik mengira, kalau Ryan membuka mata. Akan tetapi, kedua
“Akan pergi ke mana, kau? Apakah kau tidak ingin menemaniku di rumah sakit ini?” Tanya Ryan kecewa. Karin urung keluar dari kamar Ryan. Ia berbalik menghampiri pria itu dan berdiri tepat di sampingnya. “Katakan apa maumu, Ryan? Buat aku mengerti. karena jujur saja aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, selain menjauh darimu, karena aku tidak mau membuat kita berdua semakin terluka saja!” Satu tangan Ryan yang tidak dipasang selang infus meraih tangan Karin, lalu menggenggamnya. Dengan suara serak Ryan meminta kepada Karin untuk tinggal. Ia juga meminta kepada Karin, agar memberikan kesempatan kepada mereka berdua untuk memperbaiki apa yang sudah rusak. Mungkin, kerusakan yang mereka buat akan menimbulkan bekas. Akan tetapi, mereka berdua akan memperbaikinya. Karin terdiam, ia tampak memikirkan apa yang diucapkan oleh Ryan barusan. Bisakah ia memberikan kesempatan, untuk hubungannya dengan Ryan? Apaka