'Astaga! Setelah dengan seenaknya ia mengatakan hal itu, langsung pergi begitu saja!' batin Karin emosi.
Karina menatap tidak percaya punggung Ryan, yang berjalan keluar dari restoran, setelah ia memberikan ultimatum kepada Karin.
Tersadar dari lamunannya Karin pun berdiri dan beranjak keluar dari restoran. Ia tidak membayar tsagihan makan siangnya, karena Ryan yang sudah membayar tagihan tersebut.
Hampir saja Karin menabrak punggung Ryan, ketika ia baru saja keluar dari pintu restoran. “Kenapa Bapak berdiri di situ? Siapa yang Bapak tunggu?”
Ryan membalikkan badan dan melihat ke arah Karin dengan dingin. “Jangan besar kepala, saya tidak mungkin menunggu kamu!”
Karin mengangguk. “Iya, benar apa yang Bapak katakan. Permisi, Pak saya duluan ke kantor.” Karin pun berjalan kembali menuju ke arah perusahaan tempatnya bekerja.
Akan tetapi baru beberapa langkah ia berjalan Ryan menegur dirinya. “Apa yang kamu lakukan! Berani sekali kamu pergi, sebelum saya perbolehkan.”
Karin pun menghentikan langkahnya dan menunggu Ryan berjalan hingga posisi mereka berdampingan. Dalam hati Karin menggumam. ‘Katanya tidak menungguku, tetapi ketika aku duluan jalan malah ngomel.’
Sesampainya mereka di lobi perusahaan Karin terus saja mengekori Ryan, hingga ketika akan masuk ke dalam lift. Ryan yang sudah berada di dalam lift mengernyitkan keningnya. Melihat Karin ikut masuk ke dalam lift yang sama dengannya.
“Siapa kamu? Berani sekali masuk lift yang sama denganku! Apa kamu mau menggodaku dan semakin menguatkan dugaan orang-orang, kalau kamu itu sudah tidur denganku! Asalkan kamu tahu, ya! Lift ini khusus untuk pimpinan di perusahaan ini! Apakah kamu termasuk pimpinan perusahaan ini?”
Wajah Karin sontak saja menjadi terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Ryan. “Maaf, Pak! Saya tidak mengetahuinya.” Karin berjalan mundur hendak keluar dari dalam lift.
Akan tetapi, karena tidak memperhatikan langkahnnya. Ia pun tersandung dan hampir saja terjatuh, ketika heels yang dikenakannya tersangkut pada karpet. Namun, dengan sigap Ryan menarik tubuh Karin, hingga menempel ke dadanya.
Ryan pun berbisik di telinga Karin. “Aku tahu kamu sengaja melakukannya. mengundang dirimu sendiri, untuk bisa masuk ke dalam lift ini bersamaku. Kamu melakukannya, untuk menggodaku, bukan?”
Karin melebarkan bola mata dan secara refleks ia mendorong Ryan menjauh. Karin kemudian menekan tombol lift untuk kembali ke lantai dasar. Namun, sebelum ia berhasil melakukannya. Ryan sudah memegang tangannya mencegah ia melakukan hal itu.
“Jangan bodoh! Biarkan saja, sudah terlanjur. Sebentar juga sampai,” peringat Ryan.
Dengan terpaksa Karin pun urung melakukannya. Ia berdiri tepat di depan pintu lift membelakangi Ryan. Punggungnya terasa terbakar, karena tatapan tajam Ryan.
Rasa lega menghinggapi hati Karin begitu pintu lift terbuka dan dengan cepat ia pun keluar dari sana, meski terkesan tidak sopan karena mendahului bos nya. Ia langsung duduk di tempatnya yang berada tepat di depan pintu ruang kerja Ryan.
Ketika Ryan melewati meja Karin ia berhenti sebentar. “Malam ini kamu harus lembur, untuk mengganti jam kerjamu yang terlambat tadi pagi.” Ia kemudian berlalu dari meja Karin masuk ke dalam ruang kerjanya.
Hembusan napas Karin terdengar keras ia merasa lega Ryan sudah masuk ke dalam ruangannya. ‘Aku harus bisa menghindar untuk berada dekat, dengan pak Ryan. Jangan sampai aku jatuh ke dalam pesona dari pria itu,’ batin Karin.
Menit demi menit pun berlalu, hingga akhirnya jam kerja sudah usai. Beberapa orang pekerja terlihat meninggalkan kantor. Suasana di ruangan pun terasa sepi dan sedikit membuat Karin menjadi takut.
Terlebih lagi dengan bos, seperti Ryan yang ia rasa memiliki magnet yang menariknya untuk berbuat liar dan mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh ibunya.
Mengusir rasa was-wasnya Karin memilih untuk berkonsenterasi dalam mengerjakan pekerjaannya. Ia begitu larut dalam pekerjaannya, sampai tidak menyadari kehadiran Ryan, yang berjongkok di depan meja kerjanya memperhatikan dirinya.
Merasa ada yang memperhatikan dirinya,, dengan begitu intens. Karin pun mendongak dari layar komputernya. Netranya langsung saja bertemu dengan netra Ryan, yang terlihat begitu lembut dan teduh menatap dirinya.
Tanpa sadar bibir Karin terbuka, karena melihat kehadiran Ryan tersebut. “Berapa lama, Bapak berada di depan saya? Mengapa saya tidak mendengar suara langkah kaki Bapak?” tanya Karin.
Tangan Ryan terulur menyentuh bibir Karin dan mengusapnya dengan lembut. “Cukup lama, untuk mengetahui kebiasaan dirimu yang suka menggigit bibir dan mengusapnya, dengan menggunakan lidah. Apakah kamu bermaksud untuk menggoda saya?”
Secara refleks Karin menepis tangan Ryan dari bibirnya. “Maaf, Pak! Saya tidak bermaksud untuk menggoda Bapak dan saya akan berusaha mengubah kebiasaan saya menggigit bibir, kalau itu mengganggu Bapak.”
Ryan tertawa pelan mendengarnya ia lalu menegakkan tubuh dan berkata, “Saya sama sekali tidak keberatan, kamu lakukannya. Hanya saja tindakanmu itu membuatku berfantasi membayangkan, kalau dirikulah yang menggigit bibirmu dan mencumbunya dengan lidahku.”
Karin menjadi gugup dengan kalimat bernada merayu, yang dilontarkan oleh Ryan. Ia pun menyadari, kalau di ruangan ini hanya ada mereka berdua saja. Ia tidak tahu apakah dirinya akan berhasil lolos dari rayuan Ryan, yang begitu menggoda iman dan tekadnya.
“Matamu bergerak liar, seperti kelinci yang ketakutan. Kau tidak perlu takut aku akan memangsamu! Belum, tetapi pasti kau akan jatuh ke dalam pelukanku dan aku tidak pernah ragu akan kemampuanku dalam menaklukan wanita,” kata Ryan, dengan suara baritonnya.
Tangan Karin dengan cepat mematikan komputernya, dengan tatapan mata yang terus terpaku ke arah Ryan. Seandainya bisa ia hendak berlari keluar dari ruangan ini menjauh dari bosnya, yang terus saja merayu dengan tatapan dan kata-katanya.
Beruntungnya bagi Karin, secara tiba-tiba pintu lift, yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berada berbunyi dan keluarlah seorang pria dengan mengenakan seragam petugas keamanan.
Karin langsung saja berdiri dan ia menyunggingkan senyuman ke arah petugas keamanan yang berjalan ke arah mereka.
Petugas keamanan itu memberi hormat kepada Ryan dan menyapanya. “Selamat malam. Tuan Ryan! Saya tidak tahu, kalau Tuan dan sekretaris Tuan sedang lembur.”
“Tidak mengapa! Kau menjalankan tugasmu dengan benar, untuk memeriksa setiap lantai. Pastikan tidak ada penyusup yang masuk ke dalam perusahaanku,” kata Ryan.
Ia lalu berjalan menuju lift khusus pimpinan. Berjalan tepat di belakangnya dan ketika Karin hendak berbelok menuju lift khusus pegawai, yang berada tepat di sebelah liftnya Rya menarik lengan Karin.
“Untuk apa masuk ke dalam lift itu seorang diri! Apakah kau tidak tahu, kalau Sebagian besar pegawai di sini takut, apabila harus lembur sampai malam. Tidakkah kau juga merasa takut, kalau di dalam lift nanti ada seorang pria asing bersama denganmu dan berniat jahat,” ucap Ryan.
Didorongnya Karin dengan lembut masuk ke dalam lift dan mereka berdiri begitu dekat. “Kenapa badanmu gemetaran? Kamu tidak takut kepadaku, bukan? Aku janji saat ini kamu aman dari sentuhanku, tetapi aku tidak tahu untuk berapa lama. Kamu terlalu menggiurkan, untuk kulewatkan begitu saja,” bisik Ryan di telinga Karin.
Jantung Karin rasanya mau copot mendengar kata-kata Ryan barusan. Beruntungnya ia tidak perlu berlama-lama berada di dalam lift yang sama, dengan Mark.
Dengan cepat ia berjalan keluar dari dalam gedung perusahaan Atmaja Corp. Begitu sudah berada di luar cahaya lampu-lampu jalanan telah menggantikan sinar matahari.
Karin pun berjalan menuju tepi jalan. Dan dilihatnya jam tangannya, suara desahan kecewa pun lolos di bibirnya. “Yah! Bis jurusan yang menuju ke apartemenku sudah lewat. Terpaksa aku harus naik taksi dan itu membuatku harus mengeluarkan uang yang lebih banyak.”
Tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna hitam dengan kaca yang gelap berhenti tepat di depan Karin, sehingga membuatnya merasa takut.
Karin melirik ke sekitarnya berharap ada seseorang atau kendaraan yang lewat dan menjadi tempat ia meminta bantuan. Namun, harapannya tidak terkabul.
'Ya, Tuhan! Kenapa sepi sekali? Bagaimana, kalau orang dalam mobil itu berniat jahat kepadaku?' batin Karin.
UP DATE 2 HARI SEKALI
'Astaga! Pintu mobil itu terbuka dan pria yang ada dalam mobil itu berjalan kemari!' batin Karin, ia melihat ke sekelilingnya berharap ada yang lewat. Rasa gugup Karin semakin menjadi terlebih lagi ketika dari dalam mobil dengan kaca gelap itu. Turun seorang pria yang mengenakan pakaian serba hitam menghampiri Karin. “Malam, Mis! Silakan masuk ke dalam mobil!” perintah orang itu singkat. Tangan Karin meraba tas yang ia sandang di bahunya. Ia pun berhasil menemukan apa yang ia cari semprotan merica. Akan tetapi, sebelum ia sempat menggunakannya pria dengan pakaian hitam itu berkata lagi, “Tuan Ryan menunggu Anda di dalam mobil!” Seakan mengerti namanya disebut kaca mobil diturunkan, sehingga terlihatlah Ryan di baliknya. “Cepat masuk! Jangan sok menolak. Kamu tidak pernah tahu apa yang akan kamu temui, kalau nekat tetap berada di halte ini. Bisa saja ada pemabuk yang akan memperkosamu. Daripada diperkosa oleh pema
"Siapa kau yang sudah berani berkata, seperti itu? Kau hanyalah wanita murahan yang membuatku merasa muak dengan sentuhanmu!" Ryan mencekau dagu wanita yang sudah berani mengatainya. Ryan memandang dua orang petugas keamanan itu dengan santai dan tidak ada rasa takut sama sekali. “Mau apa kalian? Apa kalian akan mengusirku dari sini? Kalau kalian sampai berani menyentuh tubuhku akan kubuat kalian menderita di jalanan dan tidak akan ada seorang pun yang menerima kalian bekerja!” Dirinya diam sebentar menunggu reaksi dari kedua orang petugas keamanan tersebut. “Bagus! Kalian memahami apa yang kukatakan. Pemilik kelab malam ini saudara sepupuku, katakan kepadanya kalau Ryan merasa kecewa dengan pelayanan yang ada!” Usai mengatakan hal itu Ryan berjalan keluar dari ruang VIP tersebut. Petugas keamanan yang tadi terlihat garang, membiarkan saja Ryan melewati mereka. Keduanya memang teringat dengan wajah Ryan, yang memang benar saudara dari
Ryan tersenyum senang melihat Karin yang tidur dalam pelukannya. ‘Hmm, Apa yang akan dilakukan oleh wanita ini, kalau ia mengetahui dirinya tidur dalam pelukanku?’ gumam Ryan. Lama kelamaan Ryan kembali mengantuk dan ia pun tidur dengan lengannya setia memeluk erat perut Karin. Beberapa saat kemudian Karin membuka kedua matanya perlahan. Ia merasa heran, karena seingatnya dirinya tidur di sofa dan kenapa sekarang ia kembali berada di atas tempat tidurnya. Ketika ia hendak bangun dari tempat tidur. Dirasakannya berat pada perut dan juga didengarnya suara napas berat seorang laki-laki tepat di samping telinganya. Dengan cepat ia membalikkan badan dan ketika itulah netranya bertemu dengan netra hitam milik Ryan. “Pak, Ryan! Kenapa Bapak bisa tidur bersama dengan saya? Apa yang sudah Bapak lakukan?” berondong Karin dengan pertanyaan. Ryan yang memang sudah bangun dari tadi dan memperhatikan apa yang dilaku
Karin sontak saja menjadi terkejut, dengan pertanyaan Ryan, “Bapak memata-matai saya? Kenapa Bapak menerima saya sebagai sekretaris, kalau Bapak meragukan siapa saya?” tanya Karin balik. Ryan menarik Karin merapat dengannya. “Kau tentu pernah mendengar istilah yang mengatakan. Lebih baik mengawasi musuh kita dari dekat, hingga kita tahu langkah yang akan diambilnya.” Karin menyentak tangan Ryan di pundaknya. “Kalau begitu Bapak menganggap saya sebagai musuh?” “Kamu mengalihkan pertanyaanku, dengan mengajukan pertanyaan! Kamu memang cerdas Karin, sayangnya aku tidak akan terkecoh. Jawab saja pertanyaanku!” Dengan menahan umpatan kasar, yang belum pernah terlontar dari bibirnya Karin pun berkata, “Keluarga saya bukan urusan Bapak! Mengapa potret mereka tidak ada dinding apartemen saya? Karena saya mengingat mereka di dalam hati dan di kepala saya. Bukan melalui secarik gambar dalam pigura!” Mendengar jawaban Karin,
Sontak saja Karin menjadi terkejut, sekaligus takut. Dirinya, seperti kelinci yang tererangkap dan tidak tahu jalan keluar, untuk bisa menyelamatkan dirinya. Karin beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. “Tolong buka pintunya sekarang juga, Pak! Saya akan melaporkan Bapak, kalau sampai berani menyentuh saya!” Ryan memasang senyum miring, sambil melempar-tangkap kunci yang ada di tangannya. “Apakah aku melarangmu, untuk keluar dari ruanganku? tidak, ‘kan? Silakan saja keluar aku tidak akan menghalangimu!” Tangan Karin terkepal rapat di kedua sisi tubuhnya. Ia benar-benar takut akan mengalami apa yang menjadi trauma masa kecilnya. Dan hal yang membuat dirinya enggan memiliki hubungan istimewa dengan laki-laki. Bahkan di usianya yang sudah menginjak 22 tahun. Ia belum pernah menjalin hubungan percintaan dengan lelaki manapun juga. “Bapak memang tidak melarang saya secara langsung, untuk keluar dari ruangan
Karin menatap Ryan dengan bingung, ia tidak mengerti maksud dari bosnya, yang dengan tiba-tiba saja mengajaknya untuk melakukan tes DNA. Disentaknya tangan Ryan, yang memegang lengannya. “Apa maksud Bapak, kita akan melakukan tes DNA? Apa perlunya kita melakukan hal itu? Apa Bapak percaya, dengan apa yang dikatakan oleh ibu Bapak barusan?” tanya Karin. Ryan menatap tajam Karin. “Kita harus melakukannya, karena aku tidak mau ada keraguan. Pada saat kita bercinta, tidak ada kesalahan, kalau aku meniduri saudariku sendiri.” Mata Karin melotot ia tidak percaya, kalau Ryan terpengaruh dengan apa yang tadi dikatakan oleh ibunya. “Bagaimana Bapak bisa menjadi begitu bodoh, seperti itu! Tidak mungkin kita bersaudara! Dan saya juga tidak mau mempunyai saudara seperti Bapak!” tegas Karin. “Hah! Kau pikir aku mau mempunyai saudari sepertimu? Tentu saja aku tidak mau, karena sudah pasti kalau kau menjadi adikku. Aku tidak aka
Karin menatap heran Luke, yang sampai memiliki pemikiran, kalau dirinya dan Ryan memiliki hubungan istimewa. “Anda pasti bercanda! Tidak mungkin pak Ryan cemburu kepada saya. Pak Ryan hanya tidak suka saja melihat saya dekat dengan orang lain, karena takut saya menjadi lalai dengan pekerjaan,” sahut Karin. Luke hanya tertawa kecil, tetapi ia tidak mau menyangkal apa yang dikatakan oleh Karin. ‘Apa yang akan dilakukan oleh Ryan, kalau aku menggoda wanita ini? Pastinya ia akan mengamuk dan marah besar,” batin Luke. Ia dan Karin berjalan beriringan menuju meja kerja Karin, sementara Luke terus masuk ke dalam ruang kerja Ryan. Diketuknya pintu kantor Ryan dan setelah dipersilakan masuk. Ia pun masuk ke dalam ruang kerja Ryan dan duduk di depan meja kerja bosnya itu. “Sekretarismu cantik dan seksi, kenapa aku baru melihatnya? Apakah kamu menyembunyikannya, Ryan?” tanya Luke. Ryan mendongak dari depan layar
Karin melihat Ryan, dengan perasaan heran. Ia tidak mengerti apa maksud dari perkataan bosnya itu. Menyadari tatapan Karin, yang bertanya-tanya. Ryan sama sekali tidak peduli. Ia malah menarik tangan Karin membawanya masuk ke dalam lift. Tak berapa lama keduanya sudah duduk nyaman di dalam mobil milik Ryan. Selama dalam perjalanan Ryan tetap menutup mulutnya. Tidak bersedia memberitahukan kepada Karin, ke mana tujuan mereka. “Kenapa Bapak tidak mau mengatakan kepada saya tujuan kita? Apakah Bapak akan menculik saya? Habis Bapak dari tadt hanya diam saja.” Kesal hanya didiamkan saja Karin menggeser duduknya menjauh dari Ryan. Dan mengikuti apa yang dilakukan oleh Ryan, Karin melipat tangannya di depan dada. Ryan tetap bergeming, ia sama sekali tidak peduli dengan rasa kesal Karin. Ia memejamkan mata, sambil mendengarkan musik. Beberapa menit kemudian mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah bangunan dua
“Maaf, Tuan Ryan! Seperti yang Anda baca begitulah hasil pemeriksaan dari kesuburan Tuan! Ternyata benturan yang tuan alami berpengaruh terhadap kesuburan Tuan,” ucap dokter tersebut. Lebih lanjut lagi dokter itu mengatakan, kalau Ryan sangat kecil kemungkinannya bagi Patrick untuk bisa membuat pasangannya menjadi hamil. Karin yang duduk di samping Ryan menjadi terdiam. Ia urung membaca hasil tes miliknya. Pada saat tangannya hendak meraih tangan Ryan, pria itu menepisnya dengan pelan serayang mnyunggingkan senyum yang tampak sedih. “Kau langsung saja ke kantor aku ingin sendirian dahulu! Nanti kita bertemu di apartemen, setelah aku merasa lebih tenang.” Tidak menunggu jawaban dari Karin, Ryan berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut. Karin meminta maaf, kepada dokter yang memeriksa mereka atas sikap kasar Patrick yang pergi begitu saja. Setelahnya ia keluar dari ruangan dokter tersebut dengan perasaan tidak
“Ibu, kau mengejutkan kami! Apakah kau tidak ingin menyapa kami dengan hangat?” Tanya Ryan. Ibu Ryan memberikan senyuman hangat untuk Ryan, tetapi ia menatap curiga kepada Karin. Melihat sorot mata Ibunya yang tampak tidak suka melihat Karin, Ryan meminta kepada Ibunya, agar mereka berbicara di dalam saja, sambil duduk santai. Dengan anggun Ibu Ryan memutar badan, lalu berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Ryan dan Karin. Mereka semua pun duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu rumah tersebut. Seorang pelayan datang menghampiri, dengan membawa sebuah baki yang berisikan minuman juga kue, kemudian pelayan itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. “Katakan Ryan ada perlu apa kamu mengatakan datang mengunjungi Ibu?” Tanya Ibu Ryan. Ryan meraih jemari Karin yang tersemat cincin pertungan darinya. “Aku akan menikah dengan Karin!” Mata Ibu Ryan melotot ia merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Katakan
“Mengapa kau menyandingkan dua potret ini berdampingan? Apakah kau ingin mengatakan kepadaku, kalau usia anakmu jauh lebih lama berada dalam kandungan tunanganmu, dibandingkan anakku?” Tanya Karin lirih. Hatinya merasa sakit melihat kedua potret tersebut. Tidakkah Ryan sadar dengan apa yang dilakukannya? Mengapa ia begitu tega. Ryan meraih jemari Karin bermaksud untuk menenangkan wanitanya tersebut. Namun, Karin menepis dengan kasar tangan Ryan. “Bukankah kita akan terbuka dan bersama memecahkan masalah! Baiklah, aku akan mengatakan kepadamu mengapa aku meletakkan potret itu secara bersamaan.” Ryan sedikit kecewa, karena Karin menolak dirinya. Walaupun demikian ia merasa ada harapan, karena Karin tampak mendengarkan apa yang dikatakannya. “Aku melakukannya, karena aku ingin kau mengetahui, bahwa pernah hadir dua buah hati yang sama-sama kucintai, meskipun mereka berasal dari Ibu yang berbeda.” Ditatap
“Kalau begitu, katakan kepadaku, apakah semua yang barusan kau katakan benar?” Tanya Karin dengan dada yang terasa sakit. Ryan tersenyum mengejek ke arah Karin dengan dingin ia berkata, “Terserah apa yang kau pikirkan saja, karena aku jujur pun tidak kau percaya!” Ia berjalan meninggalkan Karin, tetapi Karin dengan cepat menarik tangannya. Ia meminta kepada Ryan untuk tidak pergi dahulu, sebelum masalah mereka tuntas. Dijawab Ryan dengan perkataan, kalau dirinya memerlukan udara segar, biar bisa berfikir dengan jernih. Karin mengatakan, kalau ia akan ikut menemani Ryan. Dan, kalau Ryan menginginkannya untuk diam ia akan melakukannya. Jawaban yang diberikan Ryan hanya anggukan kepala saja. Ia terus berjalan, tetapi berhenti sebentar untuk mengambil jaketnya dan Karin dari gantungan baju. Ketika Karin berada dekat dengannya ia memasangkan jaket tersebut ke badan Karin, setelahnya ia meneruskan langkahnya
“Kau mengejutkanku! Aku hanya ingin menuntaskan apa yang menurutku menjadi ganjalan dalam hubungan kita!” sahut Karin lemah. Kepalanya menunduk ke bawah, karena merasa bersalah sudah mengkhianati kepercayaan dari Ryan, yang baru saja mereka bangun. Terdengar suara helaan napas Ryan berat, Karin pun memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan ia menyesal sudah datang ke sini tanpa memberitahu Ryan. Ia bisa melihat dengan jelas kekecewaan di mata Ryan. Setelah selama beberapa saat tidak ada yang membuka suara Ryan memecah keheningan itu. “Kau sadar bukan, kalau yang kau lakukan itu membuat apa yang coba kita perbaiki menjadi rusak!” Dengan ragu-ragu Karin menyentuh tangan Ryan. Ia meminta maaf, sudah membuat pria itu merasa sedih dengan datang kembali ke pemakaman orang-orang yang pernah ia cintai dalam hidupnya. Dengan kasar Ryan melepas tangan Karin dari tangannya. Ia lalu berjalan memasuki areal pemakaman terse
“Untuk apa, kau mencari tahu tentang seseorang yang sudah lama terkubur?” Tanya Luke. Ia pun duduk di atas tempat tidurnya. Karin mengatakan, kalau ia hanya ingin mengunjunginya saja. Ia ingin meletakkan bunga di nisan tersebut, karena Ryan pernah mengatakan di sana juga anaknya dikuburkan. Terdengar suara tarikan napas di ujung sambungan telepon, juga selimut yang disibak. Setelah diam selama beberapa saat Luke, kemudian mengatakan di mana letak makam tersebut. Ucapan terima kasih langsung saja terlontar dari bibir Karin. Sekarang ia hanya mencari waktu yang tepat saja, untuk pergi ke sana tanpa sepengetahuan Ryan. Ia tidak tahu, apakah Ryan akan marah atau mengijinkan dirinya ke sana. Hanya saja, ia tidak mau mengambil resiko. Ia akan melakukannya secara diam-diam.**** Tiga hari kemudian, Ryan sudah diperbolehkan kembali ke rumah. Dan Ryan bersikeras untuk kembali ke kota asal mereka saja. Ia merasa sudah cukup
“Mengapa kau melakukan hal itu? Bukannya kau dan Ryan bersahabat dan kau sendiripun sudah berjanji untuk membantunya!” Karin menatap Luke tidak percaya. Luke memberikan senyum menenangkan kepada Karin. Ia mengatakan sengaja melakukannya, untuk memberikan waktu bisa beristirahat, karena kalau ia cepat-cepat mendatangi Ryan di rumah sakit yang ada ia akan kehilangan waktu untuk dirinya sendiri. Karin yang tadinya terkejut menjadi memahami dengan apa yang dikatakan Luke. Memang semenjak ia bersedia memberikan kesempatan kedua untuk Ryan. Ia berubah menjadi manja dan tidak mau ditinggal Karin. Luke mengajak Karin untuk meninggalkan pondok menuju rumah sakit, tanpa perlu mengabari Ryan terlebih dahulu, untuk memberikan kejutan kepadanya. Dalam perjalanan Luke mengatakan kepada Karin, kalau ia tidak ikut masuk menjenguk Ryan, karena ia akan langsung kembali ke kantor, Gosip tentang apa yang menimpa Ryan sudah banyak beredar, sehing
“Aku sedang dalam keadaan yang tidak ingin melakukan apapun pada saat itu,” ucap Ryan. Ia memandang Karin, dengan tatapan sedih. Melihatnya membuat Karin menjadi sadar betapa mereka berdua sudah melalui hal yang terburuk dalam hidup mereka. Semoga saja, hal itu merupakan badai yang terakhir. Karin mendekati Ryan, lalu menggenggam jemarinya dan meletakkan ke pipinya. Semua memang sudah ada waktunya, mungkin waktu sekarang ini masa mereka mendapatkan ujian. Namun, semua pasti akan ada akhirnya. Mereka berdua hanya harus percaya hal itu. “Kau tidak perlu takut kepada Ibuku, karena ia tidak mungkin membencimu selamanya,” ucap Ryan. Melihat Ryan yang sudah memejamkan mata Karin melepaskan genggamannya di jemari Ryan. Ia bermaksud keluar sebentar untuk mencari udara segar. Namun, didengarnya suara Ryan yang meminta kepadanya untuk tidak pergi. Karin langsung berbalik mengira, kalau Ryan membuka mata. Akan tetapi, kedua
“Akan pergi ke mana, kau? Apakah kau tidak ingin menemaniku di rumah sakit ini?” Tanya Ryan kecewa. Karin urung keluar dari kamar Ryan. Ia berbalik menghampiri pria itu dan berdiri tepat di sampingnya. “Katakan apa maumu, Ryan? Buat aku mengerti. karena jujur saja aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, selain menjauh darimu, karena aku tidak mau membuat kita berdua semakin terluka saja!” Satu tangan Ryan yang tidak dipasang selang infus meraih tangan Karin, lalu menggenggamnya. Dengan suara serak Ryan meminta kepada Karin untuk tinggal. Ia juga meminta kepada Karin, agar memberikan kesempatan kepada mereka berdua untuk memperbaiki apa yang sudah rusak. Mungkin, kerusakan yang mereka buat akan menimbulkan bekas. Akan tetapi, mereka berdua akan memperbaikinya. Karin terdiam, ia tampak memikirkan apa yang diucapkan oleh Ryan barusan. Bisakah ia memberikan kesempatan, untuk hubungannya dengan Ryan? Apaka